Berdialog dengan Asy’ariyah dan Mu’tazilahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Dialog interfaith dan intrafaith merupakan dialog yang harus
intens dikembangkan pada setiap pemeluk kepercayaan. Keyakinan yang dianut oleh
sebuah agama atau mazhab untuk mampu berjajal dengan realitas harus dikomunikasikan
dan diekspresikan pada bursa ideologi. Karena ketika keyakinan atau kredo itu
dipandang sebagai sebuah pilihan, setelah melakukan penelusuran dengan
menggunakan piranti akal dan nurani, ia harus dipandang sebagai sebuah
kebenaran yang menyediakan lahan bagi para pemeluknya untuk melesak meraih
kesempurnaan insani dan kebahagiaan hakiki. Karena mencapai dan meraup
kesempurnaan merupakan tuntutan fitrah manusia, apapun agamanya. Islam yang merupakan sebuah agama samawi semenjak
kemunculannya menyambut dawuh dialog interfaith dan intrafaith ini. Islam yang
diyakini oleh para pemeluknya tidak terkecuali harus turut dikomunikasi dan
diekspresikan. Mengingat keyakinan kepada sesuatu berpotensi membahagiakan
sekaligus menelantarkan. Namun bagaimana menemukan formula dan teraju untuk
menjamin bahwa keyakinan tersebut merupakan sebuah keyakinan yang 100 %
mengandung kebenaran dan tak lekang oleh panas serta tak lapuk oleh hujan.
Artinya ia harus kokoh dengan argumen-argumen rasional dan filosofikal, dalam berjajal
dengan agama-agama lainnya. Islam menantang setiap agama-agama untuk
menyodorkan argumen dengan nada “Qul
Haatu Burhanakum inkuntum Shadiqin.” Sodorkan
argumenmu sekiranya engkau merupakan orang yang benar.” Demikian juga termasuk kepada pemeluk agama Islam sendiri,
karena titah Ilahi ini bersifat umum, diseru kepada siapa saja karena keyakinan
bukan warisan dari leluhur dimana hal ini sangat dicela oleh kitab suci agama
Islam. Keyakinan harus Anda rengkuh sendiri dengan argumen sederhana sekalipun.
Sebagaimana seorang renta pemintal benang ditanya oleh Nabi Agung Saw bagaimana
engkau mengenal Tuhan, sang renta menjawab bahwa benang yang aku pintal ini
menunjukkan aku sebagai pemintalnya dimana tidak mungkin ia ada dan tertata
rapi tanpa aku yang mengadakan dan merapikannya apatah lagi semesta raya yang
serba canggih ini tentu menunjukkan kepada sosok yang menciptakannya dan kita
sebut sosok itu sebagai Tuhan Sang Pencipta. Di samping ajakan untuk berdialog ini, Islam juga
mengajarkan tata cara dan etika berdialog, dimana dawuh Ilahi menegaskan “Jadilhum billati Hiya Ahsan” Berdialog dan berdialektikalah
kalian dengan mereka (siapapun) dengan cara yang lebih baik. Pembaca yang budiman, kolom diberi judul Teologi Komparatif
yang stressing lebih pada poin-poin ajaran penting dari setiap agama, ajaran
dan isme dan perbandingannya dengan Islam atau mazhab pilihan. Perbandingan ini
tentu saja meniscayakan telaah dan kajian dari obyek yang dikaji. Pada
kesempatan ini, kita akan melakukan komparasi antara teologi mazhab yang ada
dalam Islam, dimana tiga pokok keyakinan yang menjadi obyek komparasi,
Determinisme-Kebebasan Mutlak-In Between, Teori Kasb dan Tauhid dalam
Penciptaan Asy’ariah, Mu’tazilah dalam sorotan teologi Imamiyah. Dimana dalam
tulisan ringan ini, penulis juga berusaha menjelaskan (tabyin) dua pokok
pemikiran Asy’ariah terkait dengan kebebasan manusia dan determinisme yang
bertautan erat dengan masalah hukum kausalitas sekaligus melakukan perbandingan
dua pokok pemikiran Asy’ariah secara global dengan mazhab Imamiyah. Tulisan
ringan ini sengaja diturunkan buah dari “dialog intrafaith” dengan salah
seorang pengguna budiman site ini namun di samping menjelaskan, karena pengguna
yang dimaksud belum mengelaborasi dua pokok pemikiran yang dibelanya ini, dan
menanggapi pandangan pengguna tersebut, tulisan ini juga bersifat impersonal
artinya dialamatkan kepada siapa saja yang berselera mengetahui konsep-konsep
pemikiran Asy’ariah, minimal ihwal konsep determinisme dan dua konsep yang
dimaksud. Adapun ayat yang disebutkan pada tanggapan bag. Pertama tidak lebih
dari sekedar menukil dan membacakan ayat bagi penulis yang kemudian tetap
disebut sebagai klaim oleh penulis. Pembuktian yang dimaksud tidak disertai
dengan argumen-argumen logis dan filosofis yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya. Seperti penukilan bahwa Tuhan itu pencipta segala sesuatu, bahwa
dengan izin Tuhan segala sesuatu berlaku, dan semisalnya tanpa mengelaborasi
bahwa yang dimaksud pencipta dan penciptaan di sini apa? Dengan izin Tuhan
segala sesuatu itu berlaku, maksudnya apa? Etc. Namun penulis berharap
penanggap dapat menyediakan hal tersebut supaya melepaskan diri Anda dari
tudingan klaim, menukil dan sekedar membacakan ayat sahaja. Ala Kulli Hall… Masalah Kebebasan Mutlak,
Determinisme dan In Between
Kalau tidak salah, beberapa postingan telah lewat ihwal
Kebebasan dan Determinisme ini. Namun di sini dengan corak dan warna yang
berbeda, kepada pembaca disuguhkan pandangan-pandangan Asy’ariyah dan
