AGAMA DI MATA PARA TOKOH INTELEKTUALISMEDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Pendahuluan
Agama adalah sebuah fenomena yang dekat dalam kehidupan
individu dan masyarakat. Demikian dekatnya, sehingga agama menjadi perangkat
dalam seluruh ritual kehidupan kita. Begitu juga dengan para ilmuan, mereka
tidak penah ketinggalan dalam mengomentari agama. Mulai dari ilmuan saintis
hingga ilmuan lainnya, seperti psikolog, sosiolog bahkan seniman. Pembahasan kita kali ini, berkaitan dengan salah satu
pendekatan di antara beberapa pendekatan sosiologi dan antropologi dalam
memahami agama. Pendekatan Intelektualisme adalah sebuah pendekatan yang
mencoba memahami asal mula agama, perubahan agama dan menganalisa penyebab
sebuah agama yang berjalan menuju kepunahan. Sebelum kami masuk pada inti pembahasan, kami ingin
menjelaskan terlebih dahulu mengenai Intelektualisme itu sendiri.
Intelektualisme[1] yang dimaksud dalam pembahasan ini,
adalah sebuah pendekatan atau teori yang menjelaskan tentang asal mula agama
dan gerak evolusi agama berdasarkan benak atau proses pemikiran manusia. Para
sosiolog dan antropolog Intelektualisme sangat dipengaruhi oleh Intelektualisme
filsafat di abad 17 dan teori Evolusionisme di abad 19. Tokoh-tokoh aliran ini
adalah Bapak sosiolog August Comte (1798-1857), Herbert Spencer (1820-1903)
sosiolog klasik Inggris, Edward Burnett Tylor (1832-1917) dan Sir James George
Frazer, keduanya adalah antropolog klasik Inggris. Intelektualisme lebih menekankan pada akal dalam menemukan
pengetahuan. Akal yang dimaksud dalam hal ini adalah sebuah potensi tafakkur dan berfikir, yang meneliti dan
menganalisa fenomena-fenomena yang ada. Oleh sebab itu, kita tidak boleh salah
dalam memahami makna lain dari Intelektualisme yang digunakan dalam terminologi
filsafat atau peristilahan yang lain. Analisa para ilmuan yang kami sebutkan di atas, selain
memiliki pandangan yang sama, juga memiliki pandangan yang berbeda. Untuk
mengawali pembahasan ini, kami ingin memaparkan terlebih dahulu sisi kesamaan
pandangan-pandangan mereka. Selanjutnya kami juga akan memaparkan sisi
perbedaan sebagian dari mereka. Sisi Kesamaan Teori Substansi Agama
Agama memiliki definisi yang beragam, demikian banyaknya
sehingga definisi agama semakin tidak jelas. Oleh karena itu, ada baiknya jika
kita menelusuri pandangan Intelektualisme tentang definisi agama, juga membantu
kita untuk mengetahui apa yang mereka inginkan dari agama. Di antara tokoh yang
ada, Tylor memberikan definisi yang lebih jelas, Tylor mendefinisikan agama
sebagai; kepercayaan kepada wujud-wujud spiritual. Dalam pandangannya, walaupun
agama memiliki banyak perbedaan, namun mereka semua sama dalam hal ini, bahwa
terdapat ruh-ruh di alam ini yang berfikir, bertindak dan merasakan seperti
manusia. Tokoh lainnya, sedikit banyaknya sependapat dengan definisi
yang diutarakan oleh Tylor, termasuk Frazer dan Spencer. Namun dalam pandangan
August Comte, walaupun ia sepakat dengan definisi tersebut, akan tetapi ia
menganggapnya bahwa definisi tersebut tidak sempurna. Comte dengan ciri khas pemikirannya yang meyakini tiga
tahapan dalam evolusi agama, menerima definisi tersebut sebagai tahapan pertama
dalam sebuah agama. Comte melangkah lebih jauh dari tahapan tersebut, dan
menganggap bahwa agama sebagai rangkain akidah-akidah yang tersebar dalam
bagian-bagian masyarakat, dan juga menganggapnya sebagai faktor koherensi
masyarakat. Perhatian Comte pada faktor tersebut, secara perlahan-lahan
menyimpulkan agama pada sisi tersebut. Apa saja yang menyebabkan koherensi dan
menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Agama positivistik yang dibangun
oleh Comte, walaupun didalamnya tidak terdapat kepercayaan terhadap wujud-wujud
spiritual, namun menurutnya, agama ini mampu menyatukan masyarakat. Singkatnya,
Comte tetap menerima definisi yang dikemukan oleh Tylor dalam agama tahapan
pertama. Oleh karena itu, bisa kita anggap bahwa definisi tersebut sebagai
titik kesamaan di antara tokoh Intelektualisme, termasuk Comte. Asal Mula Munculnya Agama
Untuk mengenal lebih jauh pemikiran Intelektualisme mengenai
agama, kita harus mengenal terlebih dahulu pandangan mereka tentang manusia.
