Hermeneutika Punya Banyak KamarDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Saleh Lapadi
Benar, pemikiran Hermenutika falsafi yang diusung oleh
Heidegger di abad kedua puluh yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Gadamer
memberikan warna lain bagi hermeneutika. Pendekatan yang dilakukan lewat hermeneutika
falsafi memang sangat dibutuhkan. Setiap peneliti masalah-masalah yang terkait
dengan hermeneutika harus memberikan porsi yang besar untuk mengkaji
hermeneutika Heidegger dan mereka yang menganut ide-idenya. Setiap peneliti yang ingin mengkaji metodologi tafsir teks
tentang memahami matan, aliran-aliran dalam kritik sastra dan filsafat
ilmu-ilmu sosial serta humaniora dan setiap aliran pemikiran yang akan dipilih,
pasti membutuhkan kajian tentang substansi memahami secara umum dan analisa
struktur keberadaannya. Dan studi tentang keduanya ini berhutang kepada
Heidegger dan murid-muridnya. Namun, itu tidak dengan sendirinya membatasi
bingkai hermeneutika hanya pada hermeneutika falsafi. Dalam masalah memahami
dan tafsir matan, misalnya. Senantiasa ada saja kemungkinan untuk mengajukan
teori baru dalam masalah memahami teks. Pemikiran yang semacam ini mungkin
tidak akan dimasukkan ke dalam studi hermenutika falsafi namun dengan
sendirinya ia adalah masalah hermeneutika. Ia tidak disebut sebagai pemikiran
yang berada di luar bingkai hermeneutika. Usaha memonopoli hermeneutika dan bingkainya pada
kajian-kajian hermenutika falsafi secara umum yang mencakup mazhab Jerman
(Heidegger-Gadamer) dan Prancis (Ricouer-Derrida) atau hanya terbatas pada
Jerman saja tidak punya alasan logis sama sekali. Dalam tulisan ini, penulis berusaha sebisanya akan
memberikan beberapa alasan mengapa klaim yang semacam itu tidak memiliki dasar
logis. Dan untuk itu, mengikuti gaya logika aristotelian (walaupun tidak
lengkap karena tujuan tidak dibahas), penulis memilih beberapa tema yang
diklaim dapat memberikan bingkai yang jelas tentang sebuah disiplin ilmu. Definisi Hermeneutika Dalam perjalanan sejarah yang tidak begitu lama,
hermeneutika memiliki beragam definisi. Dan setiap definisi yang ada
menggambarkan secara khusus tujuan dan bingkainya. 1. John Martin (1710-1759) menganggap bahwa ilmu-ilmu
humaniora berlandaskan ‘seni tafsir’ (auslegekunst) dan hermeneutika adalah
nama lainnya. Dalam memahami ibarat; lisan dan tulisan, pasti ada saja
keburaman yang menghalangi seseorang untuk dapat memahaminya secara sempurna.
Hermeneutika adalah seni untuk dapat memahami secara sempurna dari keduanya.
Seni ini seperti ilmu logika yang memiliki sekumpulan kaidah yang dipergunakan
untuk membantu menghilangkan keburaman. 2. Frederick August Wolf, pada ceramah-ceramahnya sekitar
tahun 1785-1807 tentang ‘ensiklopedia pengetahuan dan studi-studi klasik’
mendefinisikan hermeneutika sebagai berikut: ‘Ilmu tentang kaidah-kaidah yang
dapat memaknai simbol-simbol.’ Ditambahkan, tujuan ilmu ini adalah mempersepsi
pikiran-pikiran ujaran dan tulisan seorang penulis atau pengujar sesuai dengan
apa yang dipikirkan. Penerimaan tafsir dan kegunaan hermeneutika menunjukkan
bahwa ‘memahami’ tidak cukup dengan mengetahui bahasa matan, namun memerlukan
juga studi sejarah. Sejarah kehidupan penulis dan lingkungan tempat tinggalnya.
Mufassir yang ideal adalah mengetahui apa yang diketahui oleh sang penulis. 3. Schelear Macher (1768-1834) memandang hermeneutika
sebagai ‘seni memahami’. Ia sangat memperhatikan masalah kesalahan pemahaman.
Dan atas dasar itu ia beranggapan bahwa tafsir matan selalu dalam cobaan berat
salah paham. Oleh karenanya, hermeneutika harus diupayakan sebagai sekumpulan
kaidah dan metode yang dapat diajarkan guna mencegah bahaya salah paham. Tanpa
kaidah dan metode ini usaha untuk memahami tidak akan pernah terwujudkan. Perbedaan definisi ini dengan definisi pertama adalah John
Martin beranggapan bahwa kebutuhan akan hermeneutika hanya ketika ada keburaman
dalam usaha memahami matan. Sementara Schelear Makher mengatakan bahwa seorang
mufassir dalam usahanya untuk memahami matan senantiasa membutuhkan
hermeneutika. Karena menurutnya, hermeneutika tidak diadakan untuk
menghilangkan keburaman, melainkan sebuah ilmu yang dapat mencegah seorang
mufassir dari salah paham. 4. Willhelm Dilthey (1833-1911) memandang hermeneutika
sebagai ilmu yang bertugas mengenalkan metodologi ilmu-ilmu humaniora. Tujuan
asli dari hermeneutika Dilthey adalah mengangkat nilai ilmu-ilmu humaniora
sebanding dengan ilmu-ilmu eksak. Menurutnya, rahasia mengapa orang lebih dapat menerima
proposisi-proposisi ilmu-ilmu eksak terletak pada transparansi metodologi yang
dimilikinya. Dari sini, agar ilmu-ilmu humaniora dapat dikategorikan ilmu, maka
metodologinya harus dikaji secara serius sehingga prinsip-prinsipnya yang kokoh
dan sama bagi semua pondasi pembenaran dan proposisi-proposisi ilmu-ilmu
humaniora menjadi jelas. 5. Bubner, salah satu penulis modern Jerman, dalam sebuah
artikel ‘Supremasi Hermeneutika’ yang ditulis pada tahun 1975 mendefinisikan
hermeneutika sebagai ‘ide-ide memahami’. Definisi ini dengan hermeneutika falsafi Heidegger dan
Gadamer memiliki kesamaan. Hal itu dikarenakan tujuan hermeneutika falsafi
adalah memerikan substansi memahami. Hermeneutika falsafi, berbeda dengan hermeneutika
sebelumnya, tidak terbatas pada masalah memahami matan saja dan tidak juga
terbingkai hanya pada ilmu-ilmu humaniora, melainkan mutlak pemahaman serta
analisa realita pemahaman dan menjelaskan syarat-syarat keberadaan untuk
menghasilkan itu. Lima definisi di atas adalah sebagian dari definisi yang ada
tentang hermeneutika. Namun kelima definisi ini setidak-tidaknya mampu
menggambarkan keluasan pembahasan hermeneutika. Bagaimana semakin ke sini
semakin beragam dan luas. Mengkaji ini mulai dari bingkai pengenalan
hermeneutika sebagai penuntun untuk tafsir matan agama dan hukum hingga bingkai
pengenalannya sebagai kritik falsafi dalam kajian substansi pemahaman dan
syarat-syarat keberadaan menghasilkannya. Keluasan bahasan hermeneutika secara transparan menunjukkan
bahwa setiap definisi yang ada tidak mampu berlaku sebagai definisi lengkap
bagi seluruh hasil pemikiran yang dikategorikan sebagai hermeneutika. Dan ini
tidak hanya terbatas pada definisi-definisi yang telah disebutkan, bahkan
secara praksis hampir tidak mungkin mendapatkan definisi, yang disebut oleh
logika aristotelian jami’ dan mani’, yang mencakup seluruh aliran yang ada
dalam bingkai hermeneutika itu sendiri. Bingkai Hermeneutika Dalam usaha menjelaskan bingkai hermeneutika tanpa membatasinya
hanya pada hermeneutika falsafi, Richard Palmer membagi hermeneutika dalam tiga
kategori umum: 1. Hermeneutika khusus, yang menggambarkan bentuk pertama
dan bagaimana terbentuknya hermeneutika sebagai cabang ilmu. Hermeneutika
khusus ini berusaha untuk memperbaiki kualitas tafsir teks pada sebagian cabang
ilmu, seperti hukum, sastra, kitab suci, dan filsafat. Hermeneutika khusus ini
juga dikenal memiliki sekumpulan kaidah-kaidah dan metode untuk keperluan di
atas. Dan setiap disiplin ilmu memiliki metodenya sendiri-sendiri. Dengan
demikian, hermeneutika setiap disiplin ilmu terkait erat dengan disiplin itu
sendiri. Sebagai contoh, hermeneutika yang dipakai untuk menafsirkan kitab suci
tidak diambil dari tafsir teks sastra klasik. 2. Hermeneutika umum, yang dapat dikategorikan dalam
hermeneutika metodologis. Hermeneutika umum berusaha untuk memperkenalkan
metode pemahaman dan tafsir. Namun, yang perlu mendapat penekanan adalah bagian
hermeneutika yang mementingkan metodologi ini tidak terbatas pada sebagian
ilmu, tapi terkait dengan cabang-cabang ilmu yang memiliki kecenderungan
tafsir. Aliran ini dimulai semenjak abad ketujuh belas. Dan orang pertama yang
menjelaskan keharmonisan dan sistem pemikiran ini adalah Schelear Makher,
seorang teolog Jerman. Pemikiran inti hermeneutika umum ini bertumpu pada pra
anggap bahwa ada kaidah-kaidah dan prinsip-prinsip umum yang memiliki otoritas
dalam memahami matan tanpa tergantung pada jenis matannya. Seorang ahli
hermeneutika umum senantiasa berusaha untuk memperbaiki dan menyusun
kaidah-kaidah umum ini. Usaha yang dilakukan Willhelm Dilthey dapat dimasukkan dalam
kelompok hermeneutika umum. Hal itu dikarenakan pra anggap yang dimilikinya
sesuai dengan hermeneutika umum. Bedanya, hermeneutikanya mencakup seluruh
ilmu-ilmu humaniora. Dilthey meyakini bahwa perbuatan, ujaran, dan tulisan
manusia semuanya memberi hikayat akan kehidupan pemikiran dan kedalaman diri
manusia dan ilmu-ilmu humaniora dalam keluasan dan keragamannya harus berusaha
untuk sampai pada kehidupan dalam diri manusia selaku pemilik semua perbuatan
dan hasil yang ada. Semua ini harus mengikuti prinsip, kaidah dan metode umum.
Tugas dan tanggung jawab hermenutika adalah menyusun dan memilih dan memilah
prinsip dan kaidah yang ada. Penjelasan yang kokoh dan benar metodologi yang
berkuasa atas ilmu-ilmu humaniora. 3. Hermeneutika falsafi, yang muncul dari perenungan
filosofis tentang fenomena pemahaman manusia. Hermeneutika falsafi tidak punya
keinginan untuk memperkenalkan sebuah metode dan menjelaskan prinsip-prinsip
yang mengatur lalu lintas pemahaman manusia dan tafsir; baik itu dalam metode
memahami matan atau dalam seluruh ilmu humaniora. Bila diteliti lebih dalam
lagi, hermenutika falsafi tidak hanya menunjukkan keengganannya untuk
memperkenalkan sebuah metode, bahkan lebih dari itu melakukan kritik terhadap
metodologi yang ada. Dengan melihat bingkai ketiga kelompok yang saling berbeda
dalam masalah bingkai hermeneutika yang coba diklasifikasikan oleh Palmer
setidak-tidaknya menjadi jelas bahwa membatasi bingkai hermeneutika hanya pada
salah satu dari ketiganya sangat tidak berdasar. Pada kenyataannya, atas nama
hermeneutika, ketiga model ini tetap masih melakukan aktifitasnya secara serius
dan mengembangkan apa yang menjadi keyakinannya. Tidak benar, dengan datangnya
sebuah model yang baru kemudian model lama tidak terpakai dan ditinggalkan oleh
pengikutnya. Lebih dari itu, sangat naif sekali bila dengan bertumpu pada satu
model yang ada kemudian menafikan atau sekurang-kurangnya menganggap usaha yang
dilakukan oleh mode yang lain sebagai keluar dari bingkai hermeneutika. Hermeneutika Tanpa Nama Hermeneutika dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu semenjak
abad ketujuh belas. Namun, sebelum dan sesudahnya, sepanjang sejarah senantiasa
ada saja pemikiran yang diperkenalkan tanpa menyebut dirinya sebagai hermeneutika.
Sementara pemikiran tersebut memiliki klasifikasi untuk disebut sebagai
hermeneutika setidak-tidaknya bagian darinya. Untuk pemikiran-pemikiran ini
sebagian orang menggolongkan mereka dalam hermeneutika tanpa nama. St. Agustin filsuf dan teolog Kristen memiliki saham dan
pengaruh yang sangat besar terhadap hermeneutika modern. Heidegger dan Gadamer
banyak dipengaruhi oleh pemikiran St. Agustin. Heidegger dalam bukunya Being
and Time dan dalam sebagian dari ceramah-ceramahnya berulang-ulang kali menyebut
nama Agustin. St. Agustin memiliki artikel yang ditulisnya dengan judul On
Christian Doctrin yang menurut sebagian orang dalam sejarah pemikiran merupakan
tulisan yang paling mempengaruhi hermeneutika. Penelitian hermeneutika St. Agustin dipusatkan pada paragraf
buram dalam kitab suci. Ia berkeyakinan bahwa kitab suci jelas dan dapat
dipahami. Dengan pandangannya ini ia dibedakan dengan mereka yang menganggap
bahwa semua kitab suci bersifat simbolik dan penuh dengan rumusan. Menurutnya,
kebutuhan akan hermeneutika terbatas pada paragraf buram dan belum jelas yang
dapat menghalangi usaha memahami kitab suci. Usaha ini dapat disebut sebagai
fondasi penyusunan prinsip-prinsip hermeneutika. Frederick Willhelm Nitzche (1844-1900), filsuf Jerman yang
dapat disebut sebagai salah satu mata rantai terbentuknya pemikiran
hermeneutika dalam karya-karyanya. Pemikiran paling penting yang membuatnya
masuk dalam kategori ini adalah keyakinannya akan interpretasi untuk semua
pemahaman manusia. Nitzche memulainya dari sebuah keyakinan bahwa hakikat
setiap sesuatu tidak dapat dipahami bahkan apa yang kita pahami hanyalah
sebatas interpretasi manusia. Penafsiran ini muncul dari perspektif dan
asumsi-asumsi yang dimiliki sebelumnya. Ide bahwa semua pemahaman manusia hanyalah interpretasinya
sendiri sangat ditekankan oleh hermeneutika falsafi. Dan Heidegger dalam
bukunya Being and Time menunjukkan bahwa pemahaman manusia atas sesuatu,
pribadi-pribadi dan diri kita sendiri senantiasa berupa hermeneutika. Maksud
dari ‘pemahaman hermeneutik’ adalah senantiasa pemahaman didahului oleh ‘fore
sight’ dan ‘fore structure’ yang memiliki banyak kesamaan dengan studi yang
dilakukan oleh Nitzche akan dipengaruhinya persepsi manusia dengan asumsi
sebelumnya. Dalam tulisan-tulisan para pemikir seperti Ludwig
Wittgeintein dan Edmund Husserl dapat ditemukan kajian-kajian yang masih sangat
dekat dengan masalah hermeneutika. Heidegger sendiri mempelajari metode
fenomenologinya kepada gurunya, Edmund Husserl. Dengan penjelasan ringkas di atas, terungkap sebuah realitas
lain bahwa kajian-kajian hermeneutika tidak terbatas pada tulisan-tulisan resmi
dari aliran-aliran yang ada dalam hermeneutika itu sendiri. Banyak
tulisan-tulisan yang tidak menamakan dirinya sebagai hermeneutika namun inti
kajiannya tidak berbeda jauh dengan yang dikaji oleh para pemikir yang kemudian
disebut hermeneutika. Hermeneutika dan Islam Hermeneutika sebagaimana disiplin ilmu lainnya yang baru
muncul tidak memiliki tempat tersendiri dalam Islam. Dan dengan sendirinya,
sebuah kajian terpisah bernama hermeneutika tidak dikenal dalam ilmu-ilmu
Islam. Para ilmuwan Islam baik itu dari jajaran filsafat, teologi, tafsir, usul
fikih juga tidak memiliki sebuah kajian terpisah dengan judul hermeneutika.
