Menyongsong Fajar Persatuan Dunia Islam: Perspektif Ayatullah KhameneiDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Afifah Ahmad
Potret Dunia Islam
Hari ini, dunia Islam masih berduka. Pesta pembantaian umat
manusia yang digelar Amerika di Irak dan Afganistan belum lagi usai, genderang
perang sudah kembali ditiupkan di Gaza dan Libanon Selatan. Umat Islam,
bertubi-tubi harus menanggung penderitaan yang berkepanjangan. Berdasarkan
hasil penelitian OBA[1] yang dikutip Harian Sore menyebutkan
selama invasi Amerika di Irak, lebih dari sejuta warga Irak tewas, empat juta
kehilangan tempat tinggal sedang hampir separuhnya telah mengungsi ke
negara-negara tetangga. Muslim di Palestina, tentu saja mengalami nasib yang
lebih buruk, para peneliti kesulitan menentukan angka korban secara pasti.
Karena setiap harinya, jumlah korban terus melonjak. Demikian pula, Afganistan
dan negara-negara lainnya. Arah politik dunia, memang sedang tidak berpihak kepada umat
Islam, terutama pasca peristiwa Sebelas September. Prediksi Hungtinton dalam
bukunya Who Are We? menegaskan bahwa musuh baru Amerika adalah Islam, membuat
para petinggi gedung putih sibuk merancang sebuah imperium baru bernama
“Imperium Americanum” Ide ini, selanjutnya mengilhami mimpi Bush tentang peta
baru Timur Tengah dan ternyata menjadi mimpi buruk dunia Islam, seperti disitir
Sardar. Dalam ranah ekonomi, dunia Islam juga masih harus menanggung
kegetiran. Enam dari delapan negara-negara paling miskin di dunia adalah
negara-negara Islam seperti Etiopia, Afghanistan, Somalia, Nigeria, Mozambiq
dan Pakistan.[2] Jika dahulu, kelaparan memaksa
negara-negara miskin menerima kolonialisasi dan penjajahan dari banga asing.
Maka, hari ini, negara-negara miskin telah menggadaikan kedaulatan negaranya
lantaran kewajiban hutang yang bertumpuk. Padahal, pada saat yang sama, dunia
Islam mewarisi tiga perempat kekayaan mineral dan minyak dunia. Di belahan dunia Islam yang lain, umat Islam saling
berhadapan hanya karena perbedaan mazhab, partai maupun organisasi. Tak jarang,
kondisi ini melahirkan pertumpahan darah. Ratusan, bahkan ribuan nyawa tak
berdosa telah ditumbangkan atas nama Islam. Belum lagi, ditebarnya berbagai
aliran Islam menambah kekisruhan arena panggung peradaban dunia Islam. Ayatullah Khamenei dan Perjuangan Dunia
Islam
Realitas yang terjadi pada umat Islam, tentu saja
menyisakkan tanda tanya besar di kepala kita tentang apa yang sebenarnya
terjadi di dunia Islam. Umat yang dahulu pernah menjadi imperium terbesar di
dunia, menaklukan Persia dan Romawi. Umat yang pernah memimpin di berbagai
bidang pengetahuan mulai dari teologi, filsafat, kimia, matematika, astronomi,
kedokteran sampai obat-obatan. Bahkan, umat yang pernah mengilhami kemajuan
Eropa hari ini. Jauh hari, para cendikiawan muslim semisal Jamaluddin, Abduh
dan Iqbal menangkap kekhawatiran ini dan mulai meniupkan ide persatuan Islam.