Mu’tazilah yang digagas oleh para pembesar mereka dengan sandaran kitab-kitab
induk teologinya, sekaligus kritikan dari Imamiyah. Diriwayatkan bahwa Ghilan
ad-Dimisyqi, yang
berpendirian bahwa manusia memiliki ikhtiar(kebebasan
memilih), berkata pada Rabi’ah
ar-Ra’i, ilmuwan yang
beraliran Jabariyah (determinisme): “Andakah yang
menyatakan bahwa Allah menghendaki agar Ia dimaksiati?” Rabi’ah segera menjawab: “Andakah yang
menyatakan bahwa Allah dimaksiati secara paksa?” Demikian juga pada suatu hari
terjadi baku gea (dialektika), antara Abu
Ishaq al-Farayini, pendukung
aliran jabariyah (determinisme), yang duduk dalam
majlis Shahib bin Abbad, dan al-Qadhi Abdul-Jabbar yang datang ke tempat itu, seorang
tokoh Mu’tazilah yang mengingkari pengaruh takdir umum, berlawanan dengan
pendapat Abu Ishaq. Ketika al-Qadhi melihat Abu Ishaq, segera ia berkata: “Subhana man Tanazzaha anil Fahsya(Mahasuci
Allah yang terjauhkan dari perbuatan keji!” Ucapannya ini ditujukan sebagai
sindiran kepadaAbu Ishaq yang
menisbahkan segala sesuatu kepada Allah, dan dengan demikian seakan-akan
berpendapat bahwa Allah juga terkena sifat perbuatan-perbuatan keji yang
dilakukan oleh manusia). Mendengar itu, Abu Ishaq segera menukas: “Subhana man laa yajri fii mulkihi
illa ma syaa.” (Mahasuci Dia
yang tak suatupun berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang
dikehendaki-Nya!”) Jawaban ini menyindir al-Qadhi
Abdul Jabbar bahwa
seakan-akan ia menyatakan tentang adanya sekutu bagi Allah dalam wujud ini
dengan membayangkan kemungkinan terjadinya sesuatu dalam wujud ini yang tidak
dikehendaki oleh Allah swt, yakni perbuatan keji dan sebagainya.Apakah Tuhan
menghendaki para hamba-Nya bermaksiat? Apakah para hamba lebih unggul dari
Tuhan dan melakukan maksiat? Katakan kepadaku apakah jika Tuhan menahan hidayah
dariku dan memutuskan aku terpuruk dalam jurang kebinasaan, apakah Dia
melakukan kebaikan atau keburukan bagiku?[1] Baku gea (dialektika) ini merupakan singgungan salah satu
masalah yang terpenting dalam pembahasan teologi yang senantiasa menyita
perhatian seluruh manusia khususnya kaum agamawan. Apakah manusia memiliki
kebebasan dan kemerdekaan dalam perbuatannya? Apakah kehendak dan kemauan
manusia tidak dikalahkan oleh kehendak dan kemauan Tuhan? Apakah kehendak Tuhan
termasuk seluruh perisitiwa dan perbuatan dan tiada satu pun dari peristiwa dan
perbuatan ini keluar dari kehendak Tuhan?Apabila kehendak Tuhan bersifat umum,
lantas bagaimana menjelaskan kebebasan manusia? Qadhi ‘Abdul Jabbar Mu’tazili meyakini kebebasan mutlak manusia
dan memandang bahwa seluruh perbuatan mandiri dan bebas manusia berada di luar
kekuasaan Tuhan. Sebagai kebalikannya, Abu Ishaq
al-Farayini meyakini bahwa
kehendak umum dan tanpa kecuali Tuhan, qadha dan qadar(dengan penafsiran
deterministiknya) dengan redaksi “Subhana
man laa yajri fii mulkihi illa ma syaa.”(Mahasuci Dia yang tak suatupun
berlangsung di dalam kerajaan-Nya kecuali yang dikehendaki-Nya!”) merupakan
sindiran yang ditujukan kepada Qadhi
Abdul Jabbar yang beranggapan
bahwa segala sesuatu berada di luar kekuasaan Tuhan. Dan tukasan dan isykalan Qadhi terhadap Abu Ishaq adalah bahwa apabila kehendak dan
kemauan Tuhan kita pandang sebagai kehendak umum dan tiada satu pun perbuatan
yang keluar dari ranah perbuatan Tuhan, dimana konsekuensi dari cara
berkeyakinan seperti ini adalah keniscayaan penyandaran seluruh perbuatan buruk
dan tercela kepada Tuhan. Masalah determinasi dan kebebasan manusia semenjak dahulu
kala merupakan masalah yang penting dalam bidang teologi. Determinisme adalah
bahwa manusia dalam seluruh perbuatannya ia tidak memiliki kehendak dan
kebebasan. Seluruh perbuatan manusia kesemuanyam terlaksana berkat kehendak dan
kekuasaan Tuhan dimana kebebasan merupakan poin yang berseberangan secara
interminis dengan pandangan ini. Seperti pada ayat “Orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan akan mengatakan, “Jika Allah menghendaki, niscaya kami
dan nenek moyang kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami
mengharamkan barang suatu apa pun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum
mereka telah mendustakan(para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah,
“Adakah kamu mempunyai suatu pengetahuan (dan dalil untuk masalah ini)?
Kemukakanlah Kami. Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu
hanyalah mengira-ngira.” (Qs. Al-An’am [6]:148) Dimana keyakinan deterministik
tersebar di kalangan kaum Musyrikin yang menjadikan ayat ini sebagai pembenaran
atas perbuatan-perbuatan tercela mereka. Dan juga patut disayangkan bahwa
pemikiran semacam ini juga tersebar di kalangan kaum Muslimin dikarenakan
beragam dalil di antara adalah alasan politis, sebagaiman yang disinggung pada
postingan Mizan Keadilan Tuhan [3], sehingga menyebabkan mereka tercengkram
paham jabariyah (deterministik). Determinisme Mutlak
Kini tiba saatnya menjelaskan paham jabariyah menurut kitab-kitab mereka. Pandangan
