Mengenal Buku Tahrir Wasilah Imam KhomeiniDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Saleh Lapadi
Salah satu karya fikih yang ditinggalkan oleh Imam Khomeini
adalah buku Tahrir Wasilah. Buku fikih yang memuat sekumpulan fatwa fikih
paling lengkap Imam Khomeini. Kedalaman dan keluasan pembahasan buku ini,
berikut kekokohan argumentasinya sekaligus menepis fatwa-fatwa ulama sebelumnya
yang tidak memperbolehkan mengikuti fatwa seorang mujtahid yang telah meninggal
dunia. Sebagian besar pendapat dan fatwa Imam Khomeini dalam buku Tahrir
Wasilah sampai saat ini adalah pendapat puncak dan diakui oleh sebagian besar
para mujtahid yang nota bene adalah murid-muridnya. Oleh karenanya, sebagian
dari para mujtahid yang ada saat ini masih memperbolehkan para mukallidnya
(mereka yang bertaklid), yang sebelumnya, bertaklid kepada Imam Khomeini untuk
mengamalkan buku Tahrir Wasilah. Sementara untuk fatwa yang berbeda dan masalah
baru yang tidak terdapat dalam buku Tahrir, maka harus mengikuti pendapat
mereka.[1] Sebelum mengenal lebih jauh tentang buku Tahrir Wasilah
karangan Imam Khomeini, ada baiknya kita mengenal beberapa karya fikih beliau
yang ditulis sebagai buku fatwa. Buku fikih fatwa paling awal yang ditulis oleh
Imam Khomeini merupakan komentar beliau terhadap buku karangan Ayatullah
al-Uzhma Sayyid Abu al-Hasan Isfahani (1284-1365 H-Q) yang berjudul Wasilah an-Najah
(Pengantar Keselamatan). Buku ini beliau tulis beberapa tahun sebelum
meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan dicetak dengan judul “Wasilah an-Najah
Ma’a Ta’aliq al-Imam al-Khomeini”. Ayatullah Burujerdi semasa hidupnya adalah
mujtahid Syi’ah terbesar. Komentar-komentar beliau terhadap buku Wasilah
an-Najah inilah yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya buku Tahrir
Wasilah. Disebutkan bahwa ada beberapa perbedaan fatwa beliau yang ditulis
dalam komentarnya terhadap Wasilah an-Najah dan buku Tahrir Wasilah. Namun
masalah ini tidak sulit karena penulisan buku komentar terhadap Wasilah
an-Najah lebih dahulu maka tentunya yang dikedepankan adalah pendapat beliau
dalam buku Tahrir Wasilah. Selain mengomentari buku Wasilah an-Najah karya Sayyid Abu
al-Hasan al-Isfahani, beliau juga mengomentari buku al-‘Urwah al-Wutsqa
karangan Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim al-Yazdi (1247-1337 H-Q). Buku
al-‘Urwah al-Wutsqa adalah buku argumentasi fikih Syi’ah yang ditulis dengan
baik dan tercatat sebagai salah satu buku yang memuat cabang-cabang masalah
fikih dengan komplit pada masanya. Sayyid Yazdi sendiri setelah menulis buku
tersebut mengumumkan sayembara kepada murid-muridnya dan berjanji memberikan
hadiah bila menemukan kekurangan dalam hal ini. Sebagai sebuah perbandingan, sekalipun buku Tahrir Wasilah
cukup komplit membahas masalah-masalah kontemporer dan perincian masalahnya
lebih banyak, namun masih kalah kelengkapan penjelasan untuk seluruh cabang
masalah fikih dibanding buku al-‘Urwah al-Wutsqa. Oleh karenanya, untuk melihat
pikiran-pikiran Imam Khomeini secara utuh dalam masalah fikih hendaknya
melakukan perujukan kepada buku ini. Komentar Imam Khomeini terhadap buku
al-‘Urwah al-Wutsqa dicetak dengan judul “Al-‘Urwah al-Wutsqa Ma’a Ta’aliq
al-Imam Khomeini”. Buku-buku yang memuat fatwa-fatwa Imam Khomeini di atas
ditulis dalam bahasa Arab sebagaimana buku Tahrir Wasilah. Imam Memiliki buku
fatwa dalam bahasa Persi. Buku pertama beliau dalam bahasa Persi adalah
“Resale-e Nejatul Ebad” (Risalah Untuk Keselamatan Hamba). Buku ini dikumpulkan
pada awal-awal beliau menjadi marja’ dan Ayatullah Burujerdi masih hidup. Buku
ini sebagian besar adalah terjemahan Wasilah an-Najah dan pada bagian-bagian
tertentu adalah terjemahan al-“Urwah al-Wutsqa yang beliau komentari. Namun
tentu saja dalam penyusunan ini dituntun langsung oleh beliau secara lisan.
