The Living MartyrDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Muhsin Labib
“ Barat tidak cukup cerdas untuk memahami konsep Wilayat-e
Faqih, bahwa berdasarkan konstitusi negara tersebut, Wali Faqih memiliki hak
untuk ditaati secara keagamaan dan kenegaraan, termasuk oleh Ahmadinejad.
Siapapun presidennya, Iran tetap akan melanjutkan proyek nuklir bukanlah
semata-mata kebijakan lembaga eksekutif atau sekadar keputusan politis.
Ahamdinejad laksana striker yang
menerapkan strategi sang ‘pelatih’ di luar lapangan. Pernyataan Khamenei tersebut menunjukkan bahwa tekad
merampungkan proyek energi nuklir bukan hanya keputusan lembaga eksekutif dan
bersumber dari sikap konservatif Ahmadinejad, tapi sebuah keputusan teologis
yang akan memiliki implikasi global. Ia di lahirkan pada 28 Shafar 1358 (1940), di sebuah rumah
amat sederhana di kota kecil (kecamatan) Birjan, salah bagian dari kota
Masyhad, ibukota propinisi Khorasan. “Di rumah itu saya dilahirkan dan tinggal
bersama mereka sampai berusia empat atau lima tahun. Luas rumah kami berkisar
antara 60 sampai 70 m, terletak di pemukiman miskin di salah satu sudut kota
Masyhad. Rumah itu hanya memiliki satu kamar dan satu ruang bawah tanah
(sirdab) yang gelap dan pengap. Karena ayah saya adalah ulama dan konsultan
agama, rumah kami selalu ramai tamu. Kami pun terpaksa tidur di ruang bawah
tanah sambil menunggu mereka pulang. Suatu saat, ayah mampu membeli sepetak tanah
kosong di samping rumah dan lalu membangunnya buat kami. Sejak itulah rumah
kami memiliki tiga kamar,” kenangnya (Harian
Jomhuri-e Islami, 20-5-1364 HS) Kehidupan ekonomi ayahnya seperti ruhaniawan dan pengajar
ilmu agama pada umumnya, sangat sederhana. Situasi rutin inilah yang menempa
karakter istri yang tangguh. Qana’ah dan hidup prihatin telah menjadi faktor
utama sikap sosial dan rendah hati putra-putranya, Muhammad, Ali dan Hadi. “Ayah saya seorang
ruhani (ulama) terpandang saat itu. Namun ia adalah tipe orang zuhud dan kurang
suka publisitas popularitas. Kehidupan masa itu kami lalui dengan segala
kesulitan. Pada suatu malam di rumah tidak ada sesuatu untuk dijadikan makan
malam. Ibu kami bersusah payah untuk menyediakan makan malam buat kami. Syukurlah
malam itu kami bisa makan roti dan beberapa butir kismis,” tuturnya
seraya menerawang. (Harian Kaihan tertanggal 16-5-1364 HS). Meski dibesarkan dalam keluarga miskin, Khamenei terdidik
dengan baik dan mendapatkan nutrisi spiritual yang prima. Situasi ekonomi yang
sulit itupun menempanya menjadi manusia dengan kepedulian sosial yang sangat
tinggi. Pada usia empat tahun, ia dan kakaknya, Muhammad, mulai
mempelajari Al-quran. Selanjutnya mereka memulai pendidikan formal sekolah
dasar (SD) hingga SMP di sekolah Ta’lim-e Diyanat. Saat memasuki pendidikan formal menengah atas (SMU), ia
mulai mempelajari Jâmi` al-Muqaddimat, senarai buku-buku standar
gramatika Arab. Setelah lulus, Khamenei muda memasuki seminari teologi
Hawzah Ilmiyah di bawah bimbingan sejumlah dosen, termasuk ayahnya. Ia
mempelajari kitab-kitab gramatika terkenal, seperti Alfiyah karya Ibnu Malik
dan Mughni al-Labib karya
Ibnu Hisyam. Berbekal latar belakang wawasan pengetahuan agama dari ayahnya,
Khamenei memasuki jejang pendidikan menengah hawzah. Ia mempelajari ilmu ushul
fikih komprehensif dan menyelsaikan studi naskah sejumlah karya standar,
seperti Ma’âlim, Syara’i
al-Islam dan Syarh al-Lum’ah di
bawah bimbingan langsung ayahnya dan Mirza Mudarris Yazdi. Ia juga mempelajari
metodologi perbandingan fikih argumentatif dan menyelsaikan studi naskah Rasâ’il danMakâsib di bawah bimbingan Syekh Hasyim
Qazwini, dan ilmu logika serta filsafat, seperti al-Manzhûmah karya Sabzewari di bawah bimbingan
Mirza Jawad Agha Tehrani, dan karya filsafat lainnya di bawah bimbingan Syekh
Ridha Aisi. Ia berhasil melewati jenjang pertengahan (suthuh) dalam waktu kurang lebih lima
setengah tahun dengan hasil yang menakjubkan. Menginjak usia 17 tahun, Ali Khamenei telah memulai
pendidikan tingkat atas (al-bahts al-kharij)
di bidang fikih dan ushul di bawah bimbingan seorang marja’ besar, Ayatullah Uzhma Milani. Pada tahun 1958, dengan maksud untuk menziarahi berbagai
tempat suci di Irak, ia bertolak menuju kota suci Najaf (Irak). Di sana, ia
mendapat kesempatan untuk mengikuti berbagai kuliah level atas (al-bahts al-kharij) yang diberikan para
mujtahid besar di Hawzah Najaf, seperti Sayyid Muhsin Hakim, Sayyid Abul-Qasim
Khu’i, Sayyid Mahmud Syahrudi, Mirza Baqir Zanjani, Sayyid Yahya Yazdi, dan
Mirza Hasan Bujnuwardi. Ia juga mengikuti pendidikan tingkat tinggi dalam bidang
ilmu-ilmu rasional seperti filsafat, kalam, dan ushul fikih dan ilmu-ilmu
skriptural seperti fikih dan tafsir sejak tahun 1953 hingga 1959 di kota suci
Qum, di bawah bimbingan langsung tokoh-tokoh utama hawzah pada saat itu,
seperti Ayatullah Burujerdi, Imam Khomeini, Syekh Murtadha Haeiri Yazdi dan
Allamah Thabathaba’i. Pada usia 25 tahun, karena harus merawat ayahnya yang sakit,
ia meninggalkan kota suci Qum menuju Masyhad. Selama di sana, ia tidak
meninggalkan pelajarannya, kecuali pada hari-hari libur. Ia mengikuti
kuliah-kuliah fikih dan ushul fikih yang disampaikan guru-guru besar Hawzah di
Masyhad, khususnya Ayatullah Milani. Pada tahun 1963, Khamenei bertemu dengan Imam Khomeini dan
berguru kepadanya. Di bulan Muharram pada tahun tahun itu, Imam Khomeini
mengumumkan perlawanan politik terhadap rezim Syah Pahlevi. Sejak deklarasi itu, Khamenei menjadi salah satu kadernya
yang terpercaya. Imam Khomeini memerintahkannya menyampaikan pesan untuk
Ayatullah Milani dan segenap ulama di propinsi Khurasan tentang perlunya
memasukkan materi penyadaran politik Islam dan penentangan terhadap rezim Syah
dalam ceramah para mubalig pada acara-acara peringatan Muharram. Misi ini
dilaksanakan dengan baik. Selanjutnya ia mendapat tugas melakukan tablig dan
sosialisasi misi Revolusi di kota kelahirannya, Birjan. Pada hari ke-9 bulan
Muharram (tahun 1964), ia ditahan oleh aparat keamanan Kerajaan. Setelah satu
malam mendekam dalam sel, ia dibebaskan dengan syarat tidak diperbolehkan
ceramah dan berada dalam pengawasan. Setelah peristiwa berdarah 15 Khordad (di Qum), ia ditangkap
kembali dan dibawa dari Birjan ke Masyhad lalu dijebloskan ke dalam sel tahanan
militer setempat. Di situ ia merasakan berbagai penyiksaan dan teror fisik dan
psikis. Jiwa revolusionernya kian kuat, menjelang kemenangan
Revolusi Islam. Sebelum kedatangan Imam Khomeini dari Paris ke Tehran, ia ikut
serta dalam pendirian Syuray-e Enqelab-e Islami (Dewan Revolusi) atas perintah Imam
Khomeini bersama Muthahhari, Beheshti, Rafsanjani, dan Musawi Ardabili. Setelah
menerima pesan khusus Imam Khomeini yang disampaikan oleh Muthahhari itu, ia
segera meninggalkan Masyhad menuju Tehran dan memulai kiprah politiknya. Syah tumbang. Revolusi Islam menang. Khamenei dengan penuh
semangat dan kegigihan tiada tara, aktif menghadiri seminar dan majelis taklim
serta melakukan perekrutan terhadap kader-kader muda milisi revolusioner. Karir perjuangan politiknya pun terus menanjak. Sepanjang
tahun 1980 sejumlah jabatan penting pun menghampiri pundaknya. Pada tahun itu,
ia bersama sejumlah elemen vital Revolusi Islam, seperti Muhammad Hosein
Beheshti, Mohammad Javad Bahonar, Musawi Ardebili, dan Hashemi Rafsanjani,
mendirikan Partai Republik Islam (Hezb-e Jomhuri-e Eslami). Pada tahun yang sama, ia mulai dipercaya memegang sebuah
jabatan struktural yang sangat penting, sebagai Pembina Komite Pengawal
Revolusi (Pasdaran-e Enqelab-e Eslami), yang saat itu masih berupa milisi
paramiliter pro Revolusi. Di pertengahan tahun itu, Imam Khomenei memberinya jabatan
keagamaan-politik yang sangat strategis sebagai imam dan khatib tetap di
ibukota Tehran sejak pada tahun 1980. Pada Maret 1980 terjadi gerakan kecil sparatisme di propinsi
Sistan Balucistan, sebagai salah satu agenda Amerika untuk merongrong
pemerintahan Republik Islam Iran yang baru berdiri. Lagi-lagi Khamenei mendapat
misi khusus. Ia ditunjuk oleh Imam Khomeini sebagai utusannya dan Juru Runding.
Misi ini berhasil melenyapkan sparatisme. Menjelang akhir tahun itu, ia terpilih sebagai anggota
legislatif mewakili Tehran di Majelis Perwakilan Iran (Majles-e Syura-ye
Islami). Pada tahun tahun 1981 ia dipercaya sebagai Utusan Wali Fakih
(Imam Khomeini) dalam Dewan Tertinggi Pertahanan (Syura-ye Ali-ye Difa’). Namanya makin populer dan menjadi
sumber pemberitaan karena pada masa perang melawan agresi rezim Saddam, lembaga
ini merupakan penentu kebijakan dan strategi militer. Ia juga mendapatkan tugas
non politik pada tahun itu, sebagai Ketua Dewan Revolusi Kebudayaan (Syura-ye
Inqilab-e Farhangi) pada tahun 1981. Mohammad Ali Rajai dan Mohammad Javad Bahonar, yang baru
beberapa bulan terplilih sebagai Presiden dan Perdana Menteri, terbunuh secara
tragis pada September 1981 akibat bom meledakkan kantornya. Pemilihan presiden
pun dilaksnakan lagi. Ali Khamenei terpilih dengan meraih suara lebih dari 16
juta suara dari total jumlah pemilih Iran pada saat itu. Sejak saat itu,
Khamenei yang berduet dengan teman seperjuangannya, Rafsanjani, Ketua Parlemen,
menjalankan pemerintahan yang benar-benar Molla, sejak Bazargan, Bani Sadr dan
Ali Rajai. Pada maasa-masa itu, sejumlah aksi teror kelompok
kontra-Revolusi masih sering terjadi. Beberapa tokoh dan imam Jumat di sejumlah
kota gugur. Ali Khamenei juga kerap menjadi sasaran usaha pembunuhan. Tangan
kananya mengalami kelumpuhan permanen akibat serpihan bom yang meledak saat
memberikan khotbah Jumat. Karena selalu selamat dari upaya-upaya pembunuhan, ia
dijuluki dengan ‘si syahid hidup’ (asy-Syahid
al-Hay, The Living Martyr). Namun pada periode kedua kepresidenannya, pada sejak tahun
1985 hingga 1989, Presiden Khamenei berhasil menumpas gerakan-gerakan
kontra-Revolusi, termasuk membongkar konspriasi Partai Tudeh dan jaringan
Mojahadin Khalq yang bekerjasama dengan rezim Baath Sadam. Ia berhasil
menciptakan stabilitas keamanan dan politik. Lelaki bewajah tampan dan murah senyum ini meninggalkan
jabatan presiden yang tersisa beberapa bulan untuk memangku jabatan Pemimpin
Tertinggi, pada 4 Juni 1989, atas rekomendasi Majles-e Khubregan (Dewan Pakar)
menggantikan almarhum Imam Khomeini. (Majalah Syahid edisi
12; Khalifah al-Qa’id, hal. 34-51; Khaterat wa Hikayatha, jilid 1 hal.27-30.) Dunia tersentak. Umat Islam dan rakyat Iran berduka. Pada 4
Juni 1989 Ayatullah Al-Uzhma Imam Khomeini wafat. Lebih dari 10 orang di Tehran
dalam pawai hitam yang paling kolosal sepanjang sejarah mengantar peti
jenazahnya menuju kawasan makam Beheshti Zahra. Amerika dan dunia Barat tentu sangat menantikan persitiwa
ini sembari menganggapnya sebagai akhir dari Revolusi Islam Iran. Barat
menganggap sistem pemerintahan Islam di Iran bisa bertahan karena faktor
pribadi Imam Khomeini. Prediksi itu mentah sama sekali. Khomeini tidak hanya
menumbangkan monarki berusia lebih dari 1000 tahun, tapi juga telah
mempersiapkan sebuah sistem suksesi yang mencengangkan. Beberapa jam kemudian,
Dewan Ahli (yang terdiri dari sejumlah ulama pilihan langsung rakyat, yang
bertugas memilih di antara mereka sendiri ulama yang paling layak untuk menjadi rahbar)
mengadakan sidang luar biasa untuk menetapkan pengganti Imam menetapkannya
sebagai Rahbar. Meski semula kharismanya memang tidak sebesar kharisma
Khomeini, pria dengan tinggi badan lebih dari 180 meter ini mampu mengemban
tugas sebagai pemimpin tertinggi, dalam usia yang lebih muda dari rekan-rekan
seperjuangannya, seperti Rafsanjani dan Mosawi Ardebeli. Pada tahun 2000 silam, Mehdi Karrubi, Ketua Parlemen,
menyerahkan map berisikan draft revisi undang-undang hak pengelolaan telivisi
dan radio kepada Dewan Garda. Beberapa hari kemudian, Katua Dewan Garda,
Ayatullah Jannati, mengumumkan hasil koreksi yang berujung pada penolakan.
Parlemen, yang saat itu bersikeras untuk memberikan wewenang lebih kepada
eksekutif, yang dipimpin oleh Khatami, menyatakan keberatan. Polemik pun makin
seru. Draft tersebut diserahkan kepada Dewan Pertimbangan Penentu Kemaslahatan
sebagai lembaga yang berfungsi sebagai penengah. Ternyata, draft itu mengalami
nasib yang sama. Rafsanjani, ketuanya, menyatakan menolaknya. Ketegangan antara
kubu Khatami, yang disebut-sebut reformis, dan kubu Dewan Garda, yang
disebut-sebut konservatif, makin sengit. Beberapa hari kemudian, Karrubi dalam
sidang paripurna Parlemen membacakan surat instruksi Pemimpin Tertinggi
Ayatulah Khamenei yang berisikan instruksi penghentian diskusi seputar isu
revisi undang-undang pengelolaan telivisi dan radio. Mayoritas anggota Parlemen
menerima karena instruksi tersebut dikeluarkan oleh lembaga tertinggi negara.
Tentu saja, kalangan pro Barat melukiskannya sebagai tindakan anti demokrasi.
Persitiwa ini menunjukkan betapa wewenang seorang Rahbar dalam sistem Republik Islam
Iran sangatlah besar. Beberapa tahun setelah menjadi Rahbar, namanya masuk dalam daftar 7
nama ulama yang direkomendasikan oleh Asosiasi Guru Besar (Jameeh Modarresin)
Hawzah sebagai marja’. Karena kerendahan hatinya dan penghormatannya kepada
para marja’ yang masih ada, ia menolak untuk menerbitkan Risalah
Amaliyah, yang
memuat pandangan-pandangan ijtihadnya. Meski demikian, muqallidnya
sangat banyak di seluruh dunia. Kini umat Muslim Syiah memiliki dua marja’
besar, yaitu Ali Khamenei di Iran dan Ali Sistani di Irak. Ajwibah
al-Istifta’at, yang merupakan transkrip tanya jawab seputar fikih
ibadah dan muamalat telah diterjemahkan ke lebih dari 10 bahasa besar, termasuk
Indonesia. Ia pun masih aktif memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
seputar hukum fikih yang dikirimkan ke situsnya, www.leader.ir. Selain memberikan kuliah tingkat tinggi (Bahts kharij), lelaki yang menguasai
bahasa Arab, Inggris, Urdu dan Turki ini masih aktif menulis karya-karya dalam
berbagai bidang. |