KenabianDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103
Apa Tujuan Hidup
Manusia ?
Dalam Pandangan Dunia Tauhid (Jahan Bini-e Tauhid), alam
raya ini ada tidak dengan sendirinya, tetapi diciptakan oleh Sang Maha Pencipta
dengan tujuan-tujuan tertentu. Tidak mungkin alam diciptakan tanpa tujuan,
karena penciptaan alam termasuk dari perbuatan-Nya yang tidak mungkin sia-sia. Lantas apa tujuan penciptaan alam raya ini ? Para filosof Ilahiyyin dan mutakallimin mengatakan, bahwa
segala yang ada di alam raya tabiat ini bergerak sesuai dengan status dan
posisi tabi’i-nya (alaminya) menuju kesempurnaannya masing-masing.
Tumbuh-tumbuhan, binatang, bahkan benda-benda yang secara lahiriah tampak mati,
bergerak secara alami dan sesuai dengan kapasitas wujudnya menuju kesempurnaan
wujudnya masing-masing, tidak kurang dan tidak lebih. (QS. Al-Qamar ayat 49).
Pergerakan mereka menuju kesempurnaan merupakan bukti ketaatan mereka kepada
Sang Pencipta. Sebagian mufasir menafsirkan tasbih dan sujudnya segala yang
ada di alam raya ini dengan pergerakan mereka menuju kesempurnaan. Dalam hal
ini manusia tidak berbeda dengan makhluk lainnya, artinya sama-sama bergerak.
Akan tetapi karena manusia adalah makhluk yang berikhtiar, maka titik gerakan
yang ditujunya tergantung pada pilihan mereka. Terkadang mereka menuju
kesempurnaan dan terkadang menuju kehancuran. Akhir dari kesempurnaan adalah Allah Ta’ala sebagai
Kesempurnaan yang mutlak. Untuk itulah manusia diciptakan. Sedangkan
kehancuran, adalah segala tujuan selain Kesempurnaan yang mutlak. Ketika seseorang bergerak menuju kesempurnaan, manfaat
pergerakannya itu dirasakan oleh dirinya dan alam sekitarnya. Bagaikan minyak
kesturi yang wangi semerbak, selain dirinya wangi juga menebarkan wewangiannya
kepada sekitarnya. Tentang hal di atas, Allah Ta’ala berfirman, “Katakanlah, Sungguh shalatku,
ibadahku, hidupku dan matiku semata untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Surat
Al-An’am ayat 162). Demikian pula Allah berfirman, “Dan sekiranya penghuni kampung
beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan untuk mereka barakah-barakah dari
langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf 96) Demikian halnya, orang yang bergerak menuju kehancuran,
disamping dirinya hancur dia juga menghancurkan sekitarnya. Allah berfirman, “Dan jika dia berpaling, maka dia
berusaha untuk membuat kehancuran di dalamnya dan membinasakan tanaman dan
keturunan.” (QS. Al-Baqarah ayat 205). Bahkan mereka juga berusaha membendung dan menghalangi
golongan pertama, seperti Allah lukiskan dalam Al-Qur’an, “Mereka hendak memadamkan cahaya
Allah dengan mulut mereka, namun Allah tidak menghendakinya melainkan
menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang kafir membencinya.” (QS.
Al-Anfal ayat 32). Selama perjalanan sejarah umat manusia, sejak dari Habil dan
Kabil hingga hari akhir dunia, senantiasa terdapat orang-orang yang bergerak
menuju kesempurnaan dan yang bergerak menuju kehancuran. Kedua kelompok ini
saling berseberangan dan tarik menarik. Pada gilirannya kedua kelompok ini
memiliki pengikut dan musuh. Syahid Muthahhari dalam buku Jâzebeh wa Dâfi’eh-e Ali menyebutkan, bahwa Ali bin Abi Thalib
as. adalah orang yang mempunyai kawan dan lawan, dan ini adalah ciri seorang
mukmin. Dia dicintai para kekasih Allah dan dibenci musuh-musuh-Nya. Jadi tujuan penciptaan manusia adalah kesempurnaan (Allah),
sebagaimana ucapan sang kekasih Allah, Ibrahim as. yang direkam Al-Qur’an, “Berkata (Ibrahim as) :
Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku yang akan membimbingku.” (Surat As-shafat
ayat 99). Bagaimana manusia sampai kepada Kesempurnaan Ilahi ?
Untuk sampai kepada tujuan yang Allah inginkan dari seluruh makhluk-Nya, maka
dengan luthf-Nya (karunia dari Allah yang dengannya manusia dekat dengan-Nya) Allah
memberikan bimbingan kepada segala ciptaan-Nya. Sebagaimana Allah firmankan, “Tuhan Kami yang telah menciptakan
segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk.” (QS. Thaha ayat 50). Memberi bimbingan kepada semua makhluk-Nya disamping luthf,
itu merupakan bagian dari konsekuensi logis (lazim aqli) wujud-Nya yang
Sempurna dan Mutlak. Dia sendiri telah menetapkan atas diri-Nya untuk melakukan
hal itu (QS. Al-An’am ayat 12 dan ayat 54). Demikian pula manusia yang tujuan (penciptaannya) amat agung
telah diberi bimbingan oleh Allah, karena tanpa bimbingan-Nya tidak mungkin ia
sampai kepada tujuan yang Allah inginkan darinya. Lebih dari itu manusia berbeda dengan makhluk lainnya dalam
pergerakan dirinya menuju kesempurnaan, ia dihadapkan kepada musuh hebat yang
senantiasa akan merintangi dan menghalangi manusia untuk sampai kepada
kesempurnaan. Musuh tersebut berupa hawa nafsu, setan dan manusia-manusia yang
telah menjadi budak keduanya. Oleh karena itu manusia dibimbing dengan dua
macam bimbingan, yaitu bimbingan batiniah dan bimbingan lahiriah. Hal itu merupakan kelebihan manusia dari makhluk lainnya,
sehingga seorang manusia yang dengan konsisten mengikuti kedua macam bimbingan
tersebut benar-benar menjadi khalifah Allah di muka bumi ini, serta disediakan
untuknya sorga di akhirat kelak. Bimbingan batiniah berupa akal, sedangkan bimbingan lahiriah
berupa para Nabi dan Washi (penerus) mereka. Imam Musa al-Kadzim as. berkata, “Sesungguhnya Allah mempunyai dua
hujjah atas manusia, hujjah lahiriah dan hujjah batiniah. Hujjah lahiriah
adalah para Rasul dan Imam, sedangkan hujjah batiniah adalah akal.” Keduanya sama penting sehingga tidak mungkin seseorang
sampai kepada kesempurnaan hanya dengan salah satunya. Bimbingan para Nabi laksana jalan yang mengantarkan seseorang
kepada kesempurnaan, sedangkan akal laksana lampu yang menerangi jalannya.
Berjalan tanpa ada jalan yang akan dilalui, tidak mungkin sampai ke tujuan.
Demikian pula, berjalan tanpa cahaya akan menabrak ke sana ke mari. Keduanya selalu berjalan seiring dan tidak akan pernah
bertolak belakang. Banyak keterangan dari agama tentang akal dan peranannya
(hal ini perlu kajian tersendiri). Akal senantiasa menunjukkan dan mengajak kepada kebenaran
serta cenderung mendorong (manusia) untuk melakukan kebaikan. Meskipun demikian tidak cukup seseorang mengandalkan akalnya
saja. Dia membutuhkan bimbingan para Nabi agar tidak keliru dalam menjalankan
praktek-praktek pendekatan diri kepada kesempurnaan Ilahi. Para Nabi dan Rasul
adalah Para Pembimbing Ilahi
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa manusia walaupun
dibekali akal, dia tetap membutuhkan (bimbingan) para Nabi. Mereka memang
diutus oleh Allah untuk mengantarkan manusia kepada-Nya, “Katakanlah, Inilah jalanku. Aku
mengajak kepada Allah atas dasar bashirah (matahari atau akal). Aku dan orang
yang mengikutiku.” (QS. Yusuf 108). Kehadiran Nabi dan Rasul sangatlah dibutuhkan oleh umat
manusia, karena banyak di antara mereka yang tidak dapat menghidupkan dan
mengaktifkan akalnya disebabkan tertutup oleh hawa nafsu dan bujukan setan.
Para Nabi diutus untuk menggali kembali khazanah-khazanah akal yang terpendam
di kedalaman jiwa manusia. Imam Ali bin Abi Thalib as. dengan sangat indah menjelaskan
filsafat pengutusan para Nabi, “Allah mengutus di tengah-tengah mereka
rasul-rasul-Nya dan mengirim kepada mereka nabi-nabi-Nya, untuk meminta
pertanggung jawaban perjanjian fitrah-Nya, mengingatkan mereka atas nikmat-Nya
yang terlupakan, menuntut mereka dengan tabligh, menggali untuk mereka
khazanah-khazanah akal dan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda
kekuasaan-Nya.” (Nahjul Balaghah, khutbah nomor 1). Selain itu para Nabi dibutuhkan pula oleh mereka yang telah
mengaktifkan akal sehingga mengenal Sang Pencipta tanpa bimbingan para Nabi,
karena para Nabi selain mengajarkan Tauhid, juga mengajarkan ubudiyyah yang
benar. Jadi kehadiran para Nabi sangat dibutuhkan oleh seluruh umat manusia. Karena itulah Allah tidak mempunyai alasan untuk
membinasakan suatu kaum, kecuali setelah diutus kepada mereka seorang Nabi, “Dan tidaklah pantas bagi Kami
membinasakan (suatu kaum) kecuali (setelah) Kami utus seorang Rasul.” (QS.
Al-Isra ayat 15). Perjalanan menuju Allah tidak akan pernah berakhir, karena
Dia adalah Dzat yang Tidak Terbatas, selain banyak pula duri-duri yang harus
dihindari. Maka satu-satunya cara yang paling dijamin untuk sampai dengan
selamat, adalah bergabung dengan kafilah orang-orang yang suci dan terjamin. Mereka adalah pilihan-pilihan Allah, yang sebelum mengajak
umat manusia untuk mereguk air cinta yang suci, menyaksikan kebesaran-Nya serta
merasakan lezat dan nikmatnya munajat dan liqa (perjumpaan) dengan-Nya, mereka
telah menggapai semua itu. Tidak perlu heran jika ajakan dan ajaran para Nabi atau
orang-orang yang mengikuti mereka dengan konsisten, lebih menyentuh dan merasuk
ke dalam kalbu dari pada ajakan dan ajaran orang-orang yang belum sampai kepada
kesempurnaan (Allah). Para Nabi menyerukan kepada sesuatu yang sudah mereka
rasakan, sementara kebanyakan orang mengajak kepada sesuatu yang belum mereka
rasakan (wa syattana maa bainahuma). Para Nabi siap mengorbankan segalanya demi menyampaikan
kebenaran dan menegakkan keadilan, lantaran mereka cinta kepada kebenaran dan
keadilan, serta sangat penyayang kepada umat manusia. Hal itu Allah lukiskan dalam ayat berikut, “Sungguh, telah datang kepada
kalian seorang Rasul dari kalangan kalian, yang sangat berat (terasa) baginya
penderitaan kalian, yang sangat berharap dari kalian (untuk beriman) dan sangat
sayang serta belas kasih terhadap orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Anfal :
128). Para Nabi adalah khalifah-khalifah (wakil-wakil) Allah dan
penghubung antara Allah dengan umat manusia. Karena itu barang siapa mencintai
mereka berarti mencintai Allah dan barang siapa menaati mereka berarti menaati
Allah. Sangat tidak logis jika seseorang mengaku mencintai Allah
tetapi tidak mencintai para Nabi. Karena jika dia benar-benar mencintai Allah,
maka konsekuensinya dia akan mencintai para kekasih-Nya. Adakah di antara umat manusia yang lebih dicintai oleh Allah
dari pada para Nabi ? Siapakah Muhammad
Saaw?
Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperjelas sudut pandang
kita dalam melihat pribadi Nabi Muhammad saaw. Dari sisi mana kita memandang
beliau. Karena tanpa itu kita akan terjebak pada pandangan yang dîngin terhadap
beliau. Pandangan yang tanpa muatan pensucian (taqdis) dan penghormatan
(tasyrif). Bahkan terkadang memandangnya hanya sebagai satu sosok manusia yang
bernyawa, makan, minum, nikah dan akhirnya mati, titik. Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pribadi Rasulullah
saaw ? Memang Rasulullah saaw adalah seorang manusia sebagaimana
saudara-saudaranya dari keturunan Adam. Akan tetapi bukankah justru kemanusiaan
seorang manusia tidak dilihat dari unsur jasmaninya (fisik) ? Karena
melihat manusia dari sisi jasmaninya, tidak lebih dari binatang yang juga
bernyawa, makan, minum, nikah dan mati. Dengan demikian kita harus melihat manusia dari sisi ruhani
atau spiritualnya. Karena dari sisi inilah, manusia lebih mulia dari binatang.
Dalam hal ini derajat manusia berbeda-beda. Jika manusia dipandang dari sisi jasmaninya saja, kita tidak
boleh membedakan seorang manusia dari manusia lain atau satu golongan manusia
dari golongan lainnya, sebab manusia secara substansial adalah sama. Perbedaan
fisik yang ada, sifatnya hanya eksidental, seperti warna kulit, ras, etnis dan
lain-lain. Tidak demikian halnya bila dipandang dari sisi ruhani, manusia
mempunyai perbedaan dan tingkatan-tingkatan kemuliaan. Allah Ta’ala berfirman, “Wahai
manusia, Kami ciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan
kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling mengenal.
Sesungguhnya yang paling mulia di antara kalian, adalah yang paling taqwa.”
(QS. Al-Hujurat : 13). “Allah mengangkat orang-orang beriman dan
berilmu pengetahuan di antara kalian beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah :
11). Ayat pertama ingin menekankan, bahwa perbedaan jenis
kelamin, warna kulit dan bangsa merupakan pertanda kebesaran Allah Ta’ala dan
jangan dijadikan sebagai penyebab yang satu lebih mulia dari yang lain. Karena
kemuliaan hanya dilihat dari ketaqwaan yang merupakan ciri spiritualitas
seseorang dan bukan dilihat dari ciri-ciri fisikal. Demikian pula ayat kedua menjelaskan, bahwa ketinggian derajat
manusia diukur dari iman dan ilmu. Keduanya merupakan bagian dari unsur ruhani. Jadi andaikan saja kita tidak boleh melihat dan membedakan
manusia dari unsur jasmani, maka alangkah naifnya jika kita melihat Rasulullah
saaw dari sisi jasmani. Kita harus melihat Nabi dari sisi ruhani, sehingga akan
jelas siapa sebenarnya beliau. Apakah beliau seperti manusia lainnya ? Kemudian apakah pantas kita mengatakan, bahwa Muhammad saaw
sama dengan kita, hanya karena beliau adalah manusia ? Apabila kita bermaksud membicarakan pribadi Rasulullah saaw,
maka harus kita jauhkan unsur jasmaninya. Sebab jika tidak, berarti kita
membicarakan maaf-maaf unsur kebinatangannya. Sehingga dengan menjauhkan unsur
jasmaninya, kita dapat mendudukkan beliau pada proporsi yang sesuai dengan
ketinggian ruhaninya. Memang kita yakini, bahwa dari sisi jasmaninya pun beliau
mempunyai banyak kelebihan dan itu merupakan percikan sekian persennya saja
