Syiah di Indonesia: Antara Tantangan dan Masa DepanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muhsin Labib
Revolusi Islam Para pemuda dan mahasiswa dengan antusiasme tinggi
mempelajari buku-buku yang ditulis oleh cendekiawan revolusioner Iran, seperti
Murtadha Muthahhari dan Ali Syariati. Sejak saat itulah terjadilah gelombang
besar masyarakat Indonesia memasuki mazhab Ahlulbait. Maraknya antusiasme
kepada mazhab Ahlulbait Indonesia, sebagai negara Muslim terbesar dan paling
berpengaruh di Asia Tenggara, tentu berpengaruh terhadap berkembangnya ajaran
Ahlulbait di Malaysia dan kawasan Asia Tengggara. Sejumlah peristiwa politik di era perang dingin dan represi
rezim Orba terhadap gerakan-geraklan Islam di Indonesia serta kebijakan politik
luar negeri Iran pada masa-masa awal terbentuknya Republik Islam sedikit banyak
mempengaruhi grafik naik turun pertumbuhan ajaran Ahlulbait di Indonesia yang
lebih banyak didominasi oleh pengaruh politik dan pemikiran ketimbang
aspek-aspek lainnya. Dalam perjalanan daur waktu, tak mengherankan, romantisme
dan eufuria aksidental yang tidak berdiri di atas pandangan dunia kesyiahan itu
pun secara determinan pun berkurang. Seiring dengan itu, ikon sekaliber Ali
Syariati dan Murtadha Muthahhri pun redup karena relevansi dan kontekstualitas
wacana menjadi tuntutan yang niscaya. Pada gilirannya, terjadi proses seleksi
yang secara kuantitatif mungkin kurang optimistik. Ternyata beberapa tahun
berikutnya, kelesuan juga masih terlihat dan stagnasi menjadi sebuah realitas
yang tak terelakkan. Tentu, tak ada gading yang tak retak karena hanya gading
buatan yang bertahan. Akibatnya, terjadi polarisasi yang kadang berujung pada
konflik konyol dan mubazir yang sering kali diubah dengan kata
'mis-komunikasi'. Diperlukan sebuah penelitian dan verikasi yang serius untuk
memastikannya. Kini mazhab Ahlulbait di Indonesia dan Asia Tenggara telah
menginjak usia dewasa. Tantangan-tantangannya makin kompleks, karena apapun
yang terjadi di setiap titik di dunia, terutama di Timur Tengah, akan berdampak
terhadap eksistensi dan masa depan serta proyeksi pengembangan ajaran ini di
Indonesia. Peristiwa 11 September, invasi Amerika ke Irak, naiknya
Ahmadinejad sebagai Presiden Republik Islam dan kememangan Hezbollah atas
Israel agresor adalah sebagian dari fenomena-fenomena besar yang mempengaruhi
posisi dan grafik pertumbuhan ajaran Ahlulbait di Indonesia dan Asia Tenggara
pada umumnya. Selain menghadapi tantangan-tantangan eksternal dan global
diatas, komunitas-komunitas penganut Ahlulbait di Indonesia menghadapi setumpuk
tantangan regional dan sejumlah problema internal, terutama dalam komunikasi
dengan komunitas-komunitas yang menganut mazhab Ahlussunnah, Pemerintah dan
bahkan antar sesama komunitas dan individu Syiah lainnya. Beban dan tantangan itu terasa makin berat dan pada
bagian-bagian tertentu menjadi kendala yang serius. Problema-problema utama
yang menjadi tantangan dan hambatan dakwah mazhab Ahlubait antara lain sebagai
berikut: 1. Rekayasa global yang
dirancang oleh kekuatan-kekuatan imperalisme dan Zionisme demi menyudutkan Iran
dan mazhab Ahlulbait dengan menyebarluaskan isu-isu negatif melalui buku, media
massa dan internet dan merusak keutuhan dengan melakukan infiltrasi dan pembusukan
secara sporadis dan konstan dalam aneka modus dan pola. 2. Krisis koordinasi antar
tokoh, institusi dan komunitas pengikut Ahlubait sebagai akibat dari minimnya
perencanaan dan proyeksi dakwah dan minimnya sejumlah syarat pendukung, seperti
krisis SDM dalam berbagai bidang terutama politik, ekonomi dan pendidikan,
krisis dana, krisis metode dakwah yang tidak baku dan komprehensif,
menjangkitnya eksklusivisme yang menciptkan jarak menganga antara super
minoritas Syiah dan mayoritas warga Indonesia dan individualisme yang
menghambat terbentuknya sebuah struktur masyarakat Ahlulbait yang diakui secara
informal dan formal. 3. Ketidakjelasan dan
dis-koordinasi sentra-sentra internasional yang bergerak dalam dakwah mazhab
Ahlulbait yang masing-masing menjalankan program yang kadang kala saling
berbenturan, tidak relevan dan kontekstual, dan tidak berbasis pada budaya dan
jatidiri lokal Indonesia. 4. Pola perekrutan juru
dakwah yang tidak konsisten dan sistematis telah berdampak terhadap tidak
meratanya kualitas juru dakwah yang semestinya mampu merealisasikan tujuan
dakwah dalam tiga tahap; (1) Menepis kecurigaan masyarakat Sunni di Indonesia
terhadap ajaran Ahlulbait sebagai mazhab yang menyimpang atau mazhab yang
bermuatan politis yang bercita-cita membangun sebuah imperium Syiah di dunia,
sebagaimana secara konsisten disebarkan oleh musuh-musuh Islam; (2)
Menghadirkan ajaran Ahlulbait dalam kemasan subtansi tanpa simbol sebagai
khazanah pemikiran altrenatif di pusat-pusat pendidikan ternama dan media massa;
(3) Menghadirkan mazhab Syiah sebagai jalan yang lurus karena berbasis pada
al-Quran dan ajaran-ajaran Nabi yang disampaikan melalui Ahlulbait; (4)
membentuk unit-unit berkualitas dalam komunitas Syiah di Indonesia yang
diharapkan mampu memberikan kontribusi nyata dan berskala luas dalam berbagai
bidang, terutama pengentasan kemiskinan dan pendidikan serta peningkatan moral
bagi bangsa Indonesia. Itulah contoh-contoh dari problema yang bila tidak
diselesaikan dalam waktu yang cepat akan menghambat dakwah Ahlulbait, bahkan
membuatnya stagnan dan berakhir dengan kegagalan. Untungnya, berdasarkan pengamatan kami, problema-problema
tersebut dapat dengan mudah dan segera diatasi bila hal-hal sebagai berikut
kita lakukan: 1. Membentuk tim khusus
yang terdiri dari sejumlah orang yang mumpuni dalam berbagai bidang, a) bidang
penataan organisasi dan perencanaan serta evaluasi; b) bidang pendanaan dan
auditing; c) bidang perekrutan SDM dan pemetaan sasaran dakwah yang meliputi
latar belakang penidikan, profesi dan letak geografis serta strata ekonomi
bahkan kesegaran intelejensi dan attitud dan aptitude; d) bidang pengkaderan
dan kajian strategis pembuatan modul dakwah yang komprhensif dan bebas dari
aspek-aspek sensitif secara teologis, strategis dan metodologis; f) bidang
koordinasi dan rekonsiliasi yang akan bertugas mengevaluasi dan meminimalkan
konflik-konflik internal yang telah berlangsung cukup lama dan kontraproduktif
dengan langkah-langkah terencana dan objektif. 2. Mengubah orientasi
dakwah dari pendekatan personal emosional dan historikal menjadi pendekatan
sistemik dan intelektual agar pola hubungan masyarakat dengan pusat-pusat
kegiatan dan tokohnya tidak lagi bersifat hirarkis dan paternalistik yang
mengancam kreativitas, kristisisme dan inovasi. 3. Membangun sentra-sentra
pendidikan, riset dan sosial di berbagai kota besar agar dapat di dijadikan
sebagai bukti nyata manfaat dari eksistensi komunitas super-minoritas Syiah di
Indonesia, dengan merekrut SDM lokal yang berkualifikasi dan berdedikasi sebagai
pengelolanya. 4. Memanfaatkan era
informasi dan tekonologi informasi melalui sentra media baik cetak maupun
elektronik yang dikelola oleh SDM yang berkualitas dan berdedikasi. 5. Membentuk tim khusus
untuk menjalin dan membina hubungan inter-personal dengan tokoh-tokoh agama dan
politik baik di tingkat internasional maupun nasional demi membentangkan jalan
dan mengurangi tekanan politik dari dalam maupun global. Tentu, solusi-solusi diatas masih sangat mungkin untuk
disempurnakan dan bahkan direvisi bergantung pada tingkat urgensi dan
prioritasnya. Sambil menghitung hari, bila solusi-solusi itu tak kunjung
muncul, maka kegamangan akan terus menjadi endemi dan epidemi yang meranggas
setiap dada pengikut AB di Indonesia. Mungkinkah? (Tulisan ini hanya pendapat
pribadi).[] Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran.
Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini
aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur
Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL |