Bagaimana Menjadi Khalifatullah ?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 “Ingatlah,
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Sesungguhnya Aku akan
menciptakan di muka bumi seorang khalifah. Para malaikat serentak berkata,
Apakah Engkau hendak menciptakan di muka bumi (makhluk) yang akan melakukan
kerusakan dan akan menumpahkan darah di dalamnya, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan menyanjung-Mu dan mensucikan-Mu? Seraya Allah menjawab,
Sungguh Aku lebih mengetahui apa-apa yang tidak kalian ketahui.” (QS.
Al-Baqarah ayat 30). Ayat di atas termasuk dari sekian firman Allah Ta’ala yang
senantiasa segar dibahas dan dikaji. Hingga saat ini para ulama, khususnya
Mufassirin (ahli tafsir Al-Qur’an), belum puas-puas dan tidak henti-hentinya
mengungkap dan mengeksplorasi sedalam-dalamnya maksud dari ayat tersebut, untuk
mendapat kebenaran darinya. Alasan mereka jelas dan sederhana. Karena ayat ini
menyangkut eksistensi manusia yang sebenarnya. Dengan memahami ayat tersebut secara baik dan benar, maka
akan terpecahkan sebuah problema yang maha besar, yaitu hakikat manusia. Memahami
hakikat manusia sangat menentukan pandangan dunia, ideologi, sikap, perjalanan
dan nasib manusia setelah mati. Hakikat manusia bagi sebagian pemikir dan filosof, masih
merupakan teka-teki yang membingungkan. Umat Islam dengan pancaran cahaya
Al-Qur’an, sedikit banyaknya terbantu dalam mengetahui hakikat manusia dan itu
pun tergantung sejauh mana mereka memahami ayat tersebut. Apa Arti Khalifah ?
Islam memandang manusia sebagai khalifatullah, yakni
khalifah Allah. Itulah hakikat manusia. Namun apakah dalam kenyataannya setiap
manusia itu khalifatullah ? Bukankah di antara mereka ada yang kafir ? Lalu apa yang dimaksud dengan manusia sebagai khalifatullah
? Atau bagaimana manusia menjadi khalifatullah ? Sebelum
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, maka terlebih dahulu harus
dipahami arti khalifah itu sendiri. Khalifah atau khilafah, berasal dari akar kata khalaf yang
berarti di belakang punggung, meninggalkan sesuatu di belakang atau sesuatu
yang menempati tempat sesuatu yang lain. Al Quran menyebut kata khalifah atau
khilafah dengan berbagai turunannya. Selain itu, Al Quran menggunakan kata
khalifah untuk manusia dan untuk selain manusia. Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dialah yang menciptakan malam dan
siang silih berganti (malam menempati siang dan siang menempati malam), bagi
mereka yang mau berpikir atau bersyukur.” (QS. Al-Furqan :
62) Ketika kata khalifah digunakan untuk manusia, kata ini
mempunyai arti yang netral. Maksudnya bisa untuk kebaikan dan bisa pula untuk
keburukan. Allah Ta’ala berfirman, “Lalu
datanglah setelah mereka generasi (pengganti), yang melalaikan shalat dan
mengikuti hawa napsu. Mereka kelak niscaya akan mendapatkan kesesatan.” (QS.
Maryam : 59). Atau firman-Nya yang berbunyi, “Maka datanglah setelah mereka
generasi (pengganti), yang mewarisi kitab.” (QS. Al-Araf : 169). Tetapi ketika kata khalifah disandarkan (di-idhafah-kan)
kepada Allah atau Rasulullah, maka kata itu mengandung arti yang positif.
Maksudnya jika yang diganti (al-mustakhlif) baik, maka yang menggantikannya
(khalifah, mustakhlaf) harus baik juga. Andaikata tidak, maka akan merusak
reputasi mustakhlif. Manusia adalah khalifah dari Allah dan Allah adalah puncak
segala kebaikan dan kesempurnaan. Dengan demikian manusia adalah titisan dari
kebaikan dan kesempurnaan-Nya. Jadi manusia berkedudukan sebagai wakil atau pengganti Allah
di muka bumi. Yaitu manusia yang mempunyai kemampuan untuk mengatur dan
mengubah alam. Manusia yang sedikit banyak mengetahui rahasia alam. Semua itu
tidak berlaku bagi makhluk-makhluk lainnya. Akan tetapi bagaimana dengan
kenyataan umat manusia zaman kini ? Sungguh ironis sekali bukan. Syeikh Taqi Mishbah berpendapat, bahwa kedudukan khalifah
tidak terbatas pada Adam saja, melainkan manusia lain pun dapat menduduki
jabatan khilafah dengan satu syarat, yaitu mengetahui asma. (lihat kitab
Ma’arif Al-Qur’an, juz 3 hal 73). Allamah Thabathaba’i dalam kitab Tafsir al-Mizan, jilid I
halaman 116 berkata, “Khilafah tidak terbatas pada diri Adam as. saja, tetapi
para keturunannya pun sama menduduki khilafah tanpa kecuali.” Selanjutnya beliau menjelaskan, “Maksud mengajarkan asma,
adalah menyimpan ilmu pada manusia yang senantiasa akan tampak secara bertahap.