Pada saat Rasialisme meyakini perbedaan mendasar di antara ras-ras yang ada,
dan menganggap bahwa antara ras satu memiliki derajat yang lebih tinggi dari
pada ras lainnya, para petualang -dengan pemikiran ini- ditimpa
kejadian-kejadian yang tragis yang sangat disesalkan. Para Intelektualisme bangkit dan menentang pandangan ini,
kemudian meyakini bahwa manusia memiliki potensi-potensi yang sama. Tylor
kemudian memaparkan apa yang disebut dengan �kesatuan psikis�, yang menyebabkan
manusia memiliki potensi-potensi spiritual dan pikiran yang sama. Mereka sama
dalam berpikir dan bertindak. Kesamaan-kesamaan yang kita saksikan di antara
budaya-budaya diseluruh alam, bersumber dari kesamaan mendasar dalam benak
manusia, karena kebanyakan budaya-budaya yang ada di berbagai tempat adalah
hasil dari kreasi manusia. Prinsip �kesatuan psikis� dalam pandangan Intelektualisme, memberikan sebuah asumsi
bahwa agama dalam seluruh ruang dan waktu, selain perbedaan-perbedaan yang
dimilikinya, juga memiliki fenomena yang sama, bahkan bersumber dari substansi
yang satu. Dari Politeisme ke Monoteisme
Dalam pandangan Tylor, manusia memiliki substansi yang sama.
Sebuah eksistensi yang berfikir, yang senantiasa ingin mengetahui keberadaan di
sekitarnya. Manusia primitif berusaha memahami dan menjelaskan berbagai
fenomena-fenomena yang aneh, dan fenomena suara-suara yang dahsyat, melalui
ruang lingkup pemikirannya, bahkan berusaha membangun alur-alur pemikirannya.
Tentunya, pengetahuan yang mereka maksudkan bukan sekedar menyaksikan suatu
fenomena yang aneh atau mendengarkan suara yang dahsyat, tapi pengetahuan
dihasilkan ketika hal tersebut menjadi sebuah bingkai universal atau telah
menjadi pandangan dunia yang khas, misalnya; sekedar mendengar petir tidak bisa
disebut sebagai pengetahuan, tapi mendengar petir dan meyakininya sebagai murka
Tuhan disebut sebagai pengetahuan. Comte meyakini juga bahwa pengetahuan seperti ini dihasilkan
pada tahapan pertama agama, yaitu pada tahapan teologi, karena manusia pada
saat itu senantiasa berfikir secara sederhana, dan dengan pandangan teologi
langsung dapat memberikan sebuah jawaban, walaupun jawaban tersebut dalam bentuk
sederhana. Manusia tidak begitu mengetahui tentang hakikat dirinya dan
juga sekitarnya, akan tetapi ia senantiasa untuk mencoba mengetahuinya. Oleh
karena itu, ia harus beranjak dari sebuah titik, dimana pengetahuannya terhadap
hal tersebut melebihi dari yang lainnya. Jelas, tidak ada yang lebih jelas dari
segalanya kecuali diri itu sendiri. Jika demikian, apakah yang diketahui
manusia tentang dirinya sehingga dari pengetahuan tersebut ia bisa generalkan
pada yang lainnya? Dari pengalaman-pengalaman yang manusia dapatkan di antara
hidup dan mati, di antara tidur dan sadar, ia kemudian membedakan adanya dua
keberadaan yang berbeda; yaitu ruh dan badan atau jiwa dan materi. Ketika
manusia primitif memperhatikan mimpinya akan seseorang yang berada di tempat
