Hijab dalam Syariat IslamDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Rabiah Adhawiah Beik
Atas dasar ini, mungkin ungkapan yang sesuai dengan konteks
kekinian adalah pernyataan bahwa hijab adalah sebuah bentuk kasih sayang. Allah
swt menciptakan manusia dengan bentuk terbaik dan kaum hawa merupakan
cerminan terbaik dari hal tersebut. Namun, sebagaimana kita saksikan di dunia
nyata kecantikan dan keelokan setiap wanita berbeda satu sama lain. Dari sini,
apakah perempuan yang dikenal sebagai makhluk yang penuh perasaan tidak akan
tersentuh hatinya saat dikatakan kepadanya: Tidakkah engkau merasa kasihan
pada sesama jenismu yang tidak memiliki keelokan seperti dirimu? Tidakkah
engkau merasa iba terhadap mereka yang kehilangan cinta dan kasih sayang
suaminya karena penampakan tubuhmu? Pendahuluan
Buah nangka yang sudah dibelah, selain akan kehilangan cita
rasa, aroma dan keistimewaan yang dimiliki, juga tidak akan selamat dari
serbuan lalat dan serangga lainnya. Begitu juga dengan perempuan, ketika dia
selalu memamerkan kecantikan dan keindahan tubuhnya, laki-laki hidung belang
dan makhluk jenis ini akan segera datang untuk menikmatinya.[1] Dan Islam sebagai agama yang
sempurna datang menawarkan solusinya. Hijab adalah sebuah
proteksi yang dapat menjaga seorang wanita dari pelecehan.. Hanya saja ungkapan
semacam ini cakupannya sempit dan hanya akan dimengerti dan diamalkan oleh
mereka yang meyakini Islam. Sedang bagi yang tidak meyakininya, terlebih mereka
yang senantiasa mengusung panji feminisme dan atribut-atribut semisalnya akan
sangat sulit menerima ungkapan di atas. Karena secara emosional penjagaan
memberikan konotasi defensif, sebuah perlawanan yang terpaksa dilakukan. Ini
jelas sulit diterima oleh kelompok-kelompok tadi yang selalu meneriakkan
yel-yel kebebasan (menurut asumsi mereka). Atas dasar ini, mungkin
ungkapan yang sesuai dengan konteks kekinian adalah pernyataan bahwa hijab
adalah sebuah bentuk kasih sayang. Allah swt menciptakan manusia dengan
bentuk terbaik dan kaum hawa merupakan cerminan terbaik dari hal
tersebut. Namun, sebagaimana kita saksikan di dunia nyata kecantikan dan
keelokan setiap wanita berbeda satu sama lain. Dari sini, apakah perempuan yang
dikenal sebagai makhluk yang penuh perasaan tidak akan tersentuh hatinya saat
dikatakan kepadanya: Tidakkah engkau merasa kasihan pada sesama jenismu
yang tidak memiliki keelokan seperti dirimu? Tidakkah engkau merasa iba
terhadap mereka yang kehilangan cinta dan kasih sayang suaminya karena
penampakan tubuhmu? Agama Islam selain agama
yang penuh kasih, juga merupakan agama yang paling komplit; tidak ada sebuah
perbuatan kecuali memiliki hukum tersendiri. Begitu pula masalah hijab. Perlu
diperhatikan, hijab (menutup aurat) sudah ada pada agama-agama sebelum Islam,
jadi hijab bukan inovasi agama terakhir ini. Bahkan, lebih jauh lagi manusia
pertama, Adam a.s. yang pada saat itu belum memiliki syariat telah memahami
bahwa penampakan aurat adalah hal yang sangat buruk dan aurat tak seharusnya
ditampakkan, sebagaimana al-Qur’an menyebutnya dengan sau’at.[2] Dalam kesempatan ini kita akan mencoba membahas
pensyariatan hijab dalam Islam beserta batasan-batasannya. Pensyariatan
Hijab
Pensyariatan hijab di
dalam Islam, dapat ditetapkan dengan empat dalil; dalil al-Quran, hadis, sirah
(sejarah) dan akal. Masing-masing dari empat dalil tersebut cukup bagi kita
untuk menetapkan pensyariatan hijab bagi kaum wanita. 1. Menurut
al-Quran
Ayat terpenting yang menetapkan kewajiban berhijab pada kaum
wanita yang akan kita bahas adalah ayat ke-31 surat an-Nur dan ayat ke-59 surat
al-Ahzab. Allah swt dalam surat an-Nur ayat ke 31 berfirman: وَ قُلْ لِلْمُؤْمِناتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصارِهِنَّ وَ
يَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ ما ظَهَرَ مِنْها وَ
لْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلى جُيُوبِهِنَّ وَ لا يُبْدينَ زينَتَهُنَّ إِلاَّ
لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبائِهِنَّ أَوْ آباءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنائِهِنَّ
أَوْ أَبْناءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوانِهِنَّ أَوْ بَني إِخْوانِهِنَّ أَوْ
بَني أَخَواتِهِنَّ أَوْ نِسائِهِنَّ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُنَّ أَوِ
التَّابِعينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذينَ
لَمْ يَظْهَرُوا عَلى عَوْراتِ النِّساءِ وَ لا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ ما يُخْفينَ مِنْ زينَتِهِنَّ وَ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَميعاً
أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (Wahai Rasulullah) Dan
katakanlah kepada kaum wanita yang beriman agar mereka menahan pandangan
mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan
mereka kecuali sesuatu yang (biasa) tampak darinya. Hendaknya mereka menutupkan
kerudung mereka ke dada mereka (sehingga dada mereka tertutupi), janganlah
menampakkan perhiasan mereka kecuali untuk suami-suami mereka, atau ayah dari
suami-suami mereka atau putra-putra mereka, atau anak laki-laki dari
suami-suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari
saudara-saudara laki-laki mereka, atau anak laki-laki dari saudara-saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita mereka atau budak-budak mereka atau
laki-laki (pembantu di rumah) yang tidak memiliki syahwat atau anak kecil yang
tidak paham terhadap aurat wanita. Dan janganlah kalian mengeraskan langkah
kaki kalian sehingga diketahui perhiasan yang tertutupi (gelang kaki). Wahai
orang-orang yang beriman bertaubatlah kalian semua kepada Allah swt supaya
kalian termasuk orang-orang yang beruntung.[3] Para ahli tafsir
menyebutkan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah sebuah kisah yang dinukil dari
Imam Muhammad Baqir a.s. Beliau bersabda: “Pada satu hari, di kota Madinah ada
seorang wanita cantik yang sedang berjalan dengan mengikatkan kerudungnya ke
telinganya (yang menjadi kebiasaan wanita pada saat itu) sehingga tampak leher
dan dadanya. Seorang laki-laki dari golongan Anshar berpapasan dengannya,
karena kecantikan wanita tersebut dia terpesona dan tidak peduli akan keadaan
sekelilingnya, dia telah mabuk akan kemolekan wanita tersebut. Sang
wanita memasuki gang sempit, sedang pandangan laki-laki tersebut terus
membuntutinya sampai tak terasa dia terbentur sebuah benda keras dan tajam
sejenis tulang atau kayu yang menjorok dari tembok sehingga kepala dan dadanya
mengucurkan darah segar yang melumuri pakaiannya.Dalam keadaan seperti itu dia
datang menghadap Rasulullah saw dan menuturkan semua yang terjadi. Pada saat
itulah, malaikat Jibril a.s. datang membawa ayat ini.”[4] Dalam ayat di atas kita
mendapatkan kataابصار yang merupakan bentuk jamak dari kata بصر. Untuk memahami
ayat tersebut secara mendalam, lazim bagi kita mengetahui perbedaan antara بصر dan عين. Walaupun
keduanya sama-sama dipakai untuk nama dari anggota tubuh manusia yaitu mata,
akan tetapi keduanya memiliki makna yang berbeda. عين hanya bermakna
mata bukan penggunaannya, sedang بصر memiliki makna mata dengan penggunaannya yang dalam bahasa
Indonesia kita sebut dengan pandangan. Kita perlu membahas perbedaan kedua
kalimat di atas untuk mengetahui bahwa maksud dari ayat di atas adalah menutup
pandangan bukan menutup mata (ان يغضضن من ابصارهن). Begitu juga
dengan kata يغضضن yang bersumber dari غضي, kita harus mengetahui perbedaan dengan
kata غمض; arti dari kata terakhir adalah menutup mata sedang غض
adalah menundukkan pandangan.
Dari ayat di atas kita dapat menyimpulkan beberapa poin penting, di antaranya: - Hendaknya
kaum wanita menutup pandangan mereka dari pandangan yang penuh syahwat kepada
laki-laki non muhrim. - Wajib bagi
kaum wanita menutupi auratnya dari laki-laki non muhrim. - Wajib bagi
kaum wanita menutupi badan dan perhiasan mereka. - Diperbolehkan
bagi kaum wanita untuk menampakkan badan dan perhiasan mereka di hadapan para
muhrimnya. Setelah Allah swt
memerintahkan kewajiban menutup pandangan kaum wanita dari laki-laki non muhrim
dan menutup aurat mereka dari pandangan orang lain, Allah swt memerintahkan
untuk menutupi perhiasan wanita. Mungkin masalah menutup perhiasan merupakan
masalah yang penting sehingga disebutkan dua kali dalam satu ayat. Makna
perhiasan juga sangat jelas bagi kita yaitu setiap sesuatu yang menambah
keindahan wanita dan dipahami oleh masyarakat umum, seperti gelang, kalung,
anting dan lainnya. Perhiasan ini ada yang dapat dipisahkan dari badan wanita
dan ada yang tidak dapat dipisahkan dari badan seperti dandanan pada
wajah seorang wanita atau perhiasan alami/natural seperti rambut wanita
atau yang lain. Contoh larangan Allah
swt terhadap penampakan perhiasan di awal-awal Islam adalah larangan-Nya
terhadap para wanita untuk memperlihatkan kakinya ketika berjalan sehingga
perhiasan yang tersembunyi (gelang kaki) terdengar oleh non muhrim.[5] Di dalam surat an-Nur juga tertera larangan Allah bagi kaum
wanita untuk tidak menampakkan perhiasan dengan pengecualian yaitu “kecuali
yang sudah tampak الا ما ظهر منها “. Dari kalimat ini, kita dapat memahami bahwa perhiasan
wanita ada dua macam, perhiasan yang tampak dan yang tidak tampak (juga jika
wanita secara sengaja menampakkannya). Para ahli tafsir berbeda
pendapat satu sama lain dalam menjelaskan kalimat ini الا ما ظهر منها) (, dan memaknainya dengan makna yang beragam. Thabari dalam
tafsirnya menyebut hampir dua puluh macam pendapat dari ungkapan [6]الا ما ظهر منها . Di antaranya adalah: · Baju luar wanita. · Cincin, gelang dan gelang
kaki. · Celak, cincin dan pacar
kuku. · Wajah dan telapak tangan. · Hanya wajah saja. Oleh karena itu, dalam
hal ini kita harus merujuk kepada Marja’ kita masing-masing untuk menentukan
apa saja yang diperbolehkan terlihat. Akan tetapi, dari ayat
di atas dan juga menurut kesepakatan para ahli fiqih Islam, dapat disimpulkan
bahwa haram memakai segala sesuatu yang menurut uruf (tradisi) sebagai
perhiasan di hadapan non muhrim seperti gelang, kalung, anting, kaca mata, jam
tangan (yang menurut tradisi dianggap sebagai perhiasan), dandanan wajah dan
tangan, kuku panjang atau kuku yang diwarnai, gelang kaki, cincin, baju dan
sepatu yang dari segi warna, model, dan semacamnya dihitung sebagai perhiasan.[7] Ayat lain yang berisi
larangan menunjukkan perhiasan adalah ayat ke 33 surat al-Ahzab. Dalam surat
ini Allah swt berfirman: “...Dan diamlah kalian di rumah-rumah kalian dan
janganlah kalian tunjukkan perhiasan kalian sebagaimana yang dilakukan di
zaman jahiliyah.” Walaupun pada dasarnya ayat ini ditujukan kepada istri-istri
Rasulullah saw, akan tetapi perintahnya juga mencakup semua wanita muslim. Oleh
karena itu, di akhir ayat ke-31 dari surat an-Nur dapat dipahami bahwa wanita
yang menunjukkan perhiasannya termasuk orang-orang yang berdosa, sehingga
Allah swt memerintahkannya untuk bertaubat: “Wahai orang-orang yang beriman
bertaubatlah kalian kepada Allah swt sehingga kamu termasuk orang-orang yang
menang.” Interpretasi dari
penggalan ayat وليضربن بخمرهن
علي جيوبهن adalah bahwa al-Qur’an juga menjelaskan
