Agama Mencerahkan KehidupanSejatinya, kontribusi agama dalam mencerahkan kehidupan
lebih luas dan mendalam dari apa yang akan dibahas dalam makalah ini. Pada
kesempatan ini, kami hanya akan jelaskan sebagian pengaruh menakjubkan dari
agama yang juga diterima dikalangan para ilmuan seperti Albert Einstein dan
selainnya. Agama Sumber Kesempurnaan Pengetahuan
Dalam ranah ide ketuhanan, alam semesta ini diciptakan oleh
Tuhan yang Maha Kuasa dan Mahamengetahui. Tuhan menciptakan alam ini
berdasarkan tatanan hikmah-Nya. Andai saja manusia mau merenungkan hal
tersebut, betapa banyak penemuan baru yang akan dihasilkan dan dicapai oleh
manusia. Di ranah yang berseberangan, ide materialisme berada vis � vis dengan pemikiran ini. Baginya, alam semesta terjadi secara
kebetulan. Pencipta alam, sama sekali tidak memiliki kemampuan, meskipun
sebesar akal balita. Maka segala yang dihasilkannya, tidak rasional. Dengan
demikian, pencipta tidak memiliki peran sedikit pun. Seorang fisikawan kawakan seperti Einstein, memandang agama
sebagai pemicu berbagai temuan pengetahuan, sebagaimana pengakuannya sendiri: �Saya begitu meyakini bahwa agama merupakan motor
penggerak terbaik dalam penelitian serta pengembangan pengetahuan. Hanya
agamalah yang mampu memompa semangat serta kerja keras di luar batas kemampuan
yang menyihir banyak ilmuan. Agama juga dapat membangkitkan motivasi luar
biasa, menjadi pengawal ilmu yang membimbing para pencetus teori. Bahkan, agama
mampu melahirkan kekuatan pembangkit yang bersumber dari fenomena menakjubkan
dan penemu sejati kehidupan.�[1] Keyakinan serta kecintaan apa yang mendorong Kepler dan
Newton hingga bertahun-tahun sanggup berada dalam kesendirian dan kesunyian
untuk menjelaskan kerumitan teori gaya gravitasi. Agama memberikan inspirasi
kepada manusia yang bertahun-tahun mengabdikan hidupnya di jalan ini. Kekuatan yang sama juga dianugerahkan kepada para pejuang.
Meskipun berbagai bagian tubuhnya telah tercabik dan luka, namun tidak pernah
pantang menyerah. Inilah naluri keagamaan yang teramat istimewa, sebagaimana
yang dikumandangkan Einstein, �Pada era materialistik dewasa ini, pekerja yang
sungguh-sungguh dan ilmuan sejati adalah mereka yang memiliki naluri keagamaan
mendalam.�[2] Agama Menjamin Implementasi
Undang-Undang
Suatu keniscayaan yang tak dapat dipungkiri bahwa manusia
memerlukan undang-undang. Mustahil manusia menata masyarakat tanpa adanya
sebuah aturan. Barangkali, sebuah masyarakat dapat menikmati keamanan dan
ketentraman sementara dan temporal melalui sistem trias politika berupa legislatif, eksekutif dan
yudikatif. Mungkin juga, berbagai kekacauan dapat teratasi dengan membentuk
pemerintahan militer. Bagaimanapun berbagai pemerintahan minus agama dan iman,
meraih keamanan yang bersifat temporal dan sangat tentatif. Walaupun berbagai
sistem tersebut tidak menghendaki terjadinya berbagai pelanggaran secara
terang-terangan. Tetapi, pada dasarnya sulit mencegah berbagai pelanggaran yang
dilakukan di luar jangkauan aparat keamanan. Tidak ada yang lebih efektif untuk menangani para pelanggar
hukum selain iman, rasa bertanggung jawab dan takut terhadap siksa Tuhan. Aura
iman yang sedemikian kuat, tidak hanya mampu mengatasi para pelanggar hukum
terang-terangan. Tetapi juga, dapat mencegah berbagai perbuatan dosa
tersembunyi yang tidak diketahui oleh siapa pun. Agama tidak hanya mampu
menjauhkan manusia dari perbuatan dosa. Bahkan, bisa menuntunnya untuk tidak
berpikir tentang dosa. Terlepas dari kontrol di atas, lembaga legislatif, eksekutif
dan yudikatif masih menjadi problem di antara sekian persoalan pemerintahan
minus agama. Karena, jika terjadi penyelewengan pada ketiga institusi tersebut,
mekanisme apa lagi yang mampu mencegah masyarakat dari prilaku negatif. Komisi
yang dibentuk khusus untuk meneliti merekapun terdiri dari manusia biasa yang
memiliki sifat serakah, egois dan tamak. Maka, ketika terjadi kolusi dan
pencemaran dalam institusi tersebut, apa lagi yang bisa diharapkan. Agama Menuntun Insting Manusia
Keberadaan manusia merupakan kumpulan berbagai insting dan
kecenderungan esoteris di mana kehidupan manusia begitu terikat dengannya.
Berbagai insting tersebut, ketika difungsikan secara seimbang dan tepat
sasaran, bisa mengantarkan manusia pada kebahagiaan. Misalnya saja sifat egois
pada manusia, yang menjadi rahasia eksistensinya. Jika saja, kecintaan manusia
terhadap kehidupan lenyap, berbagai aktivitas kehidupan jalan di tempat.
Sebaliknya, jika berlebihan membiarkan sifat egoisme dalam diri manusia yang
hanya mementingkan dirinya sendiri, maka akan menuai penderitaan dan penindasan
dalam masyarakat. Demikian halnya dengan sifat lain seperti marah yang
merupakan karakter natural manusia. Sifat membela diri dalam situasi berbahaya
mampu membangun kekuatan fisik maupun mental yang dapat melindunginya. Andai
saja seseorang tidak memiliki kecenderungan seperti ini, hak individu dan
bermasyarakatnya, akan dirampas oleh orang lain. Sebaliknya, jika berlebihan
memperturutkan sifat ini, akan membuahkan berbagai kejahatan sosial. Anda dapat menggunakan penjelasan di atas pada berbagai
kecenderungan esoteris lainnya. Hasilnya, keberadaan insting pada dasarnya
sebagai penopang kehidupan manusia. Tetapi ketika melebihi takaran, malah
menjadi sumber malapetaka. Kini, apa yang seharusnya dilakukan untuk mengajak
masyarakat memposisikan instingnya secara benar dan seimbang? Metode terbaik
untuk mengarahkan insting adalah mewujudkan rasa tanggung jawab pada diri
seseorang. Sehingga individu atau masyarakat, setiap saat baik secara terbuka
maupun tersembunyi, memahami tanggung jawabnya masing-masing. Mereka juga menyadari
bahwa setiap penyelewengan, akan memperoleh balasan setimpal. Perasaan tanggung
jawab tersebut, hanya ada pada areal agama dan keimanan kepada Tuhan yang
Mahamengetahui dan Kuasa, Mahamelihat serta mendengar. Saat kita menyaksikan sebagian kelompok yang hidup dalam
kesulitan, mereka tidak menjarah harta orang lain. Atau saat nafsu
menguasainya, mereka tidak merampas jabatan seseorang. Mereka juga tidak
menempuh jalan kotor untuk mencapai kedudukan serta posisi duniawi lainnya.
Mereka akan bersikap adil saat berhadapan dengan berbagai insting naturalnya.
Upaya pengekangan diri tersebut, sebagai bukti keimanan kepada Tuhan, harapan
akan pahala dan takut akan siksa. Kini, saat keyakinan pada Tuhan berada dalam pengaruh
berbagai kecenderungan negatif, terapi di atas begitu berpengaruh. Maka, sudah
selayaknya kita menjaga keseimbangan insting natural kita masing-masing. Agama Motivator Keluhuran Moral
Struktur manusia dibekali dengan berbagai kecenderungan
terhadap keluhuran moral. Dalam kondisi tertentu, kecenderungan ini mengalami
proses pertumbuhan dan perkembangan. Kecenderungan menuju kebaikan serta
menjauhi keburukan moral menjadi bagian dari karakter penciptaan manusia. Maka
di dunia ini, seseorang yang menunaikan amanat, tidak pernah disebut buruk.
Sebaliknya, yang mengkhianatinya tidak dianggap baik. Demikian halnya, orang
yang jujur tidak akan dikategorikan kotor. Sebaliknya, yang culas tidak dinilai
bersih. Maka, dalam kamus anak-anak sekalipun hanya ada kata jujur. Berbagai kecenderungan tersebut, tidak senantiasa berada
pada setiap kondisi dapat berkembang dengan baik. Tetapi, membutuhkan berbagai
persyaratan. Bimbingan serta tuntunan guru-guru akhlak sedemikian besar
pengaruhnya. Betapa sering akhlak terpental, ketika berhadapan dengan kepentingan
pribadi. Dalam kondisi demikian, kecenderungan tersebut nyaris menipis bahkan
hilang. Di sinilah, urgensi agama menampakkan perannya. Satu-satunya yang mampu
memotivasi kecenderungan positif tersebut adalah agama serta keyakinan terhadap
pahala dan siksa. Berangkat dari hal ini, para pemikir meyakini bahwa akhlak
bersandar pada agama. Karena jelas sekali, berbagai prinsip akhlak seperti
menjaga diri, amanat, jujur, berbakti, menolong sesama dan sebagainya,
seringkali berbarengan dengan kondisi yang tidak menyenangkan. Sebagaimana
seseorang yang berupaya menjaga dirinya, ia terkadang tidak memperoleh
keuntungan material. Bahkan, tidak sedikit kejujuran yang mendatangkan
kerugian. Nampaknya tanpa spirit agama dan motivasi esoteris dalam diri
manusia, sulit bagi seorang pun untuk melakukannya. Kecuali adanya sebuah
keyakinan terhadap hari pembalasan. Perbuatan baik, akan mendapatkan pahala
dari Tuhan. Sebaliknya, jika memperturutkan kenikmatan sesaat, azab pedih telah
menanti.[] [1] Einstein, Albert, Dunya-e Ke Mibinam, hal 59-61.
|