yang sangat jauh, atau memperhatikan antara orang hidup dan orang mati, ia
kemudian mengambil kesimpulan bahwa manusia memiliki dua substansi, dimana
kedua hal tersebut berada dalam dirinya. Ketika manusia tidur dan jiwanya
berpisah dari badannya, ia dapat berkunjung ke tempat yang jauh dan dalam tempo
yang sangat singkat. Badan bisa dianggap hidup jika jiwa tersebut berada
bersamanya, dan kapan saja jiwa berpisah dari badannya maka badan tersebut
tidak memiliki aktivitas sama sekali, jiwalah yang merupakan sumber kehidupan
dan aktivitas manusia. Comte menyebut pandangan ini dengan �Fetishisme� yang merupakan tahap pertama dari sebuah agama, dan Tylor
menyebut pandangan ini dengan �Animisme �. Dalam pandangan Tylor, benak manusia senantiasa memiliki
kecendrungan untuk menggeneralisasikan sesuatu. Kapan saja manusia mengetahui
sifat-sifat dari sesuatu, ketika ia menemukan sesuatu yang mirip dengan sesuatu
tersebut, maka sifat-sifat tersebut ia generalkan padanya. Manusia primitif
yang meyakini bahwa manusia memiliki dua aspek, maka dengan kecenderungan
benaknya untuk menggeneralisasikan sesuatu, maka keyakinannya akan dua aspek
tersebut ia generalkan pada hal-hal yang alami, dan meyakini bahwa hal-hal
tersebut memiliki jiwa yang merupakan sumber dari aktivitas-aktivitasnya. Ruh
yang dimilikinya persis sama dengan ruh manusia yang memiliki sifat seperti;
iradah dan niat dan lain-lain. Lambat laun manusia primitif menganggap bahwa
segalanya memiliki ruh, segala fenomena yang ia saksikan dan yang ia dengar,
mereka nisbahkan pada ruh, artinya dengan hal ini, manusia primitif dapat
menafsirkan fenomena-fenomena yang ada disekitarnya-seperti banjir, gempa dan
lainnya-dengan pandangan tersebut. Setelah fenomena-fenomena tersebut ia nisbahkan pada ruh,
untuk sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkannya, mereka kemudian berfikir
cara untuk bisa mempengaruhi fenomena tersebut, dengan jalan berhubungan dengan
ruh-ruh yang menggerakkan dan mendatangkan fenomena tersebut. Benak manusia
primitif tidak cukup sampai disini saja, benak mereka menggeneralisasi pada
tempat yang lain, bahwa sebelumnya ia meyakini bahwa tiap fenomena memiliki ruh
tertentu, namun kemudian untuk fenomena-fenomena yang memiliki kemiripan, ia
yakini memiliki satu ruh yang sama, misalnya sebelumnya ia meyakini bahwa setiap
pohon beringin, masing-masing memiliki ruh yang berbeda-beda, namun kemudian ia
meyakini bahwa seluruh pohon beringin hanya memiliki satu ruh, karena semua
pohon beringin memiliki karakter yang sama, lebih dari itu, karena semua pohon
memiliki karakter yang sama, maka seluruh pohon hanya memiliki satu ruh. Dari
sinilah awal mula pemahaman tentang Tuhan-Tuhan, ibadah dan penyembahan yang
ada dalam agama. Selanjutnya, manusia primitif meyakini bahwa di antara
ruh-ruh, ada yang memiliki kekuasaan yang lebih di antara ruh-ruh yang lain.
Oleh karena itu, manusia primitif terpaksa menyembah Tuhan yang banyak, untuk
sampai pada tujuan yang diinginkannya, misalnya; ketika musim kemarau datang,
maka mereka menyembah Tuhan hujan, ketika musim serangga datang, mereka
menyembah Tuhan pembasmi, begitu juga dengan fenomena-fenomena lainnya. Tahapan
ini disebut dengan Politeisme. Tylor kemudian menambahkan bahwa benak manusia tidak
berhenti pada tahapan tersebut, namun sebagaimana sebelumnya dari tahapan
Animisme menuju Politeisme, dan dari Politeisme menuju Monoteisme. Dalam
tahapan Monoteisme, mereka hanya menyembah satu Tuhan, yang menguasai seluruh
keberadaan. Sekarang kita mengetahui bersama bahwa Intelektualisme
menganggap agama sebagai jawaban dari kebutuhan pengetahuan manusia. Menurut
pandangan ini, agama adalah produk manusia primitif-mengutip kata Tylor; produk
�filosof liar �- dalam menjelaskan
fenomena sekitarnya. Akan tetapi pengetahuan ini, tidak berhenti pada tahap
pertama saja, namun ia bergerak dari Anisme ke Politeisme dan kemudian ke
Monoteisme, sesuai dengan kecendrungan evolusi benak manusia. Agama, Sebuah Tahapan Evolusi Pemikiran
Manusia
Para pemikir yang kami angkat dalam kesempatan ini, sebagian
besar dipengaruhi oleh pemikiran Evolusionisme abad 19, mereka menganggap bahwa
perubahan-perubahan internal agama disebabkan oleh sebuah proses yang
berevolusi, agama adalah salah satu tahapan dari beberapa tahapan evolusi
manusia, yang bersandar pada evolusi alam mental atau akal manusia. Para
pemikir di atas sepakat bahwa sejarah manusia bergerak menuju kesempurnaan,
yang dimulai dari titik yang paling sederhana, hingga ke titik yang paling
puncak, dan para pemikir ini sepakat bahwa faktor dan penyebab evolusi ini
adalah akal dan benak manusia, akan tetapi para pemikir ini berbeda dalam
mengambil sumber dan informasi. Masing-masing dari pemikir ini berbeda dalam
menyebutkan tahapan-tahapan evolusi agama. Oleh sebab itu, ada baiknya jika
kami kemukakan pandangan mereka secara singkat. August Comte meyakini ada tiga tahapan dalam proses evolusi
sejarah manusia; pertama, tahapan teologi. Menurutnya, dalam tahapan ini,
masyarakat memiliki keyakinan bahwa di balik fenomena-fenomena alam ini,
dikontrol oleh suatu keberadaan metafisik. Tahapan ini memiliki tiga cabang;
cabang pertama disebut dengan Fetishisme.
Manusia dalam tahapan Fetishisme ini meyakini bahwa segala fenomena
alam-seperti dirinya-memiliki ruh atau jiwa, yang menggerakkan
fenomena-fenomena tersebut. Cabang kedua adalah Politeisme, dalam tahapan ini mereka
tidak berbicara mengenai ruh, namun meyakini akan keberadaan Tuhan-Tuhan yang
mengontrol dan mengaturnya. Tuhan-Tuhan ini menguasai segalanya termasuk
manusia, oleh karena itu, manusia mengadakan ritual dan penyembahan untuk
meminta keridhaan tuhan-tuhan tersebut. Penyembahan ini bagi mereka memiliki peranan yang sangat
besar, sehingga mereka memilih tokoh spiritual tertentu sebagai penghubung
antara dia dan tuhan-tuhan mereka, dan juga berfungsi untuk mengajarkan
bagaimana menyembah yang benar. Cabang ketiga adalah Monoteisme, dalam tahapan
ini manusia tidak lagi menyembah beberapa Tuhan, tapi hanya menyembah satu
Tuhan, yang menguasai segalanya. Tahapan kedua adalah tahapan filosofis, dalam tahapan ini
manusia dalam menjustifikasi sesuatu tidak lagi berdasarkan pada kekuatan
metafisik, tapi bersandar pada substansi sesuatu itu sendiri. Tahapan ketiga adalah tahapan Positivisme. Dalam tahapan ini
manusia tidak lagi menggunakan dua metode sebelumnya, tapi ia mulai
mengobservasi fenomena tersebut, dan mencoba menentukan hubungan-hubungan yang
teratur diantaranya. Comte meyakini bahwa fakultas-fakultas pengetahuan yang
memiliki kerumitan tertentu akan sampai pada tahapan ini. Tylor dan Frazer meyakini bahwa ketiga tahapan tersebut
adalah magic, agama dan ilmu. Dalam pandangan mereka, aktvitas magic dilakukan
berdasarkan prinsip analogi dan asosiasi. Frazer meyakini akan dua jenis magic,
pertama; sebuah magic yang dilakukan berdasarkan kemiripan sesuatu, yaitu
dengan melihat adanya kemiripan di antara dua obyek, obyek yang satu dapat
mempengaruhi obyek yang lain, dengan mengoperasikan teknik-teknik magic
tertentu pada salah satu obyek tersebut, misalnya untuk melukai seseorang,
cukup dengan membuat patung atau boneka yang mirip dengan orang tersebut, dan kemudian
ia tusukkan jarum pada boneka tersebut. Jenis kedua adalah magic menjalar, yang
dapat dioperasikan dengan sentuhan tertentu atau menularkannya. Misalnya; jika
kita mendapatkan salah satu bagian dari bekas anggota tubuh seseorang, seperti
kuku dan rambut, kita dapat menyihir orang tersebut. Setelah tahapan magic, selanjutnya masuk dalam tahapan
agama. Sebagaimana yang diungkapkan sebelumnya bahwa dalam tahapan agama,
mereka menjelaskan fenomena-fenomena alami dengan menyandarkannya pada ruh-ruh
dan Tuhan-Tuhan. Untuk mempengaruhi seseorang mereka tidak menggunakan magic
lagi, tapi cukup dengan bermunajat pada ruh-ruh atau Tuhan-Tuhan. Tahapan
selanjutnya adalah tahapan ilmu, menurut Frazer, pengetahuan manusia pada
fenomena-fenomena alam semakin hari akan semakin bertambah, penjelasan agama
tidak lagi memuaskan seseorang dalam menjelaskan fenomena tersebut, manusia
lebih menyandarkan pengetahuannya pada penemuan-penemuan ilmiah mereka. Dalam
tahapan ini manusia sama sekali tidak butuh kekuatan metafisik, yang mereka
gunakan adalah metode-metode eksperimentasi, dalam menemukan sebab-sebab dan
factor-faktor fenomena tersebut. Sebagaimana yang Anda perhatikan, teori Intelektualisme
melirik agama sebagai sebuah metode dan pengetahuan dalam menjelaskan dunia,
yang diawali dalam tahapan tertentu dari perkembangan pemikiran manusia. Oleh
karena itu, karena pengetahuan manusia terhadap fenomena tersebut semakin hari
sekamin bertambah, maka kebutuhan dia pada agama akan semakin berkurang, bahkan
suatu saat nanti dia tidak membutuhkannya sama sekali. Pertanyaan selanjutnya; apakah agama hanyalah sebuah tahapan
dari sebuah pemikiran manusia, yang hilang secara tiba-tiba dan digantikan oleh
ilmu dan metode ilmiah, ataukah perpindahan tahapan beranjak secara perlahan-lahan?
Dengan kata lain, setelah tahapan selajutnya siap untuk menggantikan tahapan
sebelumnya, apakah tahapan sebelumnya sirna sama sekali, ataukah terdapat
unsur-unsur yang masih menetap dan bercampur dengan tahapan salanjutnya? Dalam
menjawab pertanyaan ini, para analis Intelektualisme sepakat bahwa terdapat
unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya yang masih bertahan dalam tahapan
selanjutnya, bahkan sampai waktu yang sangat panjang, yang disebabkan oleh
faktor efisiensi. Tylor menggunakan pemahaman �survivals� dalam menjelaskan unsur yang tetap bertahan tersebut. Dalam pandangan Tylor, budaya yang berbeda-beda dan
juga bagian dari sebuah budaya, semuanya tidak menyempurna secara bersamaan.
Secara umum, sebagian dari bagian sebuah budaya tertentu, dimana dalam sebuah
masa tertentu memiliki efisiensi yang baik, akan memungkinkan bagian sebuah
budaya tersebut masih tetap bertahan walapun bagian lainnya telah mengalami
perubahan, misalnya pada zaman dahulu, untuk berburu cukup dengan menggunakan
panah dan busur, namun para pemburu modern tidak lagi menggunakan alat
tersebut, mereka lebih memilih senjata dalam berburu, namun panah dan busur
masih tetap terpelihara hingga saat ini, disebabkan karena memanah dilihat
sebagai sebuah kemahiran dalam sebuah olah raga atau sebagai interaksi. Comte
juga menerima adanya unsur-unsur dalam berbagai tahapan yang satu sama lain
saling bercampur, namun Comte lebih banyak memperhatikan pada sisi sosialnya.
Dalam pandangan Comte, ketiga tahapan alam mental manusia, akan menghasilkan
keharmonisan dan kesatuan dalam sistem masyarakat, namun ketika unsur-unsur
tersebut satu sama lain telah bercampur, akan menimbulkan problema dalam sistem
masyarakat. Comte juga meyakini bahwa krisis yang melanda era modern disebabkan
oleh hadirnya ketiga tahapan unsur tersebut secara
bersamaan. Pandangan Khas August Comte
August Comte adalah pendiri mazhab Positivisme, dia
menginginkan seluruh fenomena-fenomena sosial dianalisa dan diobservasi, sama
seperti kita mengobservasi dan menganalisa fenomena-fenomena alam. Selain
pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan lain yang disebut sebagai
Fungsionalisme, yang menyelidiki fenomena-fenomena sosial berdasarkan
fungsi-fungsinya. Selain kedua pandangan di atas, Comte juga menerima pandangan
Evolusionisme, dan dengan ketiga pandangan tersebut ia mencoba meneliti dan
menganalisa masyarakat. Comte meyakini bahwa faktor mendasar sebuah perubahan dalam
masyarakat adalah pengetahuan, dan tahapan-tahapan evolusi masyarakat dan
pengkategorian pengetahuan merupakan titik fokus bangunan pemikirannya.