determinisme mutlak ini disandarkan kepada Jahim bin Shafwan founding father
firqah Jahimiyyah. Firqah ini adalah firqah yang pertama kali memperkenalkan
ajaran determinisme mutlak. Menurut pandangan Jahimiyyah manusia sama sekali
tidak memiliki kekuasaan dan dalam perbuatannya ia terpaksa (majbur) dan hampa
kebebasan dan kehendak. Seluruh perbuatan manusia sebagaimana pengaruh-pengaruh
tumbuh-tumbuhan merupakan makhluk Tuhan dan manusia sama sekali tidak memiliki
peran dalam mewujudkan pengaruh-pengaruh tersebut. Adapun penyandaran perbuatan
itu kepada manusia merupakan penyandaran figuratif (majazi) bukan hakiki.[2] Ucapan berikut ini adalah ucapan puak Jahimiyyah bahwa
“Tiada satu pun perbuatan bagi setiap orang selain Allah dan
perbuatan-perbuatan penyandarannya kepada makhluk hanya bersifat majazi.”[3] Kasb (Perolehan)
Konsep determinisme mutlak tidak mendapatkan banyak
pengikut. Banyak kelemahan dan borok dalam konsep ini dapat dijumpai dan
pertentangannya dengan ayat-ayat lahir Qur’an. Sebagian berusaha, sembari
bersikukuh dengan kekuasaan mutlak dan kehendak azali Tuhan, menjauh dari
konsep determinisme mutlak ini. Sedemikian sehingga tetap ingin membuktikan
pengaruh dan peran manusia dalam perbuatan dan pekerjaannya. Untuk menelurkan
pandangan eskapis ini, teori perolehan (kasb) ini mengemuka. Mazhab teologi
yang paling popular mengikuti, menyokong dan membela teori kasb ini adalah
mazhab Asy’ariah, meski sebelum Asy’ariah tersebut mazhab Najjariyah (pengikut
Husain bin Muhammad bin Abdullah an-Najjar(330 H) dan juga Dharuriyah (pengikut
Dharar bin Amr) yang menyokong teori kasb ini. Dasar teori ini adalah bahwa Tuhan merupakan pencipta segala
perbuatan dan manusia hanya merupakan yang mewadahi dan memperoleah
perbuatan-perbuatan tersebut. Dan mizan ketaatan dan maksiat juga bersandar
kepada teori kasb (perolehan) ini, bukan penciptaan. Sejatinya, setiap perbuatan
yang dilakukan manusia memiliki dua sisi: 1. Penciptaan yang
bersumber dari Tuhan dan disandarkan kepada-Nya. 2. Perolehan (kasb) dari
sisi manusia dan dinisbahkan kepadanya. Dalam menjelaskan secara utuh teori perolehan atau wadah
ini, terdapat banyak penafsiran dimana di sini kita akan menyebutkan sebagian
dari penafsiran tersebut kemudian melakukan kajian kritis atas setiap
penafsiran tersebut. 1. Asy’ari[4] menyatakan bahwa hakikat kasb adalah
mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukan dengan kekuasaan hadis (yang
dihasilkan) manusia yang merupakan pelaku dari perbuatan tersebut. Berdasarkan
definisi ini dapat disimpulkan bahwa perolehan pengaruh kekuasaan (kekuatan)
yang bersumber dari manusia dalam mewujudkan sebuah perbuatan. 2. Fadhil Qausyaji berkata
bahwa “kasb adalah simultannya perbuatan manusia dengan kekuasaan dan kehendak
manusia; artinya Tuhan secara bersamaan dan simultan dengan kekuasaan dan kekuatan
manusia mengadakan sebuah perbuatan, tanpa adanya pengaruh atau interfensi
kekuasaan manusia dalam mengadakan perbuatan tersebut.”[5] 3. Qadhi Baqilani (wafat
403 H) berkata: “Setiap perbuatan terdiri dari dua sisi: 1. Wujudnya perbuatan.
2. Julukan atau titel perbuatan yang merupakan turunan atas perbuatan tersebut
dan kekuasaan manusia tidak memiliki kelayakan pengaruh pada wujud dan
terolahnya perbuatan, melainkan hanya memiliki pengaruh pada julukan perbuatan.
Atas alasan ini pengaruh pada julukan yang memiliki kelayakan untuk mendapatkan
ganjaran atau hajaran. Sejatinya, wujudnya perbuatan makhluk Tuhan dan julukan
perbuatan misalnya, julukan atau titel menunaikan shalat, berdusta, dan
sebagainya merupakan perolehan manusia dan disandarkan kepada manusia. Baqilani
dalam menjelaskan definisi yang diutarakan berkata: “Setiap orang orang
menemukan perbedaan nyata di antara dua jumlah kalimat: A. mengadakan, kalimat
seperti shalat (shalli), mengerjakan puasa (shama), dan berdiri (qama). Yang
layak disandarkan kepada Tuhan kalimat-kalimat dan karakteristik bagian pertama
dan julukan-julukan bagian kedua tidak patut disandarkan kepada Tuhan,
melainkan disandarkan kepada manusia.”[6] 4. Taftazani menulis:
“Kasb, penyandaran kekuasaan dan kehendak dari sisi manusia dan terciptanya
perbuatan setelah itu dari sisi Tuhan, penciptaanya. Di sini maqdur (yang dikuasai)
yang tunggal berada di bawah dua kekuasaan, akan tetapi dengan dua sisi yang
berbeda. Dengan demikian, perbuatan dari sisi penciptaan yang dikuasai (maqdur)
berasal dari Tuhan dan dari sisi wadah yang dikuasai berasal dari hamba
(manusia).”[7] Pada kesempatan ini, tentu tidak memungkinkan bagi kita
untuk membahas dan mengkritisinya secara detil dan jeluk seluruh redaksi para
pembesar Asy’ariah tentang teori wadah atau perolehan ini. Kita hanya akan
menyinggung beberapa poin yang layak untuk dipertimbangkan. Mengkaji Penafsiran Kasb
Masing-masing dari penafsiran kasb yang disampaikan di atas
memiliki cela dan borok dimana di sini kita akan menyinggung sebagian darinya.