Setelah meninggalnya Ayatullah Burujerdi dan kemudian dicetaknya Risalah
Taudhih al-Masail kumpulan buku fatwa Imam, buku Resale-e Najatul Ebad kemudian
menjadi terlupakan. Buku fikih paling anyar dari Imam Khomeini adalah Risalah
Taudhih al-Masail. Buku ini disusun dan kemudian diedit oleh mereka yang berada
khusus menangani masalah fatwa Imam Khomeini. Setelah itu mereka mengirimkan
surat kepada Imam Khomeini untuk mendapatkan persetujuan beliau bahwa apa yang
tertulis dalam buku ini sesuai dengan fatwa beliau. Buku ini mendapat perhatian
besar sehingga berkali-kali diterbitkan ulang, ditambah lagi dengan
permasalahan-permasalahan baru yang ditanyakan kepada Imam Khomeini. Proses Penulisan Buku Tahrir Wasilah Buku Tahrir Wasilah pada hakikatnya hasil kerja tiga orang
ulama besar Syi’ah. Mereka itu adalah Ayatullah Sayyid Muhammad Kazhim Yazdi,
Ayatullah Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan Ayatullah Sayyid Ruhullah Khomeini.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, Imam Khomeini menuliskan komentar
terhadap buku Wasilah an-Najah milik Sayyid Abu al-Hasan Isfahani dan dalam
penulisan buku Tahrir Wasilah, komentar-komentar beliau itu dijadikan matan dan
teks yang berdiri sendiri dari buku Wasilah an-Najah. Lalu kemudian beliau
menambahkan masalah-masalah lain yang terinspirasi oleh buku al-‘Urwah
al-Wutsqa milik Sayyid Kazhim Yazdi dan selain itu, beliau menambahkan
masalah-masalah kontemporer. Bahwa buku Tahrir Wasilah adalah hasil kerja keras tiga
ulama besar di atas sangat beralasan sekali. Hal itu dikarenakan dalam
penulisan buku Tahrir Wasilah sumber yang dijadikan rujukan Imam Khomeini hanya
tiga buah buku; Wasilah an-Najah, al-‘Urwah al-Wutsqa dan Wasail Syi’ah. Dan
buku Tahrir Wasilah ditulis dalam penjara di kota Bursa Turki dengan tidak
diberi kesempatan untuk dapat mengakses keluar. Untuk mengenal lebih dekat bagaimana proses penulisan
tersebut ada baiknya bila kita membaca sendiri dari tulisan Imam Khomeini dalam
pembukaan buku Tahrir Wasilah. Beliau menyebutkan: “Sebelumnya aku telah memberikan komentar terhadap buku
Wasilah an-Najah milik Sayyid al-Hujjah Isfahani. Pada akhir bulan Jumadil
Tsani tahun 1384 H-Q (bertepatan dengan tanggal 13 Aban 1343 H-S), saya
diasingkan dari kota Qom ke kota pelabuhan Bursa di Turki karena peristiwa yang
sangat berat dan memilukan yang menimpa Islam dan kaum muslimin, dan saya yakin
bahwa sejarah pasti mencata hal itu. Di sana, saya diawasi dengan sangat ketat.
Dan karena masih ada waktu senggang, saya kemudian memutuskan untuk menjadikan
komentar-komentar saya terhadap buku Wasilah an-Najah sebagai teks dan buku
sehingga lebih mudah dan lebih bermanfaat. Dan bila Allah memberikan taufik,
akan saya tambahkan masalah-masalah yang sering dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari.” Buku Tahrir Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam dua
jilid dengan perincian: a. Jilid pertama dibagi dalam 7 kitab; ahkam taklid,
taharah, salat, puasa, zakat, khumus, dan mukaddimah haji. a. Jilid kedua dibagi dalam 26 kitab; ar-rahn, al-hajr,
ad-dhaman, al-hiwalah wa al-kifalah, al-wikalah, al-iqrar, al-hibah, al-waqf wa
akhawatuh, al-washiyah, al-iman wa an-nudzur, al-kaffarat, as-shaid wa
az-dzibahah, al-ath’imah wa al-asyribah, al-ghashb, ihya al-mawat wa
musytarakat, al-luqathah, an-nikah, at-thalaq, al-khulu’ wa al-mubarat,
az-zhihar, al-ila’, al-li’an, al-mawarits, al-qadha, as-syahadat, al-hudud. Terjemahan Tahrir Wasilah Mengingat buku Tahrir
Wasilah oleh Imam Khomeini ditulis dalam bahasa Arab, maka tentu saja tidak
dapat diakses dengan mudah oleh mereka yang tidak mengetahui bahasa Arab.
Sayangnya sampai saat ini belum ada terjemahan lengkap buku ini ke dalam bahasa
Indonesia. Buku Tahrir Wasilah ini telah diterjemahkan dalam bahasa Persia. Di
sini penulis hanya menyertakan dua terjemahan komplit dari Tahrir Wasilah ke
dalam bahasa Persia disertai matan Tahrir Wasilah itu sendiri dan sebuah
terjemahan bahasa Urdu. 1. Tahrir Wasilah terjemahan Sayyid Muhammad Baqir Musawi
Hamadani dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh penerbit Dar
al-‘Ilm, Qom pada tahun 1375 H-S. 2. Tahrir Wasilah terjemahan Ali Islami dan Qadhi Zadeh
dibawah pengawasan Muhammad Mukmin Qummi dan Sayyid Hasan Taheri Khurram Abadi
dalam empat jilid. Terjemahan ini diterbitkan oleh Daftar Penerbitan Islami
Hauzah Ilmiyah Qom. 3. Terjemahan Tahrir Wasilah ke dalam bahasa Urdu dipimpin
langsung oleh Deputi Urusan Internasional Yayasan Tanzhim dan Nasyr karya-karya
Imam Khomeini. Terjemahan ini dalam empat jilid dan salah satu kelebihan
terjemahan Urdu ini adalah dari setiap satu halaman terjemahan Urdu disertai
dengan satu halaman matan asli. Ringkasan Tahrir Wasilah Dua jilid buku Tahrir Wasilah terasa terlalu memberatkan dan
kemudian menjadi tidak praktis, apa lagi tidak semua pembahasan yang ada di
dalamnya terpakai. Terlebih lagi untuk memenuhi kebutuhan buku fikih bercorak
fatwa pada tingkat permulaan. Untuk memenuhi kebutuhan ini dilakukan
peringkasan terhadap buku Tahrir Wasilah ini. Untuk ringkasan Tahrir Wasilah
ini juga ditulis dalam bahasa Arab. Ada dua buku sebagai ringkasan Tahrir
Wasilah: 1. Zubdah al-Ahkam. Buku ini diterbitkan oleh Sazman
Tabligate Eslami (semacam badan penerangan), di Tehran pada tahun 1404 H-Q
dalam 273 halaman. 2. Ma’rifah Abwab al-Fiqih. Buku ini diterbitkan oleh
Markaze Jahani Ulume Islami untuk memenuhi kurikulum fikih praktis di tingkat
permulaan. Buku ini diterbitkan pertama kali pada tahun 1377 H-S dalam 223
halaman. Komentar terhadap Tahrir Wasilah Setelah Imam Khomeini menuliskan buku Tahrir Wasilahnya dan
kemudian mendapat sambutan hangat dari ulama Syi’ah, sebagian ulama kemudian
memutuskan untuk memberikan komentar terhadap buku ini. Ditambah lagi sebagian
mujtahid mengambil langkah berani dengan menjadikannya sebagai nara sumber
untuk kajian fikih tingkat akhir (bahts karij) mereka, setelah lama memakai
buku Makasib milik Syaikh Anshari sebagai pedoman. Di bawah ini beberapa komentar terhadap buku Tahrir Wasilah
dari ulama kontemporer Syi’ah: 1. Komentar dari Ayatullah Fadhil Langkarani. 2. Komentar dari Ayatullah Makarim Syirazi. 3. Komentar dari Ayatullah Alawi Gurgani. 4. Komentar dari Ayatullah Yusuf Shane’i. 5. Komentar dari Ayatullah Abu Thalib Tajlil Tabrizi. 6. Komentar dari Ayatullah Misykini Ardebili. Syarah terhadap Tahrir Wasilah Imam Khomeini dalam Shahifah Nur menyebutkan: “Ruang dan
waktu adalah elemen penentu dalam berijtihad. Sebuah masalah pada masa lalu
memiliki hukumnya tersendiri. Namun tampaknya, masalah yang sama, dengan
kondisi berbeda yang menguasai sebuah sistem pemerintahan baik dari sisi
politik, sosial, dan ekonomi memungkinkan munculnya sebuah hukum yang baru.
Munculnya sebuah hukum yang baru tersebut dengan makna bahwa pengenalan yang
lebih detail terhadap hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik pada sebuah
obyek yang pada mulanya tampak tidak berbeda dengan obyek sebelumnya, ternyata
benar-benar melahirkan sebuah obyek hukum yang baru dan lain dengan sebelumnya
yang pada gilirannya menuntut sebuah hukum yang baru.” Konsep ijtihad dalam ruang dan waktu ini sangat mempengaruhi
hasil dari penyimpulan hukum seorang mujtahid. Hal inilah yang membuat
fatwa-fatwa Imam Khomeini menjadi memiliki corak tersendiri dalam khazanah
pemikiran ulama Syi’ah. Dan konsep ini kemudian mulai dikaji lebih dalam oleh
ulama sepeninggalnya. Oleh karena itu, buku Tahrir Wasilah menjadi sangat
penting bagi ulama saat ini. Untuk itu ditulis berjilid-jilid syarah terhadap
buku Tahrir Wasilah ini. Bahkan, lebih dari itu, mereka yang mensyarahi buku
Tahrir Wasilah kemudian melakukan penelitian lebih jauh dengan mencoba
menyingkap argumentasi dan sumber-sumber yang dipakai oleh Imam Khomeini
sehingga sampai pada kesimpulan yang tertulis dalam buku Tahrirnya. Untuk itu penulis membawakan sejumlah syarah yang ditulis menjelaskan
lebih jauh buku Tahrir Wasilah ini. Tentunya, mengkaji syarah-syarah yang ada
akan lebih memperkaya cara pandang kita terhadap ide-ide dan corak pemikiran
Imam Khomeini. 1. Tafshil as-Syari’ah. Judul lengkap buku ini adalah
Tafshil as-Syari’ah Fi Syarhi Tahrir al-Wasilah. Ini adalah syarah paling
terperinci dan paling lengkap tentang Tahrir Wasilah Imam Khomeini. Syarah ini
ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani, salah satu murid Imam Khomeini.
Bahkan jilid-jilid pertama dari syarah ini ditulis sebelum Revolusi Iran ketika
Imam diasingkan setelah dari Turki. Sampai pada penulisan makalah ini, syarah
yang ditulis oleh Ayatullah Fadhil Langkarani ini telah dicetak sebanyak 20
jilid. Dan penulisan syarah ini masih dilanjutkan. 2. Madarik Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah
Murtadha Bani Fadhl Tabrizi. Pada awalnya, syarah ini hasil kuliah-kuliah yang
beliau sampaikan. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan yang lainnya pada
penukilan ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis dan ijma’ yang menjadi sandaran Imam
Khomeini. Karena itulah syarah ini disebut Madarik Tahrir Wasilah
(Sumber-Sumber Fatwa Tahrir Wasilah). Sampai saat ini, syarah ini hanya
menjelaskan tiga kitab; puasa, salat (dalam tiga jilid) dan zakat dan khumus. 3. Mabani Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah
Muhamamd Mukmin Qummi. Syarah ini juga merupakan hasil dari kuliah-kuliah yang
disampaikan oleh beliau dari Tahrir Wasilah dalam masalah; kitab al-qadha dan
kitab as-syahadah dalam sebuah jilid dan jilid keduanya terkait dengan kitab
al-hudud. 4. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh anak
Imam Khomeini yang bernama Mushthafa Khomeini dalam dua jilid. Dalam dua jilid
ini beliau mensyarahi beberap bagian dari kajian Tahrir Wasilah seperti;
taharah, salat, makasib wa matajir, puasa, bai’ (jual beli), khiyarat dan
nikah. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan syarah-syarah yang lain selain
penelitian yang dalam dan ketelitian yang lebih ada pada pengeditan dan
penyempurnaan yang dilakukan oleh Imam sendiri. Dan itu ketika Sayyid Musthafa
menanyakan sebagian masalah yang ada pada buku Tahrir Wasilah kepada Imam
Khomeini sang ayah. 5. Mustanad Tahrir Wasilah. Syarah ini namanya mirip dengan
syarah yang ditulis oleh Sayyid Musthafa Khomeini, namun ditulis oleh Ayatullah
Syaikh Ahmad Muthahhari Saveji dalam delapan jilid. Lebih dari dua puluh tahun
beliau memberikan perhatian terhadap buku Tahrir Wasilah masa di mana pada masa
itu masih langka ulama yang melakukan itu. Beliau mensyarahi beberapa bagian
dari masalah dalam Tahrir Wasilah. Sayangnya, karena buku ini dicetak masa itu
tidak memiliki indeks yang baik bahkan tanpa ada pengantar dari sang penulis.
Sebagian dari buku ini ditulis sendiri oleh penulis dan sebagian lainnya
diterjemahkan ke dalam bahasa Persi oleh orang lain. 6. Fiqh as-Tsaqalain. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah
Yusuf Shane’i dalam dua jilid. Sebagaimana syarah Tahrir Wasilah yang lain,
buku ini adalah hasil kuliah fikih tingkat akhir (bahts kharij). Dua jilid dari
syarah beliau ini menyangkut kitab thalaq dan kitab qishas. Buku ini ditulis
oleh salah seorang mahasiswanya. Kelebihan syarah ini dibandingkan dengan
lainnya adalah selain buku ini hasil kuliah yang dikaji bersama mahasiswanya,
hasil tulisan dari salah seorang mahasiswanya kemudian diteliti lagi oleh
beliau secara langsung sebelum naik cetak. 7. Anwar al-Faqahah. Syarah ini ditulis oleh Ayatullah
Syaikh Makarim Syirazi. Ayatullah Makarim dalam pengantarnya menyebutkan
alasannya mengapa beliau memilih mensyarahi buku Tahrir Wasilah. Pertama,
karena matan asli buku Tahrir adalah Wasilah an-Najah. Kedua, mencakup
kajian-kajian yang ditulis oleh Sayyid Yazdi dalam bukunya al-‘Urwah al-Wutsqa.
Dan ketiga, dikarenakan buku Tahrir Wasilah membahas banyak hal yang dibutuhkan
untuk masa kini sementara ulama yang lain kurang memperhatikan hal tersebut. 8. Mu’tamad Tahrir Wasilah. Buku ini ditulis oleh Syaikh
Abbas Zhahiri Isfahani dalam satu jilid. Buku ini hanya mengambil satu bab
dalam buku Tahrir Wasilah mengenai masalah-masalah kontemporer. Menurut penulis
dalam pengantarnya, baru kali ini Imam menulis buku fatwanya dan disertai
dengan bab khusus tentang masalah-masalah kontemporer membuat saya tertarik
untuk mensyarahinya. 9. Misbah Syari’ah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Abdunnabi
Namazi Bushehri dalam empat jilid. Keempat jilid tersebut merupakan syarah
beberapa bagian dari buku Tahrir Wasilah. Jilid pertama mensyarahi bagian
ijtihad dan taklid, jilid kedua membicarakan salat musafir sementara ketiga dan
keempat menjelaskan panjang lebar tentang masalah khumus dan puasa. 10. Dalil Tahrir Wasilah. Syarah ini ditulis oleh Syaikh Ali
Akbar Saifi Mazandarani dalam enam jilid. Masing-masing membicarakan tema-tema
penting dalam buku Tahrir Wasilah seperti; wilayatul faqih, khumus, ahkam
as-satr wa an-nazhar, as-shaid wa az-dzibahah dan ahkam al-usrah. 6. Syarh Tahrir Wasilah. Ayatullah Syaikh Ahmad Sibth
as-Syaikh (1349-1416 H-Q) dalam satu jilid berusaha mensyarahi masalah taklid
dan taharah. Beliau tidak sempat melanjutkan syarahnya terhadap buku Tahrir
Wasilah karena keburu dijemput ajal. Kekeurangan syarah ini, sebagaimana
buku-buku yang dicetak dahulu, tidak memiliki catatan kaki dan sumber rujukan. 7. Nur ad-Din al-Munir. Pengarang buku ini adalah Sayyid
Nuruddin Shariat Madari Jazairi. Poin penting dari syarah ini adalah usaha
penulis untuk melakukan kajian perbandingan dua tokoh besar dari ulama Syi’ah
yaitu; Imam Khomeini dan Sayyid Khu’i. Dan studi komparasi keduanya dalam
masalah ijtihad dan taklid dan beberapa tema-tema penting lainnya. Tentu studi
perbandingan yang dilakukan tidak keluar dari usahanya ingin menyusus
ensiklopedia fikih dan usul fikih. Masih ada beberapa syarah lain yang ditulis oleh ulama
kontemporer Syi’ah terkait dengan buku Tahrir Wasilah yang tidak disebutkan di
sini. Dan tentu saja usaha untuk menggali pemikiran-pemikiran Imam Khomeini
tidak akan berhenti dengan menukil beberapa syarah dan komentar yang ditulis
mengenai Tahrir Wasilah. Sumber Rujukan
1. Nashiruddin
Anshari Qummi, Ketab shenasi Tahrir Wasilah, Ayeneh-e Pazhoohesh (Jurnal tiga
bulanan Mirror of Research), vol 91, 1384. 2. Hasan Pouya, Ketab
Shenasi Tahrir Wasilah, Qom, Muasasaeh Tanzim Va Nashre Asare Emam Khomeini,
1383. [1] Menurut hemat
penyusun, sebenarnya fenomena ini memiliki beberapa alasan. Pertama, dituntut
oleh sikap moral murid terhadap guru yang ada pada hauzah ilmiah hingga
sekarang. Dan kedua, lebih pada alasan teknis agar tidak terjadi pengulangan
yang tidak perlu. Dengan demikian, fatwa yang disampaikan oleh ulama tentang
masalah taklid kepada seorang mujtahid yang telah meninggal sebenarnya pada
substansinya tidak berbeda. Karena ketika disebutkan masih diperbolehkan
mengikuti pendapat Imam Khomeini sebenarnya hal itu menunjukkan kesamaan
pendapat mujtahid yang hidup dengan pendapat Imam Khomeini. |