Tragedi KarbalaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh : Ust. Husein Alkaff
Dalam tragedi Karbala atau Asyura banyak pelajaran dan
hikmah yang bisa dipetik dan sekaligus diaplikasikan dalam kehidupan kita
sehari-hari. Sebenarnya kejadian di padang Karbala, merupakan refleksi
kehidupan manusia, karena salah satu peran yang ditampilkan disana adalah
pengorbanan sejumlah manusia untuk sebuah tujuan yang sangat tinggi dan suci,
yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Manusia sebagai makhluk yang ciri
khasnya adalah bersosial, tidak lepas dari pengorbanan. Peristiwa pertama adalah masalah pengorbanan. Berkorban itu
penting sekali, artinya manusia ini dalam kehidupan mesti berkorban. Seorang
Ayah artinya berkorban untuk atau demi sesuatu yang dia cintai, yang dia
sucikan, itu adalah kenyataan dari kehidupan manusia ini. Seorang Ayah dia
pasti mencintai istrinya. Seorang Ayah juga mencintai anaknya, jelas dia
berkorban demi istrinya, demi anaknya. Dia keluar memeras keringat, banting
tulang, demi istri dan anak, ini pengorbanan. Kita lihat para TKW atau TKI
pergi ke luar negeri, meninggalkan kerabat dan kampung halaman, hanya untuk
suatu pengorbanan. Pengorbanan ini mungkin demi istri, demi anak atau malah
sebagian demi suami. Orang meninggalkan keluarganya bertahun-tahun, mungkin
berhari-hari demi keluarganya. Atau sebaliknya orang yang karena cinta dunia
mengorbankan keluarganya. Karena mencintai karir atau jabatan, akhirnya istri
dan anaknya ditelantarkan. Dia kurang mendekati istrinya, dia menelantarkan
istrinya, kasih sayang kepada anaknya juga dikurangi demi karir atau jabatan.
Bahkan dia korbankan istri dan anaknya demi karir, demi prestise, atau
kedudukan sosial. Dia harus berpahit-pahit demi yang dia cintai. Pengorbanan adakah suatu hal yang alami. Kehidupan ini juga
bukan lain adalah pengorbanan. Jadi pengorbanan adalah hal yang thabi’i atau hal yang manusiawi, yang tidak
bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Kita pilih apa yang kita cintai atau
apa yang kita utamakan, sedangkan semua yang lain kita korbankan. Nah, Islam
menjelaskan apa yang mesti kita korbankan, untuk apa kita berkorban. Para Nabi
datang, para Imam diangkat, dalam rangka menjelaskan, "Wahai manusia
pengorbanan yang kalian persembahkan seharusnya untuk Allah SWT.." Istri
kita korbankan, anak kita korbankan, harta kita korbankan, malah nyawa pun kita
korbankan demi Islam, demi kebenaran, demi Allah SWT.. Inilah yang hendak
dijelaskan oleh Rasulullah saw.. Inilah yang ingin disampaikan oleh Imam Husein
as. yang kita peringati hari wafatnya setiap 10 Muharram. Beliau mengorbankan
semuanya demi kebenaran. Al-Quran yang mulia menjelaskan ada seorang manusia yang
luar biasa, yang mengorbankan apa pun demi Allah, demi hak, demi kebenaran,
yaitu Nabi kita Ibrahim as. Bapak para Nabi, penghulu kaum monotheis, kaum
muwahhidin. Allah SWT. menyebut Ibrahim as. dengan sebutan yang indah sekali
dan melestarikan namanya dalam Al-Quran. Juga semua perbuatan Ibrahim itu
dilestarikan melalui ibadah haji. Atas semua pengorbanan beliau, Allah
memberikan satu bonus yang paling tinggi yaitu Imamah, kepemimpinan. Allah
berfirman, "Ingatlah
ketika Allah menguji Ibrahim dengan beberapa kalimat." Para ahli tafsir menjelaskan kata
‘kalimat’ di sini adalah berarti, ujian. Allah telah menguji Ibrahim dengan
berbagai ujian, dan Ibrahim mampu menyelesaikannya dengan sempurna. Allah menguji
Ibrahim dengan bermacam-macam ujian, dan banyak sekali, berpuncak pada perintah
untuk mengorbankan putranya Ismail. Ibrahim as. ingin mempunyai seorang anak. Beliau mengadu
kepada Allah, "Ya Allah tulangku sudah rapuh dan rambutku sudah mulai
beruban, berilah aku keturunan." Lalu Allah memberi beliau seorang
putra bernama Ismail yang melalui Siti Hajar. Sangat girang sekali Ibrahim
mendapatkan karunia anak. Di tengah kegembiraannya mempunyai anak, dia
diperintahkan oleh Allah untuk hijrah ke Palestin dan meninggalkan istri dan
anaknya di sebuah lembah yang tidak ada tumbuh-tumbuhan, yang kering kerontang,
di dekat Kabah yaitu Mekah. Ibrahim diperintah oleh Allah untuk meninggalkan
Siti Hajar beserta bayi yang masih kecil di sebuah tempat yang tidak ada tumbuh-tumbuhan,
tidak ada air. Kalau kita mungkin tidak akan mau. Istri ditinggalkan tanpa ada
makanan, tanpa ada air. Tapi ini adalah perintah Allah. Ibrahim as. taat karena
perintah tersebut dari Allah. Kecintaan Ibrahim as. kepada Allah melebihi kecintaan
kepada istri dan anak. Ini pengorbanan yang sangat besar. Saya kira diantara
kita tidak ada yang sanggup sama sekali seperti Nabi Ibrahim, kecuali jika kita
sudah sampai pada derajat Nabi Ibrahim. Setelah dari Palestin kembali ke Mekah, kerinduan kepada
anaknya luar biasa. Ibrahim as. bertetemu Ismail yang sedang lucu-lucunya.
Ketika meluapkan rasa rindu dan kangennya kepada Ismail, Ibrahim as. bermimpi,
di daslam mimpi tersebut Ibrahim as. menerima wahyu untuk menyembelih Ismail.
Ini ujian lain yang lebih berat. "Wahai putraku," kata
Ibrahim, "aku bermimpi menyembelihmu, bagaimana pendapatmu".
Tapi mimpi Ibrahim adalah wahyu, yang berbeda dengan mimpi kita. Ismail pun
bersedia disembelih. Allah ingin menguji sejauh mana kecintaan Ibrahim, apakah
dia lebih cinta kepada Allah atau kepada Ismail. Ternyata bagi Ibrahim Allah
adalah segalanya. Ismail dikorbankan demi Allah SWT.. Ini adalah pengorbanan
yang maha dahsyat, berat dan tidak mudah. Ibrahim mengerjakan dengan mudah
karena mencintai Allah melebihi segalanya. Inilah pengorbanan yang hakiki,
pengorbanan yang benar. Oleh karena itu Allah mengabadikan Ibrahim as. dalam
Al-Quran dan semua perbuatan Ibrahim diabadikan oleh seluruh agama samawi.
Semua agama samawi mengklaim sebagai pengikut Ibrahim. Kaum Yahudi berkata,
kamilah pengikut Ibrahim. Kaum Nasrani mengaku kamilah pengikut Ibrahim dan
kita orang Islam pun mengklaim sebagai pengikut Ibrahim, karena bangga menjadi
pengikut Nabi Ibrahim. Sekarang peringatan manasikul
hajj ini simbol tentang
perjuangan dan pengorbanan Ibrahim. Demikian pula kita selama ini, dalam
memperingati Asyura yang merupakan lambang dari sebuah pengorbanan yang
dipersembahkan oleh cucu Rasulullah saaw kepada Allah SWT.. Dia mengorrbankan
anaknya yang paling kecil sekalipun, yang masih bayi menyusui dikorbankan dan
terakhir nyawanya sendiri dikorbankan demi kebenaran, demi keadilan, demi Allah
SWT., itulah peristiwa Asyura. Pengorbanan memang perlu perjuangan, tidak
mudah, orang mungkin berkorban sesuai dengan kemampuan masing-masing. Orang
yang mungkin berpenghasilan seratus ribu sebulan, kalau dia mengorbankan lima
puluh ribu rupiah mungkin sangat berat. Kalau yang berpenghasilan jutaan rupiah
lalu berkorban lima puluh ribu, bukanlah suatu pengorbanan namanya. Allah berfirman, "Kalian
tidak akan pernah mendapatkan birr (kebaikan) sampai
menginfaqkan, mengorbankan apa yang kalian cintai." Ini berat, kalau orang cinta
kepada anak, kepada istri lalu harta dikeluarkan belum berkorban namanya, bukan birr karena dia lebih mencintai anaknya.
Kalau orang mencintai harta dia korbankan istrinya, bukan birr namanya karena dia mencintai harta
ketimbang istrinya. Mungkin sekarang ada orang yang demi mengejar karir dia
rela mengorbankan istri dan anaknya. Berjam-jam di luar, istri dan anaknya
ditinggalkan di rumah demi karir. Saya yakin berkorban demi kecintaan kepada
dunia sampai rela meninggalkan istri dan anak itu bukan birr namanya. Sementara al-Husain, beliau
mengorbankan, menginfaqkan apa yang dia cintai demi al-birr, demi
kebaikan, demi Allah SWT., ini berat sekali. Tentu saja di sini, saya tidak
bermaksud menghimbau Anda, hanya ingin menceritakan bahwa inilah peristiwa
Asyura, dan jangan mengartikan bahwa saya telah berkorban, tidak demikian. Saya
keberatan jika sebagai penceramah dianggap telah melaksanakan apa yang telah
disampaikan. Mari kita sama-sama belajar dari madrasah Asyura. Kita belajar
dari universitas Karbala sekarang ini, belajar dari beliau, Imam Husayn bin
‘Ali as.. Saya belajar, juga anda semua. Tidak hanya anda saja yang belajar,
lalu saya tidak, kita sama-sama belajar dan berusaha. Pengorbanan itu tidak
mudah, tapi kita mesti mencoba semampu kita. Lihatlah Al-Husain as., dia mengorbankan semuanya. Dia
mengorbankan kerabatnya. Dia korbankan anaknya dan dia korbankan nyawanya. Mana
yang paling berat, semuanya berat yang bergantung pada yang kita cintai.
Mungkin ada orang yang lebih mencintai anaknya ketimbang dirinya sendiri. Ada
tidak ?, tentu banyak. Sering kita dengar, "dari pada anak saya sakit
lebih baik saya yang sakit," ada yang berpikiran begitu. Berarti dia lebih
mencintai anaknya ketimbang dia sendiri, artinya dia siap sakit, siap mati,
yang penting anaknya sehat dan hidup. "Biarlah saya yang mati, atau
sengsara dari pada istri saya yang sengsara," berarti dia lebih mencintai
istri ketimbang dirinya sendiri. Jadi mengorbankan diri sendiri lebih mudah
ketimbang mengorbankan anak, istri dan biasanya inilah yang sering terjadi. Ada
orang yang cinta kepada binatang, dia pelihara binatang tersebut. Dia sendiri
tidak mengurus dirinya, bahkan rasa lapar dilupakannya, karena asyik dengan binatang
piaraannya. Artinya dia mengorbankan dirinya demi binatang piaraannya. Ini
adalah realita kehidupan kita sekarang ini. Kita lihat bagaimana Al-Husain as, semua tindakannya, telah
beralih kepada kecintaannya kepada Allah yang merupakan tindakan pengorbanaann.
Dia mengorbankan anaknya, agar tidak sampai anaknya lebih dia cintai ketimbang
Allah Ta’ala. Dia korbankan para sahabat setianya. Dia korbankan negerinya
Madinah. Dia korbankan hartanya, jelas. Dan terakhir dia korbankan nyawanya.
Semua perkara yang kira-kira dapat menyedot perhatian dia, dia korbankan demi
Allah Ta’ala. Itulah Karbala, itulah Asyura. Tanpa ingin membanding-bandingkan
dan agar tidak disalah pahami. Kalau Nabi Ibrahim as. mengorbankan putranya
lalu diganti dengan domba, tapi di Karbala Al-Husain as. mengorbankan anaknya
apakah diganti dengan seekor domba. Mana yang lebih berat. Jawabannya terserah
masing-masing. Jadi pengorbanan Al-Husain jauh lebih berat dari pada
pengorbanan kakeknya Nabi Ibrahim as. Ini jelas, Nabi Ibrahim diganti seekor
domba, tapi Al-Husain as. mengorbankan anak yang masih kecil Abdullah Arrodhi.
Dia angkat tangannya berilah air, datang anak panah menusuk sampai tembus ke
lehernya, sehingga menjadi korban tanpa diganti dengan seekor domba. Ini
pengorbanan. Oleh karenanya para Nabi as. jauh hari telah merayakan, telah
memperingati Asyura. Nabi Nuh, Nabi Adam sekalipun, Nabi Ibrahim jauh-jauh hari
telah merayakan peristiwa Asyura. Mereka tahu akan terjadi sebuah pengorbanan
yang sangat besar, yang tidak pernah dikerjakan oleh siapapun di dunia ini,
hatta Nabi Ibrahim as. Itu Asyura, mereka ingin mendaftarkan diri menjadi
pasukan Al-Husain as. Dan juga jawaban yang lain, mengapa, apakah memperingati
Asyura bid’ah? seribu tidak. Rasulullah saaw telah memperingati Asyura. Ketika Sayyidah Fatimah melahirkan Al-Husain dalam perut
bayi itu ada ludah Rasulullah saaw, ludah yang suci. Beliau memangkunya sambil
menangis tersedu-sedu. Datang pembantunya, "Ya Rasulullah mengapa anda
menangis, apa yang menyebabkan anda menangis ? " Nabi menjawab, "Wahai
Fulanah tadi Jibril datang kepadaku, dia mengatakan bahwa putraku ini yang baru
lahir sekarang ini nanti akan dibunuh oleh orang-orang yang mengaku sebagai
pengikutku." Beliau menangis, beliau sebutkan bahwa itu akan dibunuh
di padang Karbala. Itu Rasulullah sudah meratapi, memperingati, apa yang akan
dialami oleh cucunya atau bayi yang baru lahir tersebut. Lalu Nabi bertanya
kepada Ali as, "Wahai Ali apakah anda telah menamainya ?"
Ali menjawab, "Aku tidak akan mendahuluimu dalam memberinya nama. "
Nabi menjawab, "Namailah Husain." Dan juga riwayat yang lain, Ummu Salamah ra. juga oleh Nabi
diberi botol yang berisi tanah dari Karbala. "Wahai Ummu Salamah ini
adalah tanah Karbala yang dibawa oleh Jibril untukku, kau simpanlah. Ketika
tanah ini menjadi darah atau warnanya merah, maka pada waktu itulah cucuku
Husain dibunuh." Jadi memperingati Asyura, menangis, meratapi wafatnya Imam
Husein as. adalah sunnah Rasulullah saaw yang dikerjakan ketika beliau masih
hidup. Jadi adanya kritikan dari pihak-pihak yang keberatan tadi, yang
dikatakan oleh ketua Yayasan Al-Mukaramah, jelas kritikan yang tidak berdasar
atau karena tidak mengetahui apa yang melatar belakangi peringatan Asyura. Jadi
banyak hikmahnya kita ambil dari lambang Asyura, dari peringatan Asyura, yaitu
pengorbanan. Pengorbanan untuk kebenaran, untuk Allah SWT., itu yang pertama. Yang kedua, berkorban itu jelas terpuji dan dianjurkan oleh
Islam. Tetapi Islam ingin menjelaskan ketika kita berkorban hendaknya berkorban
dengan ikhtiar, dengan merdeka, dengan bebas tanpa ada paksaan, itu yang indah
sekali. Kita berkorban untuk Allah Ta’ala, kita mengabdi kepada Allah tetapi
pengabdian yang kita persembahkan, pengorbanan yang kita haturkan untuk Allah
hendaknya dilandasi dengan kebebasan, dengan senang hati tanpa ada unsur
paksaan. Satu cerita menarik dari peristiwa Asyura ini, di malam
Asyura, di malam ke sepuluh Muharram. Malam sudah tiba, kegelapan telah
menyelimuti padang Karbala. Imam Husain as. memanggil para sahabat setianya.
Beliau mengatakan, wahai para sahabat setiaku, aku tidak menyaksikan sahabat
yang lebih setia dari kalian. Aku belum pernah lihat kerabat yang lebih baik
dari kalian. Kita bayangkan sebagaimana kaum muslimin tahu, ini pasukan kecil
yang akan menghadapi pasukan Yazid alaihi laknat. Konsekwensi berangkat ke
Karbala adalah mati, banyak orang yang mundur dari itu. Sahabat besar pun
semacam Abdullah bin Umar punya kebijakan, "Wahai Husain sebaiknya anda
tinggal di Mekah saja, tidak membaiat Yazid, juga tidak menolak, abstain, kan
aman." Ini prinsip dari Abdullah bin Umar. Aman sajalah kita bisa
da’wah tanpa harus menolak baiat yang jelas mati akibatnya dan juga tanpa
membaiat, karena baiat pada Yazid penguasa peminum khamar, kita diam-diam saja,
kan aman. Ada orang yang cari keamanan, tapi Imam Husein menolak. Memang aman
dan dia mungkin bisa ibadah dengan leluasa, dengan tenang tanpa akan diganggu
oleh penguasa. Tapi Al-Husain as. punya tanggung jawab agama yang besar, punya
amanat dari Allah SWT.. Andaikan beliau diam saja maka siapa yang akan berontak
melawan kedzaliman. Kalau beliau diam saja seperti sejumlah sahabat yang
lainnya, maka siapa yang akan membawa bendera keadilan, siapa yang akan membela
kebenaran. Orang bisa beralasan lihatlah Al-Husain pun diam, apalagi
kita. Mereka akan mencaci, "Lihatlah cucu Rasulullah, jelas-jelas Yazid
penguasa yang jahat, merusak agama, menyimpang dari sunnah Rasulullah,
Al-Husain saja diam, untuk apa kita berontak." Akan demikian sejarah akan
mengatakan, tapi beliau untuk menghilangkan pendapat demikian mesti berontak,
dengan resiko apapun harus beliau terima untuk membela kebenaran, sehingga
tidak ada alasan manusia untuk mundur, tidak berontak, tidak bergerak sama
sekali. Itulah pelajaran yang lain dari peristiwa Asyura. Nah kembali pada kisah tadi, pada malam kesepuluh Muharram
beliau mengumpulkan para sahabat setianya dan para kerabatnya. "Wahai para
sahabatku sekarang malam gelap kalian pulanglah ke Madinah, bawa masing-masing
pasangannya. Mereka para musuh hanya ingin membunuhku, mereka tidak ingin
membunuh kalian, pulanglah kalian saya ikhlaskan tidak usah berjuang, saya
tidak akan menuntut, mereka hanya menginginkan aku." Ini ikhtiar, tapi
bagaimana reaksi dari para sahabat beliau. "Wahai cucu Rasulullah, kalau
kami membiarkan anda berjuang sendirian, dimana akan kami letakkan mukaku di
hadapan Rasulullah saaw. Aku malu dengan kakekmu Rasulullah kalau kami
membiarkan anda berjuang sendirian." Ada yang menjawab, "Wahai cucu
Rasulullah andaikan aku dibunuh sekarang ini dan jasadku dicincang-cincang
sampai sekian bagian lalu Allah hidupkan lagi aku, aku berjuang lebih lagi
sampai tujuh kali." Artinya keikut sertaan para sahabat Al-Husain as.
semata-mata karena ikhtiar, bebas, tanpa paksaan. Padahal beliau membebaskan, mengikhlaskan,
kalian pulang dari Karbala. Mereka tidak mau, inilah sahabat yang hakiki. Berjuang membela Al-Husain tidak karena ancaman, bukan
karena tidak enak kepada cucu Rasulullah, tidak karena apa-apa, tapi karena
semata-mata bebas dan cinta kepada Al-Husain as. Lain dengan peristiwa Thorik
bin Ziyad, salah seorang panglima Bani Umayyah atau Abdullah bin Marwan. Ketika
dia mendarat di benua Eropa atau Konstantinopel, dia membawa pasukan Arab atau
pasukan Islam ke Eropa menyebrangi lautan mediterania. Setelah menyebrang
kapal-kapal dibakarnya. Habis kapal dibakar, sementara pasukan Romawi di
hadapan mereka. Thorik bin Ziyad berkata kepada pasukannya, "Wahai pasukan
Islam, wahai pasukan Arab, terserah kalian pulang ke Arab sana tapi tidak ada
kapal lagi. Ingin menyebrang lautan kalian mati dimakan ikan hiu atau perang
melawan pasukan Romawi." Ini pilihan pahit semuanya, jadi mereka berjuang
terpaksa. Tapi lain dengan Al-Husain as. memberi peluang kepada para sahabat
untuk pulang dan saya ikhlaskan, beda tidak, sangat beda sekali. Inilah hikmah
atau pelajaran dari madrasah karbala. Dan banyak lagi hikmah-hikmah yang dapat
kita ambil dari peristiwa Asyura Karbala. Nah kita dalam memperingati Asyura setiap tahun ini, sejauh
mana mengadakan evaluasi, koreksi terhadap diri kita. Sejauh mana kita
meneladani Al-Imam Husain as. Bukan saya memudahkan, tentu itu adalah
perjuangan, pengorbanan , tidak kita langsung berkata "Ah saya ikut Imam
Husain sekarang juga." Kita mesti bertahap-tahap, perlu pengenalan, perlu
pembersihan hati, perlu melepaskan ikatan-ikatan materi dan dunia. Kalau sudah
lepas dari ini semua mungkin orang bisa seperti para sahabat Imam Husain as.
Kalau kita masih dibebani cinta dunia, istri, anak dan materi, jangan harap
kita bisa seperti sahabat Imam Husein as. Inilah peringatan Asyura. Inilah perlunya kita memperingati
peristiwa tragis Karbala yang dialami oleh Imam Husein as. dan para sahabatnya.
Oleh karena itu mari kita sampaikan duka cita kita yang mendalam kepada
Rasulullah saaw. sebagai kakek Al-Husain as. Kepada Imam Ali bin Abi Thalib as.
sebagai ayahandanya. Kepada Sayyidah Fatimah Az Zahra as. sebagai ibundanya dan
kepada Imam Hasan as. sebagai kakandanya dan kepada Imam kita yang terakhir
Shahibuz Zaman Al-MahdiAjjalallahu Farajahu Assyarif dan kepada seluruh kaum muslimin
dimanapun berada, atas syahadah, wafatnya Imam yang kita cintai, Imam Husain
as. Akhirul kalam, Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh. (Ceramah ustadz Husein Alkaff pada peringatan hari
Asyura di pesantren Al-Mukaramah Bandung, ditranskrip oleh : Donny Somadijaya,
SH) |