dari kemuliaan ruhaninya yang sangat agung. Nabi Muhammad saaw
dalam pandangan Allah Ta’ala
Lantaran keterbatasan dan kerendahan spiritual kita (manusia
selain Rasulullah), maka sulit bagi kita untuk mengetahui siapakah sebenarnya
Nabi Muhammad saaw itu? Benar adanya apa yang dikatakan Imam al-Bushiri dalam salah
satu bait syair pujian beliau terhadap Rasulullah, yang termuat dalam kitab
al-Burdah. Beliau berujar : “Sungguh, keutamaan Rasulullah tiada dibatasi
dengan batas yang dapat diungkap mulut manusia.” Yang paling layak dan benar melihat dan menilai Rasulullah
saaw, adalah yang menciptakan beliau sendiri, yaitu Allah Ta’ala. Marilah kita lihat bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala
memandang Rasulullah saaw. 1. Dalam banyak ayat Al Quran diterangkan, bahwa Muhammad
adalah seorang Nabi dan utusan Allah. Ini merupakan suatu kemuliaan yang tidak
sembarangan orang dapat menggapainya. Kenabian adalah kedudukan spiritual yang sangat tinggi.
Hanya manusia-manusia tertentu yang meraihnya. Dengan kedudukan ini, beliau
dapat berkomunikasi langsung dengan Allah. Bahkan lebih dari itu, beliau telah
mengalami perjalanan spiritual dan fisik yang tidak pernah dialami seorang pun
manusia sebelum dan sesudahnya, yaitu Isra dan Mi’raj. Saya kira dengan pengangkatan Muhammad saaw sebagai Nabi dan
Rasul, cukup menjadi bukti bahwa beliau benar-benar mulia dan patut dimuliakan
dan diagungkan, serta tidak bisa disetarakan dengan manusia lainnya. Begitu tingginya kedudukan beliau, sampai-sampai Allah
menyertakan ketaatan kepada Nabi dengan ketaatan kepadaNya dan mengikuti Nabi
adalah syarat kecintaan kepada-Nya (Lihat Al Quran surat Ali-Imran ayat 31). Setelah itu apakah kita pantas mengatakan bahwa Nabi sama
dengan kita, hanya karena beliau seorang manusia ? 2. Dalam Al Quran surat Al-Ahzab ayat 21, Allah Ta’ala
berfirman : “Sungguh bagi kalian pada diri Rasulullah
terdapat suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah
dan hari akhirat, serta banyak berzikir.” 3. Dalam Al Quran surat Al-Qalam ayat 4, Allah Ta’ala
berfirman : “Sesungguhnya engkau berada pada akhlak yang
agung.” 4. Dalam surat At-Taubah ayat 128, Allah berfirman : “Sungguh telah datang kepada kalian seorang
Rasul dari (jenis) kalian. Berat terasa olehnya penderitaan kalian, yang sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagi kalian. Amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin.” 5. Dalam surat Al-Insyirah ayat 4, Allah berfirman : “Dan Kami tinggikan sebutanmu (Muhammad saaw).” Demikian pula masih banyak ayat-ayat lainnya yang
mengungkapkan keagungan Rasulullah saaw, yang tidak mungkin dicantumkan semua
dalam lembaran yang sangat terbatas ini. Ungkapan-ungkapan di atas dan yang sejenisnya dalam Al Quran
keluar dari perkataan Sang Pencipta seluruh alam semesta. Sudah jelas semua itu
bukan sekedar basa-basi yang acapkali dilakukan oleh manusia ketika memuji yang
lain. Karena Allah sama sekali tidak berkepentingan untuk menyanjung, dengan
sanjungan yang sifatnya basa-basi atau mencari muka. Seluruh ungkapan di atas benar-benar menjelaskan fakta yang
sesungguhnya, bahwa Nabi Muhammad saaw sebagai suri tauladan untuk umat
