Akal dan Konsep KetuhananMeskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah fithri yang
tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia
yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa
kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya,
cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam. Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ? Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja
Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi
hal itu harus dibuktikan dengan akal dan tidak mungkin melakukan pembuktian
tanpa akal. Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya
dengan nash saja adalah anggapan sangat naif. Karena bagaimana mungkin
seseorang menerima keterangan Al-Qur’an, sementara dia belum mempercayai wujud
(keberadaan) sumber Al Quran itu sendiri Al-Qur’an, yaitu Allah Ta’ala. Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al Quran
lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal ini
berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan
Al-Qur’an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah ? Mereka menjawab, “Karena Al Quran mengatakan demikian.” Maka
terjadilah daur (Lingkaran setan ?, lihat istilah daur pada pembahasan
selanjutnya). Dalam hal ini, Al Quran dijadikan sebagai pendukung dan penguat
dalil aqli. Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan
menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau
pendekatan filosofi. Pada kesempatan ini, insya Allah kami mencoba menjelaskan
keduanya secara sederhana dan ringkas. Burhan-burhan Aqli-kalami
tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala
1.Burhan Nidham (keteraturan)
Burhan ini dibangun atas beberapa muqadimah (premis).
Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang
hidup maupun yang mati. Kedua, bahwa alam bendawi (tabiat) tunduk kepada satu
peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari
pengaruh undang-undang dan hukum alam. Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum
kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti
dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa
sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya,
termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah puncak sebab
(prima kausa atau illatul ilal). Keempat, “sebab” atau illat yang mengadakan seluruh alam
raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu “sebab” yang berupa benda
mati atau sesuatu yang hidup. Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan
berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan
penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya adalah
sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan,
merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin
disifati hebat, pandai dan mampu. Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan
bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian
dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah menusia
yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?. Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai ‘’sebab’’ atau
‘illat, dan ‘’sebab’’
tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala
sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala. 2. Burhan al-Huduts (kebaruan)
Al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah
tidak ada kemudian ada. Burhan ini terdiri atas beberapa hal : Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari
tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi. Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada,
tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena ‘’sebab’’
sesuatu. Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu
yang qadim, yakni
keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan
abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada
yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini
mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah
mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala. Burhan-burhan Aqli-filosofi tentang
keniscayaan wujud Allah Ta’ala.
A. Burhan Imkan
Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa poin sebagai berikut
ini: Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud,
yaitu wajib atau mumkin. Kedua, wujud
yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada
wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan
kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak
berujung) dan keduanya mustahil. Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan
demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang
wajib dengan sebutan Allah Ta’ala. B. Burhan Ash-Shiddiqin Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan
dari ungkapan Ahlul Bayt as. yang berbunyi, “Wahai Dzat yang menunjukkan
diri-Nya dengan diri-Nya.” (Doa Shahabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib
as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud
diri-Nya sendiri. Para ahlui mantiq (logika) menyebutnya dengan burhan Limmi.
Penjelasan burhan ini, hampir sama dengan penjelasan burhan Imkan. Ada beberapa penafsiran tentang burhan shiddiqin ini.
Diantaranya penafsiran Mulla Shadra. Beliau mengatakan, “Dengan demikian, yang
wujud terkadang tidak membutuhkan kepada yang lain (mustaghni) dan terkadang
pula, secara substansial, ia membutuhkan kepada yang lain (muftaqir). Yang
pertama, adalah wujud yang wajib, yaitu wujud murni. Tiada yang lebih sempurna
dari-Nya dan dia tidak diliputi ketiadaan dan kekurangan. Sedangkan yang kedua,
adalah selain wujud yang wajib, yaitu perbuatan-perbuatan-Nya yang tidak bisa
tegak kecuali dengan-Nya (Nihayah al-Hikmah, hal. 269). Allamah al-Hilli, dalam komentarnya terhadap kitab Tajrid
al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, “Di luar kita secara pasti ada yang
wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan
jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk
keberadaannya). Jika faktor itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah
Ta’ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain
dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya[]. Index >> Daftar Isi |