Kejahilan Massal Atas RealitasNano Warno
Harus menempuh realitas yang keras untuk
ekspresi diri yang otentik (A. Howard) Pedro Calderon (1600-1671), dramawan Spanyol menyuarakan,
“Saya menjadi tahu bahwa saya tidur dan saya bermimpi ketika bangun.” Batas
antara mimpi dan realitas bisa jadi sangat tipis dan mungkin saja kabur. Hal
ini tidak hanya dirasakan oleh artis tapi juga oleh sufi besar Ghazali yang
mengatakan bahwa manusia itu tidur dan baru bangun kalau ia mati. Jadi ada satu
periode kehidupan manusia yang dinilai oleh Ghazali sebagai tidur, tanpa sadar,
lalai. Saat tidur, manusia tidak mampu membedakan antara realitas dan non
realitas. Dan manusia yang kehilangan realitas adalah manusia yang menderita
secara eksistensial, primordial, pucat dan tidak pasti. Kalau dunia itu nyata dan objek yang bisa dilihat, dicerap
dan diketahui oleh manusia bersifat independen sedangkan manusia lewat rasio
dan pikirannya mampu mengetahui keeksisan di luar dirinya, maka selain objek
juga ada realitas kejadian atau kehidupan yang berlaku seiring dengan denyut
pikirannya sendiri. Realitas besar ini memiliki degup yang lebih menghentak
plus aktual. Realitas ini adalah apa saja; himpunan aksi, perilaku,
deretan hukum alam, reaksi sosial, psikologi, nurani, kesadaran masyarakat,
reaksi individu, reaksi global, reaksi pasar, pengaruh-pengaruh politik, suhu
di kawasan, segala elemen yang berubah dan tidak berubah tiap tahun, tiap hari,
tiap saat bahkan diri manusia mungkin saja berubah dan apa saja yang
berlangsung baik di luar (eksternal) maupun di dalam (internal). Wilhem Dilthey
(1833-1911) pakar filsafat kehidupan (Philosophie des Leben berkata),“Kehidupan bukan saja kehidupan biologis, tetapi
seluruh kehidupan manusia yang kita alami menurut kompleksitasnya yang amat
kaya. Kehidupan ini terdiri dari banyak sekali kehidupan individual dan
bersama-sama membentuk kehidupan umat manusia sebagai realitas sosial dan
historis. Semua produk manusiawi termasuk dalam kehidupan itu: dari
emosi-emosi, pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan individual sampai dengan
lembaga-lembaga sosial, agama, kesenian, kesusasteraan, ilmu pengetahuan dan
filsafat.” Inilah realitas terbesar yang harus dihadapi, apakah pahit
atau manis, menderita atau menyenangkan, sesuai dengan harapan atau tidak. Manusia
tidak punya pilihan meskipun manusia bisa saja menciptakan realitas dan
kehidupan sendiri, tetapi ia harus mengkondisikan dan ia tidak mampu membuat
realitas untuk orang lain. Artinya realitas orang lain juga harus dihadapi dan
menjadi realitasnya sendiri. Tuhan adalah satu dan ada, tetapi Tuhan pun tidak
mengabaikan realitas bahwa ada manusia yang tidak mempercayainya. Realitas
adalah kebudayaan, peradaban dan semua yang terjadi kemarin, detik ini, besok,
lusa dan seterusnya, berubah dan konstan. Ia adalah organisme yang harus
diketahui; ia adalah zaman itu sendiri. Sehingga dikatakan barang siapa yang
mengetahui zamannya akan selamat dari tipuan zaman. Tetapi bagaimana mungkin
sebagian kalangan tidak menyadari adanya kenyataan? Ini adalah sebuah penyakit
besar yang menggerogoti zaman sekarang. Kalau seorang manusia mampu hidup tidak
dengan kenyataan, boleh jadi ia hidup di alam lain, di antarannya mungkin hidup
di alam ketidaksadaran. Hidup kita bisa jadi bukan di alam nyata (real). Kenapa?
Karena kita mengembangkan dunia sendiri di luar kenyataan yang ada. Dunia
kreasi manusia itu begitu menyenangkan sehingga ia melupakan dunia yang ada.