manusia. Beliau adalah seorang yang berakhlak agung dan luhur, dan beliau
adalah seorang yang sangat penyayang dan pengasih (terhadap umatnya). Adakah
pujian dan sanjungan yang lebih tulus dan lebih benar, dari pujian dan
sanjungan-Nya ? Kalau saja Allah sedemikian tinggi memuji Rasulullah saaw,
lantas apakah kita diam tidak mengikuti sunnatullah, karena alasan khawatir
terjerembab ke dalam pengkultusan individu ? Nabi Muhammad saaw
menurut Hadis
Ketinggian dan kebesaran Nabi Muhammad saaw banyak dikutip
dalam berbagai kitab Hadis. Kajian tentangnya, membutuhkan tulisan yang khusus
dan luas. Mengenai keagungan dan kebesaran Nabi Muhammad saaw dapat
kita lihat dalam kitab-kitab Hadis dan sejarah beliau. Dalam lembaran yang
sangat terbatas ini, hanya akan dikutip sebagian kecil saja dari Hadis-Hadis
yang menceritakan ketinggian dan kebesaran beliau, antara lain : 1. Abu Abdillah Ja’far as Shadiq as. berkata, “Suatu malam
Rasulullah saaw berada di rumah Ummu Salamah ra., salah seorang isteri beliau.
Beliau mendatangi isterinya tersebut di tempat tidurnya. Kemudian beliau
melakukan hubungan dengannya sebagaimana layaknya beliau lakukan pada
isteri-isteri lainnya. Setelah itu, Ummu Salamah mencari-cari beliau di sekitar
rumahnya, sampai ia menjumpai beliau di sudut kamarnya dalam keadaan berdiri
dan mengangkat kedua tangannya sambil menangis dan berucap, Ya Allah, janganlah Engkau renggut kebaikan yang telah
Engkau anugerahkan kepadaku selama-lamanya. Ya Allah, janganlah Engkau hibur daku dengan seorang musuh
dan janganlah pula dengan seorang yang dengki selamanya. Janganlah Engkau kembalikan daku kepada kejelekan, yang
telah Engkau selamatkan daku darinya selama-lamanya. Ya Allah, janganlah Engkau jadikan daku berserah diri kepada
diriku sendiri, walau sekejap pun untuk selama-lamanya. Kemudian Ummu Salamah berpaling sambil menangis, hingga
Rasulullah pun berpaling, lantaran mendengar tangisan isterinya tersebut. Lalu
beliau bertanya kepadanya, “Gerangan apa yang menyebabkan engkau menangis,
wahai Ummu Salamah ?” Seraya ia menjawab, “Demi ayah dan ibuku, bagaimana aku
tidak menangis, sementara Tuan dengan kedudukan yang telah Allah berikan kepada
tuan sekarang, yang mana Allah telah menjamin Tuan dengan ampunan atas
dosa-dosa Tuan yang telah lalu dan yang akan datang masih memohon kepada-Nya,
agar Dia tidak mengembalikan Tuan ke dalam kejelekan yang Tuan telah
diselamatkan-Nya darinya untuk selama-lamanya, agar Dia tidak mengambil kembali
kebaikan yang telah dianugerahkan kepada Tuan selama-lamanya, dan agar tidak
menjadikan Tuan berpasrah diri kepada diri Tuan sendiri walau sekejap pun,
untuk selama-lamanya ?” Rasulullah saaw balik bertanya, “Wahai Ummu Salamah, apa
yang dapat menjadikan aku aman (dari azab Tuhan) ? Sungguh, Yunus bin
Mata telah berserah diri kepada dirinya sendiri untuk sekejap mata, maka
terjadilah apa yang pantas terjadi pada dirinya ?” 1.Al-Husein bin Ali, ketika menjelaskan tentang kekhusyuan
Rasulullah saaw dalam shalatnya, beliau berkata, “Rasulullah saaw menangis
hingga air matanya membasahi tempat shalatnya. Tidak syak lagi hal itu
disebabkan rasa takut beliau kepada Allah swt. Nabi Muhammad Saaw
menurut pandangan Imam Ali bin Abi Thalib as.
Sengaja kami kutip komentar Imam Ali as. mengenai Rasulullah
saaw, karena Ali adalah seorang sahabat yang paling dekat dengan beliau dan
paling kenal kepada beliau. Imam Ali bin Abi Thalib as. ketika menerangkan pribadi
Rasulullah saaw berkata : “Ikutilah Nabimu yang paling baik dan paling suci, karena
pada dirinya terdapat suri tauladan bagi yang meneladaninya dan tempat berduka
yang paling duka. Hamba yang paling Allah cintai adalah orang yang meneladani
Nabi-Nya dan mengikuti jejaknya.” Dia telah melepaskan dunia dan tidak memperdulikannya. Dia
adalah penghuni dunia yang paling kurus dan paling sering lapar. Telah
ditawarkan padanya dunia, namun dia enggan menerimanya. Dia mengetahui bahwa
Allah tidak menyukai sesuatu, maka diapun tidak menyukainya. Allah meremehkan
sesuatu, maka diapun meremehkannya dan jika Allah menganggap kecil sesuatu,
maka diapun menganggapnya kecil. Sekiranya yang kita cintai adalah sesuatu yang Allah dan
Rasul-Nya murkai, dan yang kita besarkan adalah sesuatu yang oleh Allah dan
Rasul-Nya kecilkan, maka itu cukup menjadi bukti penolakan dan penentangan kita
terhadap perintah Allah. Rasulullah saaw adalah orang yang makan di atas tanah, yang
duduk laksana duduknya seorang budak, yang menambal sandalnya dengan tangannya
sendiri, yang menjahit bajunya dengan tangannya sendiri, yang mengendarai
keledai yang tak berpelana dan yang membawa tumpangan di belakangnya. Pernah suatu hari di atas pintu rumahnya dipasang tabir yang
bergambar. Lalu beliau berkata kepada salah seorang isterinya, ”Wahai
Fulanah, hilangkan tabir itu dariku, karena aku jika melihatnya, maka aku akan
ingat dunia dan segala keindahannya.’’ Dia berpaling dari dunia dengan hatinya, mematikan ingatan
kepada dunia dari dalam jiwanya dan menyukai hilangnya hiasan dunia dari pandangannya,
agar dia tidak menjadikan perhiasan darinya, menganggapnya kekal dan
mengharapkan kesempatan darinya. Maka dia keluarkan (cinta) akan dunia dari
jiwanya, dia enyahkan hal itu dari hatinya, serta dia hilangkan semua itu dari
perhatiannya. Kesimpulan
Setelah kita melihat bagaimana tinggi dan agungnya pribadi
Rasulullah saaw dari sisi ruhaninya, lantas apakah hati kita tidak tergerak
untuk menyatakan kekaguman dan keterpesonaan terhadap beliau, dengan memuji dan
menyanjungnya ? Sungguh telah banyak orang yang terpesona dengan keindahan
akhlak beliau dan berdecak kagum dengan kepribadian beliau sepanjang sejarah
umat manusia. Kekaguman itu mereka ungkapkan dalam puisi-puisi,
pembacaan-pembacaan maulud dan manaqib Rasulullah saaw. Merekalah yang benar-benar memahami arti sebuah kebesaran
dan keindahan. Entahlah kita, apakah termasuk dari mereka atau termasuk dari
orang yang enggan karena malu, atau karena hati yang keras, sehingga tidak
mengenal arti keindahan dan kebesaran pribadi beliau, serta menganggap bahwa
memuji dan menyanjung beliau sebagai pengkultusan individu ?
[]
|