Membumikan Tragedi AsyuraDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Utsman Al-Hadi
“Sesungguhnya benar-benar terdapat pelajaran pada kisah-kisah
mereka (orang-orang terdahulu) bagi orang- orang yang memiliki akal.” (QS. Yusuf:111) Sering kali orang mengatakan bahwa sejarah adalah guru
manusia. Kebanyakan mereka yang belajar dari sejarah adalah orang-orang yang
berhasil. Sejarah bukan hanya untuk dibaca tapi perlu dikaji. Sejarah dibaca
untuk diambil pelajaran. Al-Quran banyak menceritakan umat-umat terdahulu.
Bagaimana sebuah bangsa hancur karena perbuatan mereka. Al-Quran menyebutkan
bahwa pembangkangan mereka terhadap perintah Allah yang membuat Allah
menurunkan azabnya. Sebaliknya, umat yang berhasil dan jaya tidak muncul begitu
saja. Sejarah memiliki undang-undangnya sendiri. Kejayaan dan kemenangan punya
aturannya dan kehancuran dan kekalahan punya aturannya sendiri. Itulah yang
sering diistilahkan dengan determinasi sejarah. Undang-undang kemenangan oleh Allah dengan indah dilukiskan,
“Kamulah orang- orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang
yang beriman” (Ali Imran: 139). Allah memberikan syarat kepada sebuah
umat yang ingin menang dan jaya. Salah satu syaratnya adalah keimanan. Dengan
bekal keimanan inilah Allah memenangkan pasukan Thalut yang jumlahnya sangat
sedikit ketika menghadapi bala tentara Jalut. Hal yang Allah memenangkan umat
Islam dalam perang Badar. Keimanan sering membalik perhitungan yang
berlandaskan kuantitas. Allah swt berfirman: “Betapa banyak golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah
beserta orang-orang yang sabar” (Baqarah: 249). Kehancuran sebuah umat juga punya undang-undang. Setiap umat
yang memiliki syarat-syarat itu akan hancur. Allah berfirman: “Dan jika Kami
hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang- orang
yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya
perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-
hancurnya” (Isra’: 16). Bila kita meyakini bahwa sejarah punya peran penting bagi
manusia untuk menata masa depannya, peristiwa Karbala pada tahun 61 hijriah
menjadi sangat penting. Sebuah peristiwa paling penting dalam sejarah
perjalanan Islam. Saat-saat Islam berada di persimpangan jalan. Ketika Yazid
bin Muawiyah mengaku sebagai khalifah Allah di muka bumi. Khalifah sebagai
pengganti Nabi Muhammad saw. Ia dikenal sebagai pemabuk, penjudi dan perbuatan
yang tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim, apa lagi orang yang bergelar
khalifah Allah. Mengapa Kita Harus Mengenang Kembali Tragedi
Karbala? Mengapa kita harus menghidupkan kembali peristiwa yang
terjadi kira-kira 14 abad yang lalu? Bukankah itu telah berlalu? Terlepas dari
kejadian tersebut pahit dan menyedihkan ataupun menyenangkan dan apapun yang
terjadi, itu semua sudah selesai, mengapa kita harus mengingat-ingat serta
menghidupkannya kembali dan mengadakan acara-acara khusus untuk itu semua? Untuk menjawab pertanyaan seperti ini, kita mungkin perlu
mengingat bahwa semua peristiwa sejarah yang terjadi pada setiap kaum
memberikan pengaruh besar dan nasib buat kaum yang akan datang. Sebuah kasus
dalam sejarah dengan bentuk yang sama mungkin tidak akan berulang kembali.
Namun, bila dianalisa lebih dalam, setiap sejarah punya titik-titik kesamaan. Salah satu faktor penting dan diterima secara aksiomatis
adalah setiap manusia memiliki hawa nafsu dan akal. Dengan menekankan dan
mengkaji dua faktor ini secara terpisah, lalu menerapkannya dalam setiap kasus
sejarah dapat dikatakan kedua faktor ini mempunyai pengaruh yang kuat dalam
mengendalikan terjadinya sebuah kasus sejarah. Allah swt sangat menekankan manusia untuk melakukan
perjalanan dan belajar dari sejarah. Banyak sudah orang yang melakukan
perjalanan. Banyak sudah orang yang menyaksikan peninggalan-peninggalan
bersejarah. Banyak sudah orang yang membaca sejarah dari buku-buku sejarah.