Ataukah ini mimpi? Jika ia mimpi, maka maha karya terlengkap tentang mimpi
pernah dipersembahkan oleh Aristoteles. Alam yang diisi manusia ini disebut alam nasut, sebuah alam
yang dihuni manusia sejak Tuhan menciptakannya sampai hari kiamat. Tetapi
ketika manusia hidup, terciptalah alam-alam lain yang dibentuk oleh manusia
karena persepsi, khayalan, imajinasi dan hidup itu sebenarnya sesuai dengan
pikiran manusia itu sendiri. Pikiran manusia itu begitu menguasai dan menata
seluruh kesimpulan, agenda, hobi, cara bergaul; apa yang engkau pikirkan itulah
yang engkau rasakan. Tetapi pikiran manusia itu sendiri berasal dari pengalaman,
potensi diri, semangat, pengaruh lingkungan hidup, ideologi dan lain-lain.
Boleh jadi hidup itu lebih banyak dengan pikiran ketimbang dengan kenyataan
bahkan kita juga bisa membuat realitas tersendiri. Kita bisa menjadi
co-creator, kata ahli psikolog. Pikiran manusia memang unik, ia bisa mempengaruhi perasaan
dan bahkan mempengaruhi pertimbangan, tindakan dan pergaulan sosialnya.
Sebenarnya apa yang disebut pikiran itu adalah elemen-elemen konstan yang
begitu hidup dan menjadi motor penggerak aktifitas seluruh tubuh, karena itu
pantas kalau manusia didefinisikan sebagai hewan yang berpikir. Tak pernah
sedetikpun manusia lepas dari pikirannya kecuali ketika ia tidur. Apa
saja bisa menjadi bahan pikiran manusia dari yang besar hingga yang kecil. Dan
manusia bisa memikirkan apa saja dari yang rumit hingga yang mudah. Karena
pikiran adalah milik pribadi maka ia akan selalu berbeda dengan pikiran orang
lain dan pikiran ini sekaligus berperan sebagai pembeda dari realitas
sebenarnya. Apa yang kita pikirkan bisa jadi bersifat subjektif. Pengetahuan
kita tentang orang lain, pengetahuan kita tentang alam sekitar, kondisi dan
situasi yang ada tidak selalu seperti yang kita pikirkan atau kita duga. Apakah
suasana lingkungan hidup di kantor, pasar, tetangga, sekolah itu menyenangkan
atau tidak, memberi motivasi, laik dan kadang-kadang sangat dideterminasi oleh
perasaan dan pikiran. Perasaan dan pikiran kita yang negatif membuat suasana
menjadi tidak menyenangkan dan sebaliknya begitu. Lalu bagaimana potensi pikiran
kita? Sementara ini ada orang-orang yang hidup di dunia tapi
kakinya tidak berpijak di darat alias melayang ke atas. Ia hidup dalam alam
khayal, baik alam khayal buatan sendiri atau yang terwarisi secara
psikologis atau sosio-psikologis dari pihak lain. Contoh kongkrit adalah
seseorang yang hidup menderita dalam sebuah lingkungan hidup tetapi ia
mengkhayal bahwa hidupnya seharusnya tidak demikian. Ia sebenarnya sangat
miskin dan tidak berdaya, tetapi sukar menerima kenyataan yang ada karena dalam
pikirannya tertanam khayalan bahwa suatu saat hidupnya akan sukses, ada
tangan-tangan yang kelak akan menyelamatkannya dari penderitaan ini. Mungkin saja dalam hidup terjadi suatu mukjizat tetapi
kemungkinannya sangat kecil. Hukum alam yang pasti adalah bahwa hidup adalah
hasil dari kerja dan usaha manusia sendiri. Terkadang, hasil yang kita peroleh
tidak sesuai dengan keinginan kita karena banyak faktor dan variabel yang
mempengaruhi hasil tersebut. Tetapi dengan kerja keras yang tak kenal lelah
kita akan mendapatkan hasil yang lebih baik dari usaha tersebut. Hidup meniscayakan ketekunan, semangat dan kerja keras.
Hidup harus dibuat untuk manusia karena manusia harus bisa mengembangkan otak,
fisik dan emosi sebagaimana ungkapan para filosof. Ketika hidup menjadi tidak realistis maka hidup menjadi
semena-mena, tidak akan ada lagi makna kerja keras, ethos kerja dan disiplin
kerja. Semua dibuyarkan dengan nasib, dewi fortuna, lingkungan, kemanjaan.
Tidak akan muncul inventor-inventor kehidupan, peradaban, tamadun dan semuanya
hanya akan bergerak mengitari orbit yang diciptakan orang lain. Tidak akan ada
daya dan gerak, tidak ada kemauan, kurang semangat, apatis dan fatalis.
Kehidupan hanya akan berlangsung untuk memenuhi impuls-impuls biologis yang
memang memiliki kepekaaan yang kuat. Manusia pemalas dan manja pada saat
yang sama akan sangat menerima realitas kelaparan, kehausan dan dorongan hewani
lainnya karena ketika kognisi lemah, mesin-mesin hewani manusia masih tetap
bergejolak. Layaknya sebuah pusat alami dalam jiwa manusia yang menguasai
kecerdasan spiritual dan hawa nafsu, antara daya transendental dan material. Nampaknya ada milyaran masyarakat yang hidup seperti ini
karena terbukti potensi maksimal mereka tidak tereksploitasi, mereka selalu
ragu, reaktif dan tidak proaktif. Milyaran masyarakat dunia terbelenggu oleh
sebuah dunia modern yang menawarkan mimpi-mimpi di siang bolong, visualisasi
materialistik yang tidak realistis, teknologi dan kesemena-semenaan yang telah
mengakhiri ambisi-ambisi lama manusia untuk memakmurkan alam raya. Seharusnya
ada jarak antara apa yang dilihat dengan apa yang ada dipikirkan, tetapi ketika
pikiran adalah hasil dari fenomena maka pikiran akan terbatas dan akan
kehilangan daya aktifnya, mati dan terkikis lambat-laun. Dunia yang diciptakan oleh manusia telah menjadi penjara
maya. Terobosan-terobosan adalah pengaruh materialistis dari benda-benda
ekonomi bahkan sejarah. Inilah hal paradoks dalam hidup manusia, seperti bayi
yang tidak pernah dewasa dan senantiasa menunggu perintah dari keadaan dan
tuntutan zaman. Budaya kreatifitas mati, inovasi, investasi tidak ada. Semuanya
berjalan ke arah yang sama bak robot-robot dengan kapasitas mesin. Apa yang
dilakukan dahulu akan terulang oleh generasi sekarang. Padahal penjiplakan hidup
merupakan kematian manusia. Kebangkitan manusia dari tidur panjang adalah sebuah
keniscayaan untuk memanusiakan peradaban. Kebangkitan ini harus terjadi secara
massal dan global karena saat ini volume penghianatan terhadap paradigma
sudah sangat banyak. Manusia-manusia idealis terpinggirkan dan tidak mampu
bergerak karena kekuasaan dan gejala-gejala penyakit hedonis, memuja
kenikmatan, berselancar dalam gelimang kemewahan, waktu luang, hiburan dengan
trend-trend haram semacam korupsi, kolusi manipulasi dan koneksi telah menjadi
warisan budaya yang cukup kental. Semua ini sebenarnya adalah pembodohan massal
dengan bungkusan ideologis, bersejarah dan menjadi kesadaran nasional.
Pembekuan manusia sebagai mahkluk petualang Tuhan yang diberi waktu sebentar
untuk menjadi wajah dan perwakilan Tuhan telah diganti menjadi wajah pesimis,
apatis, pemimpi dan penikmat karena ketika menerima sejarah mimpi manusia
sebenarnya menyerah atau tepatnya menyembah berhala-berhala kenikmatan
berbahaya. Bahayanya tidak terpikirkan oleh manusia sama sekali, hanya
nikmatnya yang dipuja. Kendala ini sangat solid dan cukup mengikat. Manusia hanya
akan menjadi korban media, elitisme baik agama mapuan politik,
diaspora-diaspora spiritualis, ajaran-ajaran yang sebenarnya bersumber dari
individu dan instituisonalisasi dalam bentuk-bentuk yang lebih canggih. Mereka
adalah musuh-musuh abstrak yang menjelma menjadi pemandangan yang sangat
menyenangkan seperti dalam cerita klasik, tokoh yang sangat menawan sebenarnya
adalah hantu-hantu dan musuh-musuh yang berbalik memperbudak dan memenjarakan
kita kecuali jika kita mau menuruti keinginannya. Polanya begitu rapi dan
sistematik karena berbaur dengan manusia dan menjadi bagian dari manusia itu
sendiri. Manusialah yang menciptakannya dan mausia sendiri yang menerimanya,
karena telah dianggap sebagai sebuah kewajaran. Ada jaringan kawan,
kekeluargaan persahabatan tetapi tidak menjadi kawasan sejati yang bisa
menyadarkan dan menyelamatkan. Mereka akan menjadi mitra-mitra penina bobo dan
melilitkan lingkaran sehingga daging siapa yang akan dikorbankan dan siapa yang
mengorbankan menjadi kabur. Hal ini mirip dengan pandangan strukturalis dimana manusia
