Memahami Konsep Wilayatul FaqihDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Perbincangan mengenai konsep wilayatul faqih cukup marak
akhir-akhir ini. Akan tetapi sebagian barangkali tidak memahaminya dengan baik.
Pada saat yang sama, musuh-musuh Islam sengaja melakukan penafsiran yang
menyimpang dan bertentangan dengan konsep aslinya. Karena itu adalah sangat
perlu bagi kita memahami konsep ini dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun
dari segi fiqhiyyah-nya, supaya kita dapat melihat betapa bermaknanya konsep
ini. Dalam memahami konsep wilayatul faqih ini kita juga perlu
memahami landasan utama konsep ini, yaitu prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi SAWWW, otoritas Nabi, dan wilayah al-aimmah, otoritas
para imam a.s. Selain itu kita perlu memahami dengan benar peran konstruktif
wilayatul faqih dalam sebuah Negara Islam. Di sini kita melihat adanya empat
tipelogi pemerintahan. Pertama, Pemerintahan Individual yang bertumpu pada
kekuatan, seperti pemerintahan para raja dan penguasa-penguasa tempo dulu,
dimana kekuatan, kekerasan dan kemampuan militer merupakan landasan utama.
Dengan kata lain, siapa yang paling kuat secara militer dialah yang akan
mengendalikan kekuasaan. Jika kita melihat sejarah kawasan di sekitar kita, baik pada
masa sebelum atau sesudah Islam, dengan mudah kita dapat melihat bahwa
pemerintahan-pemerintahannya termasuk dalam kategori tipe pertama ini.
Penguasa-penguasanya memerintah dengan semena-mena. Untuk menjadi penguasa
tidak ada persyaratan khusus. Tidak penting apakah sang penguasa, yang biasanya
kepala suku atau komandan militer, seorang yang cakap memerintah atau tidak.
Tapi karena ia kuat, mampu menaklukkan daerah-daerah yang luas, maka dialah
yang berkuasa. Tapi jika kemudian kekuasaannya melemah, maka giliran kepala
suku lain atau penguasa lokal dari keluarga lain yang berhasil melakukan kudeta
terhadap penguasa sebelumnya yang akan berkuasa dan melahirkan dinasti baru. Demikianlah. Silih berganti kekuasaan berpindah dari tangan
satu keluarga ke keluarga lain. Dari satu orang ke orang lain. Tanpa sedikit
pun harus membawa perbaikan nasib rakyatnya, kecuali menambah
penderitaan-penderitaan mereka. Tidak hanya pada masa lalu. Bentuk pemerintahan
yang serupa juga dapat kita lihat pada banyak pemerintahan-pemerintahan dewasa
ini. Bukankah pemerintahan-pemerintahan yang lahir melalui kudeta-kudeta
militer yang kerap dilakukan oleh sekelompok perwira militer tertentu pada
banyak negara, yang biasanya didukung oleh negara asing tertentu, dan
memerintah dengan tangan besi dan dukungan tank dan bedil sama saja dengan pemerintahan-pemerintahan
otoriter tempo dulu ? Sama sekali tidak ada bedanya. Afghanistan (pada masa komunis) misalnya, sekelompok perwira
tertentu, yang didukung penuh oleh negara asing tertentu (Soviet) memaksakan
kekuasaan mereka pada rakyat. Tapi ketika rakyat marah dan para penguasa tidak
mampu mempertahankan kekuasaan mereka, mereka meminta negara asing itu (Soviet)
melakukan intervensi ke negeri mereka guna mengamankan posisi mereka. Negara
yang bersangkutan, dengan dalih mempertahankan pemerintahan yang sah, menduduki
Afganistan, membombardir rakyat, dan melakukan kejahatan-kejahatan. Tapi
sayangnya dunia diam saja. Kalau toh ada protes paling-paling protes lisan.
Bukankah semua ini adalah penggunaan kekuatan dan kekerasan ? Tipe kedua, Pemerintahan Individual oleh seorang shalih.
Yang mengatur urusan negara hanya seorang, tapi seorang yang shalih. Mayoritas
rakyat atau paling tidak sebagian besar mendukungnya dan mempercayainya
mengatur urusan mereka. Dialah yang menentukan segalanya, tapi tidak didasarkan
pada kekuatan atau kekerasan seperti tipe pertama, melainkan dengan cara bijak
dan adil. Pemerintahan para Nabi contohnya. Para Nabi adalah segalanya. Mereka
yang mengatur, menetapkan, dan berkuasa penuh. Tapi karena mereka adalah
orang-orang yang shalih, roda pemerintahan dijalankan dengan cara yang terbaik.