Pertanyaannya adalah seberapa banyak orang yang mengambil pelajaran dari
sejarah? Imam Ali as berkata: “Sungguh banyak pelajaran tapi sedikit sekali
yang mengambil pelajaran”. Menguatkan itu, Allah swt berfirman: “Sesungguhnya
benar-benar terdapat pelajaran pada kisah-kisah mereka (orang-orang terdahulu)
bagi orang- orang yang memiliki akal (Yusuf: 111). Kita diperintahkan untuk mengkaji sejarah orang-orang
terdahulu agar dapat mengambil pelajaran dan hikmah dari itu semua. Dalam
sebuah kasus tentu ada titik lemah yang dilakukan. Itu perlu dipelajari untuk
kemudian tidak diulangi di masa depan. Mengenang segala tragedi merupakan kunci
untuk membuka rahasia-rahasia yang tersimpan di dalamnya agar masyarakat dapat mendeteksi
kembali dan mengambil hikmat dari titik-titik tersebut. Bila kejadian sejarah merupakan sumber segala pengaruh dan
keberkahan, maka mengenang dan mengkajinya merupakan kunci untuk membuka berkah
itu sendiri. Apa lagi, sebuah umat yang besar adalah yang menghargai sejarah
dari pendahulu mereka. Tanpa sejarah sebuah umat kehilangan akar dan tidak
beridentitas. Membaca sejarah dapat menjadi sumber inspirasi. Namun,
jangan lupa bahwa membuka lembaran sejarah terkadang membuat hati pilu.
Terlebih lagi bila sejarah itu terkait dengan sebuah pembantaian
manusia-manusia terbaik. Imam Husein as yang oleh Rasulullah saw disebut
sebagai dirinya “Husein dariku dan aku dari Husein”. Membuka kembali lembaran sejarah peristiwa Karbala tidak
hanya untuk membacanya lalu bersama-sama menguraikan air mata. Ada pelajaran
penting di sana. Sebuah misi yang membuat setiap pribadi yang ikut di dalamnya
mengambil sebuah adegan yang saling mendukung melanjutkan misi Imam Husein as.
Beliau keluar untuk melakukan revolusi setelah melihat perilaku Yazid bin
Muawiyah yang sewenang-wenang. Peperangan berlangsung tidak berimbang. Imam Husein as dan
sahabat-sahabatnya lebih memilih mereguk cawan syahadah ketimbang terhina dalam
hidupnya. Terhina oleh penguasa zalim berjubah orang saleh. Mereka lebih
memilih mati memperjuangkan ajaran Rasulullah ketimbang melihat agama ini
dimanipulasi oleh orang-orang semacam Yazid. Sejarah mencatat bahwa Imam Husein as dengan jumlah pasukan
sekitar 72 orang dibantai oleh ribuan pasukan Ibnu Ziyad. Kalahkah Imam Husein
as yang membawa bendera keimanan dan kesabaran? Apakah di sini logika al-Quran
tidak dapat diterapkan? Bukankah Allah akan memenangkan orang-orang beriman?
Bukankah berapa banyak kelompok yang kecil berhasil mengalahkan kelompok besar? Logika al-Quran masih berlaku. Kemenangan tidak dilihat dari
bentuk fisik melulu. Al-Quran menjelaskan bahwa jumlah kecil juga dapat menang
dengan tujuan menjelaskan bahwa kemenangan tidak dengan kuantitas. Kemenangan
harus dilihat dari tujuan. Apakah misi itu berhasil mewujudkan tujuannya,
sekalipun pelaku dan pembawa misi itu telah tiada? Tentu jawabannya adalah positif. Imam Husein as dan
sahabat-sahabatnya memang tercabik-cabik jasadnya. Namun misinya tetap
berlanjut. Misi imam Husein as yang semula adalah melakukan kewajiban amar
makruf dan nahi mungkar masih tetap berlanjut. Misi itu masih terus dikenang.
Karena tanpa revolusi Karbala, agama ini akan hancur. Itulah mengapa disebutkan bahwa Imam Husein as dengan
revolusinya berhasil menjaga kemurnian agama Islam. Sebuah ungkapan yang
menarik “Islam muncul dengan Nabi Muhammad saw dan kekal dengan Imam Husein
as”. Imam Husein as adalah lambang perjuangan menentang penguasa yang lalim.
Penguasa yang tidak hanya hidup di zaman itu, Yazid hanya sebuah simbol.
Penguasa lalim ada dan hidup di setiap masa. Semboyan “Pantang Hina” yang
diucapkan oleh Imam Husein as tetap abadi dan tidak pudar oleh ruang dan waktu.
Di sini perjuangan Imam Husein as menang. Kemenangan karena dilandasi oleh
keimanan. Bila mengenang tragedi Karbala memiliki peran yang sebegitu
penting dalam kehidupan seseorang, maka merugilah mereka yang melupakan ataupun
tidak memberikan perhatian khusus atas peristiwa bersejarah ini. |