Sebagaimana yang telah disinggung pada postingan Mizan Keadilan Tuhan [3],
bahwa memahami teori kasb ini sama peliknya dengan memahami konsep trinitas
dalam tradisi agama Kristen. Namun berdasarkan dari definisi yang disebutkan di
atas mari kita lihat betapa rancunnya teori kasb ini. Dalam mengkritisi penafsiran pertama, kita boleh bertanya
apa peran kekuasaan yang dihasilkan manusia? Apabila penciptaan dan pengadaan
perbuatan dalam artian yang sebenarnya kembali kepada Tuhan dan penyandaran
kepada selain Tuhan adalah tidak benar, maka bagaimana kekuasaan yang
dihasilkan manusia dapat berpengaruh? Apabila kekuasaan manusia memiliki
pengaruh maka hal ini meniscayakan perbuatan itu juga merupakan ciptaan
manusia. Dengan kata lain, apabila kekuasaan manusia disejajarkan secara
vertical dengan kekuasaan Tuhan, maka ucapan puak-puak Asy’ariah meniscayakan
bergabungnya dua kekuasaan atas sesuatu atau satu perbuatan (maqdur, yang
dikuasai) dimana hal ini merupakan perkara yang absurd dan perbedaan sisi atau
dimensinya tidak memiliki pengaruh dalam hal ini. Dan apabila dipandang
kekuasaan manusia berada secara vertikal, top-down dengan kekuasaan Tuhan maka
hal itu memestikan secara hakiki bahwa manusia juga memiliki kekuasaan dalam
mengadakan sebuah perbuatan dan inilah konsep kebebasan (ikhtiar) dimana hal
ini ditolak dan diingkari oleh puak-puak Asy’ariah. Dalam mengkritisi penafsiran kedua dapat dikatakan bahwa,
berdasarkan penafsiran ini, peran manusia hanya bersamaan dan simultan kehendak
dan kekuasaanya dengan pengadaan perbuatan. Dan simultannya kehendak dan
kekuasaan manusia dengan terwujudnya sebuah perbuatan yang merupakan makhluk
Tuhan, tidak dapat menjadi pembenaran atas penyandaran perbuatan manusia,
ganjaran (tsawab) dan hajaran (’iqab). Apabila puak-puak Asy’ariah menerima
bahwa kehendak dan kekuasaan manusia dalam proses ini, kehendak dan kekuasaan
sejatinya, maka dalam hal ini mereka harus mengakui bahwa manusia secara hakiki
berada dalam silsilah sebab-sebab (‘ilal) terwujudnya perbuatan. Dan perbuatan
tidak melulu merupakan makhluk Tuhan dan namun sayang seribu sayang, puak
Asy’ariah tidak menerima keniscayaan ini. Namun apabila kehendak dan kekuasaan
manusia ini tidak dipandang sebagai sesuatu yang real oleh puak Asy’ariah, maka
mereka harus menerima figuratifnya kehendak dan kekuasaan manusia dan memandang
ada dan tiadanya kehendak dan perbuatan manusia itu harus dipandang sama dan
sebagai konsekuensinya bermuara pada determinisme mutlak. Kini mari kita beralih ke penafsiran ketiga. Isykalan yang
patut diacungkan kepada Qadhi Baqilani dan orang-orang yang sepaham dengannya
adalah apabila titel-titel yang mengikut pada perbuatan-perbuatan haruslah
perkara eksistensial, dalam hal ini (berdasarkan pandangan Asy’ariah dalam
masalah tauhid dalam penciptaan) titel-titel ini merupakan makhluk-makhluk
Tuhan dan manusia secara asasi tidak memiliki peran dalam terwujudnya sebuah
perbuatan, namun apabila titel-titel ini merupakan perkara-perkara mental
(dzihni), yang memang demikian adanya, maka teori kasb ini juga akan kosong
dari segala realitas dan semata-mata merupakan perkara wahmi (delusif) dan
non-real yang dikembangkan dan disebarkan oleh puak-puak Asy’ariah. Adapun kritik atas penafsiran keempat juga seperti
isykalan-isykalan di atas. Sejatinya menyandarkan kehendak dan kekuasaan, dalam
pengadaan perbuatan pengaruh dan interfensi real atau tidak real meniscayakan
sesuatu yang telah dijelaskan pada kritikan atas penafsiran pertama dan kedua,
juga dapat diacungkan kepada penafsiran keempat ini. Dengan memperhatikan poin-poin di atas akan menjadi jelas
bahwa pertentangan teori kasb dengan akal sehat atau tidak kompatibelnya teori
kasb dengan akal sehat. Masalah ini terkadang secara selintasan diakui oleh
pembesar Asy’ariah; misalnya Taftazani dengan redaksi di bawah ini mengakui
kekurangan dalam menjelaskan dan memahamkan teori kasb ini. Ia berkata “Makna
yang kami berikan atas teori kasb (di atas) sekedar yang penting saja, kendati
kami tidak mampu meringkas redaksi dari hakikat bahwa perbuatan-perbuatan
manusia yang memiliki kekuasaan, kehendak dan kebebasan yang ia miliki
merupakan makhluk Tuhan.”[8] Pelbagai isykalan yang tergeletak pada teori kasb ini telah
menyebabkan sebagian ulama besar Asy’ariah mengingkari dan menafikan teori ini;
misalnya Imam al-Haramain Abu al-Mu’ali Juwaini yang menegaskan adanya pengaruh
real kekuasaan manusia dalam perbuatan dan keberadaan selaksa kausalitas di
alam semesta, sebagaimana Imamiyah. Dan menafikan kekuasaan dan peran mandiri
manusia dalam perbuatannya adalah bertentangan dengan akal sehat dan perasaan.[9] Syaikh Sya’rani (w 973) juga senada
dengan Juwaini menerima pandangan ini.[10] Demikian juga, tokoh seperti Muhammad
Abduh (w 1323) yang menolak teori kasb ini dan mengakui pengaruh, peran dan
kekuasaan real manusia dalam penciptaan perbuatan. Ahmad Amin memandang teori
kasb ini sebagai istilah dan bentuk baru dari determinisme (mutlak).[11] Tafwidh
Mu’tazilah bertolak belakang sine qua non dengan Asy’ariah
yang memilih konsep tafwidh (pendelegasian). Berdasarkan pandangan ini Tuhan
menciptakan manusia dan menganugerahkan kekuasaan dan kebebasan untuk
mengerjakan segala perbuatan. Tuhan dalam hal ini telah mendelegasikan
(tafwidh) kekuasaan dan kebebasan kepada manusia. Dengan kata lain, Tuhan
menciptakan segala sesuatu dan keberpengaruhan didelegasikan kepadanya dan
dengan demikian, Tuhan tidak memiliki peran pengaruh sama sekali dalam hukum
kausalitas.[12] Berdasarkan pandangan ini seluruh manusia dalam mengerjakan
perbuatannya merdeka dan manusia sebagai satu-satunya sebab dari seluruh
perbuatannya. Konsekuensinya adalah Tuhan sama sekali tidak ada campur tangan
dalam pengadaan perbuatan manusia.Tuhan menghendaki bahwa seluruh manusia
beriman kepada kebebasan yang dimilikinya. Demikian juga memerintahkan manusia
untuk mengerjakan kebaikan dan menjauh dari perbuatan buruk. Manusia juga
dengan kebebasan yang ia miliki mengerjakan perbuatan baik dan menjauh dari
perbuatan buruk. Dengan penjelasan ini pertama Tuhan terbebas dari
perbuatan-perbuatan buruk; kedua, fungsi taklif, janji dan ancaman, ganjaran
dan hajaran manusia tetap terpelihara. Mu’tazilah dalam membela pemikiran dan keyakinannya
mengemukakan pelbagai argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli).
Sebagaimana Jurjani menulis, argumen rasional Mu’tazilah berpijak pada landasan
bahwa apabila manusia dalam mengerjakan seluruh perbuatannya tidak merdeka dan
bebas, maka taklif akan rontok dan gugur. Demikian juga mengajarkan adab kepada
manusia yang menjadi tujuan penciptannya akan runtuh; karena manusia apabila ia
tidak merdeka dan bebas, secara asasi perbuatannya tidak akan dapat disandarkan
kepadanya. Dan pengutusan para nabi akan sia-sia. Karena asumsinya adalah
manusia bukan pelaku atas setiap perbuatannya dan dengan demikian ia tidak
layak untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran. Demikian juga penyandaran seluruh
perbuatan buruk kepada Tuhan. Mu’tazilah, di samping argumen rasional, juga berpijak pada
dalil-dalil referensial (naqli) misalnya, “ Maka kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri..” (Qs.