kepada kita tentang batasan hijab yang diinginkan oleh Islam. Karena pada zaman
dahulu, wanita-wanita jahiliah memakai pakaian yang tidak menutupi leher dan
dada. Oleh karenanya Allah berfirman: “Dan tutuplah leher kalian dengan
kerudung kalian”. Ibnu Abbas, dalam menafsirkan ayat tersebut mengatakan:
”Wanita hendaknya menutupi rambut, leher dan bawah dagu mereka.”[8]
Maksud dari او نسائهن dari ayat di atas memiliki tiga kemungkinan: - Mereka
adalah wanita muslim, maka maksudnya wanita non muslim tidak termasuk muhrim
dan wanita muslim wajib menutup auratnya di hadapan mereka. - Mereka
adalah wanita secara mutlak baik itu wanita muslim atau selain muslim. - Maksud dari
kata nisa’ itu adalah wanita-wanita yang berada di dalam rumah seperti para
pembantu. Ayatullah Murthadha
Muthahari menolak mentah-mentah makna yang ketiga, menganggap lemah makna yang
kedua dan meyakini bahwa makna yang pertama lebih kuat. Karena makna pertama
ini juga dikuatkan oleh beberapa riwayat yang melarang wanita muslim untuk
membuka auratnya di hadapan wanita-wanita Yahudi dan Nasrani karena
dikhawatirkan mereka akan menceritakan kecantikan wanita muslim kepada suami
atau saudara mereka.[9]
Sedangkan kalimat او ما ملكت
ايمانهن memiliki dua kemungkinan: · Yang
dimaksudkan oleh ayat tersebut adalah khusus budak perempuan. · Budak
secara mutlak, yang mencakup budak perempuan atau laki-laki. Jika kita merujuk pada
berbagai riwayat, tampaknya pendapat kedua (budak laki-laki dan perempuan)
lebih kuat, seperti dalam suatu riwayat dari Imam Shadiq as. Seseorang
menceritakan kepada Imam Shadiq a.s. bahwa orang-orang Madinah selalu mengirim
budak-budak laki-laki mereka untuk menemani istri-istri mereka pergi ke satu
tempat dan terkadang ketika istri-istri mereka ingin menunggangi kuda, mereka
meminta bantuan budak mereka dengan memegang pundaknya. Imam Shadiq a.s. ketika
mendengar hal ini menjawab: “Hal ini tidak dilarang berdasarkan ayat 55 surah
al-Ahzab.”[10] Selanjutnya, dari
kalimat التابعين غير اولي الاربة terlihat jelas bahwa maksud dari kalimat tersebut adalah orang-orang
gila dan orang yang terbelakang secara mental yang tidak memiliki syahwat dan
tidak tertarik dengan keindahan wanita.[11] Adapun tentang anak
kecil yang tidak tahu menahu tentang aurat wanita, memiliki dua penafsiran: Pertama: anak-anak kecil yang tidak tahu tentang perkara-perkara yang
tersembunyi dari seorang wanita dan biasa kita sebut anak kecil yang belum
mumayyiz. Kedua: anak-anak kecil yang tidak mampu memanfaatkan perkara-perkara yang
tersembunyi dari seorang wanita dan bisa kita sebut anak kecil yang belum
baligh. Berkenaan dengan
penggalan ayat ولا يضربن wanita-wanita pada zaman dahulu biasanya memakai gelang kaki,
dan supaya gelang kaki mereka diketahui orang lain mereka mengeraskan langkah
mereka. Sebenarnya penggalan ayat ini ingin mengatakan bahwa Allah melarang
segala sesuatu yang menarik perhatian laki-laki non muhrim, seperti memakai
parfum yang wanginya dapat tercium orang lain ataupun menghias wajah dan semua
yang membuat hati laki-laki tergerak dan menjadi pusat perhatian mereka. Ayat lain yang
menyinggung tentang pensyariatan hijab adalah ayat ke-59 surah Ahzab. Allah swt
dalam ayat tersebut berfirman: أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ وَ بَناتِكَ وَ نِساءِ
الْمُؤْمِنينَ يُدْنينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذلِكَ أَدْنى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَ كانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحيماً Wahai Nabi, katakanlah
kepada istri-istrimu dan anak-anak perempuanmu dan kepada wanita-wanita mukmin
