Ijtihad: Definisi dan Perkembangannya Dalam Khazanah Pemikiran IslamDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Saleh Lapadi
Berbicara mengenai ijtihad memang menarik. Ijtihad salah
satu sumber inspirasi guna memacu Islam menyesuaikan dirinya dengan percepatan
zaman. Tanpa ijtihad sama artinya mengembalikan kehidupan era millenium ini
sesuai dengan seribu empat ratus tahun lalu. Mungkin umat Islam perlu
memikirkan unta (lagi) sebagai ganti mobil dan kereta api selain sebagai alat
transport yang ramah lingkungan juga sesuai dengan sunnah nabi yang senantiasa
hilir mudik dengannya. Ijtihad juga merupakan satu kata kunci guna dapat memahami
Islam. Mengingat proses ijtihad membutuhkan kemampuan komprehensif seorang
pemikir Islam (baca: mujtahid) atas ilmu-ilmu Islam dan tentunya ilmu-ilmu lain
dan metodologi yang memiliki kaitan erat dalam proses penyimpulan sebuah hukum
syariat. Sayangnya, usaha memperbaharui pemahaman Islam (dengan tanpa
melupakan usaha yang telah dilakukan) kemudian menjadi terbalik. Dengan slogan
yang sama yaitu meneruskan tradisi ijtihad dengan penguasaan yang baik terhadap
ilmu-ilmu dan metodologi yang berkembang sekarang namun dengan kemampuan
ilmu-ilmu Islam yang tidak sebanding. Fenomena ini memang berbanding terbalik
dengan mayoritas ulama sebelumnya yang minim akan ilmu-ilmu dan metodologi yang
dapat mendongkrak kualitas hasil penyimpulan hukumnya. Walaupun hal ini masih
ditolerir mengingat perkembangan metodologi di dunia barat lebih dahulu
terjadi. Kondisi ini semakin diperburuk dengan kurangnya informasi
seorang pemikir Islam mengenai aliran-aliran pemikiran dalam Islam. Tarik saja
dari masalah ushuluddin hingga furu’uddin. Ini sering tidak menjadi fokus
perhatian mereka yang ingin mengkaji sesuatu dan akan mengatasnamakan kajiannya
sebagai pandangan Islam. Katakanlah bahwa pemetaan perbedaan pemikiran telah
dilakukan, hal yang masih harus dipertanyakan adalah informasi perbedaan
tersebut lebih sering bukan dari sumber-sumber pertama. Selain secara ilmiah
hal masih perlu dipertanyakan, akan semakin ruwet lagi bila penukilan tersebut
jatuh ke tangan mereka yang membenci pemikiran lain. Akhirnya, alih-alih ijtihad membawa cakrawala baru bahkan
menambah pekerjaan rumah yang telah menumpuk. Kenyataan ini menuntut sebuah
langkah serius untuk membenahi dan menata kembali pranata ijtihad. Banyak
sekali pertanyaan yang berkaitan dengan ijtihad yang selama ini jangankan
dikaji dilirik pun tidak pernah. Sebagai contoh, apakah Allah memiliki
hukum-hukum selain yang termaktub di Al-Qur’an dan hadis? Bila jawabannya
adalah “tidak” maka ketika seorang pemikir Islam menyampaikan sebuah hukum
sebagai hasil dari ijtihadnya, apa esensi hukum yang dihasilkannya? Apakah
setara dengan Al-Qur’an dan hadis ataukah tidak? Seberapa besar kebenaran yang
dikandungnya? Dengan kata lain, proses ijtihad dan hasilnya lebih memiliki
sosok manusiawi dari pada ilahi, hukum yang dihasilkan memang tidak punya
kaitan dengan Allah, dan lain-lain. Bila jawabannya adalah ‘iya’ proses yang
dilakukan dalam ijtihad adalah menyingkap hukum Allah. Pertanyaannya adalah
seberapa jauh urgensi seorang pemikir Islam harus melakukan ijtihad? Hukum yang
dihasilkannya, karena tidak termaktub dalam Al-Qur’an dan hadis, disebut apa?
Apa esensinya? Di sini proses ijtihad tidak murni manusiawi karena kesimpulan
akhir yang ingin diraih adalah menyingkap hukum Allah. Dan masih banyak lagi
pertanyaan seputar ijtihad yang belum digali. Ijtihad sendiri dalam perkembangan maknanya tidaklah
sesederhana yang dibayangkan selama ini. Kata ijtihad sendiri pernah menjadi
biang sengketa yang sempat membuat Syiah tidak memakai kata ini. Hal itu karena
Ahli Sunah menggunakannya dengan sebuah pemaknaan khusus. Para Imam Syiah dalam
banyak hadis mengisyaratkan bahwa ijtihad yang dilakukan oleh ulama Ahli Sunah
adalah batil. Hal itu diikuti oleh ulama Syiah dengan menulis buku-buku yang
intinya menolak ijtihad. Artinya, ijtihad sempat mendapat penilaian miring. Ijtihad untuk kedua kalinya, dalam Syiah, mendapat
kritikan-kritikan tajam oleh ulama yang mengatasnamakan dirinya Akhbariyun
berhadap-hadapan dengan Ushuliyun. Ahli Sunah yang sebelumnya adalah lokomotif
gerbong gerakan ijtihad harus menelan pil pahit dengan tertutupnya pintu
ijtihad. Definisi Ijtihad Sebagaimana kata-kata kunci lainnya dalam islam, ijtihad
adalah bahasa Arab yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Sekalipun
kamus-kamus bahasa Indonesia telah memaknainya namun hal itu tidak cukup untuk
menjelaskan hakikat ijtihad itu sendiri. Perlu kajian khusus berkenaan
dengannya guna menemukan arti yang sesungguhnya yang pada gilirannya kajian
seputar ijtihad tidak lagi mengambang. Mengapa? Hal itu tidak lain dikarenakan
beberapa pertanyaan sekaitan dengan ijtihad dengan sendirinya akan ditemukan
jawabannya setelah maknanya menjadi jelas. Kata ijtihad dalam bahasa Arab mengambil bentuk masdar
tsulatsi mazid. Bila dikembalikan ke bentuk aslinya yang hanya memiliki tiga
huruf ia menjadi jahada dan bentuk masdarnya ada dua; jahdun dan juhdun. Para
ahli bahasa terbagi dalam pemaknaan dua kata ini. Ada yang menganggap keduanya
memiliki satu arti sedangkan yang lainya meyakini masing-masing memiliki arti
sendiri-sendiri. Jauhari menuliskan: “Al-Jahdu dan al-Juhdu kedua-duanya
memiliki arti kemampuan, oleh karenanya pada surat Taubah ayat 79 dapat dibaca
kedua-duanya, Walladzina laa yajiduna illa jahdahum atau juhdahum. Sementara Ahmad Fayyumi dalam kamusnya membedakan antara
al-Jahdu dan al-Juhdu. Ia menuliskan: “Al-Juhd adalah kata yang dipakai oleh
orang-orang Hijaz sementara kata al-Jahd dipakai oleh selain Arab Hijaz.
Al-Jahd memiliki arti mengerahkan segenap kemampuan. Sementara kata al-Juhd
mengandung makna kesulitan.” Mencermati arti yang disampaikan para ahli bahasa terlihat
ada perbedaan dalam memaknai akar kata ijtihad. Namun bila diteliti lebih dalam
lagi sebenarnya tidak ada perbedaan di sana. Kata al-Jahdu yang memiliki arti
mengerahkan segenap kemampuan tidak akan pernah dilakukan oleh seseorang bila
tidak menemui sebuah kesulitan. Artinya kedua kata ini saling melengkapi.
Setiap kesulitan akan dihadapi dengan segenap kekuatan yang dimiliki sebagaimana
segenap kekuatan hanya akan dikeluarkan bila menghadapi kesulitan. Raghib Al-Isfahani dengan indah mengartikan kata ijtihad
dengan menggabungkan dua unsur tersebut. Beliau menuliskan, ‘Wa Al Ijtihadu
Akhdzun Nafsi Bi Badzlit Thoqoti Wa Tahammuli Al Masyaqqoh’ (Ijtihad adalah
suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang dengan segala kemampuan yang dimiliki
dan menanggung semua kesulitan yang ada). Ijtihad dalam Riwayat Pada bab ‘Kaifa As Sholah ‘Alan Nabiyi Shollallaahu ‘alaihi
wa sallam’ An-Nasa’i meriwayatkan bahwa Zaid bin Kharijah berkata: “Aku
mendengar Rasulullah berkata, Ucapakanlah shalawat kepadaku, berusahalah dengan
sungguh-sungguh untuk berdoa dan katakan, Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad Wa Ali
Muhammad”’. Imam Ali as berkata: “Alhamdulillahi alladzi laa yablughu
midhatahu alqooilun, ... wa laa yuaddi haqqohu almujtahidun, ...” (segala puji
bagi Allah, tidak akan pernah mampu orang memujiNya dengan sebenar-benar
pujian, ..., dan usaha sebesar apapun yang dilakukan oleh orang-orang yang
berusaha tidak akan pernah setara dengan hak yang dimilikinya atas hambaNya. Tsiqotul Islam Kulaini membawakan sebuah hadis dari Imam
Shadiq as pada bab “Haq Al Mukmin ‘Ala Akhiihi Wa Ada’u Haqqihi” (hak seorang
mukmin atas saudara mukminnya dan menunaikan haknya) yang berbunyi: “Al muslimu
akhu al muslimi laa yuzlimuhu wa laa yakhdzuluhu wa laa yakhunuhu wa yahiqqu
‘ala al muslimina al ijtihadu fi at tawasshuli wa at ta’awuni’ala at ta’atufi
wa almusawati li ahli al hajati” (sesama muslim diikat oleh tali persaudaraan,
ia tidak menganiaya saudaranya, tidak membiarkannya, tidak mengkhianatinya.
Seyogianya seorang muslim berusaha sungguh-sungguh untuk menyambung silaturahmi
dengan saudaranya, saling membantu, saling menyayangi, bersama-sama mengulurkan
tangan membantu orang yang membutuhkan pertolongan). Aisyah ra istri Nabi sempat mengomentari perilaku Rasulullah
ketika memasuki bulan Ramadhan. Ibnu Majah menukilkan dari Aisyah ra: “Nabi
senantiasa berusaha lebih giat dan bersungguh-sungguh dalam beribadah ketika
memasuki hari-hari kesepuluh terakhir dari bulan Ramadhan berbeda dengan
hari-hari selainnya”. Riwayat-riwayat di atas menegaskan pemakaian kata ijtihad
oleh Nabi dan yang lainnya sesuai dengan makna yang dituliskan oleh para pakar
bahasa Arab. Terminologi Ijtihad dalam Islam Pakar-pakar bahasa Arab dengan gamblang menjelaskan arti
kata ijtihad dalam kamus-kamus mereka. Sementara untuk menjelaskan terminologi
ijtihad dalam Islam ada sedikit masalah. Hal itu dikarenakan kata ijtihad dalam
perkembangan maknanya tidak sebagaimana yang dibayangkan selama ini karena ia
mengalami dua fase pemaknaan. Dua bentuk pemaknaan kata ijtihad inilah yang
sempat menjadi titik api mengapa Syiah menolak ijtihad. 1. Ijtihad dengan Makna Khusus Mendefinisikan ijtihad dengan makna khusus bukanlah hal yang
mudah. Hal itu lebih disebabkan karena ulama Ahli Sunah ketika mencoba
mendefinisikannya tidak dengan ungkapan yang satu tapi berbeda-beda. Muhammad bin Idris as-Syafi’i ra adalah orang pertama yang
berusaha mendefinisikan kata ijtihad dalam bukunya ar-Risalah. Bahkan
satu-satunya dari empat mazhab Ahli Sunah yang memiliki peninggalan buku-buku
fiqih dan ushul fiqih. Beliau dalam ar-Risalahnya ada bab yang judulnya Qiyas,
Ijtihad, Istihsan dan Ikhtilaf. Pada bab Qiyas ditanyakan: “Apa itu qiyas,
apakah Qiyas sama dengan ijtihad ataukah keduanya adalah kata yang memiliki
arti berbeda?” Aku (Syafi’i) menjawab: “Kedua adalah dua kata untuk satu
makna”. Menjadi orang pertama yang mendefinisikan kata ijtihad tidak
berarti Imam Syafi’i menjadi orang pertama yang mempergunakan qiyas. Abu
Hanifah, sebagai penggagas mazhab Hanafiyah, yang memopulerkan penggunaan
qiyas. Hal itu dapat dimaklumi mengingat mazhab yang dikembangkannya disebut
dengan madrasah ra’yu. Ensiklopedia fiqih Islam yang dikenal dengan nama Mausu’ah
Fiqh Jamal Abdun Naser’(Ensiklopedia Fiqih Jamal Abdun Naser), pada pasal Anwa’
Ijtihad (bentuk-bentuk ijtihad), setelah menjelaskan makna ijtihad dalam arti
yang umum, memerikan apa arti ijtihad khusus. Disebutkan: “Kedua, ijtihad lewat
pemikiran pribadi. Ijtihad yang dilakukan ketika tidak ditemukan teks-teks
Al-Qur’an dan hadis juga tidak ada ijma’ berkenaan dengan sebuah masalah.
Demikian pula mencakup proses penyimpulan sebuah hukum syar’i dengan memakai
kaedah-kaedah umum syariat. Ijtihad yang semacam ini disebut Ijtihad Ra’yu”. Muhammad Salam Madkur menggambarkan sikap para sahabat
sekaitan dengan masalah ijtihad tidak hanya melakukan qiyas tapi juga mencakup
Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah dan Istihsan. Beliau menulis: “Ijtihad para
sahabat Nabi ada tiga bentuk. Pertama, penjelasan teks-teks syar’i dan
penafsirannya. Kedua, mengqiyaskan masalah dengan teks-teks syar’i dan ijma’.
Ketiga, Ijtihad Ra’yu, Mashalih Mursalah, Istihsan. Kelompok ketiga inilah yang
sering dilakukan oleh para sahabat”. Hadis dari Mu’adz Bin Jabal ra berkenaan dengan pengutusannya
ke Yaman sangat jelas bagaimana ia berijtihad dengan ra’yu-nya. Dalam dialognya
dengan Rasulullah saw yang ditulis oleh ad-Darimi dalam Sunannya menyebutkan:
“Rasulullah bertanya kepada Mu’adz, Bila ada masalah yang menuntutmu
menyelesaikannya bagaimana engkau akan menyelesaikannya?” “Aku akan
menyelesaikannya dengan berpegangan pada Kitab Allah”, jawabnya. Rasulullah saw
kembali bertanya: “Seandainya masalah yang engkau selesaikan tidak terdapat
dalam Kitab Allah apa yang kau perbuat?” “Aku akan berpegangan dengan sunnah
Rasulullah”, kembali Mu’adz menjawab. “Bila masalahnya tidak kau temukan dalam
Kitab Allah dan sunnah RasulNya?”, tanya Nabi. Mu’adz menjawab: “Ajtahidu
bira’yi” (aku akan berijtihad dengan pikiranku sendiri). Syahid Shadr dengan lugas menangkap kenyataan ini dan
menjelaskan: “... Madrasah fiqih Ahli Sunah memiliki kaidah berdasarkan ijtihad
sebagai berikut: “Seorang fakih (ahli fiqih) bila hendak menyimpulkan sebuah
hukum syar’i dan kemudian ia tidak mendapatkannya pada Al-Qur’an atau sunnah
Nabi ia akan mengambil sikap ijtihad sebagai ganti dari teks-teks agama
tersebut”. Ijtihad di sini berarti pemikiran pribadi. Seorang fakih
yang tidak menemukan teks-teks agama beralih pada pemikiran pribadi yang
menuntunnya membuat hukum syar’i. Ijtihad seperti ini disebut Ijtihad Ra’yu. Ijtihad dengan makna seperti ini menjadi salah satu
argumentasi seorang fakih bahkan salah satu dari sumber hukum syar’i.
Sebagaimana seorang fakih berpegangan pada kitab atau sunah dan berargumentasi
dengan keduanya ia berpegangan dengan pendapat dan pikiran pribadinya ketika
tidak menemukan dalil dari keduanya’. Analisa Ijtihad Makna Khusus Di antara para sahabat Nabi yang berada dalam baris terdepan
menggunakan kata ijtihad dengan makna khusus ini adalah khalifah kedua Umar bin
Khattab ra. Sementara di kalangan tabi’in Rabi’ah bin Abdur Rahman dan Abu
Hanifah dari kalangan tabi’ tabi’in. Bahkan Abu Hanifah dengan tegas menjadikan
ra’yu sebagai ciri khas mazhabnya. Dalam sejarah perkembangan kata ijtihad makna khusus ada
tiga bentuk penafsiran. Pertama, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Ijtihad menjadi sumber hukum syar’i setelah Al-Qur’an dan Sunah. Kedua, Ijtihad
makna khusus berada setara dengan Al-Qur’an dan Sunah. Ketiga, Ijtihad
terkadang lebih didahulukan dari Al-Qur’an dan Sunah. Konsep ijtihad makna khusus yang diamalkan oleh Ahli Sunah
dan lebih khususnya para sahabat merupakan sebuah keharusan sejarah. Sunah
dalam konsep Ahli Sunah terbatas pada Nabi Muhammad saw. Hal ini membuat mereka
harus segera mencari sumber lain selain dua sumber asli. Hal ini berbeda dengan
Syiah yang meyakini konsep Imamah menganggap sunah berlanjut hingga 12 Imam.
Berdasarkan kenyataan bahwa sunah hanya terbatas pada Nabi, membuat Ahli Sunah
harus mengambil sikap ini. Hal ini kemudian ditambah dengan perluasan wilayah
Islam menambah kerumitan tersendiri bagaimana islam, dengan berpegangan hanya
dengan Al-Qur’an dan Sunah, harus menyelesaikan masalah-masalah yang baru
muncul. Dan satu faktor lain yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana
menyimpulkan sebuah hukum dari dua sumber asli untuk menyelesaikan problem yang
ada. Dengan kata lain, pada masa itu ilmu ushul belum ada. Metode penyimpulan
hukum dari dua sumber asli belum terpikirkan oleh para sahabat. Sumber hukum yang terbatas dan konsep yang belum ada
ditambah perluasan wilayah dan permasalahannya adalah faktor asli yang membuat
para sahabat mengambil sikap ijtihad. Hadis Mu’adz bin Jabal yang berisikan dialognya dengan Nabi
ketika hendak diutus ke Yaman merupakan salah satu dalil kunci pemaknaan ini.
Jawaban terakhirnya berkenaan dengan ijtihad ra’yunya mendapat pujian dari
Nabi. Pujian inilah yang memberikan kekuatan hadis ini sebagai dasar bagi kata
ijtihad. Untuk itu perlu sedikit kajian berkenaan dengan sanad hadis ini. Dalam buku ‘Aunul Ma’bud disebutkan: “Hadis ini oleh
Al-Juzqani dikelompokkan dalam hadis maudhu’ (hadis yang dibuat-buat).
Al-Juzqani berkata: “Hadis ini batil karena diriwayatkan oleh sekelompok perawi
dari Syu’bah. Sementara hadis ini dinukil dalam perari-perawi baik besar maupun
kecil. Aku bertanya kepada setiap muhaddis yang meriwayatkan hadis ini namun
tidak kutemui jalur lain selain yang diriwayatkan oleh Syu’bah”. Al-Harits bin Amr bin Akhil Mughirah bin Syu’bah seorang
pribadi yang majhul, tidak diketahui latar belakangnya. Para sahabat Mu’adz
yang ahli Hims tidak mengenalnya. Sanad yang seperti ini tidak dapat dijadikan
pegangan dalam asli syariat. Bila dikatakan: “Mayoritas ahli fiqih meriwayatkan
dan berpegangan dengan hadis Mu’adz”. Jawabannya adalah jalur hadis ini
demikian adanya. Khalaf dalam hal ini telah mengikuti Salaf. Seandainya mereka
menunjukkan jalur lain bagi hadis ini yang dapat diterima oleh ahli hadis,
niscaya pandangan kami akan berubah mengikutinya. Namun, sayangnya, hal itu
tidak mungkin terjadi.” Ibnu Hazm Al-Andalusi pada beberapa tempat menyebutkan hadis
ini sambil menegaskan batilnya hadis Mu’adz. Ibnu Hazm berkata: “Hadis ini tak dapat dijadikan dalil. Tidak ditemukan
seorang pun yang meriwayatkannya selain dari jalur ini. Tidak dapat
dijadikannya hadis ini sebagai dalil lebih kembali kepada sekelompok orang yang
meriwayatkan hadis ini. Mereka kelompok yang tidak dikenal dan tidak pernah
disebut. Setiap perawi yang tidak dikenal riwayatnya tidak dapat dijadikan
sebuah dalil. Dalam hadis tersebut ada seorang perawi yang bernama Al-Harits
bin Amr. Seorang perawi yang tidak dikenal siapa dia (majhul). Hadis Mua’dz
tidak pernah diriwayatkan selain dari jalur Al-Harits bin Amr.” Di sebagian tempat Ibnu Hazm menukil dari Bukhari bahwa ia
berkata: “Al-Harits tidak pernah dikenal kecuali dari jalur hadis Mu’adz dan
ini tidak sahih’”. Komentar-komentar ulama di atas membuat sulit untuk meyakini
kebenaran hadis Mu’adz sebagai pembenaran makna ijtihad yang diinginkan oleh Ahli
Sunah. Namun pun demikian, tidak dapat disandarkan makna ijtihad lewat hadis
Mu’adz tidak membuat makna yang diinginkan tidak lagi dipakai. Ijtihad makna
khusus adalah sudah merupakan fenomena yang diterima luas di kalangan Ahli
Sunah dengan atau tanpa hadis Mu’adz. Yang dapat dibuktikan adalah makna yang
diinginkan tidak lagi dapat disandarkan dengan hadis Mu’adz. Kembali pada masalah ijtihad dengan makna khusus (ra’yu).
Dalam perkembangannya, pada masa hidupnya para Imam empat mazhab belum
menemukan formula baku. Hal itu dengan melihat cara mereka mengartikan kata
ijtihad itu sendiri. Ditemukan adanya perbedaan mengenai apa yang dimaksud
dengan ijtihad. Imam Syafi’i dengan tegas menyebutkan bahwa ijtihad adalah
qiyas itu sendiri. Sementara yang lainnya menyebutkan istihsan atau mashalih
mursalah. Jelas, bahwa qiyas bukan ijtihad begitu juga istihsan dan mashalih
mursalah. Namun ketiganya adalah metode yang dipakai dalam berijtihad untuk
menyimpulkan sebuah hukum. Perbedaan yang ada dalam mengartikan kata ijtihad membuka
sebuah peluang untuk menafsirkan kata ijtihad pada generasi awal Islam
(sahabat). Ijtihad yang dipakai generasi awal tidak jelas apa maksudnya dan
terlepas dari pemaknaan positif dan tidak ada kaitannya dengan mazhab. Oleh
karenanya, metode yang dipakai bukanlah qiyas yang dibangun oleh para Imam
Mazhab. Ijtihad yang dipakai oleh para sahabat adalah bentuk qiyas yang masih
sederhana dengan memakai tolok ukur maslahat. Maslahat pun tidak mendapat
bingkai yang jelas. Bisa jadi maslahat kaum muslimin, Arab, kabilah atau
pribadi. Seiring dengan berlalunya waktu, kata ijtihad mulai mendapat
batasan-batasan tertentu hingga akhirnya mengambil bentuknya yang baku. Itulah
mengapa untuk membakukan makna ijtihad Syafi’i menyebutnya qiyas. Sementara
yang lain istihsan atau mashalih mursalah. Setelah jelas bahwa prinsip ijtihad yang dikembangkan oleh
para sahabat yang kemudian disempurnakan oleh para imam mazhab muncul karena
sebuah keharusan sejarah. Sumber hukum yang terbatas, belum adanya konsep dan
permasalahan yang muncul akibat perluasan wilayah adalah alasan mengapa harus
ijtihad makna khusus. Ijtihad yang dikembangkan juga masih dalam bentuk yang
sederhana yang kemudian mengalami penyempurnaan pada masa imam mazhab. Di sisi
lain, hadis Mu’adz tidak dapat menjustifikasi makna yang diinginkan Ahli Sunah
bagi ijtihad. Perlu kiranya mendudukan prinsip yang dikembangkan ini dalam
sebuah perspektif yang lebih luas dan dampaknya bagi Islam. Untuk memulai kajian yang lebih luas berkaitan dengan
ijtihad makna khusus, ada baiknya kalau kembali melihat pikiran inti dari
ijtihad makna khusus ini. Pikiran tersebut, dengan menukil ucapan Syahid Shadr,
sebagai berikut: “Seorang fakih (ahli fiqih) bila hendak menyimpulkan sebuah
hukum syar’i dan kemudian ia tidak mendapatkannya pada Al-Qur’an atau Sunnah
Nabi ia akan mengambil sikap ijtihad sebagai ganti dari teks-teks agama
tersebut.” Ijtihad di sini berarti pemikiran pribadi. Seorang fakih
yang tidak menemukan teks-teks agama beralih pada pemikiran pribadi yang
menuntunnya membuat hukum syar’i. Ijtihad seperti ini disebut Ijtihad Ra’yu. Ijtihad dengan makna seperti ini menjadi salah satu
argumentasi seorang fakih bahkan salah satu dari sumber hukum syar’i.
Sebagaimana seorang fakih berpegangan pada kitab atau sunah dan berargumentasi
dengan keduanya ia berpegangan dengan pendapat dan pikiran pribadinya ketika
tidak menemukan dalil dari keduanya.” Seandainya dicoba membandingkan proses munculnya sebuah
hukum yang dihasilkan oleh seorang fakih lewat ijtihad didapatkan kesamaan
dengan proses munculnya sebuah hukum yang tertera dalam Al-Qur’an atau hadis
Nabi. Ilustrasinya demikian, pada al-Quran, Allah adalah sang pembuat hukum.
Al-Qur’an adalah sumbernya sementara teks yang tertera adalah dalil yang
menunjukkan adanya sebuah hukum. Pada hadis, Nabi, dengan ijin Allah, adalah
pembuat hukum. Hadis adalah sumbernya sementara teks hadis adalah dalil yang
menunjukkan adanya sebuah hukum. Pada proses ijtihad, Mujtahid adalah pembuat
hukum (setelah mencari dan tidak menemukan pada dua sumber asli). Fatwa mujtahid
adalah sumber hukum sementara teks fatwa adalah dalil yang menunjukkan adanya
sebuah hukum. Dengan berpegangan pada ilustrasi di atas, mendudukkan
seorang mujtahid setara dengan Nabi, sebagai pembuat hukum ilahi, memerlukan
argumentasi yang lebih kuat dari sekedar dalil yang menyebutkan bahwa seorang
mujtahid bila benar mendapat dua pahala sedangkan bila salah mendapat satu
pahala. Dalil yang diperlukan harus qat’i, jelas, kuat dan disepakati kaum
muslimin. Mengingat Nabi sendiri harus mendapat mandat untuk dapat melakukan
tugas berat tersebut agar hukum yang keluar darinya tidak dipandang sebagai
produk pribadi yang lebih sering dipengaruhi faktor-faktor emosi dan
lingkungan. Satu hal yang tidak boleh dilupakan, bila ingin produk hukum yang
dibuat akan diberi stempel ilahi. Nabi sendiri selaku pribadi yang mempunyai
hak membuat undang-undang (hukum ilahi), oleh kaum muslimin, tidak pernah
diposisikan sama dengan Allah. Lebih dari itu, Mendudukkan seorang mujtahid setara dengan
Allah sebagai pembuat hukum ilahi adalah sangat sulit diterima. Ayat Al-Qur’an
menyebutkan: “Inil Hukmu Illaa Lillaah”. Hukum hanyalah milik Allah. Tanpa
mengajukan argumentasi kuat lewat Al-Qur’an posisi mujtahid sebagai pembuat
hukum setara dengan Allah hanya sebuah dakwaan belaka. Dan, bagaimana mungkin
teori yang sulit dipertanggungjawabkan seperti ini menjadi prinsip mazhab Ahli
Sunah. Sebuah prinsip yang tidak hanya sulit di kalangan ahli fiqih dan ushul
namun juga pada tataran teologi. Allah adalah Esa sampai pada tataran pembuatan
hukum (tauhid fi tasyri’). Pada sisi yang lain, terlihat bahwa ahlus sunah dengan
penjelasan di atas mengalami kerancuan dalam usaha membedakan antara khitab
(teks) dan hukum. Hukum Allah berkaitan dengan ilmu-Nya. Sementara ayat-ayat
yang berada dalam Al-Qur’an adalah teks-teks yang menunjukkan adanya hukum
Allah. Hukum Allah tidak selamanya tertera dalam al-Quran. Hukum Allah
terkadang mengambil bentuk sebagai teks-teks Al-Quran, terkadang berbentuk
hadis qudsi, hadis-hadis yang diucapkan Nabi perbuatan atau taqrirnya. Hukum
Allah terkadang tersembunyi pada sebuah teks umum yang kemudian dipersempit
oleh hadis atau akal atau yang lainnya. Dengan penjelasan di atas, Hukum Allah terkadang diketahui
oleh mujtahid sejauh eksplorasinya terhadap sumber-sumber hukum syar’i,
terkadang ia tidak mengetahuinya. Tidak seorang pun yang dapat mendakwa bahwa
ia mengetahui semua hukum Allah tanpa terkecuali. Hukum Allah terkait erat
dengan ilmu dan iradah-Nya. Oleh karenanya, ketika disebutkan seorang mujtahid
tidak menemukan hukum Allah sebenarnya ia tidak menemukan teks yang langsung
berkaitan dengan masalah yang dihadapinya. Tidak menemukan teks tidak langsung
berarti tidak menemukan hukum. Sebuah perbedaan yang sangat besar. Sekarang masuk pada permasalahan yang lebih besar dan lebih
penting dan itu berkaitan dengan hukum Allah. Hukum Allah sebagaimana yang
diyakini kaum muslimin adalah universal. Hukum Allah kekal dan mampu menjawab
semua tantangan zaman. Keduanya dakwaan yang disepakati oleh kaum muslimin.
Hukum Allah kekal sesuai dengan janji Allah akan kekekalan al-Quran. Sementara
hukum Islam mampu menjawab tantangan zaman sampai saat masih memiliki ujian
bahkan semakin berat. Argumentasi terkait dengan dakwaan ini kembali kepada Zat
Allah sendiri. Allah swt adalah Zat Yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Sesuai dengan sifat yang dimilikiNya hukum yang dipersiapkan tentunya adalah
hukum yang sempurna sesuai dengan kesempurnanNya. Dengan dasar ini, tidak ada
satu fenomena apapun yang terjadi di dunia ini tanpa hukum Allah. Sekali lagi,
bedakan antara teks dan hukum. Ahli Sunah dengan mengatakan bahwa ketika seorang mujtahid
tidak menemukan hukum maka ia berijtihad. Tanpa disadari ada sebuah bentuk
pengakuan bahwa hukum Allah tidak sempurna. Hukum Allah tidak mencakup
masalah-masalah yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan hadis. Sederhana, namun
memiliki konsekuensi yang sangat berat. Meyakini bahwa hukum Allah tidak
sempurna dengan sendirinya kebijakan dan pengetahuan Allah dipertanyakan.