Al-Baqarah [2]:79), “ Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan
rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu..” (Qs. At-Taubah
[9]:105), “ Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (Qs. Ar-Ra’ad
[13]:11) Argumen-argumen rasional dan referensial Mu’tazilah mendapatkan
kritikan tajam dari puak teolog Asy’ariah.[13] Pada kesempatan lain kita akan
membahas ayat-ayat yang dijadikan sandaran referensial. Namun sandaran
rasionalnya patut mendapatkan perhatian sebagaimana poin di bawah ini: A.Keniscayaan keyakinan tafwidh adalah manusia berada pada
tataran kepelakuan mutlak dan sama sekali tidak memiliki hajat kepada Tuhan
dimana hal ini tidak selaras dengan tauhid perbuatan; karena menjadi penyebab
pembuktian dualisme dan sesuai redaksi Mulla Shadra membuktikan mitra dan
sekutu yang tak berbilang bagi Tuhan. Mulla Shadra berkata bahwa keyakinan
tafwidh lebih buruk dari keyakinan bahwa berhala-berhala mampu memberikan
syafaat.[14] B.Manusia dan segala perbuatan, segala fenomena dan dimensi
yang berasal darinya merupakan bagian dari mumkinul wujud, dan perkara mumkinul
wujud untuk mewujudkan dirinya ia berhajat kepada wajibul wujud. Apabila
seluruh perbuatan manusia (mumkinul wujud) – kendati melalui pelaku merdeka –
tidak bersandar kepada Tuhan (wajibul wujud), sekali-kali perbuatan ini tidak
akan pernah terwujud. Maka tiada jalan lain selain menyandarkan perbautan
manusia kepada Tuhan (wajibul wujud). Penyandaran ini sebagaimana yang akan
dijelaskan ke depan adalah penyandaran vertical dan tidak berujung kepada
determinisme. C.Penyandaran perbuatan buruk kepada Tuhan dapat terjadi
apabila seluruh perbuatan buruk itu kita sandarkan kepada Tuhan tanpa media,
akan tetapi dengan perantara manusia merdeka sekali-kali perbuatan buruk
tersebut tidak dapat disandarkan kepada manusia. Pada hakikatnya, Tuhan
menghendaki manusia melakukan perbuatan baik sesuai dengan kebebasan yang ia
miliki dan melarangnya untuk tidak melakukan perbuatan buruk sesuai dengan
kebebasan yang ia miliki. Kebebasan
Kini mari kita telisik pandangan yang tidak menafikan
kebebasan juga tidak memutlakkan kebebasan. Dengan mengadopsi posisi in between
ini tauhid perbuatan dan keadilan Ilah dapat tetap terjaga sekaligus kebebasan
manusia serta menghindar dari keniscayaan invalidnya seperti invaliditas
pengutusan para nabi, penetapan taklif (dalam pandangan Asy’ariah) dan syirik
dan dualism (dalam pandangan Mu’tazilah). Para teolog Imamiyah dengan inspirasi dari ajaran Ahlulbait
As memilih konsep al-amr baina amrain. Sebuah konsep dimana untuk memahaminya
secara jeluk harus dikuliti dalam sebagian pembahasan pelik filsafat, namun
kandungan dari konsep tersebut dapat dijelaskan secara sederhana bahwa
perbuatan-perbuatan manusia secara hakiki dapat dinisbatkan kepada manusia
sekaligus kepada Tuhan. Perbuatan-perbuatan manusia dapat disandarkan kepada
manusia karena berdasarkan kekuasaan dan kehendak perbuatan itu terjewantahkan.
Dan sekaligus dapat disandarkan kepada Tuhan lantaran seluruh eksistensi dan
pengaruh manusia – sebagai akibat Tuhan- bergantung kepada Tuhan dan bersumber
darinya. Pada hakikatnya, manusia sebagai penyebab dan pelaku dari perbuatannya
dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, secara hakiki, namun tidak
sejajar secara horizontal dengan kesebaban Tuhan, melainkan berdiri secara
vertikal, top-down dan bergradasi. Untuk menjelaskan perbedaan pandangan tiga
mazhab teologi terbesar dalam Islam ini, ada baiknya kita memperhatikan contoh
yang baik yang diutarakan oleh salah seorang teolog dan juris Imamiyah,
Ayatullah Khui Ra: Anggaplah seseorang lantaran penyakit syaraf tangannya
senantiasa bergetar sedemikian sehingga ia tidak memiliki kendali atas
tangannya sendiri. Dan apabila sebilah pedang diletakkan di tangannya kapan
saja pedang tersebut bisa jatuh dan melukai orang di sekitarnya. Kini apabila
seseorang dengan pengetahuan dan kesadaran terhadap realitas ini, diletakkan
sebilah pedang di tangannya dan pedang tersebut terjatuh sehingga merebut nyawa
seseorang lainnya, dalam kasus ini yang bertanggung jawab adalah orang tersebut
karena pedang tersebut berada di tangannya, bukan pada orang yang tidak
memiliki kontrol atas anggota badannya. Sekarang perkara ini kita ilustrasikan pada seseorang yang
sehat dan mampu mengendalikan seluruh anggota badannya. Apabila pedang ditaruh
di tangannya dan ia juga terjerembab dalam perbuatan membunuh, pembunuhan ini
disandarkan kepadanya bukan kepada orang yang diletakkan pedang di tangannya.
Dan terakhir, anggaplah seseorang yang tangannya tidak bergetar, melainkan
secara keseluruhan lumpuh dan tidak lagi bekerja secara aktif. Namun alat
elektronik diberikan kepadanya dan ia dapat apabila alat tersebut menyala, maka
ia dapat menggerakkan tangannya ke kiri dan ke kanan. Anggaplah tombol untuk
memfungsikan alat tersebut berada di tangan orang lain sedemikian sehingga
sepanjang orang tersebut tidak menekan ON pada tombol tersebut, maka alat itu
tidak akan beroperasi. Apabila seseorang yang memegang remote control
mengoperasikan alat elektronik itu dan orang yang lumpuh seluruh anggota badanya
melakukan perbuatan membunuh maka dalam hal ini perbuatan itu disandarkan
kepada keduanya; lantaran ia sendiri memilih untuk menggunakan alat tersebut
dan dengan kebebasan yang ia miliki ia melakukan tindakan pembunuhan ini. Dari
sisi lain, disandarkan kepada orang yang memegang remote kontrol karena ia
telah mengoperasikan seseorang yang lumpuh kekuataannya dan ia dapat kapan saja
mematikan alat tersebut dan mencegah orang lumpuh itu dari perbuatannya. Dengan memperhatikan tiga contoh kasus di atas menjadi jelas
bahwa puak determinisme dan juga Asy’ariahyah – yang mengusung teologi
determinisme – hubungan manusia dengan perbuatannya seperti contoh kasus
pertama dan Mu’tazilah pada contoh kasus kedua. Adapun Imamiyah dapat ditinjau
pada contoh kasus ketiga. Pandangan ini mungkin dapat dijelaskan dalam frame
sistem filsafat Hikmah Muta’aliyah dengan tiga kaidah utama seperti berikut
ini: a.Wujud yang memiliki kehakikian (asil) bukan mahiyyat
(kuiditas). Pada hakikatnya, yang diciptakan secara esensial dan hakiki adalah
wujud. Dan tiada sesuatu yang lain kecuali pemahaman yang menjadi penjelas
batasan-batasan seluruh wujud mumkin. b.Wujud segala mumkinul wujud (seluruh makhluk di alam
semesta) adalah ain rabt (murni hubungan) dan faqir mutlak; artinya seluruh
makhluk tidak lain bersandar, bergantung dan berhubungan dengan wajibul wujud.