terjebak dalam lingkaran budaya yang dijalinnya; ia masuk dalam struktur, ia
memiliki peran dan meskipun ia mampu membuat struktur tapi ia akan kembali
kepada struktur yang ada. Juga senada dengan faktisitasnya Heidegar yang
menyebutkan bahwa manusia terlempar ke dunia tanpa ia mampu berunding terlebih
dahulu. Namun menurut Levi Strauss, ketidaksadaran adalah bagian dari diri
manusi sehingga hubungan manusia berada dalam sistem yang tidak disadari. Dan
ini berbeda dengan pendapat Heidegger yang mengharuskan manusia bertanggung
jawab secara pribadi atas hidupnya. Manusia bukan manusia massal yang
diombang-ambingkan oleh keadaan. Agar tidak menjadi manusia massal, manusia
dituntut untuk mempunyai kesadaran penuh atas lingkungannya. Sartre mengatakan bahwa dalam menentukan dirinya, manusia
bersifat terbuka terhadap berbagai kemungkinan yang ada (openness to
possibilities). Manusia sangat mungkin menjadi apa saja dan siapapun tidak bisa
menutup kemungkinan ini. Tetapi yang menjadi masalah adalah mengapa manusia
menjadi tidak mau, pesimis, sakit dan tidak lagi memainkan peranan di dunia
padahal dengan itu manusia tidak akan bisa mendefinisikan dirinya. Manusia
hanya akan menjadi tergusur oleh percepatan zaman dan globalisasi dan ia akan
masuk ke dalam struktur. Dalam balutan itu, manusia massal akan teralineasi
oleh apa saja. Dari pendapat Karl Mark dan Martin Hiedeger, Jacob Graham
menyimpulkan bahwa kondisi hidup manusia kebanyakan eksis dalam alineasi
(keterasingan). Menurut Karl Mark dalam bukunya Alienated Labor, “Si pekerja menjadi terasing karena di tempat
kerjanya, ia bekerja untuk memproduksi sesuatu buat orang lain dan bukan
dirinya, maka ia terasing dari pekerjaan.” Bahkan Mark bergerak lebih jauh lagi
bahwa objek (produk) eksis secara mandiri di luar dirinya. Sementara kita
melihat bahwa yang saat ini membuat manusia terasing adalah ideologi, paradigma
hidup bahkan kepercayaan sendiri. Individu pemeluk agama hanya menjadi
aksesoris bagi sebuah agama padahal agamalah (formasi) yang menggerakan
dirinya dan memberi semangat. Dan karena agama dari luar (outward) maka ia
tidak konstan dan bersifat instans, temporer, berskala dan spatial. Manusia massal harus ‘bangun’ dan menjadi individu Tuhan.
Hidup harus ditelaah dan dijalani dengan segala pahit manisnya. Hidup bukanlah
ladang keabsurdan, hidup adalah petualangan untuk berbakti kepada Tuhan, kepada
alam dan kepada manusia. Manusia harus menemukan suatu penemuan yang berharga. Ia
seharusnya menghentikan mengikuti (being clones) orang lain tetapi ia harus
membuat jalan bagi diri sendiri. Dengan demikian manusia tidak akan menjadi
domba, hilang atau ketemu, mengikuti yang lain dan keletihan konvensionalnya.
Ini semua muncul dari ketakutan terhadap kehidupan. Manusia harus
mengekspresikan dirinya. Dalam menjalani hidup, ‘kesadaran’ atau yaqdzah dalam term
spiritualis sufi merupakan tangga pertama yang akan memberitahukan kepada kita
tentang dunia nyata yang ada dan manusia bertugas untuk mengubah kenyataan
hidup dan berperan dengan baik. Manusia harus mampu menyelamatkan dan
membebaskan diri dari rantai-rantai mimpi yang akan membius dirinya, potensi
dan kodratnya. Manusia tidak boleh dipermainkan atau diombang-ambingkan oleh
keadaan dan situasi. Manusia harus berperan dan tidak terasing. Manusia harus
tetap eksis karena wujudnya adalah lambang kecintaan dan kepercayaan Tuhan.
Manusia telah dipercaya Tuhan untuk hidup dan memainkan perannnya secara
maksimal. Ungkapan kesadaran total spiritual yang luar biasa pernah
dilontakan oleh Jalaludin Rumi. Beliau yang merupakan manusia besar dan
pemimpin tarekat ternyata masih menganggap dirinya mati. Ketika ia bertemu
dengan Syams Tabrizi, barulah ia mengalami perubahan hebat dalam hidupnya
sehingga Rumi mengatakan: Murdeh budam, zendeh syudam. Geryeh budam,
khandeh syudam |