Meski berbeda metode, ketiganya terilhami oleh semangat Pan Islamism yang
mencuat abad ke sembilan belasan.[3] Sayangnya, perjuangan mereka belum
menemukan simpulnya sampai api revolusi Islam Iran berpijar. Bola-bola api itu lalu berhamburan ke seluruh penjuru dunia
menyiratkan kebangkitan baru dunia islam. Khomeini, menjadi lokomotif dalam
gerakan Islam selanjutnya. Keberaniannya menentang para tiran, mengobarkan dada
para pemuda muslim di berbagai belahan dunia. Tiba-tiba, dunia dikejutkan oleh
sekelompok pemuda Libanon yang mampu memukul mundur Israel. Dunia juga
tercengang oleh lemparan batu para pemuda di sudut-sudut Palestina. Di belahan
lain, jutaan umat Islam mulai terbuka kesadarannya. Tetapi, jumlah itu belum sebanding dengan mayoritas muslim
yang ada. Masih banyak umat yang tertidur, padahal tantangan ke depan semakin
besar. Perjuangan mengangkat martabat muslim masih panjang dan api kebangkitan
Islam harus terus berkorbar. Maka, setelah sang guru mangkat, kini Khamenei
yang bertugas melanjutkan misi persatuan umat. Ayatullah Khamenei, tidak kalah serius dari gurunya dalam
menyerukan nilai-nilai persatuan. Beberapa tahun pra Revolusi, saat beliau
diasingkan di Propinsi Baluchestan, beliau menggagas upaya persatuan bersama
Almarhum Maulavi Shahdad, seorang ulama besar Khuzestan. Beliau mengirim pesan
kepada almarhum untuk membahas dan merumuskan asas persatuan hakiki antara
Sunni dan Syiah. Rencana itupun, akhirnya terealisir setelah revolusi. Pasca Revolusi, Ayatullah Khamenei semakin gigih
memperjuangan persatuan Islam. Beliau sendiri pernah menghadiri konferensi
interasional yang dihadiri oleh negara-negara anggota Gerakan Non-Blok dan
negara Islam. Saat itu, mayoritas negara tidak berani menyinggung masalah
pendudukan Soviet terhadap Afganistan. Hanya pidato beliau, sebagai wakil dari
Iran, yang bernada tegas mengkritik AS dan Uni Soviet. Pada Tahun 1969 Hs, Ayatullah Khamenei memprakarsai
berdirinya Majma Takrib Baina al-Mazhab al-Islamiyah, sebuah lembaga yang
bertujuan melakukan pendekatan kepada berbagai kelompok Islam. Terutama,
mencari titik persamaan antara kelompok Syiah dan Ahli Sunnah. Setiap tahunnya,
lembaga ini mengundang berbagai tokoh agama dari berbagai aliran Islam di
dunia. Di samping kiprah tersebut, Ayatullah Khamenei dalam
berbagai kesempatan selalu menekankan pentingnya persatuan dunia Islam. Pada
setiap musim haji, pesan persatuan tak pernah absen disampaikan kepada para
jamaah yang datang dari seluruh penjuru dunia. Lebih dari itu, beliau secara
khusus mencanangkan tahun ini, sebagai tahun kesatuan nasional dan persatuan
Islam. Dengan menyaksikan potret dunia Islam yang terjadi saat ini, tentu saja
ide tersebut menjadi sedemikian urgen. Dari sinilah, penulis tertarik untuk mengkaji pemikiran
beliau terkait dengan ide-ide persatuan Islam. Konsep persatuan dalam pandangan
Ayatullah Khamenei didekati melalui qualitative approach dengan metode content
analysis. Dalam hal ini, penulis akan menelaah berbagai naskah pidato serta
pesan beliau yang berkenaan dengan tema persatuan, kemudian dianalisis dan
diinterpretasi.[4] Persatuan Islam: Melacak Arti dan Acuan
Secara leksikal, persatuan merupakan gabungan dari beberapa
bagian.[5] Persatuan bisa memiliki dua arti,
hakiki maupun metaforis. Bersatu secara hakiki adalah meleburnya dua unsur
menjadi satu. Dalam realitasnya, persatuan ini mustahil untuk terwujud.
Sedangkan secara metaforis, bersatu adalah perubahan dari satu unsur kepada
unsur lainnya. Misalnya, perubahan air menjadi uap. Dalam ranah politik, persatuan mengandung pengertian
bersatunya dua atau lebih kelompok atau negara dengan menerima persamaan
undang-undang politik, ekonomi dan keamanan.[6] Maka, persatuan Islam berarti
bersatunya berbagai kelompok Islam dengan mengedepankan prinsip-prinsip dasar
ajaran Islam. Dalam al-Qur’an, makna persatuan dapat dilacak dalam
berbagai terma, misalnya: perdamaian, saling berpegang teguh, saling
tolong-menolong, saling berhubungan, persaudaraan, kasih sayang, umat yang satu
dan sebagainya.[7] Al-Qur’an menggambarkan
persatuan dari berbagai sisi. Pertama, Qur’an
mengisyaratkan bahwa kecenderungan untuk bersatu, merupakan bagian yang tidak
dapat dipisahkan dari eksistensi manusia.[8] Sejak umat pertama tercipta dan menghuni dunia, saat itu pula
keinginan untuk bersatu muncul. Manusia, dengan tujuan untuk melangsungkan
kehidupan serta mengurangi berbagi kesulitan, saling membantu antara satu
dengan yang lainnya. Tetapi, karena berbagai faktor terjadilah pertikaian
dan peperangan. Kedua, Qur’an
menjelaskan bahwa salah satu tugas kenabian adalah meluruskan perselisihan yang
terjadi di tengah umat serta mengembalikannya kepada seruan Qur’an.[9] Ketiga, Qur’an menyebutkan tentang dampak dan pengaruh persatuan.
