ISLAT Antara ISLIB dan ISLITDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muhsin Labib
Di tengah polarisasi dua kelompok dan kecenderungan itu, ada
sebuah kelompok kritis yang menggabungkan rasionalitas dan teks. Mereka bukan
jadi-jadian. Kelompok ini memiliki akar sejarah yang berpendar dalam filsafat,
Kelompok ini muncul sebagai respon atas keberhasilan Imam Khomaini menumbangkan
rezim monarki 2000 tahun Pahlevi dan makin kuat setelah kemunculan Mahmoud
Ahmadinejad sebagai David di tengah angkara Goliath dunia tak pelak telah
melambungkan popularitas mazhab Syiah dan diperlakukan sebagai jalan tengah
yang membelah jalan Islam liberal (Islib) dan Islam literal (Islit). Syiah
mulai dilirik sebagai Islam alternatif (Islat). Beberapa tahun lalu ia adalah santri di sebuah pesantren
tradisional di daerah pesisir di Jawa Timur. Dalam bangunan sederhana di tengah
desa yang tidak terlalu subur itu ia tidur di sebuah bangunan sangat sederhana
bahkan kurang higienis, menurut standar pola hidup moderen. Ia dengan tekun
mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan oleh sang guru yang mengajarkan
sistem ‘muratan’, yaitu studi naskah kitab kuning yang diberi arti dalam bahasa
Jawa, mulai dari level dasar dalam bidang gramatika, seperti alfiyah, balaghah
dan fikih. Ia juga sangat kalem, bahkan nyaris ‘feminin’. Ia betah lama menimba
ilmu agama berkat prinsip thuluz-zaman dan mengabdikan dirinya dalam melayani
dan mengormati gurunya, bahkan di luar urusan belajar dengan harapan suatu saat
akan menjadi kyai terpandang di kampungnya. Kini keadaan benar-benar berbalik. Setelah mengikuti ujian
persamaan dan menenteng ijazah SMA berkat modernisasi yang tak terbendung, ia
seakan mengubur semua masa lalunya yang tradisional. Lebih dari itu, setelah
berpindah ke ibukota dan menjadi mahasiswa, ia sibuk menenteng buku-buku karya
pemikir Barat mulai dari Marx sampai Horkheimer, menghadiri seminar yang
dihadiri oleh para narasumber asing, dan aktif dalam kelompok studi yang gemar
mendiskusikan wacana-wacana modern, seperti pluralisme, lokasime Islam,
feminisme dan segala pemikiran Islam yang anti-tradisonal dan kritis. Setelah
menguasai bahasa Inggris dan mampu menulis artikel-artikel yang berisikan
apresiasi terhadap pemikiran Barat tentang Islam, ia pun mendapatkan beasiswa
studi di Barat dari lembaga-lembaga donor yang sangat berpengaruh. Sepulang
dari negeri bule, ia langsung didaulat untuk menjadi pengamat politik dan pakar
keislaman. Lembaga-lembaga mentereng langsung melamarnya. Lembaga-lembaga studi
menjadi terminalnya. Media-media massa menampung pandangan-pandangannya. Ia
sudah bisa dianggap ‘mantan santri’. Ia lebih senang bila masa lalunya tidak
diingat-ingat. Ia adalah pemegang gelar PhD dari sebuah universitas ternama di
Amerika yang sudah menghabiskan banyak paspor karena menghadiri undangan
seminar tentang Islam di Austalia, Eropa dan Amerika. Inilah contoh sebuah generasi Muslim yang jumlahnya sangat
banyak. Mereka tersebar di sebagian besar perguruan tinggi Islam negeri maupun
swasta di Indonesia. Sebagian dari mereka mendapatkan scholarship di
universitas-universitas ternama di Eropa, Amerika dan Kanada dan mengambil
studi bidang politik berkat rekomendasi sejumlah LSM dan lembaga yang sangat
concern terhadap isu-isu Islam kontemporer. Sebagian melanjutkan ke UIN Syarif
Hidayatullah, IAIN Jogjakarta dan Surabaya sambil aktif menulis artikel di
sejumlah suratkabar lokal. Umumnya mereka aktif dalam LSM dan lembaga-lambaga
yang giat mengadakan workshop dan seminar tentang modernitas, pluralisme dan
semacamnya. Sebagian besar dari mereka adalah PNS yang sibuk mengumpulkan KUM
agar karir kedosenannya terus menanjak. Kebanyakan mereka adalah anak-anak muda
yang cukup cerdas, terbuka, komunikatif, apresiatif terhadap pandangan di luar
mean stream dan ramah, meski tidak terlalu relijius (menurut standar normatif). Beberapa tahun lalu ia hanyalah anak dalam keluarga yang
tidak relijius bahkan cenderung ‘kejawen’ di kawasan yang disebut mataraman.