Dan berangkat dari hal ini, ia tidak memiliki kemandirian dalam keberadaanya
dan keberadaan seluruh makhluk itu tidak dapat digambarkan tanpa adanya
ketergantungan kepada wajibul wujud. c.Penciptaan atau pengadaan merupakan cabang dari wujud.
Sebagaimana esensi dan keberadaan mumkinul wujud (seluruh makhluk) adalah ain
rabt dan bergantung sepenuhnya kepada wajibul wujud, pengaruh dan perbuatan
seluruh makhluk tersebut demikian adanya; karena sebuah fenomena sebagaimana ia
maujud juga merupakan sumber pengaruh. Dengan demikian, apabila mereka mandiri
dalam dzatnya, maka dalam kepelakuan juga akan memiliki kemandirian. Dan
apabila pada dzatnya seluruh makhluk merupakan ain rabt (murni hubungan) dan
bergantung, maka dalam kepelakuannya juga demikian adanya. Oleh karena itu,
asumsi kemandirian sebuah fenomena dalam arsy perbuatan dan asumsi hubungan dan
kebergantungannya pada tataran dzat merupakan dua asumsi yang kontradiktif dan
tidak masuk akal. Dari ketiga kaidah ini dapat disimpulkan bahwa perbuatan
manusia disandarkan kepada manusia pada saat yang sama disandarkan kepada
Tuhan; karena perbuatan-perbuatan manusia merupakan turunan dari keberadaanya
dan tanpa syak bahwa keberadaannya di samping ia merupakan wujudnya sendiri,
merupakan ain rabt dan bersandar kepada Tuhan. Berdasarkan hal ini, manusia adalah ain rabt dan bergantung
kepada Tuhan dan pada setiap detiknya memerlukan emanasi energi, kekuatan dan
kehidupan darinya. Dengan demikian manusia pada detik ia mengerjakan sebuah
perbuatan, dengan energi dan kehidupan ia melakukan perbuatan yang bersumber
dari emanasi energi dan emanasi kehidupan dari Tuhan. Sejatinya perbuatan yang
dilakukan manusia memiliki dua sandaran hakiki; Pertama, bersandar kepada
manusia; karena bersumber dari dirinya sendiri dan berdasarkan kebebasan dan
kekuasaan yang ia miliki; Kedua, bersandar kepada Tuhan; karena Tuhan pada
setiap detiknya, bahkan detik ketika perbuatan itu dilakukan Dia menganugerahkan
kehidupan dan kekuasaan kepada manusia. Dari sini perbuatan manusia merupakan
perbuatannya sendiri pada saat yang sama juga merupakan perbuatan Tuhan.
Berdasarkan pendekatan ini keberadaan manusia tidak lain kecuali hubungan
mutlak kepada Tuhan.[15]Secara
asasi di seantero semesta dari dimensi bahwa mereka bergantung dan berhubungan
mutlak, mereka merupakan manifestasi kekuasaan dan kehendak, ilmu Tuhan dan
inilah maksud al-amru baina amrain, manzilah baina manzilatain yang termaktub
dalam riwayat.[16] Tauhid dalam Penciptaan
Kendati masalah ini telah dibahas pada postingan sebelumnya,
namun nampaknya kini pembahasan tersebut harus dikuliti lagi di sini sembari
menyebutkan beberapa penafsiran dari tiga mazhab besar teologi dalam Islam. Tauhid dalam penciptaan merupakan ajaran yang mendapat
penegasan al-Qur’an dan Sunnah. Tauhid dalam penciptaan ini disepakati oleh
seluruh firqah dan mazhab teologi dalam Islam; akan tetapi yang menjadi titik
perbedaan, bagaimana menafsirkan dan menginferensi ajaran ini. Secara umum
terdapat tiga penafsiran penting berkenaan dengan masalah ini. Penafsiran
Asy’ariah, Mu’tazilah dan Imamiyah. Telaah global dari penafsiran ini
menunjukkan bahwa penafsiran yang disuguhkan Asy’ariah merupakan penafsiran
yang berbau deterministic. Dan penafsiran Mu’tazilah menyangsikan keumuman
kekuasaan Ilahi dan tauhid dalam penciptaan. Penasiran Asy’ariah
Sebelumnya telah dikemukakan teori kasb yang diintrodusir
oleh puak-puak Asy’ariah dalam membela dan mempertahankan “kemurnian” tauhid
dalam penciptaan. Menurut Asy’ariah pengadaan dan penciptaan secara mutlak
terbatas kepada Tuhan dan dalam tataran wujud, tiada satu pun yang berpengaruh
dan berkreasi selain Tuhan. Segala sesuatu selain-Nya tidak memilik peran dan
pengaruh dalam penciptaan dan pengadaannya baik secara mutlak atau secara
ikutan. Asy’ariah berdasarkan pandangan ini telah mangkir dari hukum kausalitas
dan proses pengaruh-mempengaruhi (ta’tsir dan ta’atstsur) seluruh maujud dan
segala sesuatu di alam semesta. Menurut mereka pengaruh yang terlihat pada
setiap fenomena adalah bersumber dari Tuhan. Misalnya membakar bukan merupakan
pengaruh dan akibat dari api dan apabila dikatakan bahwa api itu membakar hal
ini hanyalah merupakan kebiasaan Tuhan yang berlaku dimana dengan adanya api
maka ia akan memunculkan panas dan membakar. Kalau bukan karena kebiasaan Tuhan
maka tidak aka nada hubungan antara panas dan api. Dengan demikian dalam
tataran eksistensi hanya terdapat satu yang berpengaruh dan satu sebab. Tuhan
tidak menunjukkan kekuasaannya melalui pengadaan mekanisme kausalitas, namun
Dia menjadi pengganti seluruh sebab dan musabab. Asy’ariah memandang perkara
ini berlaku pada segala hal. Dan berdasarkan pandangan ini mereka mengambil
kesimpulan bahwa seluruh perbuatan manusia juga, secara langsung merupakan
perbuatan Tuhan dan manusia semata-mata memperoleh (kasb) atau menjadi wadah atas
perbuatan ini. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas teori kasb ini
meniscayakan tiadanya peran dan campur tangan hakiki manusia pada seluruh
perbuatannya. Padahal, mangkir dari hukum kausalitas dan peran pengaruh
manusia dan fenomena semesta pada penciptaan pada beragam masalah bertolak
belakang dengan nurani, akal sehat dan penemuan syuhudi manusia; Mengapa?