Ketidaksempurnaan hukum Allah, oleh Ahli Sunah, bagaimanapun juga harus diisi
untuk tetap memberikan kesan kemampuan syariat Islam menjawab tantangan zaman.
Sayangnya, kemampuan tersebut tidak diseimbangkan dengan menempa sistem yang
lebih baik dalam menyimpulkan hukum syar’i. Lebih dari itu, Ahli Sunah mencoba
memberikan porsi yang lebih kepada para mujtahid berkreasi memproduksi hukum
syar’i. Keyakinan akan ketidaksempurnaan hukum Allah harus dibayar
mahal oleh Ahli Sunah. Mereka terpaksa memperbolehkan mujtahid ikut campur
tangan mengisi “Ruang Kosong” yang ditinggalkan oleh Allah. Kesempurnaan hukum
Allah akan menjadi bermakna dengan tambahan hukum yang diproduksi oleh sang
mujtahid, siapa saja. Para Imam Syiah dengan lantang menyampaikan ketidaksetujuan
mereka berkenaan dengan pandangan yang seperti ini: 1. Dari Imam Shadiq as diriwayatkan: “Sesungguhnya Allah swt
telah menurunkan di dalam Al-Qur’an penjelas segala sesuatu dan Allah tidak
meninggalkan sesuatu pun yang dibutuhkan oleh seorang hamba sehingga ia tak
dapat berkata: “Alangkah baiknya bila hal ini diturunkan Allah dalam al-Quran”.
Allah telah menurunkan semua yang dibutuhkan hambanya”. 2. Riwayat dari Imam Shadiq as: ”Tidak ada sesuatu yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an atau sunah”. 3. Abu Bashir bertanya kepada Imam Shadiq as: “Kami
menemukan beberapa masalah yang hukumnya tidak kami dapatkan baik di dalam
Al-Qur’an maupun sunah Nabi. Bolehkah kami berpendapat sesuai dengan pandangan
pribadi kami? Imam menjawab: “Tidak. Ketahuilah, pendapat pribadimu sesuai
dengan kebenaran engkau tidak akan mendapat pahala karenanya. Dan, agar
pendapat pribadimu tidak benar, engkau telah berdusta atas nama Allah”. Ketidaksetujuan ini sebenarnya tidak hanya dari mazhab Syiah
Imamiyah, namun mendapat reaksi yang cukup keras dari tubuh Ahli Sunah sendiri.
Hal itu ditandai dengan munculnya mazhab Zhohiri, pada pertengahan abad ke tiga
hijriah, yang dipelopori oleh Daud bin Ali bin Khalaf Al Ishbahani. Ia
menyerukan untuk beramal sesuai dengan apa yang tertera dalam Al-Qur’an dan
Sunah Nabi tidak lebih. Ini jelas sangat bertentangan dengan pendapat di atas
yang lebih menekankan peran pendapat pribadi manusia setara dengan hukum Allah. Ulama Syiah dan sebagian sahabat para Imam as menulis buku
yang isinya menolak ijtihad dengan makna khusus. Berikut ini sebagian nama dan
tulisannya: 1. Abdullah bin Abdur Rahman az Zubairi, Al-Istifadah fi At
Thu’un ‘ala Al-Awail wa Ar Raddu ‘ala ashabil ijtihad wa Al-Qiyas (... dan
menolak pengikut ijtihad dan qiyas). 2. Hilal bin Ibrahim bin Abi Al-Fath Al-Madani, Ar Raddu
‘ala Man Radda Atsar Ar Rasul wa ‘Itamada ‘ala Nataiji Al-‘Uqul (Menolak siapa
yang menolak hadis-hadis Rasul dan berpegangan dengan kesimpulan-kesimpulan
akal). 3. Ismail bin Ali bin Ishaq bin Abi Sahl An-Naubakhti, Ar
Raddu ‘ala ‘Isa bin Aban Fi Al-Ijtihad (Menolak Isa bin Aban dalam masalah
ijtihad). 4. Syaikh Shaduq ra dalam bukunya Al Muqni’ah menuliskan:
“Sesungguhnya Musa as, dengan segala kesempurnaan akal, keutamaan dan
kedekatannya di sisi Allah, tidak mengetahui dengan argumentasi yang
dimilikinya apa arti perilaku Khidir as sehingga ia rancu menghukuminya. Bila
tidak diperbolehkan seorang Nabi dan Rasul Allah untuk melakukan qiyas maka
sudah barang tentu orang-orang selainnya lebih patut untuk tidak melakukan itu
...”. 5. Syaikh Mufid, An-Naqdhu ‘ala Ibnil Junaid fi Ijtihadi Ar
Ra’yu (mengkritik Ibnul Junaid dalam masalah ijtihad bir ra’yi). 6. Sayyid Murtadha dalam buku Adz Dzari’ah menulis: “Ijtihad
adalah batil hukumnya. Imamiyah tidak memperbolehkan pengikutnya untuk beramal
dengan zhan (persangkaan), ra’yu dan ijtihad”. Melangkah lebih jauh mengamati ijtihad makna khusus akan
ditemukan sebuah pembahasan yang lebih menarik. Dan itu berkaitan dengan usaha
penjustifikasian perbedaan pendapat para mujtahid. Sebuah pertanyaan sederhana.
Namun jawaban pertanyaan ini telah melahirkan dua peta pemikiran besar dalam
ijtihad. Pertanyaan tersebut berbunyi, bila terjadi perbedaan pendapat antara
dua atau lebih mujtahid manakah yang benar? Jawaban pertanyaan ini memunculkan istilah tashwib dan
takhtiah. Ahli Sunah menjadikan tashwib sebagai landasan pemikiran mereka
sementara Syiah dengan takhtiah. Syiah dengan mengusung takhti’ah berpendapat bahwa Allah
memiliki hukum di semua bidang kehidupan manusia. Tidak ada satu kondisi dari
kehidupan manusia yang kosong dari hukum Allah. Hanya saja terkadang manusia
mengetahuinya dan terkadang tidak. Ketidaktahuan manusia akan hukum Allah tidak
sama dengan ketiadaan hukum Allah. Peran akal di sini hanyalah sebagai
penyingkap hukum Allah, bukan penentu sebuah hukum. Akal manusia hanya menuntun
dan menyingkap hukum Allah. Oleh karenanya, seorang mujtahid dapat salah dan
juga dapat benar. Takhti’ah artinya seorang mujtahid dalam usahanya menyingkap
hukum Allah boleh jadi benar dan boleh jadi salah. Dan di sini, kesalahannya
dimaafkan. Sementara Ahli Sunah, sesuai dengan keterangan sebelumnya
yang memaknai ijtihad dengan makna khusus, memilih tashwib sebagai keharusan
logis. Dengan pemaknaan khusus ini, sadar atau tidak, Ahli Sunah meyakini bahwa
Allah tidak memiliki hukum di semua bidang kehidupan manusia. Ada
kondisi-kondisi di mana Allah tidak memberikan hukum. Oleh karenanya, ketika
tidak ditemukan hukum tersebut seorang mujtahid akan menyandarkan pendapat
pribadinya sebagai hukum sejajar dengan hukum Allah. Dan, bila terjadi perbedaan
pendapat dengan seorang mujtahid lainnya maka kedua-duanya benar. Kebenaran
semua pendapat mujtahid yang berbeda pendapat dalam memproduksi hukum syar’i
mendapat justifikasi penuh dengan kaidah tashwib. Tashwib adalah pembenaran.
Hal itu tidak lain dikarenakan pendapat setiap mujtahid adalah hukum yang
sejajar dengan hukum Allah. Satu-satunya sumber yang membagi tashwib menjadi dua
kelompok disebutkan oleh Syaikh Muhammad Ali Al-Kazhimi. Ia dalam bukunya
membagi tashwib menjadi Tashwib Asy’ari dan Tashwib Mu’tazili. Apa alasan
menjadikan pembagiannya dengan memakai istilah Asy’ari dan Mu’tazili tidak
dijelaskan. Hanya saja dapat dikatakan bahwa Tashwib Asy’ari adalah bentuk
ekstrim dari tashwib, sementara Tashwib Mu’tazili menunjukkan bentuk
moderatnya. Al-Ghazali mendefinisikan tashwib yang diyakininya: “Tidak
ada hukum tertentu bagi sebuah fenomena yang tidak ada teksnya. Hukum dicari
lewat zhan (persangkaan). Lebih tepat, hukum mengikuti zhan. Hukum Allah bagi
setiap mujtahid adalah zhan yang dimilikinya.” Al-Ghazali dan sebagian ulama meyakini pandangan ini.
Tashwib yang diyakini ini disebut Tashwib Asy’ari. Sebagian sumber-sumber menisbatkan tashwib Mu’tazili kepada
As Syafi’i. Tashwib Mu’tazili berpendapat: “Setiap fenomena yang tidak memiliki
teks mempunyai hukum tertentu bila hendak dicari. Akan tetapi, seorang mujtahid
tidak memiliki kewajiban untuk mencari dan sampai kepada hukum tersebut. Ia
tetap dianggap benar sekalipun pada kenyataannya salah berkaitan dengan hukum
tersebut”. Pemikiran tashwib membuka sebuah medan baru bagi akal dalam
proses ijtihad. Mengingat syariat atau hukum Allah memiliki kekurangan dan
tidak sempurna, akal tidak lagi hanya berperan sebagai penyingkap hukum syar’i.