Namun, sebagaimana pada sub judul hermeneutika tanpa nama yang telah disebutkan
di atas, sangat mungkin sekali sebagian kajian yang terkait dengan bahasan-bahasan
hermeneutika dalam pemikiran keagamaan telah disinggung. Dan satu hal yang
perlu mendapatkan penekanan di sini adalah dengan keberagaman aliran
hermeneutika sebagian dari kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Islam memiliki
kesamaan dengan satu dari aliran yang ada dan berbeda penuh dengan aliran yang
lain. Hal yang telah disinggung dalam sub judul bingkai hermeneutika. Hermeneutika, sebelum Heidegger, secara intens hanya
membatasi kajian-kajiannya pada tafsir matan dan mengkonstruksi kualitas tafsir
dan memperbaiki metode memahami teks dengan benar. Hermeneutika falsafi,
sekalipun tujuan aslinya tidak untuk masalah memahami matan saja, namun
memiliki perhatian yang lebih dengan masalah ini. Sementara itu, ilmu-ilmu
Islam dalam cabang-cabangnya dan secara khusus fikih, teologi dan tafsir
memiliki hubungan yang luas dengan memahami dan tafsir matan agama. Oleh
karenanya, ilmuwan Islam dalam usahanya melakukan pendekatan terhadap teks-teks
agama memiliki metode tafsir sendiri dan khas. Kajian-kajian ilmuwan Islam
dalam berbagai bidang bila dibandingkan dengan aliran dalam hermeneutika lebih
mirip dan dekat dengan aliran tafsir matan sekalipun tidak pernah memakai jubah
hermeneutika untuk dirinya. Tiga bidang dari ilmu-ilmu Islam; fikih, teologi dan tafsir,
adalah yang paling bertanggung jawab untuk memilih dan memilah masalah-masalah
tafsir teks dalam usaha memahami matan agama. Oleh karenanya, pada pengantar
ketiga ilmu ini ada pembahasan yang dikhususkan untuk itu. Namun tentunya
kajian yang dilakukan masih sangat klasik. Dan itu dapat ditemukan di dua
tempat. Pertama dan lebih dari yang lain, dalam ilmu usul fikih.
Ilmu usul fikih bertanggung jawab untuk melakukan koreksi terhadap
prinsip-prinsip yang bakal dipakai dalam proses penyimpulan sebuah hukum.
Seluruh pembahasan yang dimilikinya tidak terbatas pada usaha membangun
prinsip-prinsip memahami matan saja. Hal itu dikarenakan dalil-dalil fikih dan
sumber-sumber penyimpulan hukum tidak terbatas pada dalil naqli; Al-Quran dan
Hadis. Namun pun demikian, harus dikatakan bahwa sebagian dari pembahasan ilmu
usul fikih terkait erat dengan memahami matan dan prinsip-prinsip tentang
memahami matan agama yang sering disebut ‘mabahits al-fazh’. Kedua, dalam pengantar ilmu tafsir, secara terpencar, para
mufassir biasanya mengkaji masalah-masalah yang berhubungan dengan kualitas
pemahaman dan tafsir Al-Quran. Masalah ini sendiri adalah hermeneutika. Sebagai
contoh, Allamah Thaba’thaba’i dalam Tafsir Al-Mizan memunculkan sebuah metode
tafsir yang disebutnya tafsir Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Metode yang
dibawakannya menambah keragaman metode tafsir Al-Qur’an dalam ilmu tafsir.
Kajian ini dengan sendirinya adalah hermeneutika. Penutup Cara pandang hermeneutika falsafi tentang pemahaman secara
mutlak dan memahami dan tafsir matan secara khusus adalah sesuatu yang baru
dalam pemikiran Islam. Dapat dikatakan bahwa pandangan yang dapat mewakili
Islam dan dapat disamakan dengan hermeneutika falsafi sampai saat ini belum
ditemukan. Bahkan dalam masalah memahami dan tafsir matan ada perbedaan yang
sangat mencolok bahkan sampai pada tahap bertentangan. Namun, kenyataan ini tetap tidak dapat dijadikan justifikasi
untuk memvonis bahwa masalah hermeneutika tidak ada dalam Islam. Karena, sekali
lagi, hermeneutika falsafi yang diusung dan dimulai oleh Heidegger dan yang
lain-lainnya bukan satu-satunya hermeneutika sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya sehingga dengannya kita membingkai hermeneutika dan menjadikannya
sebagai juru bicara tunggal hermeneutika. Sumber Rujukan
1. The Hermeneutics Reader, Edited by Kurt muller volmer, Basic
Black well, 1986. 2. Routledge Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, Edited bu Edward
Raib, 1998. 3. Gondin, Jean, Sources of Hermeneutics, Sate University of New
York Press, 1995. Grondin, Jean, Introduction to Philosophichal Hermeneutics, Yale
University Press, 1994. 4. Contemporary Philosophy, Edited by G. Floistad, Martinus
Nijhoff Publishers, 1982. 5. Gadamer, Truth and Method. 6. Introduction to Philosophichal Hermeneutics. |