Jika manusia mendapatkan petunjuk, maka dia akan membuktikannya secara faktual
(bil-fi’li) setelah sebelumnya berupa potensial (bil-quwwah).” Maksud dari penjelasan Allamah Thabathaba’i di atas, bahwa
manusia secara potensial adalah khalifah Allah. Namun yang mampu
memfaktualkannya tidak semua manusia. Hanya sebagian kecil saja di antara
mereka yang mampu. Hal itu kembali kepada ikhtiar dan pilihan manusia itu
sendiri. Kriteria-Kriteria Khalifatullah
Pada dasarnya manusia diciptakan Allah sebagai khalifah-Nya.
Namun hal itu masih berupa potensi, seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Nah,
agar potensi itu berkembang dan mewujud secara nyata, maka terdapat seperangkat
kriteria yang harus dipenuhi sehingga manusia benar-benar menjadi khalifah
Allah Ta’ala. Kriteria-kriteria khalifah Allah itu ialah : 1. Ilmu
Kriteria pertama adalah ilmu. Pada ayat yang telah
disebutkan terdahulu, selanjutnya disambung dengan ayat yang berbunyi : “Dia mengajarkan kepada Adam asma (nama
benda-benda) semuanya, kemudian dia mempertunjukkannya kepada para malaikat.
Lalu Allah berfirman (kepada para malaikat), Sebutkanlah kepada-Ku asma-asma
itu, jika kalian memang benar ?” (QS. Al-Baqarah : 31). Para mufasir berbeda pendapat tentang pengertian asma yang
tercantum pada ayat di atas. Walaupun mereka berbeda pendapat tentang makna
asma, tetapi yang pasti (al-qadru al-mutayaqqan) dan yang tidak diperselisihkan
lagi adalah, bahwa Adam as. dibekali pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki
oleh para malaikat. Sebagaimana telah kami kutipkan komentar Allamah
Thabathaba’i tentang pengertian asma pada surat Al-Baqarah ayat 31 tersebut,
beliau menjelaskan bahwa Allah telah menyimpan dalam diri manusia sebuah potensi
ilmu, yang akan nyata dengan mengikuti petunjuk-Nya. Jadi untuk menjadi khalifatullah, hendaknya manusia berilmu.
Manusia yang tidak berilmu, tidak bisa dikatakan sebagai khalifah Allah Ta’ala. 2. Iman dan Amal Shaleh
Pada ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman tentang kriteria
khalifah-Nya. “Allah telah berjanji kepada orang-orang yang
beriman di antara kalian dan beramal shaleh (kebaikan), bahwa Dia akan
menjadikan mereka sebagai khalifah di bumi, Sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang sebelum mereka sebagai khalifah. Sesungguhnya Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama mereka, yang telah diridhai-Nya untuk mereka, serta Dia
benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka menjadi aman setelah mereka
ketakutan. Mereka akan menyembah-Ku dan tidak menyekutukan apapun dengan-Ku.
Dan barang siapa kafir setelah itu, maka mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(QS. An-Nur : 55). Pada ayat tersebut, jelas sekali Allah berjanji akan
menjadikan hamba-hamba-Nya sebagai khalifah yang akan menguasai dan memimpin
dunia. Tetapi janji itu akan ditepati-Nya bagi manusia yang beriman dan beramal
kebaikan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kriteria lain dari
seorang khalifatullah adalah iman dan amal shaleh. 3. Memberi keputusan dengan benar (haqq)
dan tidak mengikuti hawa nafsu
Allah Ta’ala berfirman, Wahai Dawud, Kami jadikan engkau sebagai khalifah
di bumi, maka berilah keputusan dengan benar dan janganlah mengikuti hawa
nafsu, karena hawa nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Shad :
26). Allamah Thabathaba’i berkata, “Maksud khalifah di sini
secara lahiriah adalah khalifatullah, sama dengan maksud dari firman Allah
(pada surat Al-Baqarah ayat 30). Dan seorang khalifah seharusnya menyerupai
Yang mengangkat dirinya sebagai khalifah dalam sifat-sifat-Nya dan
perbuatan-perbuatan-Nya. Oleh karena itu khalifatullah di bumi hendaknya
berakhlak dengan akhlak-akhlak Allah, berkehendak, bertindak sebagaimana yang
Allah kehendaki dan memberi keputusan dengan keputusan Allah serta berjalan di
jalan Allah.” Selanjutnya ketika menafsirkan ayat : “Dan janganlah mengikuti hawa nafsu, karena hawa
nafsu akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” Beliau berkata, “Makna ayat tersebut adalah, bahwa engkau
dalam memutuskan (sesuatu) janganlah mengikuti hawa nafsu, maka engkau akan
disesatkan olehnya dari kebenaran, yaitu jalan Allah.” (Tafsir al-Mizan, jilid
17 halaman 194-195). 4. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Rasulullah saww bersabda, “Barang siapa ber-amar ma’ruf dan
nahi munkar, maka dia adalah khalifatullah di bumi dan khalifah kitab-Nya serta
khalifah rasul-Nya.’’ (Kitab Mizan al-Hikmah, jilid 3 hal 80). Kesimpulan
Semua manusia secara potensial (bil-quwwah), diciptakan
untuk menjadi khalifatullah. Namun agar potensi tersebut menjadi nyata
(bil-fi’li), terdapat sejumlah kriteria yang harus dimilikinya, yaitu ilmu,
iman, amal shaleh, memberi keputusan dengan benar, tidak mengikuti hawa nafsu
dan ber-amar ma’ruf dan nahi munkar. [] Index >> Daftar Isi |