Ayahnya yang pernah menjadi menjadi simpatisan PKI, meski tidak sempat di-pulau
buruh-kan, tidak pernah mengajarinya ngaji al-Quran. Di rumahnya juga tidak ada
kaligrafi-kaligrafi ayat al-Quran. Shalat dan kegiatan keagamaan tidak pernah
menjadi sesuatu yang sangat diwajibkan pada masa kanak dan remajanya. Gaya
hidupnya jauh dari relijiusitas. Ia bahkan sempat pacaran dan tidak jejaka
lagi. Setelah lulus SMA, ia dinyatakan lulus seleksi UMPTN dan
menjadi mahasiswa fakultas teknik di sebuah perguruan tinggi tekenal di sebuah
kota besar. Ia mengikuti ospek dan ditatar oleh sekelompok mahasiswa senior
yang memiliki kemampuan mengubah orientasi keagamaan maba (mahasiswa baru) ini.
Usai mengikuti opspek, ia ‘dibina’ dan terus ‘digarap’ dan dimasukkan dalam
kelompok mahasiswa Islam yang cenderung tekstual. Sejak saat itu ia mulai tahu
pentingnya shalat dan menjalani Islam sebagai sistem hidup. Kini ia mulai
belajar mengaji, bahkan menganggap belajar bahasa Arab sebagai sebuah ketataan.
Ia mulai merawat jenggot dan melipat bagian bawah celana sambil membawa
al-Qur’an terjemah yang telah diberi tanda-tanda pada halaman-halaman tertentu
karena memuat ayat-ayat ‘tegas’ soal jihad, penegakan ‘hukum Allah’, dan amar
makruf dan nahi mungkar. Buku-buku favoritnya adalah karya-karya tokoh-tokoh
Islam fundamentalis, seperti Hasan al-Banna danb Sa’id Hawwa, juga kitab-klitab
fikih ‘kaku’ karya Muhammad bin Abdul-Wahab dan Abdul-Aziz bin Baz. Ia cukup
cerdas sehingga diberi beasiswa oleh negara untuk melanjutkan studi S2 dan S3
di Jerman. Di negeri Hitler itu ia tetap bersemangat dengan brotherhoodnya
dengan aktif dalam jaringan ‘Islam literal’ dan seiring dengan intensitas
komitmennya, ia pun menjadi tokoh penting dalam hirarki kelompoknya. Sepulang
dari negeri itu, ia makin fundamentalis dan makin membenci Barat. Ia kini
menjadi salah satu pakar dalam sebuah departemen dan dosen di almamaternya.
Pakar metalorgi ini juga aktif dalam penggalangan politik yang menuntut
dikembalikannya khilafah ala Otoman di Indonesia, bahkan seluruh dunia. Ia
tidak gemar berwacana atau berdiskusi apalagi ngobrol di café. Inilah contoh dari tipe kedua generasi muda Muslim di Indonesia
yang jumlahnya makin banyak. Sebagian dari mereka mulai berpikir realistis
dengan memperjuangkan visi keislamannya dalam sebuah organisasi politik formal.
