Mizan Keadilan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Perbedaan dalam Agama
Iman pada permulaannya merupakan sesuatu yang senantiasa
sederhana dan bersahaja. Seiring dengan perjalanan waktu, manusia mulai
mengelaborasi iman yang sederhana itu dan berangkat dari situ, perbedaan muncul
dan ragam mazhab didirikan. Hal ini terjadi pada seluruh agama-agama sebelum
Islam dan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Islam mula-mula merupakan
sebuah seruan untuk meyakini dan beriman kepada ke-Esaan Tuhan, pada kenabian
Muhammad dan Hari Kiamat. Pada ketiga usul dasar ini tidak ada pertentangan.
Demikian juga, tiada syak bahwa agama Tuhan adalah agama Islam, artinya bahwa
satu-satunya jalan untuk mengenal Islam adalah melalui Kitab Allah dan Sunnah
Nabi Saw, dan bahwa Kitab Allah yang dikenal sebagai al-Qur’an adalah sebuah
kitab yang di dalamnya tiada penambahan atau pengurangan. Perbedaan-perbedaan terjadi dalam penafsiran sebagian
ayat-ayat al-Qur’an dan otensisitas beberapa hadis-hadis Nabi Saw, serta dalam
penafsiran dan implikasinya. Perbedaan-perbedaan ini telah memunculkan banyak
pertanyaan yang telah memecah kaum Muslimin. Terdapat banyak perbedaan tentang
sosok Tuhan dan sifat-sifat-Nya: Apakah Tuhan memiliki badan? Dapatkah Dia
dilihat? Apakah Tuhan itu adil? Apakah manusia dipaksa Tuhan dalam perbuatannya
atau ia bebas? Sepanjang yang bertautan dengan wujud, sosok dan keesaan
Tuhan, perkara-perkara ini berada pada pembahasan awal ushuluddin yang dikenal
sebagai tauhid dan telah disinggung dalam buku atau kitab yang berkenaan
dengannya. Yang berkaitan dengan perbuatan Tuhan, pembahasan ini berada
pembahasan kedua ushuluddin yang dikenal sebagai Keadilan. Menurut keyakinan
Syiah Itsna Asyariah, keadilan (‘adl) merupakan sifat yang terpenting dari
sifat-sifat Tuhan; dan atas alas an itu dibahas secara terpisah. Alasan mengapa
pembahasan kedua ushuluddin ini bertautan dnegan perbuatan-perbuatan Tuhan
dinamakan seabgai Keadilan lantaran perbedaan-perbedaan di antara kaum Muslimin
ihwal keadilan Tuhan sangat luas dan menjuntai. Karena beberapa perbedaan yang beragam di kalangan mazhab
Muslim merupakan poin-poin teologis, maka dipandang penting untuk mengkaji
tahapan-tahapan tulisan ini dengan baik. Mengingat bahwa setiap terma dan
tahapan dari tulisan ini memiliki signifikansi, dan jika para pembaca mencoba
untuk merubah setiap terma dan tahapan dari tulisan ini, maka ia menempatkan
dirinya pada kerancuan dan ketidakselarasan berpikir tentang masalah ini. Sebuah Catatan ihwal Makna Keadilan
Derivasi redaksi al-‘adl pada asalnya dicipta untuk membawa
maksud menjadikan dua benda itu sama dan distribusi secara saksama. Demikian
juga dalam masalah Ansaf yang bermakna secara literal sebagai
persamaan atau keadilan, dan sebagai hasilnya, ‘Adl merujuk kepada keadilan, persamaan,
berada di jalan yang lurus, ke arah kebenaran, berada di pihak yang benar, tidak
berkurang atau berlebih dan juga meletakkan sesuatu pada tempatnya. Lawan kata kalimat al-’Adl adalah al-Jaur dan al-Zulm. Al-Jaur bermakna cenderung kepada sebelah
pihak, yang akhirnya menyiratkan pengertian tidak memihak kepada keadilan, dan
berlaku berat sebelah dan memihak. Kalimat Zulm juga bermakna meletakkan sesuatu tidak
pada tempatnya. Seseorang hakim (Qadi) yang zalim membuat keputusan atau
hukuman yang salah dengan tidak membela pihak yang tertindas haknya. Mazhab yang Sering disebutkan dalam
Tulisan ini
Para pembaca akan banyak menjumpai mazhab-mazhab berikut
dalam tulisan ini: Syiah Itsna ‘Asyariyah: Kaum Muslimin yang meyakini
dua belas imam yang bermula dari Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husain dan sembilan
keturunannya. Imam Keduabelas adalah Muhammad al-Mahdi, Sang Messiah yang
Dinantikan. Mazhab ini juga dikenal sebagai mazhab Imamiyah. Asy’ariah: Seluruh kaum Muslimin yang bermazhab Sunni adalah Asy’ariah
dalam keyakinan mereka. Mazhab ini merupakan pengikut Abu l‑Hasan al‑Asy’ari (w
324 H/936 M). Mu’tazilah: Sebelum Abul Hasan
al-Asy’ari, banyak orang-orang Sunni adalah Mu’tazilah dalam keyakinan mereka.
Mereka merupakan pengikut Wasil bin ‘Ata’ (w 131 H/748 M). Namun, mazhab
Mu’tazilah merupakan mazhab yang hampir punah pada abad keempat Hijriah. Kedudukan Akal dalam Agama Perbedaan pertama dan utama di antara kaum Muslmin adalah
berkenaan dengan peran akal manusia dalam agama. Asya’riyah berada pada satu
sisi masalah, dan Syiah Itsna ‘Ashariyyah dan Mu’tazilah pada sisi lainnnya. Mazhab Syiah berkata bahwa terlepas dari perintah-titah
agama ada baik (husn) dan buruk (qubh) yang dapat ditimbang
dengan akal, dan bahwa Tuhan memerintah perbuatan-perbuatan tertentu lantaran
dalam timbangan akal (baca: rasional) hal itu adalah baik dan Dia melarang
perbuatan tertentu karena dalam teraju akal hal itu adalah buruk. Kaum Asy’ari
menolak konsep ini. Mereka berkata bahwa tiada sesuatu yang baik atau buruk.
Hanya apa yang diperintahkan Tuhan kepada kita itulah yang baik dan apa yang
Dia larang adalah buruk bagi kita.[1] Dengan kata lain, Syiah, misalnya berkata bahwa Tuhan
melarang kita untuk berkata dusta lantaran perbuatan dusta itu merupakan Sesutu
yang buruk; sementara Asy’ari menegaskan bahwa dusta adalah perbuatan buruk
lantaran Tuhan melarangnya. Abul Hasan al-Asy’ari menulis, “Pertanyaan: Lalu dusta adalah
buruk hanya karena Tuhan telah mendeklarasikan hal itu sebagai perbuatan buruk?
Jawab: Tentu saja. Dan jika Dia mendeklarasikan dusta sebagai perbuatan baik,
maka hal itu akan tergolong perbuatan baik; dan jika Dia memerintahkannya,
tiada yang dapat menentang-Nya. [2] Perbedaan lain bertalian dengan masalah kedudukan akal dalam
agama adalah ihwal hubungan natural sebab dan akibat. Syiah dan Mu’tazilah mengakui
hubungan antara sebab dan akibat. Namun Asy’ari mengingkari hal ini. Mereka
berkata tiada sebab kecuali Allah, dan merupakan kebiasaan Tuhan dimana
apabila, misalnya, kita minum air, ia melepaskan dahaga kita.[3] Allamah Hilli berkata: “Inti argumen Asy’ari adalah menurut
mereka bahwa segala sesuatu dapat terwujud karena Kehendak Allah dan Dia
berkuasa untuk menjadi sebab keberadaan segala sesuatu. Jadi, karena kekuasaan
Tuhan merupakan penyebab, maka tidak niscaya sesuatu dapat terwujud ketika
sebab-sebab fisikalnya yang menyebabkan ia mewujud; atau berhenti mewujud
ketika sebab-sebab fisikalnya menyebabkan ia berhenti mewujud dan tiada
hubungan apa pun antara kejadian-kejadian yang menimpa satu dengan yang lain
kecuali hal itu merupakan kebiasaan Tuhan yang mencipta sesuatu; misalnya,
terbakarnya tangan setelah menyentuh api dan meminum air tidak ada hubungannya
dengan pembakaran dan pelepasan dahaga, semua hal ini terjadi dan terwujud
mengikut kehendak dan kekuasaan Tuhan; dan Dia dapat menciptakan sentuhan api
tanpa membakar tangan dan terbakarnya tangan tanpa sentuhan, dan demikian
seterusnya.” (al‑Hilli, Kashfu
‘l‑Haq) Sebagaimana yang Anda lihat dalam pembahasa tulisan ini,
perbedaan mencolok antara Syiah dan Sunni Asy’ari bersumber dari pandangan
mereka ihwal kedudukan akal dalam agama dan hubungan natural antara sebab dan
akibat. |