Cara Memahami IslamDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Sebelum mulai membicarakan topik di atas, ada beberapa hal
yang perlu saya sampaikan sebagai pengantar atau catatan. Mungkin tidak
langsung berhubungan dengan pokok pembicaraan kita, namun saya anggap penting
sekali menyinggungnya di sini karena kaitannya yang erat dengan permasalahan
fundamental dan vital. Dalam tahun-tahun belakangan ini, kebanyakan intelektual
kita berpendapat bahwa kita tidak perlu lagi berbicara, dan bahwa percuma saja
kita membicarakan penderitaan kita. Sampai sekarang, selalu saja kita berbicara� dan membicarakan
penderitaan kita tanpa berbuat atau bertindak. Karena itu kita harus berhenti
berbicara, dan setiap orang harus mulai bertindak memperbaiki keluarga dan
negerinya. Menurut hemat saya pendapat itu keliru. Karena sebenarnya
sampai sekarang ini kita belum pernah berbicara, belum pernah kita membicarakan
penderitaan kita, belum pernah kita menganalisa penderitaan kita secara seksama
dan ilmiah. Apa yang telah kita kerjakan hanya mengeluh, dan keluh ksah jelas
tidak ada gunanya. Selama ini kita belum pernah sama sekali membicarakan
permasalahan psikologis kita. Memang ada kalanya kita merasa seolah-olah telah
mendiagnosa serba penyakit kita sehingga rasanya sekarang kita harus mulai
dengan usaha penyembuhannya. Tetapi, sayang sekali, sebenarnya kita belum
pernah membuat diagnosa atas penyakit kita. Mereka yang telah turun ke lapangan dan karena itu telah
menglami serba kesukaan, hambatan dan kegagalan dalam usahanya, tahu dan
meresakan betul bahwa selama ini sebenarnya kita terlalu sedkit membicarkan
penderitaan-penderitaan kita, dan bahwa kita belum cukup sadar akan penderitaan
kita, kerusakan kita, penyelewengan kita! Selama ini bukan saja kita kurang membicarakan pandangan
kepercayaan, keagamaan dan ideologis kita. Kita bahkan sama sekali belum pernah
membicarakannya. Bagaimana mungkin kita lalu berkata bahwa kit telah membuat
diagnosa penyakit kita dan telah cukup banyak membahasnya, dan bahwa sekarang
sudah tiba waktunya untuk bertindak? Masyarakat kita adalah masyarakat
religius; dasar kerja kita haruslah religius; namun masih juga kita belum paham
apa sebenarnya agama kita. Profesi sya adalah seorang guru, dan ketika
mahasiswa-mawasiswa saya menanyakan buku-buku mengenai masalah tertentu, saya
tidak dapat menjawab mereka. karena tidak ada buku-buku mengenai
masalah-masalah itu dalam bahasa Persia. Ini sungguh sangat memalukan. Bangsa kita selalu bangga karena sudah berabad-abad kita
menjadi penganut Ja�far dan Ali. Sejak abad pertama Islam, ketika Persia menggabung
dalam dunia Islam dan melepaskan agama nenek-moyangnya demi Islam, Persia telah
menjadi penganut Ali, baik secara resmi sebagaimana halnya sekarang ini,
ataupun dalam kenyataan praktis, sesuai dengan rasa dan keyakinan kita. Tetapi
hari ini, bila seorang mahasiswa bertanya kepada saya tentang Ali, atau tentang
para pengikut pertama Ali yang telah meletakkan dasar-dasar sejarah Syi�ah sejak abad pertama
Islam demi kesetiaan mereka kepada Ali maka saya tidak bisa memberikan jawaban
kepadanya. Yangsaya ketahui mengenai tokoh-tokoh
itu hanyalah nama mereka.
Bagi suatu bangsa yang agamanya ialah agama Ali, sungguhlah
sangat memalukan, bahwa tidak ada satu buku pun, yang pantas, yang pernah kita
tulis tentang Ali serta para sahabatnya. Sungguh sangat memalukan bahwa sesudah empat belas abad,
barulah kita mengetahui Ali dari seorang Kristen, Geoge Jordaj, dan bahwa Abu
Dzarr harus diperkenalkan kepada kita oleh Jaudat as-Sahhar, seorang saudara
kita dari golongan Sunnah. Salman Farisi adalah seorang Persia pertama yang memeluk Islam;
dia adalah sumber kebanggaan ras Aria dan semua orang Iran. Dia adalah seorang
besar dan seorang genius yang mengikuti Rasul sejak permulaan rasalah beliau,
lalu menjadi seorang yang sangat dekat dengan beliau hingga bahkan dianggap
sebagai anggota keluarga beliau. Satu-satunya buku mengenai orang ini �yang ditinjau dari segi
nasional, ilmiah, keagamaan maupun Syi�ah adalah merupakan sumber kebanggaan
Iran- ditulis oleh seorang Prancis, [2] sedang yang dalam bahasa Persia, meski
hanya sekedar empat halaman, ternyata tidak ada. Saya tidak tahu bagaimana kita sampai bisa mengatakan bahwa
tahap analisa dan diskusi sudah berakhir, dan bahwa sekarang kita harus mulai
bergerak! Bukan maksud saya untuk mengatakan bahwa sekarang ini bukan waktunya
untuk bertindak dan bekerja, sebab berbicara dan bertindak, menganalisa dan
mengamalkan harus selalu erat bergandengan. Inilah praktek Rasul saw. Beliau
tidak pernah memisahkan kehidupan menjadi dua bagian, bagian pertama khusus
untuk berbicara dan bagian kedua khusus untuk bertindak. Maka sungguh naif
mereka yang menyatakan, bahwa �kita teah cukup banyak berbicara dan bahwa
sekarang adalah waktunya untuk bertindak�. Yang kita lakukan selama ini hanya
mengeluh dan meratap, dan saya sependapat kalau kita harus membahas penderitaan
kita, demi kesadaran kita akan penderitaaan itu, tetapi juga secara �ilmiah�. Ajaran yang kita
yakini haruslah menjadi landasan kerja, kegiatan dan pemikiran kita. Kita harus
tahu siapa Ali, dan kita pun harus mengenal Abu Dzarr, Salman maupun para
penerus Rasul dan Ali. Sayang sekali, tidak ada buku dalam bahasa Persia, yang
cukup pantas untuk dibaca, mengenai tokoh-tokoh suci ini yang dari sudut
pandangan manusiawi, terlepas dari pandangan religius, memang patut dihargai.
Keenam buku yang beredar baru-baru ini tentang ini kesemuanya adalah
terjemahan; kita sendiri belum pernah menulis. Di negara ini orang yang paham al-Quran disebut fadhil (yang
utama), bukan alim. Seorang alim dianggap lebih tinggi derajatnya dari pada
seorang fadhil yang banyak tahu dan ahli tentang al-Quran, ajaran Islam, sirah
(riwayat hidup) Rasul serta para sahabat beliau. Seorang fadhil menafsirkan dan
menerangkan al-Quran. Namun dia tergolong ulama Islam kelas dua! Andaikata
penggolongan demikian bisa dibenarkan, maka bahkan Rasul, Ali dan Abu Dzarr
harus dianggap sebagai fadhil, bukan alim. Karena itulah saya yakin bahwa tugas kita terbesar dan
terpenitng dewasa ini ialah berbicara �berbicara yang benar, membicarakan
penderitaan kita, tetapi sekaligus juga secara tepat dan ilmiahm serta
menganalisa apa yang kita alami. Karena mereka yang telah mencoba berbuat di
negeri kita ini, maupun di bagian-bagian dunia Islam lain, dengan harapan untuk
mencapai sesuatu, ternyata krang atau sama sekali tidak berhasil. Sebabnya
ialah bahwa ketika mereka turun ke lapangan, mereka tidak tahu apa yang harus
dikerjakan. Sudah barang tentu, jika kita tidak tahu apa yang kita kehendaki,
maka kita pun tidak tahu apa yang akan kita lakukan. Maka tugas pertama kita ialah memahami agama serta aliran
pemikiran kita. Ya, berabad-abad setelah kita secara historis menganut agama
besar ini, sayang sekali, kita masih harus memulai usaha memahami agama kita. Sebagaimana saya sampaikan pada pertemuan yang lalu, ada
berbagai cara memahami Islam. Salah satu cara ialah dengan mengenal Allah, dan
membandingkanNya dengan sesembahan agama-agama lain. Cara lainnya ialah dengan
mempelajari kitab kita, al-Quran, dan membandingkannya dengan kitab-kitab
samawi (atau kitab-kitab yang dikatakan sebagai samawi) lainnya. Tetapi ada
lagi cara lain, ialah dengan mempelajari kepribadian Rasul Islam dan
membandingkan beliau dengan tokoh-tokoh besar pembaharuan yang pernah hidup
dalam sejarah. Akhirnya ada satu cara lagi, ialah dengan mempelajari
tokoh-tokoh terkemuka dan membandingkan mereka dengan tokoh-tokoh utama agama
maupun aliran-aliran pemikiran lain. Tugas intelektual hari ini ialah mempelajari dan memahami
Islam sebagai aliran pemikiran yang membangkitkan kehiduan manusia,
perseorangan maupun masyarakat, dan bahwa sebagai intelektual dia memikul
amanah demi masa depan umat manusia yang lebih baik. Dia harus menyadari tugas
ini sebagai tugas pribadi dan apapun bidang studinya dia harus senantiasa
menumbuhkan pemahaman yang segar tentang Islam dan tentang tokoh-tokoh
besarnya, sesuai dengan bidang masing-masing. Karena Islam mempunyai berbagai
dimensi dari aspek maka setiap orang bis menemukan sudut pandang yang paling
tepat sesuai dengan bidangnya. Karena bidang studi dan penelitian saya ialah sosiologi
agama, maka saya telah mencoba menyusun semacam sosiologi agama berdasarkan
Islam dengan menggunakan terminologi yang berasal dari al-Quran dan kepustakaan
Islam, selama usaha serta penelitian itu sadarlah saya bahwa banyak topik yang
selama ini belum pernah kita perhatikan sama sekali sehingga bahkan kita tidak
mengira adal topik demikian. Dalam studi saya tentang Islam dan al-Quran antara lain saya
menemukan bahwa dalam sunnah (kebiasaan dan metode kerja) Rasul ternyata
terkandung teori-teori sejarah dan sosiologi khusus. Ini berbeda dengan kalau
kita mangambil al-Quran, beberapa ayat al-Quran, filsafat dan metode tertentu
yang dipergunakan Rasul, ataupun sistem kehidupan politik, sosial, psikologi dan
etis Rasul lalu menganalisanya dengan kacamata ilmu sekarang. Ilmu fisika,
misalnya, bisa membantu kita untuk memahami ayat-ayat kauniyyah dalam al-Quran.
Demiian pula sosiologi dapat memperjelas pemahaman kita mengenai ayat-ayat
al-Quran yang historis dan sosiologis. Tetapi bukan itu yang saya maksudkan.
Saya menemukan dalam al-Quran serangkaian knsep serta tema baru mengenai
sejarah, sosiologi dan humaniora. Al-Quran sendiri, atau Islam sendiri, adalah
sumber serba ide. Suatu teori dan kerangka sosiologi serta sejarah yang
filosofis terbuka terbentang di hadapan saya. Dan ketika kemudian saya cek
dengan sejarah dan sosiologi, ternyata semuanya benar. Dengan bantuan al-Quran saya temukan beberapa konsep yang
termasuk dalam ilmu-ilmu manusiawi, tetapi belum pernah dibahas oleh ilmu-ilmu
ini. Di antaranya adalah konsep hijrah. Dalam buku Muhammad, Nabi Penutup,
diterbitkan oleh Husainiyah-e Irsyad, saya hanya membicarakan dimensi historis
konsep itu, yakni perpindahan rakyat dari satu tempat ke tempat lain. Dari nada
pembahasan al-Quran mengenai hijrah dan muhajirin, begitupun dari kehidupan
Rasul serta dari konsep hijrah yang berlangsung pada awal sejarah Islam, saya
berkesimpulan, terlepas dari pendapat kaum Muslimin umumnya, bahwa hijrah
bukanlah sekadar suatu peristiwa sejarah. Biasanya kaum Muslimin berpendapat, bahwa hijrah ialah
perpindahan sejumlah sahabat dari Makkah ke Abbisinia maupun ke Madinah atas
perintah Rasul. Merekamengiranya sama saja dengan perpindahan sekelompok
masyarakat primitf atau berperadaban rendah dari suatu tempat ke tempat lain,
sebagai faktor geografis dan politis. Sedangkan hijrah yangpernah dihayati umat
Islam semurut mereka hanyalah yang dilakukan kaum Muslimin dan Rasul di masa
awal sejarah Islam tersebut. Tetap dari nada pembahasan tentang al-Quran
tentang hijrah, saya menangkap bahwa konsep itu mengandung suatu pinsip
filsafat dan sosial yang mendalam. Lalu, kembali kepada sejarah, saya kira
hijrah adalah suatu prinsip yang sangat luhur dan merupakan konsep yang sama
sekali baru, jadi bukan hanya sekedar suatu peristiwa sejarah sederhana. Bahkan
para filosof sejarah belum memberi perhatian sewajarnya atas masalah hijrah
ini, walaupun selama ini hijrah merupakan faktor utama kebangkitan peradaban
sepanjang zaman. Dalam sejarah kita mengenal dua puluh tujuh peradaban.
Semuanya, tanpa kecuali lahir dari peristiwa hijrah. Sebaliknya, tidak pernah
dicatat dalam sejarah ada suatu suku primitf yang berkembang menjadi masyarakat
yang beradab dab berbudaya tanpa terlebih dahulu harus meninggalkan tanah
asalnya dan berhijrah. Konsep ini, yang sangat relevan dengan ilmu sejarah dan
sosiologi, saya simpulkan dari studi saya tentang Islam dan dari nada al-Quran
membahas dan memerintahkan hijrah yang terus-menerus dan umum. Semua peradaban di dunia ini �dari yang terbaru, ialah
peradaban Amerika, hingga yang paling tua sepanjang pengetahuan kita, yakni
peradaban Sumeria- ternyata tumbuh dari hijrah. Suatu masyarakat primitif akan
tetap primitif selama mereka tidak mau meningglakan negerinya sendiri. Mereka
baru akan mencapai peradaban setelah melakukan hijrah dan menetap di suatu
negeri baru. Jadi semua peradaban adalah hasil dari hijrah
masyarakat-masyarakat primitf. Demikianlah, saya menemukan berbagai prinsip. Islam dan
al-Quran, sebanding dengan kadar pengetahuan saya tentang keduanya, telah
menolong saya untuk memahami masalah-masalah sejarah, secara lebih segar dan
lebih tepat. Sadarlah sya, bahwa dengan mempergunakan istilah-istilah khas dari
al-Quran kita bisa menemukan berbagai konsep mengenai ilmu yang paling modern,
yaitu humaniora. Sekarang, mengenai sosiologi Islam, saya hendak membahas
dilema terbesar sosiologi maupun sejarah; apakah sebebarnya yang merupakan
faktor dasar dalam perubahan dan perkembangan masyarakat. Faktor dasar apakah
yang menyebabkan suatu masyarakat tiba-tiba berubah dan berkembang, atau
tiba-tiba rusak dan merosot? Faktor yangkadangkala menyebabkan seuatu
masyarakat berhasil melakukan suatu lompatan positif ke depan; yang secara
totol mengubah wataknya, semangatnya, tujuannya dan bentuknya, dalam kurun
waktu satu atau dua abad, yang mengubah sama sekali pola hubungan perseorangan
dan sosialnya? Selama berabad-abad orang telah berusaha terus-menerus
mendapatkan jawaban atas pertanyaan ini, terutama sejak 110 tahun terakhir.
Semua aliran sosiologi dan sejarah yang beraneka ragam telah sama mencurahkan
perhatian mencari jawabannya. Selalu saja pertanyaannya ialah: apakah yang
merupakan motor sejarah, yang merupakan faktor dasar dalam perkembangan dan
perubahan masyarakat manusia? Berbagai aliran sosiologi berbeda pendapat mengenai ini;
masing-maisng menumpukan perhatiannya pada suatu faktor tertentu. Ada beberapa
aliran yang sama sekali tidak percaya akan sejarah yang menurut mereka yang
tidak lebih dari koleksi kisah kuno yang tidak berharga. Mereka juga menolak
pendapat bahwa sosiologi harus memiliki hukum-hukum, prinsip-prinsip atau
kriteria yang pasti. Timbullah semacam anarkisme ilmiah, yang bersikap pesimistis
terhadap filsafat sosiologi serta humaniora, dan berpendapat bahwa yang menjadi
faktor dasar tersebut adalah serba kebetulan. Semua perubahan, kemajuan,
kemerosotan dan revolusi yang dialami sesuatu bangsa adalah akibat dari
kebetulan. Umpamanya, tiba-tiba Arab menyerang Persia; kebetulan Persia kalah
dan orang-orang Persia lalu masuk Islam. Kebetulan Jengis Khan menyerang
Persia; kebetulan ketika itu pemerintahan Persia sedang dalam keadaan lemah,
sehingga Persia kalah. Masuklah orang-orang Mongol ke Persia. Akibatnya
kebudayaan serta cara hidup Mongol bercampuraduk dengan cara hidup Persia
Islam, dan terjadilah perubahan. Demikian pula, perang-perang Dunia Pertama dan
Kedua pecah karena kebetulan; mungkin saja itu tidak sampai terjadi.
Ringkasnya, aliran ini menganggap setiap hal sebagai akibat kebetulan belaka. Kelompok lainnya adalah golongan meterialis dan mereka yang
menganut paham determinisme sejarah. Menurut mereka, sejarah dan masyarakat,
sejak awal mulanya sampai sekarang adalah bagaikan sebatang pohon, tidak
mempunyai kemauan sendiri. Asalnya ialah sebutir benih, lalu bertunas, muncul
pada permukaan tanah, berakar, beranting, bercabang dan berdaun, tumbuh menjadi
sebatang pohon besar, berubah, layu di musim dingin, mekar kembali di musim
semi, mencapai puncak pertumbuhannyadan akhirnya ambruk. Kelompok ini percaya
bahwa terdapat faktor-faktor serta hukum-hukum yang menentukan kehidupan
masyarakat manusia sepanjang sejarah. Faktor-faktor dan hukum-hukum itu
mempunyai peranan yang sama seperti lainnya hukum-hukum mengenai alam semesta.
Manusia perseorangan tidak dapat mempengaruhi masyarakatnya. Karena masyarakat
adalah gejala alam yang berkembang sesuai dengan faktor-faktor dan hukum-hukum
alam. Kelompok ketiga terdiri atas mereka yang memuja para
pahlawan serta orang-orang besar. Termasuk golongan ini ialah para penganut
Fasisme dan Nazi, ilmuwan seperti Carlyle [3] yang pernah menulis biografi Rasul
kita. Begitu pula Emerson [4] dan lain sebagainya. Menurut kelompok
ini hukum hanyalah alat mereka yang berkuasa, karena itu tidak ada pengaruhnya
terhadap masyarakat. Orang awam, apalagi dari kalangan rendah, tidak pernah
turut serta dalam perubahan masyarakat; mereka pun merupakan alat belaka bagi
orang-orang lain. Satu-satunya faktor fundamental untuk mengubah atau memajukan
masyarakat, ataupun yang mengakibatkan kemerosotannya, hanyalah pribadi besar. Kata Emerson: Sebutkan kepadaku nama sepuluh orang besar, maka akan
kuceritakan kepadamu seluruh sejarah umat manusia, tanpa terlebih dahulu
mempelajarinya. Ceritakan kepadaku tentang Nabi Islam, maka akan kusampaikan
kepadamu seluruh sejarah Islam. Ceritakan kepadaku tentang Napoleon, akan
kuterangkan kepadamu seluruh sejarah Eropa. Menurut pandangan kelompok ini, nasib masyarakat dan umat
menusia tergenggam dalam tangan orang-orang besar, yang bertindak sebagai
pemimpin masyarakat. Karena itu kebahagiaan maupun kebinasaan suatu masyarakat
tidaklah tergantung pada massa rakyatnya, bukanlah akibat hukum lingkungan dan
masyarakat yang dinasti, bukan pula akibat kebetulan. Semuanya semata-mata
bergantung pada orang-orang besarnya, yang sesekali muncul dalam masyarakat
untuk merubah nasib masyarakat mereka dan adakalanya bahkan nasib umat manusia. Dalam biografinya tentang Muhammad, Carlyle
menulis sebagai berikut: Ketika Nabi Islam itu pertama-tama menyampaikan risalahnya
kepada kaum kerabatnya, maka semuanya menolaknya. Kecuali Ali, waktu itu masih
berusia sepuluh tahun, yang bangkit memenuhi dakwah Nabi dan berikrar setia
kepadanya. Seterusnya Carlyle menyimpulkan: Tangan yang kecil itu bergabung dengan tangan yang besar,
dan mengubah jalan sejarah. Ada pula pendapat bahwa rakya, ialah masyarakat umumnya,
mempunyai peranan dalam menentukan nasib mereka. namun tidak ada suatu ajaran,
bahkan juga tidak dalam paham demokrasi dalam bentuknya yang kuno ataupun yang
modern, yang menegaskan bahwa massa rakyat merupakan faktor fundamental dalam
perkembangan dan perubahan sosial. Menurut berbagai ajaran demokrasi, bentuk
pemerintahan terbaik ialah di mana rakyat turut berpertisipasi di dalamnya.
Tetapi sejak zaman demokrasi Athena hingga dewasa ini, tidak satupun dari
ajaran ini yang menegaskan bahwa massa rakyat menjadi faktor penentu dalam
perubahan dan perkembangan sosial. Bahkan para sosiolog yang paling
demokratispun, meskipun engakui bahwa bentuk pemerintahan serta organisasi
administratif dan sosial trbaik ialah di mana rakyat turut berpartisipasi
dengan memberikan suara dan memilih pemerintahan mereka, ternyata tidak
menganggap rakyat sebagai faktor dasar perubahan dan perkembangan sosial. Malah
sebaliknya, yang mereka andalkan sebagai faktor penentu ialah determinisme,
pemimpin-pemimpin besar, golongan elite, peristiwa kebetulan atau kehendak
Tuhan. Para pemuja orang besar dapat dibagi atas dua golongan.
Golongan yang pertama berpendapat bahwa yang mengubah masyarakat manusia ialah
tokoh-tokoh besar seperti Budha, Musa atau Yesus. Golongan ini adalah pemuja
pahlawan murni. Sedangkan menurut golongan lainnya, yang mula-mula muncul ialah
seorang pemimpin, lalu diikuti sekelompok elite, yang merupakan para genius
terkemuka dalam masyarakatnya. Terbentuklah suatu tim. Tim inilah yang memimpin
masyarakat menurut jalan dan kepada tujuan yang mereka pilih. Golongan ini
mungkin tepat disebut pemuja elite. Dalam Islam dan al-Quran tidak ditemukan satupun dari
teori-teori di atas. Dalam pandangan Islam, Rasul merupakan pribadi terbesar;
dan jika Islam mengandalkan peranan Rasul sebagai faktor fundamental dalam
perubahan dan perkembangan sosial, berarti Islam mengakui pula semua nabi,
khususnya Nabi Muhammad, sebagai faktor fundamental. Namun, ternyata tidak
demikian. Tugas dan karekteristik Rasul jelas sekali tertera dalam al-Quran,
ialah menyampaikan risalah. Beliau bertanggung jawab untuk menyampaikan
risalah; beliau adalah seorang yang memperingatkan dan yang menyampaikan berita
gembira. Dan ketika Rasul bersedih hati karena umat tidak menyambut risalah
beliau sehingga beliau tidak berhasil memimpin mereka sebagaimana yang
diharapkan beliau, maka berkali-kali al-Quran menyatakan kepada beliau bahwa
tugas beliau hanyalah menyampaikan risalah, memperingatkan manusia dan membawa
kabar gembira, menunjukkan jalan bagi mereka; sama sekali beliau tidak
bertanggungjawab atas keruntuhan ataupun kejayaan mereka, karena yang
bertanggungjawab adalah rakyat sendiri. Menurut al-Quran, Rasul bukanlah penyebab aktif perubahan
dan perkembangan fundamental dalam sejarah manusia. Tetapi beliau dilukiskan
sebagai pembawa risalah yang bertugas menunjukkan ajaran dan jalan kebenaran
kepada manusia. Dengan berbuat demikian sempurnalah tugas beliau, dan terserah
kepada manusia apakah akan memilih kebenaran atau mengingkarinya, apakah akan
menerima petunjuk atau memilih kesesatan. Islam tidak mengenal kebetulan, karena semua berada di
tangan Allah. Islam menolak adanya sesuatu yang terjadi secara kebetulan, tanpa
sebab atau tujuan, baik dalam alam maupun dalam masyarakat manusia. Bila di
dalam al-Quran diceritakan tentang tokoh-tokoh besar, selain para nabi, maka
seringkali itu dihubungkan dengan kutukan atau cercaan atas mereka. kalaupun
mereka disebut karena ketakwaan dan kesalehan mereka, namun al-Quran tidak
pernah menganggap mereka sebagai faktor aktif dalam masyarakat mereka. Maka kesimpulan yang dapat ditarik dari ajaran al-Quran
ialah, bahwa menurut Islam faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan
sosial bukanlah pribadi-pribadi sang pemimpin, bukan pula kebetulan, ataupun
hukum-hukum yang berlaku umum dan abadi. Pada umumnya, setiap ajaran, setiap agama, setiap nabi,
dialamatkan kepada mereka yang sekaligus juga merupakan faktor perubahan sosial
yang fundamental dan efektif di dalam ajaran itu. Demikianlah al-Quran
dialamatkan kepada an-nas, yakni rakyat. Rasul diutus kepada an-nas, beliau
berbicara kepada an-nas; an-naslah yang bertanggungjawab atas perbuatan mereka
sendiri; an-naslah yang menjadi faktor dasar kemerosotan, ringkasnya an-naslah
yang memikul seluruh tanggungjawab terhadap masyarakat dan sejarah. Kata an-nas ini penting sekali. Ada beberapa persamaan dan
sinonimnya. Tetapi satu-satunya yang mirip dengan kata itu, baik secara
struktural maupun fonetik, ialah kata massa. Dalam sosiologi, massa terdiri
atas segenap rakyat yang merupakan kesatuan tanpa menghiraukan perbedaan kelas
ataupun sifat yang trdapat dalam kalangan mereka. karena itu �massa� berarti rakyat sendiri,
tanpa menunjuk kepada kelas atau bentuk sosial tertentu. Pengertian an-nas tepat sama dengan itu, ilah massa rakyat,
tanpa arti tambahan apa-apa. Al-Quran juga menyebut manusia dengan kata-kata
insan dan basyar, tetapi kedua kata itu masing-masing menunjuk kepada
nilai-nilai etis dan hewani yang terkandung dalam diri manusia. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan berikut. Islam adalah
ajaran sosial pertama yang mengandalkan massa sebagai faktor dasar yang sadar �yang menentukan
sejarahdan masyarakat bukan mereka yang trpilih sebagaimana pendapat Nietzsche,
bukan para aristokrat dan ningrat sebagaimana yang dikemukakan Plato, bukan
tokoh-tokoh besarnya Carlyle dan Emerson, bukan pula para pendeta atau
intelektual, melainkan massa. Keluhuran agama Islam ini akan benar-benar kita sadari bila
kita membandingkannya dengan ajaran-ajaran lain. Kepada siapakah ajaran-ajaran
lain itu dialamatkan? Di antaranya ada yang dialamatkan kepada kelas terpelajar
dan intelektual; yang lain dialamatkan kepada suatu kelompok pilihan tertentu
dalam masyarakat. Ada yang dialamatkan kepada suatu ra unggul, ada yang
dialamatkan kepada manusia-manusia super, ada yang memusatkan perhatiannya pada
suatu kelas tertentu dalam masyarakat, seperti kelas proletar atau kelas
borjuis. Hak-hak istimewa dan penghormatan khusus sebagaiaman yang
dikemukakan oleh ajaran-ajaran di atas tidak terdapat dalam Islam. Satu-satunya
faktor fundamental dalam perubahan dan perkembangan sosial ialah rakyat, lepas
dari bentuk rasial, hak istimewa kelas atau karakteristik tertentu. Kita pun dapat menyimpulkan dari al-Quran. Al-Quran
dialamatkan kepada rakyat dan rakyatlah yang menjadi poros serta faktor
fundamental dalam perkembangan dan perubahan sosial. Merekalah yang
bertanggungjawab di hadapan Allah. Tetapi bersamaan dengan itu pribadi-pribadi
besar, kebetulan dan tradisi juga bisa mempengaruhi nasib masyarakat. Jadi,
menurut Islam, ada empat faktor fundamental perkembangan dan perubahan sosial:
pribadi besar, tradisi, kebetulan dan an-nas, �rakyat�. Tradisi, sepanjang ajaran Islam dan al-Quran, mengandung
makna bahwa setiap masyarakat memiliki suatu basis tetap, atau dengan kata-kata
al-Quran, setiap masyarakat mempunyai jalan serta watak tertentu. Dalam semua
masyarakat terkandung hukum-hukum yang pasti dan abadi. Masyarakat adalah
bagaikan makhluk hidup, maka seperti halnya semua organisasi ia mempunyai
hukum-hukum yang dapat dibuktikan secara ilmiah dan tetap. Maka dipandang dari
segi tertentu, semua perkembangan dan perubahan daam masyarakat terjadi di atas
dasar tradisi serta hukum-hukum pasti yang merupakan pondasi kehidupan sosial. Karena itulah Islam tampak dekat dengan teori determinisme
sejarah dan masyarakat; tetapi dengan pemahaman yang lebih luas dan dengan
modifikasi terhadap hukum determinisme itu. Menurut Islam, di samping
masyarakat manusia (an-nas) yang bertanggung jawab atas nasibnya, maka
masyarakat pun terdiri atas para perseorangan yang bertanggungjawab atas
keadaan masing-masing. Ayat-ayat al-Quran, �Untuk mereka apa yang mereka usahakan,
dan untuk kalian apa yang kalian perbuat�. (QS. 2: 134), dan �Sungguh Allah tidak akan
merubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan mereka sendiri� (QS. 13: 11), jelas
mengandung makna pertanggungjawaban sosial. Sebaliknya, ayat �Setiap orang
bertanggungjawab atas usahanya�. (QS. 74: 38), menjelaskan tanggungjawab
perseorangan. Karena itu baik masyarakat maupun perseorangan sama harus
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan mereka di hadapan al-Khaliq, dan
masing-masing membangun nasibnya dengan tangannya sendiri. Dalam sosiologi, kedua prinsip ini tampaknya saling
bertentangan. Di satu pihak tanggungjawab dan kebebasan manusia untuk mengubah
dan memperkembangkan masyarakatnya; sedang di pihak lain, adanya hukum ilmiah
yang pasti lagi menentukan, yang bebas dari campur tangan manusia dari
merupakan basis tetap untuk perubahan masyarakat. Tetapi al-Quran menempatkan
kedua kutub ini yakni adanya hukum yang menentukan, pasti serta tetap dalam
masyarakat, berhadapan dengan tanggungjawab manusia secara kolektif maupun
perseorangan untuk perubahan dan perkembangan sosialnya sedemikian rupa
sehingga keduanya tidak lagi saling bertentangan, malahan bahkan saling
melengkapi. Begitu pulalah halnya dengan alam. Seorang insinyur
pertanian bertanggungjawab atas pertumbuhan pepohonan dan tanaman di suatu
kebun. Dia bertanggungjawab bahwa kebun itu akan menghasilkan buah-buahan
terbaik, dia bertanggungjawab memangkas dan mengairinya. Tetapi sementara itu,
ada hukum-hukum tertentu yang berlaku dalam dunia botani, dan berdasarkan
hukum-hukum yang menentukan serta pasti ini terjadilah perubahan dan
perkembangan pada tetanaman dan pepohonan itu. Maka sesuai dengan tingkat pengetahuan dan informasinya,
manusia dapat memanfaatkan hukum yang inheren dalam tanaman itu, hukum yang
pasa dirinya sendiri tidak pernah berubah. Seorang insinyur pertanian tidak
akan pernah dapat menetapkan hukum botani yang baik, ataupun menghapus yang
sudah ada. Hukum-hukum itu, yang terkandung dalam alam menuntut perhatian sang
insinyur. Meskipun dia tidak berarti mampu mengubahnya. Namun dengan intervensi
ilmiahnya dia bisa melakukan manipulasi terhadap praktek-praktek serta hukum
botani yang tetap itu, sehingga dia beroleh manfaat dari hukum yang tidak dapat
diubahnya itu. Atas dasar bentuknya yang baru, yang sepenuhnya berada dalam
ruang lingkup hukum yang ada, maka buah yang tadinya bermutu rendah atau sedang
saja oleh para insinyur dapat ditingkatkan menjadi bernilai. Tanggungjawab manusia dalam masyarakat persis seperti itu.
Masyarakat, bakaikan kebun, memiliki norma dan pola yang ditetapkan Allah. Atas
dasar itulah berlangsung perkembangan dan evolusi masyarakat. Bersamaan dengan
itu manusia memikul tanggungjawab. Dia tidak dapat mengelakkan
pertanggungjawabannya dengan manganut fatalisme Khayyami atau deerminisme
sejarah. Dia harus bertanggungjawab atas nasib masyarakatnya. Al-Quran
menyatakan, bahwa terdapat hukum yang pasti yang mendasari masyarakat, namun
al-Quran pun tidak menyangkal tanggungjawab manusia. Menurut ajaran al-Quran,
manusia bertanggungjawab untuk mengetahui secara tepat norma-norma masyarakat
dan memperbaikinya demi kemajuan masyarakatnya. Bagaimanakah caranya? Ialah
dengan pengetahuannya sendiri. Kenapa seorang insinyur pertanian lebih bertanggungjawab
untuk memelihara dan meningkatkan hasil sebidang kebun, diibandingkan dengan
orang-orang lain? Karena dia lebih mengetahui norma-norma kebun itu. Sebagai
akibatnya, dia lebih bebas mengubah keadaan pepohonan dan tanaman di dalamnya.
Begitu pula, semakin luas pengetahuan seseorang tentang norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat, semakin besar pula tanggungjawabnya untuk mengubah
serta mengembangkan masyarakat, dan semakin besar pulalah kebebasannya utnuk
berbuat itu. Islam, sebagai suatu ajaran sosiologi ilmiah, mengajukan
bahwa perubahan dan perkembangan sosial tidak dapat didasarkan atas kebetulan.
Karena masyarakat merupakan suatu organisme hidup, memiliki norma-norma yang
tetap dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Selanjutnya, manusia memiliki
kemerdekan dan kehendak bebas, sehingga sekali mengetahui norma-norma
masyarakat, maka dia bisa melakukan intervensi dalamoperasi norma-norma itu,
dan dengan memanipulasinya dia bia merencanakan dan meletakkan dasar untuk masa
depan yang lebih baikbagi perseorangan maupun masyarkat. Demikianlah di satu pihak terdapat pertanggungjawaban manusia,
sedang di pihak lain ialah kepercayaan bahwa masyarkat, sebagaimana suatu
organisme hidup, didasarkan atas hukum tetap yang dapat dibuktikan secara
ilmiah. Dari sudut andang sosiologi, kiranya ini bisa turut
menjelaskan maksud suatu ungkapan terkenal �Bukan determenisme dan bukan kehendak
bebas mutlak, melainkan tengah-tengahnya�. [5] Maka di satu pihak terdapat manusia, ekivalen dari kehendak �sedang di pihak lain
ialah masyarakat, ekivalen dari norma. Norma (sunnah), dalam istilah al-Quran,
ialah sesuatu yang tidak berubah. Manusia berhadapan dengan yang
bertanggungjawab langsung demi kehidupan perseorangan maupun masyarakatnya.
Kombinasui keduanya ialah �posisi tengah�. Manusia bebas berbuat dan bertindak.
Tetapi untuk dapat merealisasikan kebebasannya dia harus memperhatikan
hukum-hukum alam yang ada. Pribadi besar, menurut ajaran Islam, tidak dengan sendirinya
menjadi faktor kreatif. Bahkan para nabi bukan merupakan orang-orang yang
menciptakan norma-norma baru dalam masyarakat. Dari sudut pandang sosiologi,
kelebihan para dibandingkan dengan guru-guru serta tokoh-tokoh pembaruan biasa
lainnya terlepas dari derajat kenabian sendiri ialah bahwa mereka memiliki pengetahuan
yang lebih tentang norma-norma Ilahi yang terdapat dalam alam dan dunia. Itulah
sebabnya mereka lebih mampu mempergunakan kebebasannya sebagai manusia untuk
bergerak maju mencapai cita-citanya dalam masyarakat. Sejarah telah membuktikan
sepenuhnya kebenaran bahwa para nabi selalu lebih berhasil daripada tokoh-tokoh
pembaruan yang bukan nabi. Tokoh-tokoh pemabaruan adakalanya berhasil mengemukakan
tesa-tesa dari prinsip-prinsip yang indah dalam tulisan-tulisan mereka, namun
mereka tidak pernah mampu mengubah masyarakat atau menciptakan suatu peradaban.
Sebaliknya para nabi talah berhasil mambangun masyarakat, bperadaban dan
sejarah baru. Bukan karena mereka telah meyusun norma baru yang bertentangan
dengan kehendak Ilahi �sebagaimana mungkin dinyatakan oelh para penganut fasis serta
pemuja pahlawan- tetapi denga daya kenabian dan bakat istimewa, mereka telah
menemukan norma-norma Ilahi dalam masyarakat maupun alam. Dengan menyelaraskan
kehendak mereka dengan norma-norma ini, mereka berhasil melaksanakan tugas dan
mencapai tujuan mereka. Kebetulan dalam artian filosofis, juga tidak terdapat dalam
ajaran Islam. Karena intervensi Allah senantiasa berlangsung dalam setiap hal.
Lagi pula, karena tidak mengandung sebab yang logis atau tujuan akhir, maka tidak
mungkin adal kebetulan dalam masyarakat, alam ataupun kehidupan. Namun, dalam pengertian khusus, dalam nasib manusia terdapat
suatu bentuk kebetulan tertentu. Misalnya, Chengis Khan muncul di Mongolia,
memegang tampuk kekuasaan sesuai dengan norma-norma sosial, dan berhasil
menghimpun kekuatan yang besar. Tetapi kekalahan Persia di tangan Chengis Khan
adalah suatu kebetulan, itu mungkin saja tidak sampai terjadi.
Kebetulan-kebetulan semacam ini bisa sangat mempengaruhi nasib
masyarakat-masyarakat tertentu. Ringkasnya, ada empat faktor yang memperngaruhi nasib
masyarakat: pribadi besar, kebetulan, norma dan rakyat (an-nas). Di antara dua
yang terpenting ialah an-nas dan norma, karena an-nas merupakan kehendak massa
masyarakat, sedangkan norma adalah hukum-hukum yang hidup dalam masyarakat dan
daoat dibuktikan secara ilmiah. Dalam ajaran Islam, pribadi-pribadi besar ialah mereka uyang
memahami norma-norma Ilahi, yang telah menemukan norma-norma ini dari Kitab
Suci (khususnya Kitab Suci Islam, sumber hikmah dan hidayah), dan mempergunakan
Kitab itu sebagai kunci keberhasilan mereka. Pengaruh umum keempat faktor ini dalam suatu masyarakat
tertentu secara proporsional bergantung pada keadaan masyarakat tersebut. Dalam
masyarakat di mana an-nas, massa rakyat, telah mencapai kemajuan serta taraf
pendidikan dan kebudayaan yang tinggi, peranan orang-orang besar menjadi
berkurang. Tetapi dalam masyarakat yang belum sampai taraf peradaban demikian,
misalnya pada suatu kabilah yang masih terbelakang, peranan seorang tokoh atau
pemimpin mungkin sangat besar. Pada setiap tahap masyarakat, sesuai dengan
kemajuan atau keterbelakangannya, salah satu dari keempat faktor tersebut akan
lebih berpengaruh daripada ketiga lainnya. Dalam ajaran Islam, pribadi Rasul mempunyai peranan dasar
dan konstruktif dalam membawa perubahan, perkembangan dan kemajuan, dalam
membangun peradaban yang akan datang serta dalam mengubah sejarah. Sebabnya
ialah karena beliau tampil di suatu lokasi khusus, semenanjung Arabia, yang
dari sudut pandangan peradaban keadaannya sama dengan letak geografisnya.
Jazirah itu dikitari ketiga sisinya oleh lautan, tetapi ia senantiasa haus dan
gersang. Ia bertetangga dengan peradaban-peradaban besar dalam sejarah: di
utara, peradaban Yunani dan Bizantium; di timur, peradaban Persia; di tenggara,
peradaban India; di barat laut, peradaban Iram Ibrani. Ia pun bertetangga
dengan agama-agama Musa, Isa dan Zarathustra, maupun dengan keseluruhan
peradaban Aria dan Semit. Pada waktu tampilnya Rasul Islam, semua peradaban yang
ada mengumpul sekeliling jazirah Arabia. Namun karena lokasi geografisnya yang
khusus maka sebagaimana halnya mega yang menguap dari lautan sekelilingnya
tidak sampai menurunkan hujan atas negeri tiu, begitu pula peradaban-peradaban
sekitarnya tidak sampai membekas di jazirah itu. Dalam keadaan demikianlah
hadir Rasul Islam. Sehingga pribadinya, menurut kacamata sosiolog, bangkit
menjadi faktor terbesar dalam perubahan serta perkembangan masyarakat dan
sejarah. Demikian pula halnya, seorang sejarawan yang mempelajari kejadian
besar di jazirah Arabia pada abad ketujuh (Miladiah) itu akan melihat bahwa
peristiwa itu telah menyerap semua yang berada sekelilingnya dan telah
meletakkan dasar bagi suatu peradaban besar dan masyarakat baru yang luhur.
Bila sang sejarawan lalu mempelajari keadaan jazirah itu dan mengetahui betapa
kosongnya budaya serta peradabannya, dengan taraf hidup rakyatnya yang sangat
rendah, maka dia akan sangat cenderung mengaitkan tanda-tanda perubahan dan
perkembangan ini, revolusi yang paling mendasar dan paling besar dalam sejarah
ini, kepada pribadi Muhammad bin Abdullah. Demikianlah pribadi Rasul mendapat
status khusus dan sungguh istimewa. Pada umumnya ada lima faktor yang membangun pribadi
seseorang. Pertama, ibunya yang memberikan kepadanya struktur dan dimensi
ruhaniahnya. Kata orang-orang Jesuit, �Serahkanlah anakmu kepadaku hingga dia
berumur tujuh tahun, maka ke mana pun dia pergi akan tetap menjadi seorang
Jesuit hingga akhir hayatnya�. Penih kasih dan lembut sambil membelai dan menyusuinya
sang ibu memelihara ruhani serta menanamkan pendidikan awal pada anaknya. Fakor kedua yang membentuk kepribadian seseorang ialah
ayahnya, yang sesudah sang ibu memberikan dimensi lain pada si ruhani anak. Faktor ketiga yang membentuk dimensi seseorang yang lebih
lahiriah ialah sekolahnya. Faktor keempat ialah masyarakat dan lingkungan. Semakin kuat
lingkungannya maka semakin besarlah pengaruh edukatifnya atas seeorang.
Seseorang yang hidup di desa, misalnya akan menerima pengaruh formatif yang lebih
sedikit dari lingkungannya ketimbang orang yang hidup di kota besar. Faktor edukatif kelima yang membentuk kepribadian ialah
kebudayaan umum masyarakat ataupun kebudayaan umum dunia secara keseluruhan. Jadi ada lima dimensi yang secara bersama menjadi acuan
kepribadian seseorang. Ke dalam acuan itulah ruhani seseorang dituangkan dan
dari acuan itu pula ia menerima bentuknya. Pendidikan terdiri atas bentuk khusus yang secara sengaja
diberikan kepada ruhani manusia demi untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Sebab jika orang dibiarkan berbuat semaunya, maka pertumbuhannya tidak akan
sesuai dengan tujuan-tujuan kehidupan sosial. Karena itulah kita mempersiapkan
acuan-acuan tertentu untuk manusia. Dalam acuan itulah mereka tumbuh dan
berkembang sesuai dengan keinginan kita dan tuntutan zaman. Tetapi dalam kehidupan Rasul Islam, yang kepribadian beliau
harus dianggap sebagai faktor terbesar dalam perubahan sejarah, ternyata tidak
satu pun faktor dari faktor-faktor tersebut yang telah mempengaruhi ruhani
beliau. Sebaliknya, Allah sengaja menghendaki bahwa ruhani beliau bebas dari
acuan atau bentuk, agar ruhani beliau tidak sampai tersentuh oleh bentuk buatan
ataupun yang ditanamkan menurut selera zaman dan lingkungan. Sebab pribadi
besar itu justru hadir untuk menghancurkan segala acuan. Andaikata beliau
sempat tumbuh dalam salah satu acuan demikian, tentulah beliau tidak akan
pernah berhasil melaksanakan tugas beliau. Mungkin, misalnya, beliau menjadi
seorang dokter besar, tetapi hanya menurut model Yunani; mungkin beliau menjadi
seorang filosof besar, tetapi hanya menurut model Persia; mungkin beliau
menjadi seorang matematikus atau penyair besar, tetapi hanya model yang
diperkenankan zaman. Bagaimanapun juga beliau diutus untuk tumbuh dan
berkembang dal;am suatu lingkungan yang kosong dari kebudayaan dan peradaban
agar terhindar dari sentuhan pengaruh kelima faktor tersebut di atas. Itulah sebabnya Rasul dilahirkan dalam keadaan yatim.
Meskipun mempunyai ibu, namun beliau terpelihara dari segala bentuk dan acuan.
Sejak awal kanak-kanaknya beliau telah dihijrahkan ke gurun pasir, padahal
ibunda beliau masih hidup. Menjadi kebiasaan orang Arab ketika itu untuk
mengirimkan bayi mereka ke desa-desa di gurun pasir, sampai mereka berumur dua
tahun, sehingga masa kanak-kanak mereka lewatkan di gurun. Sesudah itu barulah
mereka kembali ke kota untuk diasuh dan dibesarkan oleh ibu mereka sendiri.
Bertentangan dengan kebiasaan ini, Muhammad Rasulullah begitu pulang ke Makkah
kembali lagi ke gurun, dan tinggal di sana hingga beliau berusia lima tahun.
Ibunda beliau wafat tidak lama kemudian. Langkah-langkah Ilahi yang penuh
hikmah dan gaib telah memelihara, dari pengaruh semua bentuk dan acuan, seorang
anak yang telah ditakdirkan utnuk menghancurkan semua acuan yang ada �acuan-acuan Yunani,
Timur Barat, Yahudi, Nasrani, Zarathustra- dan untuk membentuk suatu acuan
baru. Kemudian kembali tangan Allah dan nasib mengarahkannya dari kota ke
gurun, dengan dalih menjadi gembala, agar lingkungan kota jangan sampai
mengesankan bentuk kodian pada jiwa yang harus berkembang bebas. Lagi pula,
agar supaya jangan sampai ada pengaruh masyarakat dan zaman atas Rasul, maka
beliau telah dilahirkan dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal kebudayaan
umum. Tambahan lagi, beliau adalah buta huruf �tidak bisa membaca dan
menulis- agar acuan sekolah pun tidak sampai membekas pada beliau. Jelaslah bahwa keistimewaan serta kelebihan terbesar seorang
yang harus melaksanakan tugas semacam itu adalah justru bahwa dia dibebaskan
dari segala macam bentuk dan acuan yang telah diterima zamannya, yang membentuk
manusia menurut suatu stereotip. Karena orang yang ditakdirkan untuk
membinasakan segala berhala, menutup semua akademi dan menggantikannya dengan
masjid, orang yang ditakdirkan untuk menghancurkan semua bentuk dan acuan
rasial, nasional maupun regional, sekali-kali tidak boleh sampai menerima
pengaruh sesuatu untuk demikian. Mula-mula ayahanda beliau diambil agar dimensi-dimensi sang
ayah jangan sampai membekas pada jiwa Rasul. Lalu ibunda beliau dijauhkan
daripada beliau agar supaya kelembutan kasih mesra keibuannya jangan sampai
meninabobokkan jiwa yang harus tegas dan perkasa. Tambahan pula, beliau
dilahirkan di suatu jazirah gersang, jauh dari kebudayaan universal, agar
supaya jiwa beliau jangan sampai tersentuh pengaruh edukatif sesuatu
kebudayaan, peradaban atau agama. Karena jiwa yang ditakdirkan untuk memikul
dan melaksanakan tugas luar biasa tidak bisa dibentuk menurut bentuk biasa. Apa
yang tampak sebagai kekurangan ini justru sebenarnya merupakan keuntungan dan
keistimewaan untuk dia yang diberi amanah dengan peranan terbesar dalam
peristiwa sejarah, terbesar. (Dari buku �Paradigma Kaum Tertindas: Sebuah Kajian
Sosiologi Islam�) |