Sebagian lain memperjuangkan idealisme melalui organisasi non partai yang
menuntut pendirian khilafah di Tanah Air dan seluruh dunia. Ada pula yang aktif
dalam organisasi non formal, karena menganggap sistem Negara tidak Islami
karena tidak menjalakan hukum Allah, dan karenanya pendirian orpol maupun ormas
sama dengan mengakui sistem yang tidak Islami. Hadirnya kelompok yang dikenal dengan penganut Islam liberal
dan semaraknya kelompok Islam literal tidak bisa sepenuhnya dipandang sebagai
sebuah fenomena khas Indonesia. Tidaklah berlebihan bila kedua model itu
dikaitkan dengan dengan kepentingan hegemoni Barat untuk mengikis militansi di
dunia Islam. Di tengah polarisasi dua kelompok dan kecenderungan itu, ada
sebuah kelompok kritis yang menggabungkan rasionalitas dan teks. Mereka bukan
jadi-jadian. Kelompok ini memiliki akar sejarah yang berpendar dalam filsafat,
Kelompok ini muncul sebagai respon atas keberhasilan Imam Khomaini menumbangkan
rezim monarki 2000 tahun Pahlevi dan makin kuat setelah kemunculan Mahmoud
Ahmadinejad sebagai David di tengah angkara Goliath dunia tak pelak telah
melambungkan popularitas mazhab Syiah dan diperlakukan sebagai jalan tengah
yang membelah jalan Islam liberal (Islib) dan Islam literal (Islit). Syiah
mulai dilirik sebagai Islam alternatif (Islat). Seperti dilaporkan Sayed Hosein Nasr, filsafat Islam
memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian Timur ketimbang di bagian Barat
dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki tanah subur yang menyebabkan filsafatnya
mampu bertahan hidup sampai sekarang, tetapi juga secara definitif menjadi
arena utama aktivitas dalam filsafat Islam. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor
pendukung berkembangnya pemikiran filsafat di Iran. Pertama, faktor
kultural-historis. Kedua, tradisi keagamaan Syi’ah. Dalam sejarahnya, Iran dikenal sebagai ladang tempat
lahirnya filosof, sufi, saintis, dan penyair terkenal. Iran dapat dipandang
sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas perkembangan pemikiran
keagamaan, khususnya filsafat selama fase akhir sejarah Islam. Karena itu
tidaklah salah bila bertahannya filsafat di Iran dikaitkan dengan latarbelakang
kultural yang lekat dengan rasionalitas dan mistisisme Zoroastranisme. Bahkan
sebagain gagasan filsafat Mulla Shadra diduga terpengaruhi oleh para filosof
era Pahlavi kuno. Satu kenyataan penting sekaitan dengan perjalanan filsafat
dalam sejarah Islam adalah turut andilnya masalah kemazhaban tradisional Islam
dalam proses perkembangan pemikiran filsafat. Tanpa perlu menunjuk siapa
filosof bermazhab Islam apa, yang jelas, Iran adalah salah satu situs peradaban
yang besar (ed.), Routledge’s Encyclopedia of Islamic Philosophy, (rearranged
into Islamic version by Dr. Mulyadhi Kartanegara), Routledge, London and New
York; 1998. hal.10). Menurut sejarah, penyerbuan Mongol telah menghancurkan
dinasti Abbasiah dan membasmi komunitas Muslim di Spanyol. Bersamaan dengan
itu, umat Islam pun tenggelam dalam tidur panjangnya. Abad keenam Masehi
merupakan awal kebangkrutan umat Islam sunni. Abad ketujuh justru menjadi awal
tumbuhnya imperium Islam di belahan Timur dan dunia Syi’ah. Pada tahun 1499, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan
sampai sekitar dua ratus tahun. Pada periode Safawi inilah berkembang berbagai
aliran pemikiran dalam matrik mazhab Syi’ah. Salah satu pemikiran yang berkembang
pesat adalah filsafat. Filsafat tetap diajarkan, bahkan menjadi sebuah tradisi
yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah Syi’ah yang didirikan dinasti
Safawi. Pada periode Safawi, tepatnya pada abad XIII sampai XVII, filsafat di
Iran mencapai puncaknya. Dari hawzah-hawzah itulah, para tokoh filsafat Iran
bermunculan. Bahkan, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya
filsafat, bagi dunia Islam yang didatangi umat Islam dari seluruh penjuru
dunia. Perkembangan pemikiran pada zaman dinasti Safawi mempunyai
karakteristik khas sebagai mazhab Isfahan. Mazhab ini menampung perkembangan
pemikiran mazhab masya’i, isyraqi, ‘irfani, dan kalam. Pada awal awal abad XIX sebelum periode Qajar, filsafat
Molla Sadra dibangkitkan kembali secara penuh di Isfahan oleh Mulla Ismail
Khajui dan Mulla Ali Nuri. Molla Ali Nuri terkenal sebagai komentator al-Asfar
al-Arba’ah karya Molla Sadra, sekaligus mengajarkannya pada generasi
setelahnya. Selama periode Qajar, Tehran secara bertahap meningkat
menjadi pusat studi filsafat Islam yang menghasilkan sejumlah guru besar
terkenal di akhir periode Qajar dan Pahlewi, seperti Mirza Mahdi Asytiyani,
Sayyed Muhammad Kazim ‘Assar, Abu al-Hasan Jalweh, dan Tonekaboni. Selama periode ini, atmosfir hawzah Irak (Najaf dan Karbala),
yang semula merupakan pusat pendidikan Syi’ah di seluruh dunia, demikain pula
hawzah di Iran (Qom dan Masyhad), kurang mendukung kemajuan pemikiran filsafat,
karena kecenderungan pada ilmu-ilmu tekstual, seperti fiqh, yang masih sangat
determinan. Bahkan tidak sedikit ulama dan marja’ (otoritas hukum) menunjukkan
sikap negatif terhadap pengajaran filsafat. Namun keadaan perlahan-lahan
berubah ketika muncul halaqah-halaqah pelajar filsafat, irfan, dan ilmu-ilmu
rasional yang diasuh beberapa ulama yang dinilai sukses dalam ilmu-ilmu
tekstual bahkan bergelar mujtahid. Molla Husain-Qali yang mengadopsi metode itu mendidik
murid-muridnya dengan filsafat Molla Sadra dan sayr suluk spiritual. Walaupun
Mirza Hasan putra Akhund Molla Muhammad Ismail Wahidul-Ain Isfahani juga
tinggal di Karbala untuk beberapa waktu, namun mayoritas pelajar filsafat di
sana menimba ilmu dari Molla Husainquli Hamadani. Tepatnya, Molla Sabzewari
memindahkan filsafat dari Sabzawar ke Najaf. Di antara murid tersohor Molla
Husain-Quli Hamadani adalah: Sayyed Jamaluddin Asad-Abadi al-Afghani, Sayyed
Abdul-Husain Lari, Sayyed Ahmad Karbala’i, Sayyed Sa’id al-Habubi, Agha
Muhammad Baqir Istahbanati, Mehdi Ilahi Qomsyeh’i, dan Mirza Jalweh (seorang
tokoh filsafat Iran yang hijrah ke Najaf guna menyempurnakan pengetahuannya
tentang ilmu naqli). Di Najaf, Mirza Jalweh memperkenalkan filsafat ketuhanan
pada murid-muridnya, seperti Ayatullah Syaikh Muhammad Husain Gharawi Isfahani
dan Syaikh Muhammad Ridha Yazdi. Agha Muhammad Baqir Isthahbanati terbunuh pada
masa Masyrutiyyat pada tahun 1326 H, di Istahbanat. Kepindahan Agha Sayyed Muhammad Husain Badkubey ke Najaf
juga merupakan faktor lain tersebarnya filsafat di sana. Ia adalah murid Mirza
Jalweh, Hakim Esykewari, dan Hakim Kermansyahi, yang mengembangkan filsafat di
Najaf. Ia mengabadikan namanya dengan mendidik filosof ketuhanan besar seperti
Allamah Sayyed Muhammad Husain Thabathaba’i. Syaikh Murtadha Taleqani, seorang
filosof ketuhanan di Najaf yang hidup sezaman dengan Agha Muhammad Husain
Badkubey, telah mendidik dan membawa guru besar Allamah Muhammad Taqi Ja’fari
kepada dunia pemikiran. Setelah Perang Dunia II, Iran tetap merupakan tempat subur
bagi berkembangnya pemikiran filsafat Islam. Berawal pada tahun 1950-an (pasca
Perang Dunia II), terjadi suatu ketertarikan kembali dalam filsafat Islam di
Iran. Ini merupakan suatu kebangkitan kembali tradisi filsafat Islam yang
belakangan mampu menjawab tantangan pemikiran Barat. Abul-Hasan Rafi’i Qazwini
dam Qadhi Said Qummi adalah dua tokoh yang menjadi pelopor pengembangan
filsafat pada masa itu. Apresiasi modern terhadap al-Hikmah al-Muta’aliyah
berkembang di kalangan akademisi, atau setidaknya kalangan yang tumbuh dalam
pendidikan atau khasanah pemikiran modern. Para figur yang paling menonjol di
kalangan ini adalah Henry Corbin, Sayyed Hossein Nasr, dan Mehdi Ha’ri Yazdi.