Namun, dengan tashwib ia adalah pembuat hukum syar’i sejajar dengan Allah. Yang lebih menarik adalah pandangan tashwib yang coba
digagas oleh ulama Ahli Sunah ternyata tidak mendapat pengakuan dari Imam
Empat. Imam Abu Hanifah berkata: “Kami tahu bahwa ini adalah
pendapat kami. Ini adalah yang paling mampu kami lakukan. Bila ada yang mampu
membawakan pandangan yang lebih baik niscaya itulah yang benar. Tidak benar
seorang yang tetap berpendirian dengan pendapat kami sekalipun ia mengetahui
dari mana munculnya pendapat kami tersebut”. Imam Malik berkata: “Saya adalah manusia juga yang dapat
salah dan benar. Perhatikan dan telitilah pendapat ku. Bila ia sesuai dengan
Al-Qur’an dan Sunah maka ambillah pendapat ku. Sementara pendapat ku yang tidak
sesuai dengan keduanya jangan diikuti”. Imam Syafi’i berkata: “Jangan kalian mengikuti semua
pendapatku. Perhatikan dan telitilah dalam pendapat ku karena ini adalah
masalah agama”. Hal ini juga yang membuat Imam Ahmad bin Hanbal melarang
taklid. Imam Ali as dengan cepat dan tanggap melihat fenomena ini
sebagai sesuatu yang membahayakan agama. Dan itu tidak lain karena kesimpulan
pemikiran ini berujung pada tidak sempurnanya agama yang pada gilirannya
menganggap Allah sang pemilik agama sebagai Zat yang tidak lagi Maha
Mengetahui. Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah pada khutbah yang ke
delapan belas menyebutkan: “Masyarakat membawa sebuah permasalahan yang
berkenaan dengan sebuah hukum kepada seorang hakim. Sang hakim menghukumi
dengan pendapat pribadinya. Masalah yang sama di hadapkan kepada seorang hakim
yang lain, ia menghukumi berbeda dengan hakim pertama. Kemudian para hakim
dikumpulkan di hadapan pemimpin yang mengangkat mereka kemudian ia membenarkan
semua pendapat yang ada. Sementara Tuhan mereka satu. Nabi mereka satu. Kitab
mereka juga satu.” Apakah Allah swt memerintahkan mereka untuk berselisih paham
kemudian ditaati ataukah Allah melarang mereka berselisih paham untuk kemudian
dikhianati? Apakah Allah swt menurunkan agama yang tidak sempurna sehingga
meminta pertolongan kepada mereka agar menyempurnakannya? Apakah mereka adalah
sekutu Allah dalam penyempurnaan agama? Mereka yang berpendapat sementara Allah
yang mengiakan dan memberikan stempel legalitas? Apakah Allah menurunkan agama
yang sempurna kemudian Nabi saw tidak menyampaikannya dengan sempurna? Bukankah Allah swt berfirman: “... Kami tidak meninggalkan
sesuatupun kecuali menyebutkannya dalam al-Quran...”. “... Dan di dalam
Al-Qur’an dijelaskan segala sesuatu ...”. Allah mengingatkan bahwa sebagian
Al-Qur’an membenarkan yang lainnya, tidak ada perselisihan di dalamnya. Allah
berfirman, “... Seandainya Al-Qur’an tidak diturunkan oleh Allah niscaya mereka
akan menemukan perselisihan yang banyak di dalamnya”. Sesungguhnya Al-Qur’an
memiliki tampakan luar yang indah sementara batinnya sangat dalam.
Keajaiban-keajaibannya tidak akan pernah sirna. Rahasia-rahasia yang
dikandungnya tidak akan pernah ada habis-habisnya digali. Dan, kegelapan tak
akan pernah dapat berubah terang tanpanya.” 2. Ijtihad Makna Umum Mencermati pemaknaan ijtihad secara khusus dapat ditemukan
bahwa ijtihad dilakukan ketika tidak ada nash (teks). Ijtihad dilakukan ketika
tidak ditemukan teks ayat Al-Qur’an atau teks dari hadis Nabi. Dengan
berlalunya waktu, ijtihad mengalami perkembangan yang cukup berarti. Qiyas yang
sebelumnya diamalkan untuk memberikan hukum pada masalah yang tidak memiliki
teks diperluas berkaitan dengan teks-teks. Qiyas tidak lagi terpenjara hanya
terkait dengan masalah yang tidak memiliki teks saja. Bahkan lebih dari itu,
usaha-usaha penyempurnaan ilmu usul fiqih semakin mendapat perhatian. Terutama
berkaitan dengan masalah memahami teks. Abu Al-Husein Al-Bashri dalam bukunya menuliskan:
“Ketahuilah bahwa para fakih mengategorikan masalah-masalah ijtihad berkaitan
juga dengan Al-Qur’an seperti niat dalam berwudu dan tertib (satu persatu),
demikian juga bahwa huruf Wau memiliki arti tertib dan terkumpul...”. Lebih
dari itu, Imam Gazali berpendapat bahwa cakupan ijtihad tidak keluar dari
bingkai teks. Alasan beliau terkait erat dengan sumber-sumber dalil yang
menurutnya ada empat, al-Quran, Sunah, Ijma’ dan dalil akal dan ishtishab yang
keduanya menunjukkan tidak adanya pertanggungan jawab seorang mukallaf di
hadapan Allah sebelum ada teks yang sampai padanya”. Terlihat sebuah perbedaan yang sangat mendasar berkaitan
dengan pandangan ulama sebelumnya yang membatasi ijtihad hanya pada masalah
yang tidak memiliki teks, sementara ulama setelah mereka menjadikan teks
sebagai kajian ijtihad. Pada awalnya ijtihad adalah al-intaj al-ma’rifi (hasil
pemikiran) sementara sekarang berubah menjadi fahm an-nash (memahami teks). Sebagian lainnya tidak hanya terhenti pada teks tetapi
melebarkannya mencakup masalah-masalah akal. Sebagaimana dapat ditemukan pada
definisi ijtihad yang ditulis oleh Syaikh Abu Muhammad as-Salimi (W. 1332 H).
Ia mendefinisikan ijtihad sebagai: “Usaha keras seorang fakih untuk mendapatkan
masalah lewat syariat (Al-Quran dan Sunah) atau akal. Sesungguhnya saya
menyebutkan itu mencakup akal karena ijtihad juga berlaku padanya”. Dapat
dikatakan bahwa ini adalah sebuah usaha untuk meluaskan sumber-sumber hukum
syar’i yang oleh masyhur ulama Ahli sunah ada empat, al-Quran, Sunah, Ijma’ dan
Qiyas. Dan sebagaimana diketahui qiyas adalah bagian dari hasil-hasil akal. Berbeda dengan perkembangan makna ijtihad pada mazhab Ahli
Sunah, Syiah tidak mengenal tahapan al-intaj al-ma’rifi. Bahkan dapat dikatakan
bahwa ulama Syiah sebelum Muhaqqiq Al-Hilli (W. 676 H) tidak menerima ijtihad
makna khusus. Tidak hanya menolak bahkan dalam tulisan-tulisan mereka ijtihad
dengan makna seperti itu dianggap batil. Pendapat semacam ini dapat ditelusuri
pada tulisan-tulisan ulama besar Syiah seperti, Syaikh Shaduq, Syarif
Al-Murtadha, Syaikh Mufid dan Syaikh Thusi. Syiah, sejak awal, memaknai ijtihad sebagai fahm an-nash,
namun tidak berarti terhenti pada teks dengan pendekatan bahasa belaka
melainkan telah berkembang lebih jauh dari itu. Hal itu dikarenakan, sejak
awalnya, sumber-sumber ijtihad yang diakui oleh Syiah mencakup akal. Definisi ijtihad, menurut Syiah, untuk pertama kalinya
ditulis dan diterima oleh Muhaqqiq al-Hilli. Beliau dalam bukunya Ma’arij
al-Ushul bab 9 berkaitan dengan hakikat ijtihad menulis: “Ijtihad menurut
fuqaha adalah usaha untuk mengeluarkan/menyimpulkan hukum-hukum syar’i. Dengan
ini, mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i merupakan ijtihad. Hal
ini dikarenakan mengeluarkan hukum-hukum syar’i berdasarkan sebuah proses
pemikiran dan tidak semata-mata dari zuhur teks-teks. Proses berpikir dapat
berupa qiyas atau selainnya. Berdasarkan ini qiyas juga merupakan bagian dari
ijtihad. Bila dipertanyakan bahwa apakah itu berarti Syiah juga berijtihad?
Jawabannya adalah ‘iya’. Permasalahannya adalah dalam ijtihad ada bagian yang
disebut qiyas dan ini terkadang membingungkan. Kebingungan itu lebih pada
hubungan qiyas dan ijtihad. Bila menerima ijtihad tanpa qiyas juga masih dapat
disebut sebagai ijtihad maka sekali lagi Syiah juga berijtihad dengan tanpa
qiyas”. Tulisan Muhaqqiq al-Hilli dengan gamblang menerangkan
bagaimana di kalangan Syiah kata ijtihad pernah memiliki nilai negatif. Ia juga
mengakui bahwa untuk sebagian orang menerima kata ijtihad adalah berat.
Terlebih lagi menyandarkan predikat mujtahid kepada seorang dari ulama Syiah.
Namun semua itu ditepis olehnya dan bahkan ia berani untuk menyebut dirinya
sebagai mujtahid. Tentunya dengan menepis terlebih dahulu pengertian negatif
yang dimilikinya sebelumnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan Muhaqqiq al-Hilli
dipengaruhi oleh perubahan makna yang terjadi di kalangan ulama Ahli Sunah.
Setidak-tidaknya makna umum yang diberikan oleh al-Ghazali (W. 505 H) yang
wafat sebelum Muhaqqiq al-Hilli. Definisi yang diusung oleh al-Ghazali dan
sebagian ulama yang lain telah menekan dan memperkecil penggunaan ra’yu dan
qiyas untuk memproses sebuah hukum syar’i. Dan untuk itu medan yang lebih besar
diberikan kepada usaha keras secara ilmiah untuk menyimpulkan sebuah hukum.
Syahid Muthahhari menangkap perubahan ini dan menyebutkan bahwa setelah terjadi
perubahan yang sangat mendasar, kata ijtihad masuk dalam khazanah fiqih Syiah. Tulisan Muhaqqiq al-Hilli tidak hanya sebagai peletak dasar
pemakaian kata ijtihad dalam Syiah namun, lebih dari itu, ide-ide pikiran
beliau sebenarnya juga menjadi titik tolak bentuk dari “memahami teks”. Ulama
sebelumnya memahami korespondensi antara teks dan usaha memahaminya adalah
hubungan identik. Artinya, proses penyimpulan hukum (baca: ijtihad) harus
sampai pada sebuah ilmu dan keyakinan. Sementara itu, semenjak munculnya
Muhaqqiq al-Hilli hingga sekarang hubungan antara teks dan usaha memahaminya adalah
tidak identik. Usaha yang dilakukan dapat saja salah dan tidak menghasilkan
sebuah ilmu dan keyakinan. Muhaqqiq al-Hilli dengan tulisannya membawa terobosan besar
dalam fiqih Syiah sekaligus langkah ke depan terbentuknya sebuah dialog dalam
masalah penyimpulan hukum syariat dengan mazhab Ahli Sunah. Sayangnya, ini
tidak ditangkap dengan serius oleh kedua belah pihak sepeninggal Muhaqqiq
al-Hilli. Beberapa Definisi Ijtihad Makna Umum Berkenaan dengan definisi ijtihad makna umum terjadi
perbedaan di antara ulama baik Ahli Sunah maupun Syiah. Setiap ulama memiliki
penafsiran tersendiri. Namun perbedaan dalam pendefinisian ini tidak ditangkap
sebagai perbedaan pada esensi ijtihad makna umum itu sendiri. Esensi ijtihad
diterima oleh seluruh Ulama. Perbedaan yang ada lebih muncul pada tambahan
definisi yang biasanya muncul dari hal lain bukan ijtihad itu sendiri.
Sebagaimana perkembangan yang terjadi pada ruang lingkup ijtihad. Ada yang menambahkan
kata zhan (persangkaan) atau ilmu (keyakinan), di samping ada juga yang
menambahkan kata fakih pada definisi bahkan ada yang menambahkan kata malakah
(karakter tetap). Definisi yang diusulkan oleh ulama Islam berkaitan dengan
ijtihad bukanlah hakikat yang sebenarnya. Definisi yang diajukan lebih banyak
sebagai komentar dan penjelas terhadap kata ijtihad itu sendiri. 1. Definisi dengan Tambahan Zhan (Persangkaan) Saifuddin al-Amidi as-Syafi’i (W. 631 H) berkata: “Ijtihad
adalah usaha serius untuk sampai pada zhan tentang hukum syar’i sehingga
seseorang akan merasakan bahwa sulit dibayangkan kemampuannya lebih dari itu”. Ibnu Subki berpendapat: “Ijtihad adalah usaha
sungguh-sungguh untuk menghasilkan zhan terhadap hukum syar’i”. Allamah al-Hilli mendefinisikan ijtihad sebagai berikut:
“Ijtihad adalah mengusahakan semua kemampuan untuk memberikan pendapat pada
masalah zhan tentang hukum syar’i. Usaha yang dilakukan adalah puncaknya
sehingga kemungkinan lebih dari itu adalah sangat sulit dibayangkan”. Kritik Definisi Memberikan tambahan definisi ijtihad dengan kata zhan tidak
tepat. Hal itu karena tambahan ini menafikan kemungkinan mendapatkan ilmu dan
keyakinan dengan berijtihad. Bila dibayangkan bahwa selamanya yang dihasilkan
dengan berijtihad adalah zhan maka itu berarti kemungkinan menghasilkan ilmu
adalah tidak mungkin sementara hal ini tidak pernah diterima. Penambahan kata
zhan mungkin dapat diterima dengan mengandaikan bahwa sebelumnya dengan
ijtihad, ilmu dan keyakinan yang dihasilkan. Dan penambahan zhan ingin
menambahkan bahwa tidak selamanya ijtihad menghasilkan ilmu dan keyakinan namun
lebih sering kesimpulan yang dihasilkan adalah zhan. Bila kemungkinan seperti
ini yang dimaksud tentu dapat diterima. Penafsiran kedua ini juga masih lemah mengingat hasil dari
ijtihad juga tidak selamanya ilmu dan zhan namun bisa tidak keduanya. Artinya,
kesimpulan yang dihasilkan dari ijtihad boleh jadi tidak pada derajat zan
apalagi ilmu, derajatnya kurang dari zhan. Bila ingin diperinci lebih detil
maka hasil atau dalil yang diproses dari ijtihad memiliki sekurang-kurangnya
tiga kondisi. Terkadang menghasilkan ilmu, zhan atau di bawah zhan. Kemungkinan
ketiga itu dapat ditemukan pada hasil ijtihad yang lemah. Tentunya hasil sebuah
metodologi ijtihad yang lemah pula. Di sisi lain, dalam Islam beramal dengan zhan adalah sesuatu
yang tidak terpuji. Tentunya tidak semua zhan dalam Islam tidak diterima. Hadis
Ahad atau khabar wahid adalah salah satu contohnya. Hadis yang diriwayatkan
oleh sedikit perawi/satu perawi dan paling banyak diriwayatkan oleh tiga orang,
bila yang meriwayatkan adalah tepercaya (tsiqah/adil) maka beramal dengan hadis
tersebut adalah diperbolehkan. Dengan ini, ulama membagi beramal dengan zhan
menjadi dua bagian. Zhan yang mu’tabar (yang diterima) dan zhan yang tidak
mu’tabar. Zhan disebut mu’tabar karena ditopang oleh dalil-dalil, baik itu dari
Al-Qur’an dan atau perilaku orang-orang berakal (siroh ‘uqola) atau kearifan
umum. Sementara zhan yang tidak mu’tabar adalah kebalikannya. Ia tidak ditopang
oleh dalil-dalil. Seperti hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang tidak
tepercaya (tsiqoh/adil). 2. Definisi dengan Tambahan Ilmu (Keyakinan) Al-Ghazali (W. 505 H) menulis: “Ijtihad adalah usaha
sungguh-sungguh dalam melakukan sesuatu. Kata ijtihad dipergunakan untuk
sesuatu yang sulit. Kata ijtihad dipergunakan untuk orang yang berusaha sekuat
tenaga untuk memindahkan batu yang berukuran besar bukan untuk memindahkan
kerikil. Kata ijtihad kemudian dalam terminologi ulama fiqih dikhususkan pada
usaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu (keyakinan) lewat hukum syar’i.
Ijtihad yang sempurna adalah usaha sungguh-sungguh unuk mendapatkan ilmu
sehingga ia merasa ini adalah puncak usahanya”. Khudhri Bik dalam buku Ushul Fiqihnya menulis: “Seorang
fakih berusaha secara sungguh-sungguh untuk mendapatkan ilmu (keyakinan)
berkaitan dengan hukum syar’i”. Kritik Definisi Definisi yang menambahkan kata ilmu dalam pendefinisiannya
memiliki kelemahan yang sama dengan definisi yang memiliki tambahan kata zhan.
Dan kritikan yang diajukan di atas tidak jauh berbeda dengan definisi ini.
Namun kritikan tersebut dapat dimentahkan dengan satu catatan bahwa kata ilmu
yang dipakai dimaknai secara umum. Kata ilmu yang dimaksud mencakup ilmu
wujdani dan ilmu ta’abbudi. Ilmu wujdani adalah ilmu yang identik dengan
keyakinan dalam logika. Sementara ilmu ta’abbudi sebenarnya adalah zhan
(persangkaan) yang kemudian oleh syariat diberi justifikasi untuk dapat
dipergunakan sebagai dalil. Ilmu ta’abbudi seperti beramal dengan Hadis Ahad
yang diriwayatkan oleh seorang perawi tepercaya yang telah diberi legitimasi
oleh syariat. 3. Definisi dengan Tambahan Fakih Syahid Tsani dalam bukunya mendefinisikan ijtihad sebagai
berikut:“Usaha sungguh-sungguh seorang fakih untuk mendapatkan zhan (persangkaan)
tentang hukum syar’i”. Penulis buku Al-Fushul fi Al-Ushul menyebutkan:“Ijtihad
adalah puncak usaha dari seorang fakih untuk mendapatkan zhan tentang hukum
syar’i”. Kritik Definisi Dapat dikatakan bahwa definisi yang mendapatkan tambahan
kata fakih adalah definisi yang paling banyak menghadapi keberatan. Hal itu
tidak lepas dari proses melakukan ijtihad hanya terbatas pada seorang mujtahid
dan seorang mujtahid adalah kata lain untuk fakih. Oleh karenanya menjadi
sia-sia memasukkan kata fakih dalam definisi. 4. Definisi dengan Tambahan Kata Malakah (kecakapan
penalaran) Sebagian ulama ketika mendefinisikan ijtihad menambahkan
kata malakah. Sebagai contoh Syaikh Baha’i dalam bukunya mendefinisikannya
sebagai berikut: “Ijtihad adalah sebuah malakah dan instrumen yang membantu
manusia memiliki kemampuan untuk menyimpulkan hukum syar’i”. Sementara Mujtaba Tehrani pada catatan kaki buku Rasail
milik Syaikh Anshari mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: “Definisi yang
paling dekat untuk memerikan kata ijtihad adalah definisi ma’ruf yang berbunyi
ijtihad adalah malakah atau sebuah kemampuan yang dengan itu seseorang mampu
untuk menyimpulkan sebuah hukum syar’i”. Kritik Definisi Definisi ini walaupun dapat menepis kritikan-kritikan pada
definisi-definisi sebelumnya namun pada saat yang sama mendapatkan keberatan
yang tidak mudah untuk dijawab. Keberatan pertama berkenaan dengan definisi
yang menambahkan kata malakah. Hakikat ijtihad bukanlah malakah. Mengapa
demikian? Karena bila ijtihad memiliki arti malakah maka penambahan itu
memiliki unsur penjelas sementara yang terjadi tidak demikian. Penambahan kata
malakah seperti penambahannya terhadap sifat adil. Keberatan kedua adalah malakah dihasilkan dengan melatih
ilmu-ilmu pengantar agar seorang dapat menjadi mujtahid. Seseorang yang telah
menguasai pengantar ilmu-ilmu untuk dapat berijtihad adalah seorang mujtahid
sekalipun dia belum pernah melakukan ijtihad, belum pernah menyimpulkan sebuah
hukum. Sekali lagi, malakah berijtihad bukan ijtihad itu sendiri tapi muncul
dari kecakapan penalaran yang didapatkan dengan melatih pengantar ilmu-ilmu
ijtihad. Keberatan ketiga terkait erat dengan penggunaan kata-kata
yang berhubungan dengan ijtihad dalam riwayat-riwayat. Dalam hadis-hadis
disebutkan beberapa kata seperti ‘arafa ahkamana (yang mengetahui hukum-hukum
kami), nazhara fi halalina wa haramina (yang memiliki kecakapan dalam memahami
halal dan haram kami), rawa’ haditsana (yang meriwayatkan hadis kami). Bila
kita mengartikan ijtihad dengan malakah (masih pada tahapan potensi) maka
mereka yang secara aktual (bil fi’l) mampu menyimpulkan hukum tidak termasuk
dalam hadis di atas. Sementara tidak satu pun ulama yang meyakini hal itu.
