Pandangan Agama terhadap Kesucian dan Hijab (2)Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Salah satu tanda utama kesucian adalah hijab. Rasa malu,
kesucian, dan hijab adalah tiga ihwal yang saling berkaitan erat. Hijab
dibangun di atas landasan kesucian, sementara kesucian bersandarkan malu. Sejatinya,
rasa malu merupakan pencerminan dari kecendrungan fitrah manusia untuk
mengenakan pakaian. Dalam diri manusia, terdapat daya penahan dan pemandu yang
disebut malu. Daya ini bisa mencegah manusia dari pelbagai perbuatan yang tidak
etis. Terkait hal ini, Al-Quran dalam surat Al-A'raf, ayat 22, mengangkat
masalah malu lewat kisah nabi Adam dan Hawa, dan berkata: "Maka syaitan
membujuk keduanya (untuk memakan buah terlarang) dengan tipu daya. Tatkala
keduanya, telah merasai buah kayu itu, nampakalah bagi keduanya aurat-auratnya,
dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga". Secara naluriah, manusia tertarik dengan penampilan luar.
Kecendrungan ini lebih kuat di kalangan perempuan. Karenanya, kesucian
perempuan dalam berbusana, sejatinya merupakan perangkat pengendali hawa nafsu
dan mencegah terjadinya sikap pamer diri. Di mata ahli fiqih, hijab adalah
sebentuk pakaian yang dikenakan perempuan untuk menutupi tubuhnya dari
pandangan lelaki non-muhrim. Allash swt dalam surat Nur ayat 31 berfirman:
"Katakanlah pada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya,
kecuali pada suami mereka atau ayah mereka". Busana hijab yang islami adalah busana yang bisa menutupi
tubuh manusia dan terhindar dari kesan memamerkan keindahan tubuh. Jika seorang
perempuan mengenakan busana hijabnya secara sempuran, sejatinya ia telah
memperhatikan masalah kesucian dalam berpakaian. Hijab juga bisa meminimalisir
aksi pelecehan terhadap perempuan. Dalam hadis-hadis Nabi, perempuan
diibaratkan laksana wewangi harum ataupun setangkai bunga yang lembut. Karena
itu, kelembutan dan kesuciannanya harus selalu terjaga. Mengenai hal ini, Allah
swt dalam surat Al-Ahzab, ayat 59 berfirman: "Hai Nabi katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuan dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya, ke suluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu". Para ilmuan berpendapat, filosofi diperintahkannya hijab
bagi kaum perempuan adalah untuk menyucikan masyarakat, memperkuat keluarga,
menjaga harga diri dan posisi perempuan. Ayatollah syahid Motahhari menuturkan:
"Filosofi busana muslimah bermula dari masalah yang universal dan
mendasar. Islam ingin membatasi segala bentuk kelezatan seksual, baik secara
visual, sentuhan maupun bentuk lainnya, hanya terbatas di lingkungan keluarga,
dan dalam ikatan pernikahan resmi. Kaum perempuan diperbolehkan berkumpul dengan
lelaki non-muhrim, hanya ketika bekerja dan beraktifitas sosial". Dengan
demikian, hijab merupakan salah satu faktor yang bisa menciptakan masyarakat
yang sehat, dan terjaga dari dekadensi moral. Sehingga manusia bisa memahami
nilai-nilai luhur yang sejati dan sempurna. Saat ini, hijab telah melampaui batas-batas budaya Timur dan
Barat. Ketertarikan kaum perempuan untuk mengenakan busana hijab semakin
meningkat di berbagai negara. Penulis Barat, Helen Watson, mengkaji beragam
pandangan perempuan berhijab di berbagai negara dalam menyikapi fenomena baru
kesadaran kaum perempuan untuk berhijab. Dalam tulisannya itu Helen
mewawancarai, seorang muslimah Inggris bernama Nadia yang saat ini menjadi
mahasiswi jurusan kedokteran. Sejak berumur 16 tahun, Nadia mengenakan busana
muslimah. Ketika diminta komentarnya mengenai hijab, Nadia menyatakan:
"Kebebasan sejati adalah saat seseorang bisa leluasa melakukan aktifitas
sosialnya tanpa harus memerkan kecantikan dirinya. Menurut saya, nilai manusia
iotu terletak pada pemikirannya, bukan pada pakaian lahirnya. Saya harus
katakan juga, bahwa pilihan mengenakan hijab adalah keputusan pribadi saya.