Karena: 1. Dalam banyak perkara
kita menemukan diri kita sebagai yang berpengaruh misalnya pelaku dan pengada
segala konsepsi dan pemikiran mental (dzihni) kita adalah diri kita sendiri.
Jelas bahwa bukti nurani merupakan sebaik-baik dalil dalam membuktikan hukum
kausalitas. 2. Ketika seseorang yang
tidak beriman kepada Tuhan hendak (iradah) menciptakan menara Monas dalam
benaknya, ia dapat dengan mudah mengerangka sekaligus menghancurkannya dalam
benaknya, mengusungnya dan menempatkannya di mana saja di belantara dunia dalam
benaknya dimana hal ini menunjukkan peran mandiri pelaku orang tersebut dan
wujud mental yang diciptakan tersebut eksis karena diwujudkan oleh pelaku
tersebut dan hal ini membuktikan peran kekuasaan dan pengaruh pelaku manusia
dalam penciptaan. 3. Menerima konsep
kebebasan manusia dan hukum kausalitas, seperti klaim penanggap, namun
mengingkari peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap fenomena
meniscayakan kontradiksi. Menerima kebebasan manusia dan hukum kausalitas
meniscayakan peran kepelakuan, penciptaan, pengaruh manusia dan setiap
fenomena. 4. Apabila hukum kausalitas
dinafikan maka probabilitas untuk membuktikan wujud Tuhan menjadi tidak
tersedia. Karena salah satu argumen dalam membuktikan wujud Tuhan adalah
bersandar kepada hukum kausalitas. Karena Dialah Prima Causa (illatul ilal). 5. Penafian hukum
kausalitas – atau menafikan peran kepelakuan manusia dan sepenuhnya
menyandarkannnya kepada Tuhan meniscayakan gugurnya seluruh proposisi-proposisi
turunnya wahyu, pengutusan para nabi, adanya ganjaran (tsawab) dan hajaran
(iqab), karena semua perbuatan Tuhanlah yang melakukan. 6. Akal sehat tanpa
teks-teks agama sekalipun turut menyokong hukum kausalitas. Maksudnya Anda
Asy’ariahyyun tidak dapat meyakinkan kepada manusia yang tidak beragama dan
tidak meyakini adanya Tuhan bahwa penyebab segala sesuatu itu adalah Tuhan,
bersandarkan kepada kitab suci, bahwa Tuhan itu khaliq kullu syai, bagaimana
Anda Asy’ariahyyun menjawab mereka yang tidak beriman kepada Tuhan, dengan
al-Qur’an tentu meniscayakan circular reasoning (daur) dan tentu saja hal ini
absurd. Namun dengan common sense, tanpa bersandar kepada teks-teks agama dapat
membuktikan hal tersebut. 7. Teks-teks agama ternyata
terbukti menyokong hukum kausalitas ini. Sejatinya tauhid dalam penciptaan
merupakan ajaran yang bersumber dari agama. Berangkat dari sini, harus
diperhatikan bahwa apa sebenarnya pandangan al-Qur’an dalam masalah ini? Apakah
penafsiran Asy’ariah selaras dan senada dengan ayat-ayat al-Qur’an atau tidak?
Apakah benar-benar al-Qur’an menafikan hukum kausalitas? Dengan memperhatikan
dengan seksama ayat-ayat Qur’an maka akan menjadi jelas bahwa al-Qur’an
mengakui secara resmi hukum kausalitas dan peran kepelakuan fenomena. Dan dalam
banyak perkara hukum kausalitas disandarkan kepada perkara-perkara natural;
misalnya pada ayat “Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia
menumbuhkan dengan hujan itu segala jenis buah-buahan sebagai rezeki untukmu.
(Qs. Al-Baqarah [2]:22) Ba dalam redaksi bihi (dengan perantara) di sini
bermakna penyebab; artinya sebab tumbuhnya segala jenis tumbuh-tumbuhan adalah
air dan apabila tidak ada air maka tidak akan ada buah-buahan. Dan juga pada
ayat “Dan di atas bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan (tapi
berbeda-beda), dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman, dan pohon kurma yang
bercabang dan yang tidak bercabang, disirami dengan air yang sama… “ (Qs.
Ar-Ra’ad [13]:4) Redaksi “disirami dengan air yang sama” menujukkan peran
penciptaan air dan pengaruhnya dalam tumbuh dan berkembangnya pepohonan dan
tumbuh-tumbuhan. Di samping ayat-ayat yang telah disebutkan dengan beberapa
pendahuluan filsafat dan logika, pada postingan Lagi tentang Determinisme dan
Kebebasan Manusia, menegaskan penerimaan al-Qur’an terhadap hukum kausalitas.
Dan tentu saja tidak akan menjadikan Anda musyrik sebagaimana keyakinan
Asy’ariah yang telah dibuktikan absdurditasnya. Penafsiran Mu’tazilah
Mu’tazliah berkebalikan dari Asy’ariah menerima hukum
kausalitas dan pengaruh-mempengaruhi sebab di antara belantara akibat natural.
Akan tetapi seluruh perbuatan mandiri manusia disandarkan hanya kepada manusia.
Menurut mereka perbuatan-perbuatan manusia bukan merupakan makhluk Tuhan.
Berdasarkan hal ini Mu’tazilah acapkali disebut sebagai “Mufawwidha”; karena
mereka berkeyakinan bahwa setelah Tuhan menciptakan manusia, Tuhan mendelegasikan
(tafwidh) kebebasan kepada manusia dalam perbuatannya. Penafsiran ini kendati
memelihara peran kepelakuan sebab-sebab natural dan pelaku-pelaku insan, namun
kritikan fundamental yang patut diacungkan kepada Mu’tazilah adalah mereka
mengingkari tauhid dalam penciptaan; karena Tuhan tidak memiliki peran sama
sekali dalam perbuatan-perbuatan mandiri manusia. Di samping itu, pensyariatan
hukum-hukum, perintah dan larangan dari sisi Tuhan tidak lagi memiliki makna.