Sementara apresiasi tradisional lebih bertahan di kalangan pesantren atau
hawzah ilmiah, khususnya kalangan yang mengenyam pendidikan tradisional
keagamaan di Qom. Allamah Thabathabai dan Imam Khomeni disebut-sebut sebagai
‘yang paling bertanggungjawab’ menghidupkan filsafat di hawzah ilmiah Qom, yang
sebelumnya didominasi oleh para ulama fikih’. Kedua tokoh ini telah mencetak
puluhan bahkan ratusan ulama pemikir yang kelak memberikan kontribusi besar
dalam memperkenalkan Syiah sebagai mazhab yang mampu mengharmoniskan bayan,
burhan dan irfan. Muthahhari melalui karya-karyanya yang sangat luas telah
menggoncang blantika pemikiran Islam terutama di dunia Islam yang sebelumnya
hanya silau dengan pemikir-pemikir Sunni, seperti Sayed Quthb dan al-Maududi. Kejutan masih berlanjut. Ternyata di hawzah Qom, telah
terjadi pengayaan wacana Islam kontemporer melalui para ulama para murid
Khomeini dan Thabathabai. Sejumlah nama bisa dicantumkan antara lain, Abdullah
Jawadi Amuli, Hasan Zadeh Amuli, Muhammad Sadegi, Ja’far Subhani, Ali Gerami,
Yahya Anshari Syirazi, dan yang paling gres adalah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi.
Mereka adalah para cohen dan penguasa stoa-stoa pemikiran di Qom. Kini dengan tampilnya Iran sebagai kekuatan baru di dunia,
terutama di Dunia Islam dan sambutan monumental rakyat Indonesia terhadap
kedatangan Ahamdinejad ke Indonesia, hipotes ini semakin kuat. Kegigihan
gerombolan wahabi dan tekstualis belakangan ini dalam memprovokasi pemerintah
dan masyarakat Indonesia untuk mencurigai Syiah, sebagaimana dilakukan oleh
majalah Sabili, makin memperbesar indikasi kekhawatiran makin meluasnya
pengaruh pemikiran Syiah. Siapapun, terutama yang anti Syiah, akan bingung mendengar
bahwa NU, Muhammadiyah dan Pemerintah menjadi tuan rumah Konferensi Pesratuan
Sunni dan Syiah. Diminatinya wacana Syiah dalam sentra-sentra pemikiran di
Indonesia ini sungguh menggembirakan, setidaknya sebagai langkah awal umat
Islam untuk memahami bahwa agamanya memiliki warisan kekayaan yang berlimpah;
sistem filsafat, teologi, politik, ekonomi, budaya, sistem pemerintahan, yang
semuanya terangkum dalam bangunan megah yang sudah terukir berabad-abad. Mungkin produk-produk gagasan para pemikir Syiah dapat
dijadikan sebagai jalan tengah demi menciptakan sebuah formulasi pemikiran
Islam yang sesuai dengan heterogenitas bangsa Indonesia. Karenanya, kehadiran dan kiprah para alumnus hawzah Qom,
terutama dari Indonesia, dalam arena pemikiran Islam dewasa ini sangat
diharapkan guna mengisi ruang tengah yang kosong dengan ‘Islamalternatif’
antara Islam liberal yang genit, funky dan ‘madani’ (civil) dan Islam literal
yang angker dan ‘medeni’ (bahasa Jawa : menyeramkan)! Tentu, tantangan dan hambatan akan terus menghadang. Namun
dinamika waktu dan makin terbukanya akses informasi akan dapat mengatasinya.
Bangsa Indonesia kini makin matang dan jenuh dengan penjejalan yang dilakukan
oleh kelompok-kelompok truth claim yang berusaha memasangkan kacamata kuda pada
generasi muda yang kritis dan makin cerdas. Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran.
Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini
aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur
Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL |