Wilayat Al-Faqih : Sebuah KeharusanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 M. Husein
Pandangan
Akal "Tentu saja, adalah jauh dari akal kalau Tuhan
menjadikan seorang yang jahil, dhalim, dan fasik sebagai wali dan hakim
muslimin; sebagai penanggungjawab jiwa dan harta benda mereka serta
memperhatikan dengan penuh jiwa dan harta masyarakat. Adalah jauh juga dari
akal bahwa undang-undang seperti itu akan dilaksanakan. Kecuali bila berada di
tangan alim dan adil." (Imam Khomeini qs, Kitab Bai', j.2 h.465). Karena hukumah (pemerintahan) Islam adalah pemerintahan
undang-undang Ilahi, maka adalah niscaya, berdasarkan akal, adanya seorang
faqih dan adil, di samping undang-undang tersebut. Sehingga undang-undang Ilahi
tersebut dapat berjalan sebagaimana mestinya dan terhindar dari penyelewengan.
Kalau tidak demikian, undang-undang tersebut akan jatuh ke tangan orang yang
tidak bertakwa atau tidak ahli dalam masalah fiqh; yang kemudian menafsirkan
dan menjelaskan segala sesuatunya berdasarkan kemauan dan hawa nafsunya
sendiri, sehingga bermuara pada penyelewengan. Karena tujuan daripada undang-undang tersebut adalah
mengantarkan masyarakat manusia kepada kesempurnaan (Allah), maka wali al-faqih
haruslah memiliki kesempurnaan maknawi. Dari sisi keberadaannya, ia adalah
orang yang paling dekat kepada Allah, setelah Rasulullah saww dan para imam as.
Inilah makna daripada wali. Karenanya, keberadaan wali al-faqih, berdasarkan
akal, merupakan keniscayaan dan keharusan. Mencegah
Kediktatoran Orang-orang yang tidak mengetahui tujuan Islam pasti akan
mengira bahwa wilayat al-faqih merupakan sebuah bentuk kediktatoran. Padahal,
sebenarnya ia mencegah munculnya kediktatoran. Justru bila tidak ada wilayah
al-faqih, maka yang muncul adalah pemerintahan tiran. Hukumah Islam adalah pemerintahan perundangan Ilahi,
Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam pemerintahan seperti ini, Rasulullah saww dan
Amirul Mukminin as pun menaati dan mengikuti undang-undang tersebut. Mereka
tidak bisa menyeleweng, bahkan hanya untuk satu langkah pun. Allah berfirman:
"Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama)
Kami, niscaya benar-benar Kami pegang ia pada tangan kanannya. Kemudian
benar-benar Kami potong urat-tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada
seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi
itu." (QS Al-Haaqah 44-47). Tidak ada kediktatoran dalam Islam. Mereka yang hendak
menjadi penjaga Islam tetapi kemudian menjadi diktator, maka, berdasarkan hukum
Islam, ia jatuh. Wilayah
al-Faqih dalam Riwayat Ketika ghaib-nya Imam Mahdi as, apa kewajiban (taklif) umat
Islam, dan mereka harus ruju' (kembali) kepada siapa dalam menghadapi
masalah-masalah? Berdasarkan riwayat yang diterima dari Umar bin Khantalah,
Imam Ja'far as bersabda: "Dalam perbedaan/perselisihan riwayat hadits
kami, harus kembali kepada mereka yang mengetahui halal-haram berdasarkan
kaidah hukum kami, atas pertimbangan akal dan syari'at." Maka dengan
demikian, ulama terpilih sebagai pemerintah: "Sesungguhnya telah kujadikan
kalian sebagai hakim (pemerintah)." Dan mereka yang memiliki syarat ini,
telah terpilih dari sisi kami untuk permasalahan pemerintahan dan pengadilan
muslimin; dan muslimin tidak memiliki hak untuk ruju' selain dari mereka. Dalam Shahih Qaddah dan riwayat Abu Bukhtara disebutkan:
"Al-ulama waratsatul anbiya'". Tidak diragukan lagi bahwa masalah
wilayah berdasarkan pandangan akal --seperti harta warisan yang dapat
dipindahkan dari satu orang kepada yang lain-- adalah dapat dipindahkan. Bila seseorang memperhatikan ayat suci ini: "An-Nabi
awla bilmukminin min anfusikum." Dan mengetahui riwayat ini:
"Al-ulama waratsatul anbiya.", maka akan memahami tentang hal
i'tibariyah ini yang, berdasarkan akal, dapat dipindahkan. Dalam Qawaid Naraqi hal. 186, dari Fiqh Ridhawi, diriwayatkan:
"Maqam (posisi) faqih di zaman ini seperti posisi anbiya Bani Israil.
Umumnya riwayat ini memahamkan kita bahwa masalah pemerintahan dan wilayah bagi
masyarakat yang dimiliki Nabi Musa as, adalah juga ada pada fuqaha. Amirul Mukminin bersabda: "Rasulullah bersabda: Ya
Allah, rahmatilah para khalifahku." Kata-kata ini diulang sampai tiga
kali. Ditanyakan kepada beliau: "Siapa khalifah Rasulullah."
"Mereka yang sesudahku mengutarakan hadits dan sunnahku, mereka yang
mendidik umat (masyarakat) sesudahku." Tidak diragukan lagi bahwa khalifah di sini adalah dalam
semua masalah kenabian, bukan hanya dalam menjelaskan masalah-masalah. Dalam sebuah riwayat, Imam Musa bin Ja'far bersabda:
"Fuqaha adalah benteng Islam, sebagaimana benteng melindungi kota." Apakah faqih yang duduk di dalam rumah bak harta karun dan
tidak ikut terlibat dalam permasalahan kemasyarakatan muslimin serta tidak
memperhatikan urusan mereka, dapat digolongkan sebagai benteng Islam? Merekakah
penjaga Islam? Imam Shadiq as, dari Rasulullah saww bersabda: "Fuqaha
menjadi kepercayaan dan menjadi penerima amanat Rasul ketika mereka tidak
memasuki (ketamakan, kelezatan, dan kekayaan) duniawi." Ditanyakan kepada
beliau: "Wahai Rasulullah, masuknya mereka ke dalam dunia itu bagaimana?"
Beliau menjawab: "Mengikuti kekuatan pemerintah. Karena itu, apabila
mereka telah berbuat begitu, maka mereka akan takut kepada agamamu dan
menghindarkan diri." Berdasarkan hukum akal dan kewajiban-kewajiban agama, tujuan
dari bi'tsah (pengutusan) dan tugas Nabi, bukan hanya sebagai pembicara;
sehingga dapat dikatakan ketika ia meletakkan amanatnya kepada fuqaha (yang
dipercaya), adalah berarti bahwa dipercaya dalam menyampaikan masalah (juru
bicara) saja. Pada hakikatnya, kewajiban anbiya adalah menegakkan sebuah sistem
kemasyarakatan yang adil, dengan menjalankan undang-undang dan hukum Ilahi. Rasul terkena kewajiban untuk melaksanakan hukum dan
menegakkan sistem islami, dan ia ditentukan Allah sebagai pemimpin dan hakim
(pemegang hukum) bagi muslimin; menaatinya adalah wajib. Maka faqih adil
seharusnya menjadi hakim dan melaksanakan hukum serta membentuk sistem
masyarakat Islam. Dalam sebuah riwayat dari Imam Ridha as dikatakan:
"Bagi masyarakat diperlukan imam yang berdiri (bangkit memimpin), penjaga
dan dipercaya." Dalam riwayat sebelumnya, dikatakan bahwa fuqaha adalah
orang yang dipercaya Rasul. Dengan sughra dan kubra (premis minor dan mayor)
ini, dapat disimpulkan: fuqaha harus menjadi pemimpin masyarakat, sehingga
tidak membiarkan Islam hancur dan hilang hukum-hukumnya. Dalam kitab: Akmal ad-Din wa Itmam an-Ni'mah, Ishaq bin
Ya'kub menulis surat kepada Wali Ashr (Imam Mahdi) as tentang masalah yang
ditanyakan kepadanya, dan Muhammad bin Utsman (wakil Imam Mahdi)
menyampaikannya. Jawaban surat tadi dikeluarkan dengan tulisan Imam sendiri:
"Dan peristiwa-peristiwa yang terjadi (kemasyarakatan), kembalilah kepada
rawi hadits kami. Karena mereka adalah hujjah bagi saya, dan saya adalah hujjah
Allah." Hujjah Allah adalah seorang yang ditunjuk oleh Allah untuk
mengerjakan sesuatu pekerjaan. Semua pekerjaan, tindakan, dan kata-katanya
adalah hujjah bagi muslimin. Apabila seseorang menyeleweng darinya, maka ia
harus bertanggung jawab (memberikan alasan dan jawaban/dalil). Apabila sebuah
pekerjaan telah diperintahkan, maka kerjakanlah. Hudud harus dilaksanakan.
Ghanimah, zakat, dan sedekah harus dialokasikan dengan tepat. Bila kalian
menentang dan menyeleweng, maka Allah akan meminta pertanggungjawabannya di
hari kiamat nanti. Bila hujjah telah ada, tetapi masih berpaling kepada sistem
yang dhalim dalam menyelesaikan permasalahan, maka Allah akan meminta
pertanggungjawabannya. Padahal, Saya telah menentukan hujjah bagi kalian,
tetapi mengapa kalian tetap kembali kepada kedhaliman dan peradilan penindas. Hari ini, fuqaha Islam, bersumber dari Imam as, menjadi
hujjah bagi masyarakat. Semua hal dan urusan-urusan muslimin telah diberikan
kepada mereka: pemerintahan, berjalannya urusan muslimin, mengambil dan
menggunakan harta umum. Barangsiapa menentang/menyeleweng, maka di hari kiamat
nanti harus bertanggungjawab kepada Allah. Sebagaimana, Rasulullah adalah
hujjah Allah dan semua pekerjaan/hal diserahkan kepadanya. Barangsiapa yang
menyeleweng, maka ia harus bertanggungjawab kepada Allah. (Imam Khomeini, Kitab
Bai', j. 2 h. 467-476). Karena itu, wahai kalian (ulama dien), dukunglah kami dengan
tujuan ini. Bangkitlah atas tekanan penguasa yang sedang menindas kalian dan
mereka yang berusaha memadamkan api kerasulan. Cukup bagi kami Allah Yang Esa.
Kepada Dia kami bersandar. Kepada Dia kami menuju. Nasib ada di tangan-Nya dan
kembali kepada-Nya. (Imam Khomeini, Wilayat Faqih, h. 148-154: Khutbah Imam
Husain). Syarat
Wali al-Faqih Ketika pemerintahan Islam adalah pengaturan Ilahi, yakni
pemerintahan Islam adalah untuk melaksanakan undang-undang dan mengamalkan
keadilan Ilahi di tengah-tengah masyarakat, maka wali al-faqih haruslah
memiliki dua sifat dasar. Keduanya merupakan dasar pemerintahan undang-undang
yang tanpanya, menurut akal, pemerintahan Islam tidak akan terbentuk. Keduanya
adalah: pertama, ilmu terhadap undang-undang tersebut, dan, kedua, keadilan
('adalah). Tentunya, ilmu tersebut dalam artian yang luas, yang
mencakup permasalahan: 1. Kifayah (memenuhi standar kepemimpinan, leadership). 2. Shalahiyat (berkelayakan untuk memimpin). Hal itu tidak mungkin ditinggalkan bagi seorang hakim,
sehingga dapat dijadikan kriteria ketiga bagi pemimpin. Tentunya, pemimpin
dalam artian adil juga mencakup hal yang positif dalam artian akal, seperti
berani, melaksanakan tradisi dan perundangan agama, atau keluarnya sifat-sifat
negatif akhlak, seperti bakhil dan menerima raswah (sogok). Sebenarnya, dua dasar sifat tersebut telah merupakan hal
yang musalam (disepakati), yang sudah harus ada pada pemimpin Islam. Jadi,
pemimpin Islam harus faqih dan adil. Kewajiban
Kifa'i Membentuk Pemerintahan Faqih merupakan orang yang paling bertanggungjawab atas
wilayah dan penjagaan muslimin. Menegakkan pemerintahan Islam merupakan
kewajiban kifayah bagi semua fuqaha adil. Ketika seseorang faqih berhasil
membentuknya, faqih yang lain wajib mengikutinya. Dan bila tegaknya suatu
pemerintahan memerlukan kelompok fuqaha, mereka harus bersama berusaha
menegakkannya. Apabila kemungkinan untuk menegakkannya tidak ada, kewajiban
tidaklah jatuh. Sekalipun penegakannya terhalang, maka ketika itu, setiap
mereka memiliki wilayah terhadap muslimin. Mereka dapat menggunakan fasilitas
Baitul Mal agar dapat melaksanakan hudud, undang-undang pidana, termasuk juga
perekonomian wilayah dan pemerintahan yang menyangkut kehidupan muslimin. Kewajiban
Wali al-Faqih * *Menghilangkan kebatilan dan memastikan terlaksananya
kebenaran. * Menyelamatkan madhlumin (yang tertindas) dari penindasan
dhalimin (penindas). * Tidak diam atas perbedaan masyarakat (dhalim-menindas dan
lemah-ditindas) * Mengembalikan dan meletakkan pada tempatnya dasar cahaya
agama. * Perbaikan pada kelalaian sehingga perjalanan syariat pada
posisinya. * Menegakkan pemerintahan. * Tidak untuk mencari kekuatan politik, kenikmatan dunia,
atau pendapatan lebih. * Memperhatikan permasalahan ibadah fiqhiyah, siyasah,
iqtishadiyah, dan hak-hak Islam. * Menghilangkan kesalahpahaman terhadap Islam. |