Demikian juga pendelegasian (tafwidh) ini hanya dapat digambarkan ketika Tuhan
tidak lagi dipandang sebagai penguasa mutlak dan kepenguasaan-Nya dinegasikan
dari yang dikuasai-Nya (ma yamluk). Nampaknya sumber kesalahan kedua penafsiran ini memandang
kepelakuan dan pengaruh sebab-sebab dan pelaku-pelaku natural berada sejajar
secara horizontal dengan kepelakuan Tuhan, padahal berdasarkan pada kaidah
tepat akal konsepsi semacam ini adalah konsepsi salah kaprah. Sebagaimana yang
akan disebutkan belakangan dengan penafsiran valid dan sahih, baik kepelakuan
Tuhan dan juga kepelakuan sebab-sebab yang lain dapat tetap terjaga. Penafsiran Imamiyah
Para teolog Imamiyah dengan ilham dan inspirasi dari ajaran
para maksum As memandang bahwa penafsiran Asy’ariah ihwal tauhid penciptaan
sebagai sikap ifrath dan Mu’tazilah sebagai tafrith (ekstrem). Imamiyah
menawarkan konsep in between (laa jabr wa la tafwidh,,wal amru baina amrain).
Menurut teolog Imamiyah dari tauhid penciptaan ini adalah bahwa tiada pencipta,
pelaku mandiri mutlak dan secara esensial (dzati) selain Tuhan, dari sisi lain
kepelakuan dan peran penciptaan pelaku-pelaku dan sebab-sebab natural dan
manusia juga tidak dapat diingkari. Kepelakuan yang lain seperti pelaku-pelaku
di antaranya manusia dalam hubungannya dengan perbuatan-perbuatannya, merupakan
kepelakuan hakiki dimana pada saat yang sama berada secara vertikal, top-down,
dengan kepelakuan Tuhan. Dengan memperhatikan ayat dan riwayat para maksum As
tauhid dalam penciptaan ini dapat dijelaskan sebagaimana di bawah ini: A. Sebagaiman yang telah lewat, dengan memperhatikan
ayat-ayat Qur’an akan menjadi jelas bahwa dalam banyak perkara pengaruh yang
disandarkan kepada sesuatu dan perkara-perkara natural; misalnya air yang
menjadi penyebab tumbuh-berkembangnnya tumbuh-tumbuhan, pepohonan dan madu
sebagai penyembuh (syifa). B. Al-Qur’an menisbatkan perbuatan-perbuatan kepada manusia
dan memandang pelakunya adalah manusia dimana penyandaran secara langsung tanpa
media (on the spot) kepada Tuhan adalah penisbatan salah kaprah, seperti berjalan,
minum, tidur, menunaikan shalat, etc. Perbuatan-perbuatan semacam ini bertautan
dengan manusia dan selainnya tiada pelaku lain. C. Tuhan menitahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan
mentaati-Nya serta melarang manusia mengerjakan perbuatan buruk dan tercela.
Masing-masing dari perbuatan baik ini diganjari dengan kenikmatan dan perbuatan
buruk dihajar dengan azab. Nah, apabila manusia tidak memiliki peran dalam
perbuatan-perbuatan baik dan buruk maka niscaya keseluruhan ganjaran dan
hajaran ini tidak akan memiliki makna. Sebagaimana tiga poin berikut ini di samping ayat seperti: قُلِ اللهُ خالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَ هُوَ الْواحِدُ الْقَهَّارُ “Katankanlah: “Allah adalah Pencipta segala
sesuatu dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Qs. Ar-Raad [13]:16) Yang menjelaskan universalitas dan keumuman kepelakuan Tuhan
pada segala sesuatu dan kita sampai pada kesimpulan bahwa sistem penciptaan dan
segala jenis ciptaan yang eksis di dalamnya memiliki andil dalam mewujudkan
peran pengaruhnya, akan tetapi peran pengaruh ini sesuai dengan izin dan taqdir
Ilahi: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَما تَعْمَلُونَ “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa
yang kamu perbuat itu.” (Qs. Shaffat [37]:96) الَّذي أَعْطى كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَهُ ثُمَّ هَدى “Yang telah memberikan kepada makhluk-Nya segala
sesuatu (yang mereka butuhkan), kemudian memberi petunjuk kepada mereka.” (Qs. Thaha [20]:50) الَّذي قَدَّرَ فَهَدى “Yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk.” (Qs. A’la [87]:3) Dan terakhir وَ ما رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَ لكِنَّ اللهَ رَمى “Bukan kamu (hai Muhammad) yang melempar ketika
kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar.” (Qs. Al-Anfal [8]:17) Sejatinya wujud segala sesuatu dan juga perbuatan, pengaruh,
gerakan, diamnya bermuara pada qadha dan qadar Ilahi yang merupakan episode
selanjutnya dari silsilah pembahasan di site ini. Tuhan menciptakan mekanisme
eksistensi dan menjadikannya mengikut kepada hukum kausalitas dan faktor-faktor
hakiki. Dengan demikian segala sesuatu berada secara vertikal, top-down dengan
kehendak Tuhan memiliki peran penciptaan dan pengaruh pada perbuatan-perbuatan
tersebut. So, proposisi “ada..tapi” tentu dengan pembuktian-pembuktian di atas
tiada bermasalah dengan kemurnian Tauhid pada Penciptaan. Ajakan penanggap
untuk tidak mengotak-atik masalah tauhid adalah ajakan yang tidak boleh
diamini, karena dalam masalah tauhid sekalipun Asy’ariah sangat bermasalah.
Jadi, saran penulis alih-alih Anda menghabiskan waktu untuk merekonstruksi
teologi Imamiyah ihwal Tauhid dalam Penciptaan, yang sangat logis dan
argumentatif, sebaiknya Anda menyelesaikan PR sendiri berupa borok dan cela
teologi Asy’ariyah tentang Tuhan, Qur’an, Nabi, nasib manusia dan lain
sebagainya. Nantikan saja bagaimana kami membuktikan kemusykilan Asy’ariah
dalam masalah tauhid, pandangannya terhadap al-Qur’an dan nabi, qadha dan
qadar. Tapi sebelum itu, penulis meminta kepada Anda atau siapa saja yang
sepaham dengan Anda untuk menyuguhkan secara sistematis pokok-pokok ajaran
Asy’ariyah yang bakalan menjamin terpeliharanya tradisi ilmiah dan dialog
interaktif. Tentunya pihak redaksi akan senang hati memuat tulisan dan
pembelaan Anda atas mazhab yang Anda yakini. Wellcome. Note:
|