Misalnya, dengan persatuan, umat Islam akan mencapai kemenangan serta
kemuliaan.[10] Selain itu, masih banyak sisi-sisi lainnya yang dijelaskan dalam
al-Qur’an. Adapun riwayat yang
menuturkan tentang persatuan, jumlahnya cukup banyak, baik dari kalangan Syiah
maupun Ahli Sunnah dengan derajat mutawatir. Misalnya, hadist yang menjelaskan
bahwa suatu hari Rasul Saw bersabda: Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya
ibarat sebuah bangunan yang satu sama lain saling membutuhkan. Pada saat itu,
Nabi Saw mengisyaratkan pada jari-jarinya.[11] Tujuan
Persatuan Islam: Kejayaan Umat
Sebuah ide, gagasan atau
konsep, dapat terealisasikan secara baik, jika disertai tujuan yang mulia
sekaligus universal. Demikian pula gagasan persatuan Islam yang digulirkan
Ayatullah Khamenei, menyiratkan tujuan yang luhur, sebagaimana ditegaskannya: Jika kaum Muslimin
saling bahu-membahu dan mengasihi, meskipun satu sama lain berbeda keyakinan,
dengan syarat tidak menjadi kendaraan musuh, maka dunia Islam akan mencapai
kejayaan. Pada saat itulah, Amerika dan sekutunya tidak akan berani menjejakkan
kaki di negeri Muslim, mendirikan pangkalan militer apalagi mengancam umat
Islam.[12] Dalam pesan tersebut,
kejayaan Islam menjadi tujuan luhur yang tentunya juga menjadi cita-cita
seluruh umat muslim di dunia. Dalam pernyataan yang lain, beliau menyebutkan
bahwa tujuan itu dapat tercapai, jika seluruh negara Islam bekerjasama dengan
baik.[13] Melacak
Akar Perpecahan
Ayatullah Khamenei
sepenuhnya menyadari bahwa fenomena yang hari ini menimpa dunia Islam, akibat
perpecahan di tubuh kaum Muslimin. Dalam pandangan beliau, terdapat berbagai
faktor yang memicu perpecahan umat, baik dalam konteks internal maupun
eksternal. Secara internal,
sebagian umat Islam, disadari atau tidak turut menyumbangkan terjadinya
perpecahan, diantaranya adalah ketidaktahuan dan kebodohan. Karena faktor itu
pula, mereka mengkafirkan sesama muslim. Rahbar, dalam salah satu pernyataannya
menjelaskan: Saat ini, sebagaian
kalangan, karena pemikiran yang dangkal serta berbagai alasan yang tak
mendasar, menuding mayoritas kaum Muslimin sebagai musyrik, bahkan sampai
menghalalkan darah. Mereka, sadar atau tidak, tengah bekerja untuk kepentingan
syirik, kekufuran serta kekuatan-kekuatan zalim.[14] Di samping kebodohan,
diabaikannya nilai-nilai moral merupakan faktor lain yang melemahkan persatuan.
Disusul faktor-faktor seperti pemisahan agama dan politik, adanya jarak dengan
Islam sejati serta keyakinan yang tidak disertai perbuatan, menjadi penyumbang
perpecahan umat berikutnya. Pada skala eksternal,
imperialisme memiliki pengaruh kuat dalam melahirkan perpecahan di dunia Islam,
baik imperialisme model klasik maupun neo imperialisme. Pasca perang dunia
kedua, negara-negara bekas jajahan, termasuk negara Islam, harus menelan
konflik lokal yang cukup parah. Saat inipun, para penjajah terus menghembuskan
perpecahan di negara-negara muslim dengan menggunakan isu etnis, mazhab maupun
partai. Ayatullah Khamenei,
dalam berbagai kesempatan menyebutkan keculasan para penjajah dalam mengobarkan
perseteruan di tengah umat. Beliau menyebutkan bahwa pada saat berbagai negara
dan para pemimpin dunia berkonsentrasi menyerukan perdamaian, para penjajah
malah berupaya keras mematahkan persatuan berbagai bangsa, terutama umat Islam.[15] Pada kesempatan lain,
Ayatullah Khamenei menjelaskan berbagai perangkap yang digunakan kaum
Imperialis untuk melemahkan posisi umat Islam, sebagaimana pernyataannya: Kekuatan penuh Barat,
menggunakan berbagai cara seperti budaya, ekonomi, politik dan keamanan untuk
melemahkan berbagai negara serta umat Islam. Di samping juga, melakukan
pembodohan, perpecahan serta kemiskinan[16] Merintis
Jalan Persatuan: Tinjauan Holistik
Ketika menyaksikan
kondisi dunia Islam yang terjadi saat ini, umat sudah sangat menantikan
berbagai pencerahan. Ayatullah Khamenei, dalam berbagai pidato dan pesan
yang disampaikannya dalam berbagai kesempatan, mengemukakan sejumlah
format persatuan yang cukup komprehensif. Dari hasil analisis penulis,
setidaknya ada empat format penting dalam merintis jalan persatuan dunia Islam. Pertama, memperkuat
basis spiritualitas. Perjalanan menuju persatuan umat, membutuhkan nafas
panjang. Maka menurut Ayatullah Khamenei, setiap umat harus kembali menata
pandangan dunianya masing-masing. Setiap gerakan, aksi atau rencana
apapun harus mengambil inspirasi dari nilai-nilai tauhid dan kenabian.[17] Setiap umat, harus kembali memperbaiki ketakwaan serta memetik
pelajaran Ahklakul karimah dari Qur’an dan sang Nabi suci. Kedua, menyiapkan dua
sarana persatuan umat, kesadaran dan kasih sayang. Menurut Ayatullah Khamenei,
untuk membentuk barisan umat yang bersatu diperlukan dua sarana vital yaitu
kesadaran dan kasih sayang. Umat Islam, terlebih dahulu perlu menyadari bahaya
musuh yang sedang mengancam dan bersikap tegas terhadap mereka. Dalam salah
satu pernyataanya, beliau menegaskan: Seluruh umat Islam di
dunia harus lebih waspada menghadapi rencana dan konspirasi musuh-musuh Islam
untuk memecah belah kaum muslimin dan terjadinya konflik berdarah sesama umat.
Saat ini, musuh di Irak, Palestina, Libanon dan di setiap tempat di dunia Islam
sedang berusaha menyulut peperangan saudara antar sesama Muslim. Mereka
mempergunakan berbagai macam isu seperti mazhab, etnis, partai politik dan
lain-lainnya untuk menggerakkan kaum Muslimin agar saling berhadap-hadapan dan
saling bunuh.[18] Pada sisi lain, umat
dibimbing untuk saling mengasihi sesama muslim. Karena, dengan menebar kasih
pada sesama Muslim, umat akan tergiring untuk saling menghormati serta tidak
saling mencaci.[19] Lebih dari itu, kasih sayang juga dapat mengurangi berbagai
ketegangan di tengah umat Islam. Sehingga, agenda persatuan lainnya akan dapat
terealisasikan secara baik. Ketiga, mengoptimalkan
sinergi seluruh komponen umat. Dalam pandangan Ayatullah Khamenei, untuk
mewujudkan cita-cita persatuan dunia Islam, diperlukan sinergi dari seluruh
komponen umat, baik dari kalangan intelektual muslim, tokoh agama, politikus,
negarawan, ilmuan, maupun budayawan. Tugas para intelektual adalah mengkaji
kembali berbagai isu-isu kontemporer dalam bingkai Islam seperti: hak asasi
manusia, kebebasan dan demokrasi, hak-hak perempuan, diskriminasi, memerangi
kemiskinan dan keterbelakangan pengetahuan serta membongkar kedok media Barat.[20] Adapun, para politikus serta negarawan di negara-negara Islam
harus berani mengambil kebijakan yang bersandar pada kemandirian bangsa serta
menolak segala ketergantungan pada kaum Imperialis.[21] Demikian pula, seluruh umat harus bekerja keras dalam bidangnya
masing-masing.[22] Keempat, mengusung
agenda yang jelas dan berkesinambungan. Gagasan persatuan umat, harus disertai
dengan berbagai agenda yang menjadi persoalan dunia Islam dewasa ini. Dalam hal
ini, Ayatullah Khamenei menyiapkan sejumlah tawaran agenda bersama umat Islam.
Pertama, memperjuangkan keluarnya tentara asing dari Irak dan Afganistan serta
mendukung berdirinya negara yang berdaulat penuh pada kedua negara tersebut.
Kedua, Melindungi nyawa, harta, kemuliaan serta kebebasan rakyat Palestina
secara materi maupun moral. Ketiga, mengumandangkan syiar-syiar Islam ke
seluruh penjuru dunia. Keempat, merekatkan para pemimpin Islam serta
menyelesaikan perselisihan diantara mereka. Kelima, berperan aktif dalam OKI dan
mengkritisi kembali kebijakan hak veto.[23]Keenam, memanfaatkan momentum hari-hari besar Islam, sebagai upaya
menggalang persatuan Islam, seperti Haji, Maulid Nabi dan Asyura. Penutup:
Menyongsong Masa Depan Dunia Islam
Jika hari ini, kita
masih mendengar tangisan anak-anak di Palestina, masih menyaksikan kelaparan di
Mozambiq atau kita masih berduka untuk Irak, Afganistan, Pakistan dan Tanah
Islam lainnya, maka esok hari kita akan menyaksikan ketumbangan kaum
imperialis. Dengan optimisme dan persatuan, masa depan dunia Islam akan kembali
gemilang. Selamat menyongsong masa depan Islam![] Penulis: Mahasiswi S1,
Jurusan Maarif Islam di Jamiatul Bintul Huda, Qom Republik Islam Iran Catatan
Kaki
|