Karena hadis itu sifatnya umum mencakup keduanya tidak dikhususkan hanya yang
memiliki malakah. Ada beberapa definisi yang tidak menggunakan
tambahan-tambahan di atas namun pun demikian masih rentan terhadap kritikan.
Imam Khomeini dalam buku Ar-Rasail mendefinisikan ijtihad sebagai proses
pengembalian furu’ kepada asal (mengembalikan cabang masalah pada pokoknya).
Bahkan oleh beliau ditambahkan bahwa pada masa kini ijtihad tidak lebih dari
proses pengembalian furu’ kepada asal yang kemudian diamini oleh sebagian
murid-muridnya. Definisi ini walaupun tidak mendapat kritikan seperti definisi yang
sudah-sudah dan benar bahwa proses yang terjadi tidak lebih dari yang telah
disebutkan namun definisi yang dibawakan masih terlalu umum. Akhund Khurasani setelah mengajukan keberatan terhadap
definisi yang menambahkan kata zhan mengajukan definisinya sendiri: “Ijtihad
adalah mengusahakan segala kemampuan untuk menghasilkan hujjah atas hukum
syar’i.” Akhund Khurasani lebih memilih kata hujjah dikarenakan tolok
ukur kesahihan sebuah amal perbuatan seorang muslim adalah adanya hujjah bagi
dirinya. Penggunaan kata hujjah sendiri mencakup dalil-dalil yang masih belum
sampai pada taraf ilmu seperti adanya sebuah hadis ahad yang sahih dan juga mencakup
ilmu/keyakinan seseorang tentang sebuah dalil semisal al-Quran. Dengan ibarat
khas ilmuwan usul fikih kata hujjah mencakup ‘ilmu’ dan ‘ilmi’. ‘Ilmu’ lebih
diartikan dengan pengetahuan yang disertai dalil-dalil yang pasti, sementara
‘ilmi’ adalah pengetahuan yang tidak disertai oleh dalil-dalil yang pasti
(zhan), namun oleh Allah dinaikkan nilainya seperti sebuah dalil yang pasti.
Dan hal itu berlaku seperti pada hadis ahad yang sahih. Hadis ahad bukan dalil
yang pasti yang dapat mendatangkan keyakinan kepada seseorang, tidak seperti
hadis mutawatir, namun memberikan sebuah persangkaan yang lebih tentang sesuatu
yang dikabarkannya. Persangkaan yang sebelumnya dalam ayat Al-Qur’an surat
Yunus ayat 36 dianggap tidak berarti untuk mencapai kebenaran dan dengan
bantuan ayat-ayat lain terkait dengan masalah tersebut hadis ahad dapat
diamalkan. Pekerjaan rumah yang masih tertinggal dalam definisi ini
adalah seorang mujtahid dalam proses penyimpulan hukumnya tidak hanya
menghasilkan hukum syar’i. Hal itu lebih disebabkan karena pada kondisi-kondisi
tertentu terkait dengan sebuah obyek masalah tidak ditemukan teks yang
menjelaskan masalah yang dihadapi. Dalam khazanah usul fikih Syiah kumpulan
hukum-hukum ini disebut ‘Ashl ‘Amali’ (prinsip praktis). Artinya, ketika tidak
ditemukan sebuah dalil atau lebih lewat teks, seorang fakih atau mujtahid tetap
bertanggung jawab untuk menyimpulkan sebuah hukum karena bagaimanapun setiap
perilaku seorang mukallaf harus berlandaskan argumentasi. Ketiadaan hukum
syar’i menuntut seorang fakih untuk menyimpulkan sebuah hukum sebagai sikap
praktis karena ketiadaan teks yang sesuai dengan masalah yang dihadapi dan di
sisi lain perilakunya harus berlandaskan dalil atau hujjah. Mungkin Akhund Khurasani masih berkelit bahwa penggunaan kata
hukum syar’i yang disebutkan telah mencakup juga makna prinsip praktis karena
ketiadaan hukum syar’i. Namun, melihat keduanya, hukum syariat dan prinsip
praktis, berbeda secara substansial maka penyebutannya menjadi sebuah
keharusan. Dari sini, untuk menghilangkan kritikan selanjutnya yang
dihadapi oleh Akhund Khurasani, Sayyid Khu’i dalam bukunya ar-Ra’yu as-Sadid fi
al-Ijtihad wa at-Taqlid secara transparan menambahkan prinsip praktis tersebut.
Beliau mendefinisikan ijtihad sebagai berikut: “Ijtihad adalah berusaha sekuat
tenaga untuk menghasilkan hujjah atas realita (waqi’i) dan atau atas tanggung
jawab praktis lahiri (zhahiri)”. Kata realita (waqi’i) dan lahiri (zhahiri) merujuk pada
pembagian hukum menjadi dua bagian; waqi’i dan zhahiri. Hukum waqi’i adalah
hukum yang jelas dan tidak memiliki keraguan terkait dengan obyeknya. Sementara
hukum zhahiri adalah hukum yang terkait dengan obyek yang masih ragu. Hukum
waqi’i seperti ayat yang mewajibkan haji. Obyek hukum adalah haji dan hukumnya
pasti yaitu wajib bagi orang yang mampu. Sementara contoh hukum zhahiri seperti
keraguan terhadap pakaian yang najis. Hukumnya adalah pakaian tersebut tidak
najis karena dalil yang ada menyebutkan bahwa perlakukan segala sesuatu seperti
suci sehingga suatu ketika engkau mendapatinya najis. Definisi yang diajukan oleh Sayyid Khu’i telah berhasil
menyelesaikan perbedaan dalam usaha mendefinisikan kata ijtihad dengan maknanya
yang umum. Setelah beliau, ulama Syiah saat ini dalam mendefinisikan kata
ijtihad makna umum lebih memilih pendapat beliau. Penutup Dengan mempelajari secara seksama perkembangan sejarah makna
ijtihad, makna khusus dan makna umum, terlihat perbedaan substansial. Makna
pertama memberikan otoritas penuh kepada seorang mujtahid untuk menyimpulkan
sebuah hukum yang pada akhirnya mendudukkan ijtihad sebagai salah satu sumber
hukum. Tentunya pemahaman ini tanpa melupakan sebuah kenyataan lain bahwa itu
dilakukan ketika ketiadaan nas dan teks. Sementara makna kedua, murni sebuah
proses kerja ilmiah untuk menyimpulkan sebuah hukum syariat. Ijtihad dalam
konteks ini bukan sumber hukum syariat dan tidak akan pernah menjadi sumber
hukum syariat. Ijtihad dengan makna khusus, dalam Syiah, menjadi terlarang,
haram sementara ijtihad dengan makna umum merupakan keharusan. Bahkan pernah menjadi alat penentu di mana beliau harus
tinggal sebagaimana dalam kejadian di mana beliau harus tinggal setelah sampai
di salah satu desa di Madinah (Yatsrib). Teks-teks ulama sebelumnya bisa menjadi bukti bahwa tuduhan
saling kafir antara pengikut mazhab yang satu akan lainnya. Padahal dalam
sejarah kehidupan Nabi, kata kafir tidak pernah ditujukan bagi mereka yang
mengucapkan La Ilaaha Illa Allah. Sebagaimana beliau dengan memarahi seorang
sahabatnya yang membunuh seorang yang mengucapkan kalimat syahadah yang
dipikirnya hanya ingin selamat. Beliau berkata: “Kaifa tashna’u bi laa ilaaha
illa allah”. Apa yang kau perbuat dengan seorang yang telah mengucapkan La
Ilaaha Illa Allah? Dalam Islam ketika seorang disebut kafir tidak hanya berhenti
di situ saja tapi memiliki konsekwensi-konsekwensi penting. Misalnya, seorang
suami yang dihukumi kafir itu artinya ia harus dipisahkan dengan istrinya, ia
tidak berhak mendapatkan harta waris dari istrinya dan lain-lain. Kelompok Akhbariyun adalah mereka yang lebih menitik
beratkan Al Qur’an dan riwayat ketimbang akal. Sementara Ushuliyun adalah
orang-orang yang memberikan tempat kepada akal selain Al-Qur’an dan riwayat. Kata yang aslinya memiliki tiga huruf dan di sini mendapat
tambahan satu huruf. Sementara alif sebagai alif tambahan selaku masdar. Kata
kerjanya adalah ijtahada. Berarti ada tambahan huruf ta’. Ismail bin Hammad, As Shihhah Tajul Lughoh Wa Shihhahul
Arobiyah, Darul ‘ilm Lil Malayin juz 2, hal 460. Ibnu Manzur dalam Lisanul Arab
nya juga sependapat bahwa keduanya memiliki satu arti. Lisanul Arab, juz 3 hal
133, Nasyru Adabil Hauzah. Ahmad Fayyumi, Al Mishbah Al Munir, juz 3, hal 30-32.