agar mereka mendekatkan diri kepada mereka dengan jilbab mereka supaya mereka
mudah dikenal dan supaya mereka tidak diganggu maka sesungguhnya Allah Maha mengampuni
dan Maha Penyayang. Berkenaan dengan kondisi
turunnya ayat ini, dalam tafsir Ali bin Ibrahim al-Qumi disebutkan: Pada saat itu kaum
wanita pergi ke masjid dan shalat di belakang Rasulullah. Saat mereka menuju
masjid untuk menunaikan shalat Magrib atau Isya’ para remaja nakal yang duduk
di pinggir jalan, mengejek atau mengolok-olok mereka. Lalu turunlah ayat ini [12] yang memerintahkan mereka memakai hijab sempurna supaya mereka
dikenal seutuhnya dan tidak ada alasan lagi untuk mengolok-olok mereka.[13]
Dalam ayat ini ada dua poin yang harus diperhatikan: Pertama, apakah maksud
dari jilbab yang disebutkan dalam ayat? Dan apakah maksud dari kalimat
“hendaknya mereka mendekatkan diri dengannya”? Kedua, apa maksud dari
faedah perintah hijab yang dalam kalimat di atas disebutkan (agar mereka dapat
dikenal dan tidak diganggu)? Namun karena poin kedua ini harus dibahas secara
tersendiri dalam filsafat hijab, maka kami tidak akan mengulasnya.[14] Menjawab poin pertama merupakan hal yang terasa cukup sulit,
karena terjadi silang pendapat di antara para mufassir dan ahli bahasa. Ragib
Isfahani dalam kitabnya, Mufradat al-Fadzil Qur’an menyebutkan, jilbab
adalah baju kurung dan kerudung.[15] Makna jilbab menurut para mufassir adalah sebagai
berikut; pertama, kerudung panjang yang menutupi kepala (rambut) dan dada.
Kedua, jilbab (kerudung biasa). Ketiga, baju yang besar. Namun titik temu dari
semua arti di atas adalah kain yang dapat menutupi badan. Namun, mayoritas
mufassir berkeyakinan bahwa maksud dari jilbab dalam ayat tersebut adalah
kain yang lebih besar dari kerudung dan lebih kecil dari chadur, sebagaimana
ditegaskan oleh penulis kitab Lisanul Arab.[16] Kemudian, kata يدنين di sini berarti
memakai. Tidak di semua tempat kata ini berarti demikian, kita harus melihat
konteks kalimatnya sebagaimana dalam ayat ini. Maksud dari kata يدنين adalah agar para wanita
mendekatkan jilbab mereka ke badan mereka supaya dapat dikontrol, tidak terlalu
besar sehingga terkadang tersingkap [17] (jika tertiup angin atau
lainnya). 2. Menurut Hadis
Banyak
hadis-hadis atau riwayat-riwayat yang membahas tentang hijab, oleh karenanya
perlu kita pilah-pilah dan kelompokkan riwayat-riwayat tersebut dalam beberapa
kategori. a. Hadis tidak diwajibkannya menutup wajah dan
telapak tangan Mas’adah bin Ziyad menukil dari Imam Ja'far Shadiq a.s.
ketika beliau ditanya tentang perhiasan yang boleh untuk ditampakkan, Imam
menjawab:”Wajah dan telapak tangan.”[18] Mufaddhal bin Umar bertanya kepada Imam Shadiq a.s. tentang
wanita yang meninggal di perjalanan dan di sana tidak ada laki-laki muhrim atau
wanita yang memandikannya. Imam menjawab: “Anggota-anggota tubuh yang wajib
untuk ditayamumi hendaklah dibasuh akan tetapi tidak boleh menyentuh badannya,
dan juga tidak boleh menampakkan kecantikan yang Allah wajibkan untuk ditutupi.
Mufaddhal bertanya kembali: “Bagaimana caranya?” Imam menjawab: “Pertama
membasuh bagian dalam telapak tangan, kemudian wajah dan bagian luar
tangannya.”[19] Dari sini kita dapat memahami bahwa
tangan dan wajah bukan termasuk anggota badan yang wajib untuk ditutupi. Ali bin Ja'far ditanya tentang batasan seorang
laki-laki dapat melihat wanita non muhrim, Imam menjawab: “Wajah, telapak
tangan dan pergelangan tangan.”[20] Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa pada suatu hari Jabir
bin Abdullah bersama Rasulullah menuju rumah putrinya Sayyidah Fathimah.
Sesampainya di pintu rumah, Rasulullah mengucapkan salam dan meminta izin
kepada putrinya untuk masuk sambil memberitahukan bahwa dia bersama Jabir bin
Abdullah. Sayyidah Fathimah meminta beliau untuk menunggu sebentar karena pada
waktu itu beliau belum menutup rambutnya. Setelah Sayyidah Fathimah menutup
rambutnya, Rasulullah dan Jabir masuk ke rumah Sayyidah Fathimah. Rasulullah
melihat wajah putrinya pucat dan kekuning-kuningan, kemudian bertanya mengapa
hal ini terjadi. Sayyidah Fathimah menjawab bahwa wajah pucatnya
dikarenakan rasa lapar yang menderanya. Mendengar hal itu Rasulullah
langsung berdoa kepada Allah agar menghilangkan rasa lapar yang diderita oleh
putrinya.[21] Dari hadis di atas kita dapat mengambil dua kesimpulan:
pertama, Sayyidah Fathimah tidak menutup wajahnya di hadapan laki-laki
non muhrim. Kedua, tidak wajib menutup wajah di hadapan laki-laki non
muhrim. b. Hadis tentang diwajibkannya berhijab di
hadapan Yahudi dan Nasrani Imam Shadiq a.s. bersabda: “Tidak dibenarkan seorang wanita
muslim menampakkan auratnya di hadapan wanita Yahudi dan Nasrani, karena mereka
akan menceritakan ciri-ciri jasmaninya kepada suami-suami mereka.”[22] c. Hadis tentang ciri-ciri dan waktu hijab Imam Shadiq a.s. bersabda: “Bukan termasuk maslahat jika
wanita memakai kerudung dan baju yang tipis.”[23] Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib bersabda: “Selamat bagi
kalian yang memakai baju yang tebal, karena sebenarnya orang yang memakai baju
yang tipis maka imannya pun tipis.”[24] Imam Shadiq a.s. bersabda: “Cukuplah sebagai tolok ukur
kehinaan seseorang ketika dia memakai baju yang menyebabkan kemasyhurannya.”[25] Imam Shadiq bersabda: “Rasulullah Saw selalu melarang
laki-laki untuk menyerupai wanita dan melarang wanita untuk menyerupai
laki-laki dalam segi berpakaian.”[26] d. Hadis tentang balasan bagi mereka yang tidak
berhijab Rasulullah saw bersabda: “Wanita yang di neraka
menggantungkan dirinya dengan rambutnya adalah wanita yang tidak menutup
rambutnya di hadapan selain muhrim.”[27] Rasulullah saw bersabda: “Dua golongan penghuni Jahanam
belum pernah aku lihat. Kelompok yang disiksa dengan sebuah pecut (menyerupai
ekor sapi). Kedua para wanita yang berbusana namun telanjang (mereka yang
mengenakan baju tipis dan transparan)...”[28] Dengan melihat dan memperhatikan beberapa hadis di atas,
maka jelaslah bagi kita bahwa Allah swt telah mewajibkan hijab bagi
wanita muslimah. 3. Menurut Sirah (Sejarah) dan Akal
Untuk menetapkan kewajiban hijab bagi kaum wanita, kita juga
bisa merujuk sirah kaum wanita muslimah pada zaman Rasulullah. Mereka selalu
menutupi tubuh dan rambut mereka ketika berada di hadapan non muhrim,[29] seperti yang kita lihat
dari hadis tentang kedatangan Rasulullah bersama Jabir ke rumah Sayyidah
Fathimah as. Begitu juga dengan akal manusia, akal manusia juga dapat
membuktikan kewajiban hijab bagi kaum wanita. Akal akan senantiasa
memerintahkan segala perbuatan yang membawa manfaat dan akan memerintahkan
untuk melakukan hal itu, begitu juga sebaliknya akal akan selalu memperingatkan
manusia dari hal-hal yang membahayakan manusia. Oleh karena itu, ketika melihat bahwa hijab akan memberikan
keamanan, ketenangan atau dapat memupuk rasa cinta kasih di antara sesama maka
akal yang sehat dan tidak tertawan oleh hawa nafsu akan memerintahkan untuk
berhijab. Wallahu a’lam.[] Jurnal Fathimiah, Vol.II No.2, 2007 Note:
|