Bagi saya berbusana hijab, adalah simbol kesetiaan dan janji kita, sebagaimana
jika kita memakai cincin pernikahan." Sementara itu, menurut Maryam, muslimah lainnya asal
Aljazair, yang telah bermukim di Perancis selama 10 tahun, dan bekerja sebagai
buruh pabrik, hijab telah memberikan kebebasan yang lebih padanya di lingkungan
kerja. Maryam menuturkan: "Saya adalah perempuan yang berpegang teguh pada
malu dan kesucian. Mengenakan hijab, justru membuat kesulitan di tempat kerja
saya menjadi lebih mudah. Pada dasarnya, hijab bukanlah ancaman bagi saya. Helen Watson di akhir kajiannya menyimpulkan, bahwa hijab
bagi Nadia dan perempuan sepertinya, merupakan simbol nyata dari iman dan
akidah serta sumber kebanggaan bagi mereka. Helen dalam telaahnya itu, tak juga
menemukan pandangan perempuan muslimah yang menganggap hijab sebagai masalah
yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan. Menurutnya, hijab merupakan
penegasan nyata untuk menjaga nilai-nilai spritual, dan pentingnya menghidupkan
kembali sistem moral. Akhirnya, Helen Watson berkesimpulan, hijab bagi mereka
yang terampas hak-hak sosialnya, dan masyarakatnya mengalami krisis sosial,
bisa dijadikan sebagai alat protes terhadap konsumerisme dan westernisasi. Para ilmuan berkeyakinan, diabaikannya masalah hijab bisa
menyebabkan martabat kewanitaan kaum perempuan dipertanyakan. Suatu masyarakat
yang terbiasa menggunakan perempuan sebagai komoditas ekonomi, niscaya bakal
mengalami krisis identitas, kebejatan moral dan berbagai masalah sosial
lainnya. Gholam Ali Haddad-Adel, Ketua Parlemen Republik Islam Iran, dalam
bukunya, Budaya Telanjang dan Ketelanjangan Budaya, menulis: "Mengenakan
hijab secara tidak sempurna, bisa merendahkan martabat perempuan, hingga bisa
menghinakkanya menjadi semacam barang dagang. Perempuan yang memamerkan
tubuhnya di muka umum, sejatinya tidak lagi memperhatikan identitas kemanusiaan
yang disangdangnya. Perempuan semacam itu, pada dasarnya telah menjadi tawanan
bagi dirinya sendiri. Ia seperti pemilik toko yang selalu sibuk memikirkan
untuk mengubah dekorasi dan etalase tokonya. Sesungguhnya, mengabaikan hijab, justru bisa merendahkan
kedudukan kaum perempuan. Beberapa waktu lalu, salah satu jalan protokol di
kota Victoria, Australia, dipasang sebuah papan iklan yang menggambarkan
perempuan sebagai alat pemuas seksual. Iklan tersebut sepertinya hendak
mengajarkan kepada generasi muda bahwa perempuan bisa dilecehkan. Lembaga
Anti-Perdagangan Perempuan Asia Pasifik dalam laporannya menyatakan: "Kini
kita hidup dalam dunia bebas yang penuh dengan kebejatan moral. Dalam beberapa
dekade terakhir ini kita kian dipenuhi dengan produksi komoditas seksual dan pemanfaatan
perempuan sebagai alat bisnis. Selain itu, saat ini kita banyak menjumpai
berbagai bentuk kebejatan moral yang bisa merendahkan martabat kaum perempuan.
Tenu saja masalah ini memerlukan kajian dan telaah yang mendalam." Institusi keluarga adalah ikatan pernikahan yang paling
suci. Untuk mempertahankan institusi sosial yang paling mendasar ini, hijab dan
kesucian merupakan faktor penting yang amat berpengaruh dalam mempertahankan
keberadaan institusi keluarga. Para ilmuan sosial meyakini, sikap memegang
teguh akidah dan hukum agama, temasuk masalah hijab, bisa meminimalisir
terjadinya krisis sosial. Psikolog asal AS, Paul Vitz dalam bukunya Agama,
Pemerintah, dan Krisis Keluarga menulis: "Akar persoalan dan masalah yang
menjerat Barat sejatinya kembali pada pernyataan Nietzsche yang berkelakar
bahwa Tuhan telah mati. Sehingga kita bisa berbuat apa saja". Paul Vitz
berpendapat: "Agama memiliki kaitan erat dengan kelestarian keluarga.
Selama sekularisme, individualisme, konsumerisme, dan dekadensi moral masih
menguasai peradaban Barat, maka proses keruntuhan institusi keluarga dan moral
akan terus berlanjut". Sebagai penutup acara ini, laporan penelitian Agama,
Sekularisme dan Hijab dalam kehidupan sehari-hari di Turki menunjukkan bahwa
selama empat tahun belakangan, jumlah kaum perempuan berhijab di Turki
meningkat lima persen, dari 64,2 persen menjadi 69,4 persen. |