Pandangan yang sama pula diyakini oleh Zamakhsyari dalam bukunya Asasul
Balaghah hal 67. Begitu juga Raghib Al Isfahani dalam bukunya Al Mufradaat Fi
Gharibil Qur’an hal 101. Al Mufradaat Fi Gharibil Qur’an, hal 101. Sunan An Nasa’i Bi Syarhi Al Hafiz Jalaluddin As Suyuthi,
Dar Ihya’it Turatsul Arabiyah, juz 3, hal 49. Bunyi lengkapnya, ‘Fa Qola
Shalluu ‘Alayya Wa ijtahiduu Fi Ad Du’a Wa Quluu Allohumma Sholli ‘Ala Muhammad
Wa Ali Muhammad. Nahjul Balaghah, Syarhul Ustadzil Imam Muhammad Abduh, Darul
Ma’rifah Lit Tiba’ah wan Nasyr, khutbah pertama, juz 1 hal 14. Begitu juga pada
khutbah ke 104 dan 221. Al Kulaini, Al Kafi, juz 2, hal 174. Al Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid Al Qazwini, Sunan
Ibnu Majah, Darul Fikr, juz 1, hal 562, hadis 1768. Salah satu buku yang pertama ditulis dalam bidang ushul
fikih bahkan ushul hadis dalam Ahli Sunah. Lihat pengantar kitab Ar Risalah,
hal 13. Ar Risalah, Muhammad bin Idris As Syafi’i, Tahqiq Wa Syarh:
Ahmad Muhammad Syakir hal 476-478 Jamal Abdun Naser, Mausu’h Fiqhiyah, juz 3, hal 9 (dinukil
dari buku Ejtehad Dar Asre A’emmah Ma’sumin, hal 36). Al Madkhal Lil Fiqhil Islami, hal 72, 73, 79, 91. (dinukil
dari buku Al Ijtihad Wa Mada Hajatina Ilaihi Fi Hadzal ‘Ashri, hal 39). Komentar ulama sehubungan dengan ijtihad para sahabat yang
bermakna khusus ini dapat dirujuk pada buku-buku; Muhammad Khudhri Beik,
Ushulul Fiqh, hal370 dan Tarikhut Tasyri’il Islami, hal 115-116. Abu Zahroh,
Tarikh Al Madzhibil Islamiyah, juz 2, hal 22. Abu Hamid Muhammad Al Ghazali, Al
Mushthasfa, juz 2, hal 242. Jalaluddin As Suyuthi, Tarikhul Khulafa. (dinukil
dari Advare Ejtehad Az Didgahe Mazahebe Eslami, hal 102-103). Abu Muhammad Abdullah bin Ar Rahman bin Al Fadhl bin Bahram
Ad Darimi, Babul Barid, juz 1, hal 60. hadis yang sama senada dengan ucapan
Mu’adz dimuat pula oleh Ad Darimi dari Ibnu Abbas ra (hal 59) dan Umar bin
Khatthab ra (hal 60). As Syahid As Sayyid Muhammad Baqir As Shadr, Durusun Fi
‘Ilmil Ushul, Halaqah Ula, Muassasatun Nasyril Islami Qom, hal 54-55. Rabi’ah bin Abdur Rahman bahkan sering dipangil Rabi’ah Ar
Ra’yu, Tarikh Al Fiqh Al Islami, juz 2, hal 119. Ali Hasbullah menulis, ‘Pokok-pokok sumber hukum secara
berurutan ada tiga; Al Quran, Sunnah dan ijtihad bir Ra’yu. Ushul At Tasyri’ Al
Islami, hal 12. Ustad Khilaf menulis, sumber-sumber hukum syar’i pada masa
sahabat ada tiga; Al Quran, Sunnah dan ijtihad sahabat. Khulashah Tarikh At
Tasyri’ Al Islami, hal 33 dan Muhammad Ma’ruf Dawalibi, Al Madkhal fi ‘Ilm
Ushul Al Fiqh, hal 11. Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Al Fiqh Al Islami juz 2 hal 7 dan seterusnya. Masalah
didahulukannya ijtihad terhadap Al-Qur’an dan Sunah oleh sebagian sahabat dapat
ditemukan dalam buku An-Nash wa Al-Ijtihad karangan Sayyid Syaraf Ad-din
Al-Musawi yang memang secara khusus ditulis untuk itu. Setidak-tidaknya sebelum zaman pengumpulan hadis sekitar
satu abad lebih sepeninggal Rasulullah saw. Muhammad Asyraf bin Amir bin Ali, ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi
Sunani Abi Daud, juz 3, hal 330 dan lihat Al Qadhi Abdul Jabbar, Al Mughni, juz
7, hal 300. Abi Muhammad Ali bin Hazm Al Andalusi, Al Ihkam fi Ushul Al
Ahkam, hal 976. Ibid. Untuk mendapat lebih banyak informasi mengenai masalah
ini silahkan lihat, Ibnu Hazm Al Andalusi, Mulakhkhashu Ibthal Al Qiyas wa Ar
Ra’yi wa Al Istihsan. Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz Dzahabi, Mizan Al
I’tidal. Ibnu Hajar Al ‘Asqallani, Taqrib At Tahdzib. Untuk lebih luas lihat, Muhammad Yusuf Musa, Tarikh Al Fiqh
Al Islami, juz 1, hal 24-29. As-Syahid As-Sayyid Muhammad Baqir As-Shadr, Durusun Fi
‘Ilmil Ushul, Halaqah Ula, Muassasatun Nasyril Islami Qom, hal 54-55. Al Hasyr ayat 7. Berkaitan dengan mujtahid ada dua permasalahan yang perlu
mendapat perhatian serius. Pertama, berkaitan dengan dalil penunjukannya
sebagai pembuat hukum. Kedua, Sejauh mana akal dalam proses pembuatan sebuah
hukum mendapat justifikasi dari agama. Sejarah mencatat adanya kelompok yang menyebut dirinya
sebagai Ingkarus Sunnah (golongan yang mengingkari sunah Nabi). Metode-metode yang dipakai untuk menyimpulkan hukum Allah
dikaji sebagiannya dalam ilmu ushul fikih. Sebuah kenyataan yang membuat para
sahabat harus melakukan ijtihad karena belum memiliki metode yang dapat dipakai
untuk menyimpulkan sebuah hukum. Masalah ini, pada kesempatan lain, akan lebih jelas pada
pembahasan hukum Allah. Kulaini, Ushul Al Kafi, juz 1, hadis 1, hal 59, Darul Kutubi
Al Islamiyah. Idem, hadis 4. Idem, halaman 238. Sesuai dengan sifat Maha Tahu dan Maha Bijak Allah. Syaikh Muhammad Ali Al Kazhimi, Fawa’id Al Ushul, juz 1, hal
142. Pendapat ini kemudian dinukil oleh ulama ushul setelahnya. Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al Ghazali As
Syafi’I, Al Mustashfa min Ilmi Al Ushul, juz 2, hal 109. Idem. Idem, hal 109- 116. Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, A’lam Al-Mauqi’in ‘an Rabb
Al-‘Alamin, dikomentari oleh Taha Abdurrauf, juz 2, hal 201 dan 211. Ibn
Al-Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, juz 2, hal 125. Abu Zarah, Abu Hanifah;
Hayatuh wa ‘Ashruh, Ara’uh wa fiqhuh, hal 61. Ibn Al-Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, juz 6 hal 56, 123
dan 149-150. As-Syathibi, Al-Muwafiqat, bersama dengan komentar Abdullah Deraz,
juz 4, hal 289. Al-Jauziyah, Ibn Al-Qayyim, A’lam Al-Mauqi’in, juz 2, hal
200. Hakim pada zaman kekhalifahan islami selain menyelesaikan
pengaduan masyarakat ia juga seorang alim yang mengerti benar ilmu agama
(mujtahid). Al An’am ayat 38. An Nahl ayat 89 An Nisa’ ayat 82. Imam Ali AS, Nahjul Balaghah, terjemah Muhammad Dashti, hal
62. Al-Bashri, Abu Al-Husein, Al-Mu’tamad fi Ushul Al-Fiqh, hal
766. Al-Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa, hal 149 dan 159. Lihat
juga Ibnu Hazm, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam, Juz 1, hal 45 dan juz 5, hal 126. As-Salimi, Abdullah bin Hamid, Masyariq Anwar Al-‘Uqul, hal
70. Secara berturut-turut, Al-Muqni’ah, Al-Intishar, hal 27 dan
Rosa’il As-Syarif Al-Murtadha, juz 1, hal 7, An-Naqdh ‘ala Ibni Junaid fi
Ijtihad Ar-Ra’yi, ‘Iddah Al-Ushul, juz 1, hal 39. Dalam ilmu ushul fikih kajian zuhur menempati ruang yang
sangat penting guna seorang mujtahid dapat memproses penyimpulan sebuah hukum.
Dan sering kalinya perbedaan ulama pada masalah ini ketika hendak memaknai
maksud sebuah teks. Proses para mujtahid dikenal dengan sebutan istizhar. Zuhur
sebuah teks dalam ilmu ushul fikih berkaitan dengan kata dan makna. Kata dan
makna oleh ulama ilmu ushul fikih dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, bila
sebuah kata hanya memiliki satu makna tidak lebih disebut nash atau sharih.
Kedua, bila sebuah kata memiliki beberapa makna yang setara hubungannya disebut
musytarak. Pada kondisi ini kaedah bahasa tidak dapat menentukan mana makna
yang diinginkan. Diperlukan lebih dari sekadar itu, kondisi pembicara misalnya.
Ketiga, sebuah kata memiliki beberapa makna yang tidak setara. Salah satu makna
dari kata tersebut lebih dekat. Kondisi kata yang demikian disebut zuhur. Kata
laut misalnya, memiliki arti hakiki yang terkait erat dengan air. Namun laut
juga memiliki arti lain yang jauh terkait dengan ilmu. Ketika diucapkan,
‘Pergilah ke laut setiap hari’, dan tanpa melihat kondisi dan syarat-syarat
lain maka seorang mujtahid yang ingin memaknai teks di atas akan memaknainya
dengan laut dari air. Hal itu dikarenakan laut dari airlah yang lebih dekat
maknanya bukan ilmu. Al-Muhaqqiq al-Hilli, Najmuddin Abu Al-Qasim Ja’far bin
Al-Hasan Al-Hadzli, Ma’arij Al-Ushul, hal 179. Muthahhari, Murtadha, Mabda Al-Ijtihad fi Al-Islam, hal 24. Kecuali kelompok Akhbariyyun. Pikiran semacam ini bila dikaji lebih dalam sesuai dengan
ide takhti’ah dan tashwib namun ini tidak seratus persen benar mengingat
pandangan Sayyid Al-Murtadha tidak meyakini hadis Ahad (hadis yang diriwayatkan
oleh sedikit rawi/tidak lebih dari tiga rawi) membuat kajian ini lebih kompleks
lagi. Al-Amidi, Saifuddin, Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam juz 4, hal 141. Ibnu Sabki, Jam’u Al-Jawami’, juz 2, hal 379. Allamah Al-Hilli, Mabadi Al-Wushul ila Ilm Al-Ushul, hal 240. Lihat juga definisi yang
senada pada bukunya yang lain Nihayah Al-Ushul. Lihat QS. 6: 116, , QS. 10: 36, QS. 49: 12 dan QS. 53: 28. Subhani, Ja’far, Ushulu Al-Hadits wa Ahkamuhu fi ‘Ilm
Ad-Dirayah, hal 38. Imam Khomeini, Rasail, juz 2, hal 125. Argumentasi atau bukti apa saja yang dapat membuat seorang
mukallaf terbebas dari sebuah kewajiban. Akhund Khurasani, Kifayah Al-Ushul, juz 2, hal 422. Hal, 9. Lihat: Syahid Muhammad Baqir Shadr, Durusun fi ‘Ilmi
al-Ushul, jilid 1, hal 165. |