Keraguan-keraguan Orang-orang Yang Tidak Meyakini Wilayatul FaqihDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Kesimpulan kita tentang wilayatul faqih adalah
demikian: 1- Wilayah dan pemerintahan
seorang faqih adalah termasuk konsekwensi yang tidak dapat terpisahkan dari
Islam, bahkan menurut Imam Khomeini dengan melihat kepada sisi-sisinya dan
seluruh bab-bab fikih adalah termasuk hal-hal apriori yang tidak butuh argumentasi
apalagi terdapat juga argumen-argumen rasional dan tekstual (naqli) dalam hal
itu. 2- Menjadi sebuah keharusan
bagi umat Islam dalam rangka merealisasikan dan menjalankan hukum Islam, dalam
kondisi-kondisi yang tepat di bawah kepemimpinan ahli-ahli fikih (fuqaha’),
untuk memproklamasikan perlawanan dan memberantas sistem pemerintahan tidak
adil serta menggantikannya dengan pemerintahan Ilahi di bawah pengawasan wali
faqih, walaupun hal ini menuntut pengorbanan jiwa dan harta, dan ringkasnya
kaum Muslimin tidak boleh sekalipun menyerah di bawah naungan pemerintahan
zalim, akan tetapi harus bangkit dan tidak perlu menyesal dalam mengorbankan
jiwa dan harta, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Muslimin pada permulaan
Islam berlomba-lomba membela Islam dan agama Allah swt dan apabila mereka
terbunuh di jalan ini maka mereka akan memperoleh derajat tinggi sebagai
syuhada’. Sekarang kita akan membahas keraguan dan pandangan
orang-orang yang mengingkari wilayatul faqih dan berkeyakinan bahwa di masa
ghaibah (Imam Mahdi), seorang fakih tidak memiliki sedikit pun wilayah dan juga
tidak ada hak untuk melakukan perlawanan terhadap pemerintah zalim, kita akan
lihat apakah argumen mereka? Dan dengan neraca apa mereka melontarkan hal
tersebut? Dengan merujuk kepada kitab-kitab dan ucapan-ucapan mereka
ketika mengkaji jelas bahwa dalam rangka menafikan wilayatul fakih dan
mengingkarinya mereka mengatakan: Kita tidak memiliki satu pun argumen yang
membuktikan adanya sebuah wilayah yang dimiliki fuqaha’ pada masa ghaibah, adapun
riwayat-riwayat yang digunakan untuk membuktikan hal tersebut sebagian dari
sisi dilalah (indikasi) dan yang lain dari sisi sanad memiliki problem, oleh
karena itu tidak dapat diterima, maka terpaksa prinsip pertama “tidak adanya
wilayah seseorang terhadap orang lain” harus diterima dan seorang fakih juga
tidak memiliki sedikit pun wilayah terhadap rakyat. Dan dalam rangka menjawab kebangkitan melawan pemerintahan
tidak adil bersandar kepada serangkaian riwayat yang menyatakan: “Setiap
kebangkitan sebelum kemunculan Imam Mahdi as dapat dipastikan akan mengalami
kekalahan, dan setiap bendera yang berkibar sebelum bendera beliau as, maka
pemiliknya adalah thaghut dan tidak dibenarkan untuk berkumpul disekitar
mereka”. Oleh karena itu kaum Muslimin pada masa ghaibah tidak memiliki tugas
dan kewajiban untuk bangkit melawan para penguasa zalim dan thaghut, akan
tetapi hanya wajib beramar makruf dan nahi munkar secara lisan, itu pun dengan
persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan dalam kitab amar makruf seperti
adanya persangkaan akan berdampak, aman dari marabahaya dan lain-lain, dan
hanya cukup berdoa secara umum untuk keselamatan orang-orang yang ditindas oleh
pemerintahan tidak adil dan untuk kehancuran mereka, sehingga Allah swt
mengirim Imam Mahdi as yang akan menyelamatkan mereka dari cengkeraman para
penguasa zalim dan keji, dan mereka diperkenankan berada dalam jamaah Imam
Mahdi pada masa itu dan bangkit mengadakan perlawanan dan bila gugur maka akan
memperoleh kesyahidan, karena wilayah Imam Mahdi telah terbukti dan gerakan
beliau as pasti akan memperoleh hasil dan tidak akan terkalahkan. Namun pada
masa ghaibah, wilayah fuqaha’ belum terbukti bagi kita dan juga kebangkitan
mereka tidak akan meraih kemenangan, dan tentunya perlawanan orang-orang dalam
jamaah mereka dan pengorbanan jiwa dan harta tidak hanya tidak terhitung dalam
kesyahidan, bahkan termasuk dalam kategori “menjerumuskan diri kepada
kehancuran”, oleh karena itu pada masa ini jalan terbaik adalah berpangku
tangan dan menunggu kemunculan sang Imam as. Hal ini akan kita bahas dalam tiga aspek: 1- Kita akan lihat apakah
problema riwayat-riwayat yang digunakan sebagai argumen dari sisi dilalah atau
sanad akan menafikan wilayatul fakih atau tidak? 2- Kita juga akan
menyaksikan riwayat-riwayat yang digunakan mereka sebagai bahan argumentasi
yang menyatakan: Setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as akan
mengalami kekalahan, termasuk jenis riwayat apa dan pada kondisi mana serta
dilontarkan kepada siapa-siapa saja? 3- Apakah kita memiliki
argumen-argumen yang mewajibkan kebangkitan melawan penguasa zalim, bahkan
kebangkitan bersenjata atau tidak? Pertama
Kita akan kaji hal pertama ini dari dua sudut: 1- Metode kajian kita untuk
menetapkan wilayatul fakih memiliki perbedaan fundamental dengan metode
orang-orang sebelumnya, karena orang-orang sebelumnya melihat wilayatul fakih
sebagai sebuah hal yang telah disepakati dan diterima, setelah itu mereka
mencari argumen untuk itu dan berusaha menemukan riwayat-riwayat untuk
membuktikan klaim mereka kemudian memaparkannya sebagai argumentasi. Di pihak
lain terdapat orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih dan mereka berusaha
mencari kelemahan riwayat-riwayat tersebut dari sisi sanad atau dilalah, dengan
demikian otomatis orang-orang yang mendukung wilayatul fakih akan kehilangan
argumen. Akan tetapi kita menempuh sebuah metode yang apabila kita tidak
memiliki riwayat-riwayat tersebut, wilayatul fakih akan tetap dapat kita
buktikan, apalagi kita juga memiliki riwayat-riwayat tersebut, oleh karena itu
kita akan menjelaskan riwayat-riwayat tersebut sebagai pendukung argumentasi
rasional disamping argumentasi-argumentasi lain untuk wilayatul fakih,
sedangkan argumentasi dasar kita adalah dengan merujuk kepada seluruh hukum
fikih dan hukum akal, karena setiap bab dari bab-bab fikih akan dikembalikan
hukum-hukumnya kepada seorang hakim. Dari sisi lain kitab-kitab fikih ini tidak
ditulis untuk masa Imam Mahdi as, namun merupakan undang-undang bagi kaum
Muslimin pada masa ghaibah dan dengan melihat bahwa hukum-hukum tersebut tetap
berlaku pada masa ghaibah dan dilarang merujuk kepada para hakim atau penguasa
zalim serta dengan melihat kepada kondisi-kondisi yang telah ditentukan untuk
seorang pemimpin atau imam dalam kepemimpinannya, maka otomatis akan dapat
dipastikan penetapan sebuah pemerintahan hak itu pun di bawah kepemimpinan
wakil-wakil umum Imam Zaman as –yakni fuqaha’ yang memenuhi persyaratan sebagai
seorang pemimpin-, baik itu kita memiliki hadis maqbulah dari Umar bin
Handholah ataukah tidak, apakah sanadnya lemah atau dapat dipercaya. 2- Tidak semua riwayat yang
digunakan sebagai argumen memiliki problem dari sisi sanad atau dilalah dan
orang-orang yang mengakui wilayatul fakih tidak memegang argumen riwayat sama
sekali, akan tetapi sebagian riwayat dari sisi sanad adalah shahih dan
muwatstsaq dan sebagian yang lemah atau kedha’ifan sanad telah diterima dan
diamalkan oleh ulama, sementara kedha’ifan sanad riwayat-riwayat tersebut telah
ditutupi dengan amal ulama, dari sisi dilalah juga tidak seperti yang
diperkirakan oleh orang-orang yang mengingkari wilayatul fakih, bahkan secara
keseluruhan dari riwayat-riwayat tersebut permasalahan wilayatul fakih pada
masa ghaibah kubra dapat disimpulkan dengan baik. Ringkasnya, pada masa ghaibah bukan berarti kita tidak
memiliki sebuah argumen pun untuk membuktikan wilayatul fakih, sehingga kita
harus kembali kepada prinsip pertama “tidak adanya wilayah seseorang terhadap
orang lain” dan fuqaha’ sabagaimana orang-orang biasa tidak memiliki wilayah
sama sekali, bahkan wilayah fuqaha’ sebagaimana wilayah Nabi Muhammad saw dan
para Imam maksum as keluar dari prinsip pertama. Kedua
Orang-orang yang berkeyakinan bahwa sebelum kemunculan Imam
Mahdi as setiap gerakan atau kebangkitan akan mengalami kekalahan dan setiap
bendera yang berkibar pengibarnya adalah penguasa zalim, dan tidak
diperkenankan untuk berkumpul dalam jamaah tersebut, dan mereka mempercayai
bahwa pada masa ghaibah kaum Muslimin tidak memiliki tugas dan kewajiban yang
disebut dengan kebangkitan melawan para penguasa zalim dan atau membentuk
sebuah pemerintahan bernama pemerintahan hak, akan tetapi tugas dan kewajiban
mereka hanya sebatas beramar makruf dengan tingkatan bawahnya yakni secara
lisan, itu pun ketika merasa aman dari bahaya. Mereka bersandarkan kepada
serangkaian riwayat yang mayoritanya dikoleksi oleh almarhum Syeikh Hurr ‘Amuli
dalam kitab “Wasail Al-Syi’ah”[2], yang
apabila kita mengkaji dan memahami maksudnya, maka makna-makna riwayat-riwayat
lain yang terdapat dalam kitab-kitab lain juga akan jelas –semisal sebuah
riwayat yang terdapat dalam mukaddimah Shahifah Sajjadiyah dan yang lainnya,[3] karena seluruh riwayat ini memiliki
keserupaan dan dari satu jenis. Namun sebelum masuk dalam kajian
riwayat-riwayat itu ada baiknya kita menyinggung beberapa poin yang sangat
bermanfaat dan berpengaruh dalam memahami makna-makna riwayat-riwayat tersebut. Hal pertama yang harus diperhatikan, setiap kebangkitan dari
siapa pun walaupun melawan penguasa zalim tidak dapat dibenarkan, akan tetapi
seseorang yang telah mengumpulkan sekelompok orang di sekitarnya dan bangkit
melawan kezaliman dan kerusakan, harus memenuhi persyaratan seorang pemimpin
dan atau melakukan kebangkitan dengan perwakilan dan izin seorang yang seperti
itu, maka apabila seseorang yang tidak memiliki ilmu, keadilan dan kejujuran
dan menyeru orang-orang ke arahnya, dan tujuannya adalah menggulingkan penguasa
zalim dan menggantikannya dengan dirinya sendiri sementara ia sendiri tidak
memiliki hak memimpin dalam syareat suci, kebangkitan yang demikian ini
tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu pada masa Imam Sadiq as terjadi
berbagai kebangkitan melawan Bani Umayyah atau Bani Abbas dan terdapat
orang-orang yang menyeru untuk bangkit, para sahabat Imam Sadiq as meminta
kejelasan taklif kepada beliau as mengenai partisipasi dalam
kebangkitan-kebangkitan semacam itu, Imam Sadiq as dalam jawabannya bersabda:
Apabila seseorang dari keluarga Nabi Muhammad saw bangkit dan meminta kalian
untuk membantunya maka lihatlah apakah tujuan orang tersebut dari
kebangkitannya? Untuk apa dan dengan kepemimpinan siapa hal itu dilakukan? Dan
janganlah kalian bandingkan setiap kebangkitan dengan kebangkitan Zaid bin Ali
bin Husain as dan janganlah kalian katakan bahwa kebangkitan Zaid dibenarkan
maka setiap kebangkitan dapat dibenarkan karena Zaid adalah seorang alim dan
jujur (benar) dan ia tidak menyeru orang-orang kepada dirinya sendiri akan
tetapi menyeru dengan keredhoan dari keluarga Muhammad saw dan apabila ia
mencapai kemenangan dalam jalan ini maka ia akan memenuhi janjinya, yakni
menyerahkan kebenaran kepada imam maksum dan ia sendiri tidak memiliki motifasi
apa-apa. Sebagaimana yang anda saksikan, Imam Sadiq as bersandarkan
kepada ilmu dan kejujuran serta cara seruan Zaid. Kemudian Imam as bersabda:
“Apabila terdapat orang-orang seperti Zaid adalah baik, adapun mereka yang
bangkit pada hari-hari ini, hingga saat itu mereka tidak memiliki kekuatan dan
belum ada bendera yang dikibarkan dengan nama mereka, mereka tidak ingin
mendengarkan ucapan kami dan tidak mematuhi kami, apa yang terjadi ketika suatu
hari kelak mereka memegang bendera. Artinya mereka tidak memenuhi persyaratan
dalam kepemimpinan dan kebangkitan dan juga tidak siap mendengarkan ucapan imam
maksum, walaupun slogan mereka seperti slogan Zaid akan tetapi dalam praktek
mereka mengerjakan yang sebaliknya”.[4] Dalam hal ini juga terdapat sebuah riwayat yang dinukil
dalam kitab Wasail Al-Syi’ah[5] yang darinya dapat disimpulkan dengan
baik bahwa orang-orang yang bangkit harus memenuhi syarat-syarat dalam
kepemimpinan, diantaranya harus sebagai orang yang paling alim dari
semuanya, paling pandai dalam menentukan hukum-hukum Allah dari Al-Qur’an dan sunnah,
oleh karena itu seseorang bernama Abdul Karim bin ‘Utbah berkata: Di Makkah
kita sedang duduk di hadapan Imam Sadiq as, tiba-tiba sekelompok orang dari
Mu’tazilah[6] masuk dan berkata: Oleh karena Bani
Umayyah sedang ribut dan saling membunuh, dan mereka membunuh Walid sang
penguasa dan khalifah, maka kita mengambil keputusan untuk membaiat seseorang
yang memiliki akal dan agama serta memiliki hubungan dengan Rasulullah saw,
yakni Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan dan kita telah berbaiat. Oleh karena
itu kami juga memohon kepada anda yang memiliki banyak pengikut untuk berbaiat
kepadanya. Setelah mengucapkan puji syukur kepada Allah dan
ucapan-ucapan lain, Imam Sadiq as bertanya kepada mereka apabila kalian bangkit
dan memperoleh kemenangan dari ahli kitab atau Majusi atau orang-orang musyrik
atau orang-orang yang menyembah berhala bagaimanakah perlakuan kalian terhadap
mereka? Mereka menjawab bahwa kita akan melakukan hal ini dan itu,
dan dalam jawaban mereka semua orang-orang kafir dianggap satu dan mengatakan
kita akan memperlakukan mereka dengan sama. Imam as menjawab: Dari siapakah kalian mempelajari
hukum-hukum tersebut? Mereka menjawab bahwa orang-orang mengatakan demikian.
Imam as menjawab: Bertaqwalah kalian kepada Allah! Orang yang ingin bangkit dan
mengendalikan urusan kaum Muslimin serta menyeru orang lain kepadanya, harusla
orang yang paling berpengetahuan, dan tidak ada yang lebih alim darinya di
tengah-tengah khalayak, bila tidak demikian maka orang tersebut akan tersesat
dan juga menjadi sesab kesesatan orang lain. Oleh karena itu Imam Sadiq as
menukil dari ayah beliau as Imam Baqir as dari Rasulullah saw yang bersabda:
“Barangsiapa yang menyabet orang lain dengan pedangnya dan menyeru orang-orang
kepadanya dan di tengah-tengah kaum Muslimin terdapat orang yang lebih alim
darinya maka ia adalah sesat yang memaksakan”.[7] Oleh karena itu kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan pada
masa para imam as terdapat dua macam, salah satunya disetujui dan yang lain
yang tidak memiliki persyaratan layak tidak disetujui mereka.
Perlawanan-perlawanan seperti yang dilakukan oleh Zaid bin Ali bin Al-Husain as
dan Yahya bin Zaid serta Husain Syahid Fakh termasuk yang disetujui oleh para
imam suci as, karena mereka (para syahid tersebut) marah atau tidak setuju
dengan kondisi yang disetir oleh penguasa zalim karena Allah dan melakukan
perlawanan karena beramar makruf dan nahi munkar, dan apabila menang, mereka
akan mengembalikan hak kepada pemiliknya. Akan tetapi kebangkitan-kebangkitan seperti kebangkitan Bani
Abbas dan Abu Muslim Khurasani melawan Bani Umayyah, dan kebangkitan Muhammad
bin Abdullah bin Al-Hasan yang dikenal dengan Nafs Zakiyyah dan saudaranya
Ibrahim bin Abdullah melawan Mansur Dawaniqi, serta kebangkitan Zaid An-Nar
saudara Imam Ridho as melawan Bani Abbas tidak didukung dan disetujui oleh para
imam suci as, walaupun tampaknya sebagian mereka melontarkan seperti slogan
Zaid bin Ali bin Al-Husain as (yakni menyeru khalayak pada keridhoan keluarga
Muhammad saw) akan tetapi dalam prakteknya tidak demikian, bahkan tujuan utama
dari keridhoan keluarga Muhammad saw adalah mereka sendiri yang bermotifasi
memimpin umat Islam yang menurut pandangan Syi’ah tidak ada perbedaan antara
kekuasaan Bani Umayyah dan Bani Abbas atau Zaid An-Nar dan Makmun Abbasi
sebagai bentuk nyata kekuasaan zalim dan keji, karena neraca dalam menentukan
sebuah kekuasaan zalim adalah tidak adanya pengesahan dan tanda tangan dari
Allah dan pihak Rasulullah saw dalam kepemimpinan pemerintahan tersebut, dan
dalam prakteknya juga kedua kelompok (Bani Umayyah dan Bani Abbas) bersikap
sama terhadap para imam as dan bahkan kelompok kedua lebih buruk dari pertama. Apabila terdapat sebuah riwayat dari para imam maksum as
–dengan melihat pada kondisi masa itu- yang menginsrtuksikan kepada para
sahabat untuk berpangku tangan dan tinggal diam di rumah serta menghindari
partisipasi dalam kebangkitan ini, maka kita tidak boleh langsung mengambil
riwayat tersebut sebagai argumen atas kecaman setiap kebangkitan dan kita redam
setiap suara mazlum yang melawan penguasa zalim oleh karena Imam Sadiq as
pernah bersabda kepada Sadir Shairufi untuk “berpangku tangan dan berdiam diri
di rumah” dan “jangan ikut serta dalam setiap kebangkitan manapun karana akan
mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah zalim”. Akan tetapi harus dilihat
macam apakah kebangkitan yang dilakukan, dan dipimpin oleh siapa-siapa saja?
Apabila kebangkitan seperti Zaid dan Yahya serta Husain Syahid Fakh bukan saja
tidak boleh dikecam akan tetapi harus diikuti dan didukung, meskipun tidak
sampai pada kemenangan puncak karena dengan kebangkitan semacam ini hujjah
telah sempurna dan tampak jelaslah rupa kekuasaan penguasa zalim, bila semua
memilih berdiam diri maka hal itu menjadi kesamaran bagi umat yang akan
menganggap kebatilan sebagai kebenaran dan hukum-hukum yang tidak sesuai dengan
Islam sebagai hukum-hukum Islam. Apabila kebangkitan seperti yang dilakukan oleh Bani Abbas
dan Sadat Hasani maka harus ditolak dan tidak boleh diikuti karena tujuannya
menggulingkan penguasa dan menggantikannya dengan penguasa lain yang sama
sepertinya, semisal gerakan-gerakan yang dilakukan oleh sebagian pihak dan
kelompok menentang penguasa zalim Syah yang sejak pertama kebangkitan mereka,
Imam Khomeini ra dan pengikut setia beliau telah melarang rakyat untuk
mengikutinya, karena apabila mereka berhasil dan mengambil alih kendali urusan
maka mereka akan bertindak lebih buruk dari Syah dan antek-anteknya sebab
mereka tidak lebih baik dari rezim keji Syah dari sisi religius dan juga dari
sisi metode politik. 2- Poin lain yang harus
diperhatikan dalam rangka memahami riwayat-riwayat tersebut adalah permasalahan
seputar Imam Mahdi (kemahdawian atau Mahdiisme) yang dinukil dari Nabi Muhammad
saw dari berbagai jalur: “Dari keluargaku (ahlul bait) akan bangkit seorang
yang akan menggulung para penguasa zalim, merusak istana-istana kezaliman di
atas kepala mereka dan akan menghamparkan keadilan, tiada pemerintahanpun di
dunia yang tidak tunduk kepadanya”. Dan masih banyak lagi riwayat-riwayat
seperti ini yang juga diucapkan dari lisan suci Amirul Mukminin Ali bin Abi
Thalib as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Oleh karena itu beberapa orang
telah mengaku diri sebagai Mahdi mau’ud (yang dijanjikan), dan mengambil baiat
dari orang lain untuk dirinya sendiri dengan mengatas namakan sebagai Mahdi dan
melakukan kebangkitan melawan penguasa zalim, sebagai contoh Mahdi Abbasi yang
adalah salah satu dari khalifah Bani Abbas mendapatkan julukan seperti itu.
Atau Muhammad bin Abdullah bin Al-Hasan yang terkenal dengan Nafs Zakiyyah
mengambil baiat dari orang-orang atas nama Mahdi mau’ud, dan bahkan meminta
kepada Imam Sadiq as supaya membaiatnya sebagai Mahdi keluarga Muhammad dan
bangkit melawan Bani Umayyah dalam jamaahnya, akan tetapi Imam Sadiq as tidak
bersedia membaiatnya, dan oleh karena itulah Abdullah bin Hasan (ayah Muhammad
bin Abdullah) membenci Imam Sadiq as dan melontarkan kata-kata yang tidak
pantas kepada beliau as sebagaimana yang dinukil dalam Irsyad Mufid dari
“Maqatiluth Thalibin” Abul Faraj: Abdullah bin Hasan mengadakan sebuah jamuan
dan mengundang Bani Hasyim untuk membaiat puteranya Muhammad. Jamuan tersebut
juga dihadiri oleh Saffah dan Mansur Dawaniqi. Ketika itu Abdullah berkhutbah,
setelah menyebut hamdalah ia mengatakan: Kalian semua mengetahui bahwa puteraku
Muhammad adalah Mahdi yang telah dijanjikan, maka marilah kita membaiatnya”. Kemudian
ia pergi kepada Imam Sadiq as yang hadirjuga ketika itu. Abdullah pada mulanya
sangat menghormati Imam Sadiq as dan mendudukkan beliau as disampingnya dan
mulai berkata: Semua orang telah membaiat puteraku, maka silahkan anda juga
berbaiat. Imam Sadiq as menjawab: Jika maksudmu adalah bahwa puteramu Muhammad
adalah Mahdi dari keluarga Muhammad saw yang dijanjikan dan sekarang ini harus
memulai kebangkitan umumnya, maka tidaklah benar, karena puteramu bukanlah
Mahdi yang dijanjikan dan juga masa Imam Mahdi as belum sampai. Akan tetapi
jika makdus kalian ingin menyatakan kemarahan kalian demi Allah dan bangkit
untuk beramar makruf nahi munkar, maka tidak ada halangan, akupun akan bersama
kalian namun aku tidak akan membaiat puteramu Muhammad, dan engkau yang adalah
ayahnya dan syeikh dari kabilah kami ambillah tampuk kepemimpinan untuk bangkit
dan aku akan bekerja sama dengan kalian”. Ketika Abdullah bin Hasan melihat Imam Sadiq as tidak
bersedia membaiat puteranya yang bernama Mahdi mau’ud dan menolak kemahdawiannya,
ia sangat marah dan berkata: Engkau sendiri sangat tahu bahwa hal itu bukanlah
demikian dan aku bersumpah demi Allah, engkau tidak diberitahu oleh Allah dari
ilmu ghaibNya akan tetapi kehasudan terhadap puterakulah yang membawamu kepada
sikap demikian”.[8] Sebagaimana yang dapat disaksikan dalam hadis ini, Muhammad
bin Abdullah bin Hasan melakukan kebangkitannya dengan nama Mahdi mau’ud dan
mengambil baiat dari orang-orang untuk dirinya sendiri. Sangat tepat sekali di sini kita menukilkan hadis dari kitab
Kafi yang disebutkan dengan detail oleh almarhum Kulaini bahwa Muhammad bin
Abdullah bin Hasan pada permulaan kebangkitannya di Madinah melawan Mansur
Dawaniqi bermusyawarah dengan Isa bin Zaid yang adalah salah seorang
kepercayaannya mengenai pengambilan baiat dari seluruh Bani Hasyim, Isa bin
Zaid mengatakan: Datangkanlah Jakfar bin Muhammad as sebelum semua orang dan
ambillah baiat darinya sehingga yang lain akan terpaksa berbaiat, ketika Imam
as datang Isa bin Zaid berkata: Aslim taslim (Menyerahlah maka anda akan
selamat). Imam Sadiq as bertanya: Ada apa ini? Apakah seorang nabi setelah
Muhammad saw telah diutus? Muhammad berkata: Tidak, akan tetapi berbaiatlah
sehingga jiwa, harta dan anak-anak anda akan aman. Setelah terjadi perdebatan
yang sangat lama dan panjang, Isa bin Zaid menatap Imam Sadiq as dan berkata:
Jika engkau masih berkata lagi maka akan aku retakkan mulutmu. Dan pada
akhirnya wakil Muhammad berdiri dan menghantam bagian belakang kaki Imam Sadiq
as serta membawa beliau as keluar dari acara pertemuan tersebut dan
menjebloskan ke dalam tahanan kemudian mengambil akih seluruh harta benda
beliau as dan keluarga beliau yang tidak berbaiat kepada Muhammad.[9] Dengan melihat riwayat-riwayat ini, menjadi jelas problem
nyata kebangkitan orang-orang seperti Muhammad bin Abdullah yang tergolong
orang-orang baik dan dikenal dengan Nafs Zakiyyah, apalagi kebangkitan
orang-orang seperti Abu Muslim, Bani Abbas dan Zaid An-Nar. Dan dengan
mengamati hal-hal ini apabila terdapat sebuah hadis yang dilontarkan dari Imam
Sadiq as misalnya yang menginstruksikan kepada para sahabat untuk berdiam diri
dan tidak ikut serta dalam kebangkitan, apakah dari hadis tersebut dapat
disimpulkan bahwa setiap kebangkitan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as dikecam
dan akan mengalami kekalahan dan pemimpinnya adalah pemimpin zalim? Ataukah
tidak demikian, kita harus mengenal kebangkitan-kebangkitan tersebut dari yang
lainnya, tidak boleh membandingkan sebuah kebangkitan seperti yang dilakukan
oleh Zaid bin Ali bin Husain as dengan yang dipimpin oleh Zaid An-Nar, harus
melihat pimpinan-pimpinan dan tujuan kebangkitan tersebut dan setelah itu kita
duduk untuk menghukuminya. Untungnya mayoritas riwayat yang ada dalam
kitab-kitab hadis dan yang dipergunakan oleh orang-orang yang menentang
kebangkitan seperti riwayat-riwayat berikut yang menyatakan “Barangsiapa
bangkit sebelum kebangkitan Imam Mahdi as, maka tidak atas dasar kebenaran dan
kami tidak ridho dengannya serta tidak akan berakhir dengan kemenangan” hal
melihat pada kebangkitan-kebangkitan yang biasanya dilakukan oleh sadat atau
sayid-sayid (keturunan Nabi saw) dengan mengatas namakan sebagai Mahdi mau’ud
dan para Imam maksum as mengecam jenis kebangkitan-kebangkitan ini dan sama
sekali tidak mendukungnya, bukannya mengecam setiap kebangkitan dengan niatan
apapun walaupun dengan niatan beramar makruf dan nahi munkar dan ketika
berakhir dengan kemenangan akan mengembalikan hak kepada yang berhak. Buktinya
adalah riwayat Maqatiluth Thalibin yang dinukil dari Irsyad tersebut di atas
yang mana Imam Sadiq as membagi kebangkitan menjadi dua bagian. Dengan demikian
jika hal itu untuk kerelaan Allah dan bermaksud beramar makruf dan nahi munkar
maka tidak ada kecaman dari para Imam maksum aswalaupun pada akhirnya tidak
mencapai kemenangan, akan tetapi minimal manfaatnya adalah merusak hegemoni
kekuasaan penguasa zalim dan menyempurnakan hujjah (itmamul hujjah) kepada
makhluk Allah serta memberikan tanda bahaya kepada kaum mukminin bahwa
kekuasaan ini bukanlah kekuasaan yang hak dan tidak diwajibkan untuk mengikuti
undang-undang dan peraturannya. 3- Poin ketiga yang harus
dicermati adalah bahwa kebangkitan melawan penuasa zalim walaupun benar dan di
bawah kepemimpinan pimpinan yang adil, juga tetap memiliki persyaratan dan
mukaddimah yang harus dipenuhi sebelumnya dan apabila belum terpenuhi ingin
melakukan kebangkitan maka otomatis disamping akan mengalami kekalahan juga
pasti tidak akan membuahkan hasil walaupun bisa jadi setelah memenuhi
mukaddimah-mukaddimah juga mengalami kekalahan. Akan tetapi jika dilaksanakan sebelum tersedianya lahan,
maka bisa jadi akan dengan cepat akan mengalami kekalahan dan juga akan
membentuk kesan buruk di antara khalayak. Maka dengan demikian kebangkitan atas
nama kebenaranpun juga dalam sebagian kondisi tidak diperbolehkan, akan tetapi
sebelumnya harus terbuka lahan bagi khalayak dan selanjutnya dilakukan
kebangkitan dan kaum Muslimin tidak selayaknya untuk mengorbankan jiwanya
dengan sia-sia dan menjadi korban dari emosi dan perasaan; karena –menurut
ungkapan Imam Sadiq as- dalam permasalahan jiwa tidak ada artinya untuk
mencoba, sebab setelah terbunuh tidak ada lagi nyawa sehingga seseorang akan
lebih teruji dalam usaha-usaha berikutnya,[10] maka dari pertama harus dilakukan
dengan perhitungan matang sehingga tidak ada korban jiwa demi keinginan dan
emosi atau perasaan. Di sinilah akan semakin jelas arti sebagian dari
riwayat-riwayat yang dijadikan argumentasi oleh mereka yang tidak setuju dengan
kebangkitan karena setelah mengkaji dengan sempurna mengenai seputar
riwayat-riwayat tersebut diketahui bahwa seseorang yang menjadi sasaran dari
ucapan Imam sadiq as (mukhatab) dan diinstruksikan untuk berdiam diri adalah
termasuk orang-orang yang berperangai bersih akan tetapi emosional yang setiap
saat ingin melakukan kebangkitan, Imam Sadiq as menginstruksikan kepada orang
seperti ini untuk pergi ke rumah dan berdiam diri sehingga tiba masanya, oleh
karena itu Sadir Shairufi, Abdus Salam bin Na’im dan sebagian sahabat lain
menjadi gembira ketika melihat pasukan Abu Muslim Khurasani terbentuk dan
berharap alangkah baiknya jika pasukan tersebut menuju Imam Sadiq as dan beliau
as mengambil alih tampuk kepemimpinan, oleh karena itu sebuah surat dilayangkan
kepada beliau as dan menginginkan untuk melakukan kebangkitan karena pasukan
telah siap. Imam Sadiq as melempar surat itu ke tanah dan bersabda: “Aku
bukanlah pemimpin atau imam mereka”[11]dan
kalian juga jangan tergesa-gesa karena segala sesuatu ada masanya, yakni jika
maksud kalian adalah supaya aku melakukan kebangkitan dengan nama Mahdi mau’ud,
maka itu ada tanda-tandanya yang diantaranya adalah Mahdi Mau’ud akan membunuh
Sufyani, jika kalian lihat bahwa persyaratn-persyaratannya telah terpenuhi maka
ikut sertalah kalian juga. Imam Sadiq as mengenal Abu Muslim dengan baik apa
yang telah dilakukannya, sebelumnya di Khurasan dia bekerja untuk Ibrahim
Abbasi dan setelah terbunuhnya Ibrahim dia mengambil baiat untuk Abul Abbas
Saffah dan sekarang pasukan besar telah bersiap siaga untuk Saffah bukan untuk
Imam Sadiq as akan tetapi para sahabat yang mukhlis namun tidak mengetahui
situasi dan kondisi menyangka mereka adalah para pendukung ahlul bait Nabi
Muhammad saw yang apabila Imam Sadiq as menginginkan, mereka akan menyerahkan
diri dalam ikhtiar Imam Sadiq as, oleh karena itu para sahabat mengira bahwa
Imam Sadiq as telah kehilangan sebuah kesempatan baik dan menyia-nyiakan
pasukan yang berjumlah besar. Ketergesa-gesaan ini tidak hanya menghambat usaha
namun bahayanya adalah 100 persen, dan hal ini muncul dari omosi atau
ketidaktahuan akan situasi dan kondisi. 4- Hal lain yang harus
diperhatikan dalam memahami sebagian dari riwayat-riwayat ini adalah bahwa
kebangkitan yang berhasil yang dengan artian penuh mencabut kekuasaan zalim
dari akarnya, menggulung dasar kezaliman serta membentangkan keadilan, adalah
hanya kebangkitan Imam Mahdi as dari keluarga Nabi saw dan jika seseorang
mengklaim yang demikian dan atau orang lain berharap yang demikian dari apapun
kebangkitan dengan nama kebenaran, adalah salah dan tidak pada tempatnya; dan
kebangkitan-kebangkitan yang dilakukan sebelum kebangkitan Imam Mahdi as adalah
termasuk dalam kategori amar makruf dan nahi munkar dan menjadi mukaddimah
untuk kebangkitan beliau as. Yang menarik di sini adalah almarhum Sayyid bin
Thawus dalam kitab “Iqbal” menukil sebuah hadis dari Imam Sadiq as bahwa
sebelum kebangkitan Imam Mahdi as seorang sayyid dari keuarga Nabi Muhammad saw
akan bangkit dan kebangkitannya sebagai pembuka jalan bagi kebangkitan Imam
Mahdi as.[12] Orang-orang yang tidak setuju dengan kebangkitan bersenjata
menyangka apabila sebuah kebangkitan tidak akan memperoleh keberhasilan 100
persen maka tidak boleh dilakukan dan oleh karena kebangkitan Imam Mahdi as
adalah satu-satunya kebangkitan yang disertai kesuksesan sempurna maka wajib
ikut serta di dalamnya, akan tetapi kebangkitan-kebangkitan yang lain oleh
karena tidak memiliki keberhasilan sempurna maka mengikutinya juga tidak
diperbolehkan. Mereka melupakan bahwa Islam adalah agama yang memerangi
kezaliman dan kerusakan dan wajib atas setiap muslim untuk memerangi
orang-orang zalim dan penindas, walaupun kezaliman dan penindasan tidak akan
berkurang karena seorang muslim mengamalkan tugas dan kewajibannya, apalagi
kebangkitan-kebangkitan dan perlawanan-perlawanan menentang para penindas pada
umumnya memperoleh keberhasilan dan hegemoni para tirani akan hancur karena
pengaruh kebangkitan-kebangkitan tersebut, oleh karena itu kebangkitan melawan
para penguasa zalim di bawah persyaratan-persyaratan khusus dan dalam
pengawasan wali amr Muslimin adalah wajib dan tidak diperbolehkan menarik
tangan untuk melakukan perlawanan dan hanya berpangku tangan di rumah serta
menunggu kemunculan Imam Mahdi as yang akan membebaskan orang-orang mazlum dari
bencana orang-orang zalim hanya dengan alasan bahwa kebangkitan tersebut tidak
akan berhasil 100 persen, akan tetapi kaum Muslimin –sesuai riwayat-riwayat
yang ada- memiliki kewajiban yang demikian dan harus melakukan amar makruf dan
nahi munkar walaupun tugas tersebutsampai pada tahap puncaknya yaitu
kebangkitan bersenjata. 5- Poin penting lain yang
tidak boleh dilupakan adalah sebagian riwayat yang dijadikan landasan oleh
mereka yang tidak menyetujui kebangkitan bersenjata adalah termasuk dalam
berita-berita ghaib; artinya para imam maksum as menurut ilmu dan pengetahuan
ghaib yang dimiliki mengetahui sampai kapan pemerintahan Bani Umayyah akan
bertahan dan setelah mereka, giliran pemerintahan Bani Abbas. Dan di antara
para imam maksum as hanya Imam Mahdi as yang berhasil membentuk pemerintahan.
Dan dialah yang menang atas semua tarani zalim dan memberantas dasar kezaliman
dan penindasan. Hal ini telah jelas bahkan bagi sebagian sahabat imam-imam,
maksimal mereka tidak mengenal perwujudan dan bentuk nyata Mahdi mau’ud dan
meyakini setiap imam sebagai Mahdi mau’ud oleh karena itu terkadang mereka
menyodorkan usulan kepada Imam Baqir dan Imam Sadiq as supaya bangkit dengan
nama Mahdi mau’ud dari keluarga Nabi Muhammad saw dan menggulung hamparan
kezaliman, akan tetapi para imam as mengatakan bahwa kami bukanlah Mahdi mau’ud
tersebut, dan siapa saja dari keluarga kami yang juga bangkit pada masa ini
dengan nama Mahdi mau’ud akan mengalami kekalahan dan kalian jangan berkumpul
di sekitar mereka dan jangan ikut dalam kebangkitan-kebangkitan tersebut,
karena kebangkitan Mahdi as tersebut memiliki tanda-tanda yang hingga saat ini
belum terjadi. Oleh karena itu para imam suci as dengan melihat pada ilmu dan
pengetahuan semacam ini tidak melakukan kebangkitan dan juga tidak mengijinkan
kepada para sahabat untuk ikut andil di dalamnya; karena mereka as telah
mengetahui bahwa kebangkitan-kebangkitan semacam ini bukan hanya tidak
memajukan usaha bahkan akan menghalangi kemajuan agama budaya mereka. Note:
|