Sesekali mungkin mereka juga melakukan musyawarah dengan banyak pihak, tetapi
tetap saja keputusan terakhir di tangan mereka. Tipe pemerintahan ini hanya
terbatas pada pemerintahan para Nabi dan Imam-Imam yang suci. Sebab tidak ada
jaminan bahwa selain Nabi dan para Imam, mereka tidak akan jatuh pada
kekeliruan. Tipe ketiga, Pemerintahan Demokrasi Liberal. Kedaulatan
berada penuh di tangan rakyat ; dalam arti siapapun yang dipercaya dan dipilih
rakyat untuk menjadi penguasa, tidak menjadi masalah apakah yang bersangkutan
seorang filosof, aktor, beragama atau malah seorang atheis, tapi selama rakyat
telah memilihnya, maka dialah yang berkuasa. Model kekuasaan semacam ini dianut
oleh banyak negara dewasa ini. Biasanya berlaku formula 50+1. Maksudnya jika
seorang dipilih oleh separuh ditambah satu dari jumlah pemilih, maka sahlah
kekuasaannya. Hal ini juga berlaku dalam penetapan undang-undang. Jika anggota
legislasi menetapkan peraturan, meskipun peraturan itu bertentangan dengan
norma-norma agama dan kemanusiaan, seperti yang terjadi di Inggris yang
mengesahkan perilaku seks menyimpang, tapi karena berdasarkan keputusan dewan
legislatif, maka apapun bentuknya harus tetap dihormati dan dihargai sebagai hukum
yang sah. Inilah demokrasi gaya Barat. Keempat, Pemerintahan Demokrasi Primer. Kedaulatan berada di
tangan rakyat, tapi tidak penuh sebagaimana yang dianut tipe ketiga. Melainkan
terikat oleh norma-norma tertentu. Rakyat bebas menentukan pilihannya, tapi
tidak boleh memilih sembarang orang. Harus orang-orang yang sesuai dengan
aturan dan norma-norma yang berlaku. Demikian pula pada masalah
perundang-undangan. Tidak semua ketetapan yang telah disahkan oleh Parlemen
dapat dibenarkan, yaitu jika undang-undang itu tidak sesuai dengan norma-norma
yang berlaku. Dengan demikian, baik pada pemilihan seorang penguasa maupun pada
tingkat penetapan undang-undang harus sesuai dengan norma-norma yang ada.
Orang-orang Komunis mengklaim bahwa mereka bagian dari tipe ini karena mereka
menjalankan demokrasi yang terikat dengan norma-norma Marxisme. Tapi, terlepas
dari kritik-kritik terhadap konsep dasar komunisme itu sendiri, mereke
sebenarnya tidak dapat dikatagorikan pada tipe ini. Sebab dalam prakteknya,
mereka tidak beda dengan pemerintahan-pemerintahan tipe pertama. Lalu di mana letak Pemerintahan Islam? Dengan mudah
kita katakan bahwa Islam menganut tipe keempat. Inti Pemerintahan Islam atau
Republik Islam bersandarkan kepada kehendak rakyat, baik pada sisi legislasi,
penetapan undang-undang, maupun pada sisi eksekusi, menjalankan roda
pemerintahan. Akan tetapi tidak dalam arti penuh seperti yang dipahami
demokrasi Barat, melainkan terikat oleh aturan-aturan Islam di semua tingkat
kekuasaan legislasi, eksekusi, dan yudikasi. Konsep wilayatul
faqih sama sekali tidak
bertentangan dengan penghargaan Islam yang besar atas kehendak rakyat. Bahkan
justru dibangun atas dasar itu. Akan tetapi tentu saja tidak sama dengan apa
yang dianut oleh Barat. Sebab Barat menganut demokrasi tak terbatas, sementara wilayatul faqihtunduk pada
aturan-aturan yang telah ditetapkan Islam. Lebih jauh, mari kita ikuti
pembahasan berikut ini. Pada dasarnya setiap negara memiliki tiga jenis kekuasaan,
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Pada negara yang menganut sistem
demokrasi terikat seperti negara Republik Islam, maka dalam menetapkan
undang-undang pemilihan anggota atau badan eksekutif dan yudikatif sudah barang
tertentu terikat oleh aturan-aturan yang ditetapkan oleh Islam. Sama sekali
tidak boleh keluar dari Islam. Undang-undang yang disahkan oleh parlemen sama
sekali tidak boleh bertentangan dengan Islam. Kepala Pemerintahan yang dipilih
rakyat harus memiliki kualifikasi yang sesuai dengan kehendak Islam. Demikian
pula anggota eksekutif lainnya serta anggota badan yudikatif. Seorang hakim
tidak boleh sembarang orang. Ia harus memenuhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan Islam dalam kehakiman dan sebagainya. Karena itu tidak ada jalan
bagi badan legislatif misalnya, mengesahkan praktek riba, sebab bertentangan
dengan aturan Islam yang mengharamkan riba. Untuk menjamin berlakunya kedua prinsip ini sekaligus dengan
baik, di satu pihak menjunjung tinggi kehendak rakyat dan pada waktu yang
bersamaan tidak menyalahi aturan agama Islam, maka perlu dibentuk badan yang
mengawasi ketiga insitusi tersebut. Dalam Majelis, parlemen, telah dibentuk apa
yang disebut dengan Badan Pengawas Undang-Undang. Tugas utamanya adalah
mengawasi jangan sampai lahir undang-undang yang bertentangan dengan Islam. Jika
ada undang-undang yang bertentangan dengan Islam, mereka berhak menolak dan
membatalkannya. Tapi sebetulnya, jika semua angota parlemen atau paling tidak
mayoritas angatanya adalah orang-orang yang ahli tentang Islam, maka Badan
Pengawas semacam ini tidak begitu diperlukan karena para anggota parlemen
dengan sendirinya sudah dapat melakukan pengawasan. Tapi karena pada prakteknya
sulit diwujudkan maka badan Pengawas Undang-Undang ini mutlak diperlukan, hal
ini supaya tidak terjadi penyimpangan dari norma-norma Islam. Demikian pula terhadap pemilihan kepala negara atau
presiden. Supaya tidak jatuh ke tangan orang-orang yang tidak bertanggung jawab
maka keabsahan pemilihannya sebagai presiden tergantung pada persetujuan wali
faqih atau ahli agama tertinggi yang dipercaya sebagai penguasa tertinggi. Hal
yang sama juga berlaku pada pengangkatan anggota Badan Yudikatif. Meskipun
pengangkatan Menteri Kehakiman dilakukan oleh parlemen dan pengangkatan anggota
Dewan Kehakiman Tertinggi oleh para hakim atau qadi itu sendiri, tetapi tetap
saja keputusan terakhir ada di tangan wali faqih. Dengan demikian dapat kita
simpulkan bahwa dalam negara Republik Islam atau negara Demokrasi Agama,
kedaulatan rakyat dan kedaulatan agama bergandengan dan menjadi satu. Inilah
yang kita sebut dengan wilayatul faqih. Di sini mungkin timbul beberapa pertanyaan. Pertama, jika
demikian yang dikehendaki oleh Islam, mengapa pemerintahan Nabi dan para Imam
tidak demikian? Nabi dan Imam Ali a.s. misalnya, mereka menunjuk langsung para
penguasa di daerah-daerah tanpa melibatkan orang banyak. Bahkan ketiga
kekuasaan : legislasi, eksekusi, dan yudikasi berada di tangan mereka
sekaligus. Selain itu tidak ada sama sekali kotak suara dan sebagainya.
Menjawab pertanyaan ini perlu ditegaskan, terdapat perbedaan antara Nabi dan
Imam dengan yang lainnya. Nabi SAWWW dan para imam a.s. adalah orang-orang yang
ma'shum, disucikan Tuhan dan dijamin kebenarannya, sementara yang lain tidak.
Cara pandang kita terhadap seorang wali faqih tidak sama dengan Nabi atau Imam.
Nabi atau Imam punya perhitungannya sendiri yang berbeda dengan wali faqih.
Nabi dan para Imam melakukan musyawarah misalnya, tapi musyawarah yang mereka
lakukan tidak berarti untuk melepas sikapnya jika berbeda dengan pendapat orang
lain. Tetap saja kata terakhir ada pada Nabi SAWWW atau imam a.s. Selain itu,
situasi dan kondisi pada masa Nabi SAWWW dan imam a.s. berbeda sekali dengan
apa yang kita hadapi dewasa ini. Ketika kita mengatakan ini tidak berarti bahwa
terdapat perselisihan antara aturan-aturan agama. Tapi yang dimaksud adalah
perbedaan cara penerapannya. Pertanyaan lain yang mungkin diajukan ialah : Jika
memperhatikan kaidah-kaidah fiqhiyyah, maka apa salahnya ketiga kekuasaan :
legislasi, eksekusi, dan yudikasi dipegang sekaligus oleh seorang faqih yang
memenuhi syarat? Dengan demikian maka bentuk pemerintahan yang dijalankan
adalah bentuk kedua, yaitu pemerintahan seorang shalih? Menjawab pertanyaan kedua ini perlu ditegaskan bahwa adalah
kewajiban seorang faqih yang memenuhi syarat memilih cara terbaik pelaksanaan
suatu hukum sesuai masanya, atau yang dalam istilah fiqihnya dikenal dengan
ungkapan "murâ’âtu ghibtah al-muslimin", memilih yang terbaik bagi
kepentingan kaum Muslimin. Maka jika ia memilih yang lain, yang tidak sesuai
dengan kepentingan kaum Muslimin, berarti ia melakukan kekeliruan, dan dengan
sendirinya telah kehilangan hak memimpin. Barangkali dari prinsip ini muncul pertanyaan, mana yang
lebih baik bagi wali faqih, mengangkat seseorang sebagai kepala pemerintahan
tanpa meminta persetujuan rakyat banyak atau melalui persetujuan rakyat, yaitu
melalui pemilihan umum, kemudian mengukuhkannya jika yang bersangkutan memenuhi
syarat untuk itu? Mana di antara dua cara ini yang lebih selamat dari
kemungkinan keliru? Mana yang lebih mendekati kebenaran? Bukankah seseorang
harus mengikuti mana yang lebih baik? Rakyat merupakan unsur yang paling
penting dalam negara. Maka jika faqih berjalan seiringan dengan rakyat,
bukankah itu lebih baik dan juga lebih diterima rakyat? Dengan demikian, dapat kita tarik kesimpulan bahwa antara
konsep wilayatul faqih dengan konsep kedaulatan rakyat tidak harus
berseberangan. Malah bersatu dan berjalan seiringan. yang dengan sendirinya
akan menepis segala bentuk kediktatoran dan kesemena-menaan. Wilayatul faqih
bukan kehendak faqih. Pemahaman ini keliru besar dan melahirkan kesan
seakan-akan Islam bertentangan dengan demokrasi. Sama sekali tidak demikian.
Faqih memang memiliki otoritas besar, tetapi bukan otoritas absolut. Otoritas
faqih terikat pada norma-norma Islam dan dibangun atas dasar kepentingan umat.
Dari mana faqih mendapatkan otorifas ini? Sudah barang tentu setiap kekuasaan
atau pemerintahan harus mendapat mandat atau wewenang dari Allah SWT. Bahkan pemerintahan Rasul sekalipun, jika tidak berdasarkan
pada wewenang dari Allah, maka pemerintahannya ilegal. Karena itu Allah telah
memerintahkan Nabi Muhammad SAWW untuk membentuk pemerintahan. Namun Nabi SAWW
baru dapat melakukannya setelah hijrah ke Madinah, yaitu sesudah semua syarat
untuk itu terpenuhi. Setelah Nabi SAWW wafat, maka mandat pembentukan
pemerintahan ini jatuh pada Imam-Imam pengganti beliau. Oleh karena itu Syi'ah
meyakini bahwa wewenang membentuk pemerintahan dewasa ini berada di tangan Imam
Mahdi a.s. Akan tetapi karena Imam Mahdi as. ghaib, sementara tidak mungkin
umat Islam tanpa pemerintahan yang mengatur urusan mereka sendiri, maka
wewenang itu kemudian dilimpahkan kepada para fuqaha (kata jamak : faqih), yang
telah memenuhi syarat. Imam Mahdi a.s. sendiri yang melimpahkan mandat itu
kepada para fuqaha. Seseorang yang bernama Ya'kub Ibn lshaq bertanya
kepada Imam Mahdi a.s. tentang kepada siapa mereka merujuk pada masa ghaibah,
masa sesudah Imam Mahdi a.s. ghaib. Imam Mahdi a.s. menjawab: "Adapun peristiwa-peristiwa
yang terjadi, maka kembalikanlah kepada perawi hadis kami (fuqaha) karena
mereka adalah hujjah bagiku dan aku adalah hujjah bagi Allah SWT." Dalam salah satu kesempatan Imam
Ja'far Shadiq a.s. berkata: "Maka
mereka berdua (orang yang sedang bertikai -- pen.) hendaknya mencari siapa di
antara kamu yang telah meriwayatkan hadits kami, meneliti yang halal dan haram
serta memahami hukum-hukum kami, kemudian hendaknya mereka menjadikannya
sebagai hakim, pemutus perkara, karena aku telah mengangkat mereka sebagai
hakim." Selain kedua riwayat di atas, terdapat beberapa riwayat lain
yang secara langsung atau tidak langsung telah menunjuk faqih sebagai pemegang
mandat pembentukan pemerintahan pada masa ghaibah. Terlepas dari semua itu, keharusan adanya kekuasaan yang
mengatur umat adalah sesuatu yang tidak dapat diingkari. Tapi siapa yang paling
berhak menduduki posisi tertinggi itu? Melihat persyaratan yang dituntut untuk
jabatan kekuasaan tertinggi dalam Islam, maka yang paling pasti di antara yang
ada adalah kaum fuqaha, dalam arti, orang yang ahli dalam urusan-urusan yang
menyangkut Islam, mampu mengatur negara, dan tahu akan perkembangan zaman. Ayatullah Nasir Makarim Syirazi Index >> Daftar Isi |