Sekarang kita akan mencoba meringkas pandangannya mengenai agama. 1. Comte meyakini bahwa agama muncul dari sebuah tahapan
tertentu dari sejarah manusia. Di sisi lain Comte meyakini bahwa masyarakat
selamanya butuh pada agama, artinya bahwa dari satu sisi agama terancam
kepunahan, karena agama berhubungan pada masa dahulu, dan sebab itu agama harus
digantikan dengan sesuatu yang sesuai dengan masa kekinian. Di sisi lain
masyarakat butuh pada sebuah sistem yang dapat menyatukan mereka, sebuah
ide-ide umum dan universal, yang hanya dapat diberikan oleh agama. Secara sepintas kita melihat adanya paradoks dalam pandangan
Comte, namun Comte lebih jeli untuk bisa keluar dari lingkaran paradoks
tersebut. Jika kita lebih teliti pada uraian-uraian yang dipersembahkan oleh
Comte, kita akan menemukan bahwa agama yang mengalami kepunahan adalah sebuah
agama yang berada dalam tahapan pertama evolusi manusia, yang mana pemikiran
yang mendominasi dalam pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran metafisik,
yang menyerahkan seluruh fenomena pada Tuhan-Tuhan dan ruh-ruh. Namun dalam
pandangan Comte, agama tidak terbatasi pada apa yang mendominasi dalam
pemikiran tahapan pertama, bahkan dalam pandangan Comte, apa saja yang membuat
keharmonisan dan dapat menyatukan masyarakat, ia sebut sebagai agama. Oleh karena itu, dalam pandangan Comte, walaupun masyarakat
modern butuh pada agama, namun agamanya haruslah dalam ruang lingkup ilmu,
positivistik dan sesuai dengan masyarakat modern. 2. Walaupun unsur pengetahuan agama dalam perubahan agama
memiliki peranan yang sangat penting, namun Comte tidak melupakan faktor
sosiologi mengenai pranata-pranata sosial. Menurut Comte; �setiap tahapan-tahapan
perubahan alam mental manusia, berkaitan erat dengan sebuah institusi sosial
dan dominasi politik tertentu yang ia ciptakan. Tahapan teologi dibawah
dominasi para tokoh spiritual dan dikomandoi oleh pria-pria militer . . .
tahapan metafisika, berada pada masa abad pertengahan dan renasains, yang
didominasi oleh para pastor dan hakim. Tahapan ketiga yang baru saja dimulai,
di bawah dominasi para manager-manager industri dan diarahkan oleh etika para
ilmuan.�[2] Artinya bahwa setiap tahapan dari evolusi pemikiran
masyarakat, menciptakan sebuah institusi sosial yang sesuai dengan tahapan
tersebut. Oleh karena itu, jika terdapat dua atau beberapa institusi yang hadir
dalam masyarakat yang satu, mungkin saja akan menyebabkan sebuah krisis dalam
masyarakat. Comte meyakini bahwa krisis sosial yang terjadi dalam masyarakat
disebabkan oleh bercampurnya system-sistem pemikiran klasik dan modern. 3. Sebagaimana yang Anda perhatikan bahwa dalam
pandangan Intelektualisme, seluruh perhatian ia kerahkan pada pikiran dan
pemikiran, instrumen perasaan hampir jarang disentuh, boleh dikata mereka telah
melupakannya sama sekali. Pandangan ini bisa kita benarkan jika kita melihat
analisis Comte mengenai agama, namun dalam beberapa hal, Comte sempat
mengisyaratkan beberapa hal mengenai hal tersebut, bahwa salah satu kebutuhan
manusia adalah cinta kepada sebuah eksistensi yang lebih mulia darinya, dan
kebutuhan ini hanya bisa dipenuhi oleh agama, bahkan ketika manusia masuk dalam
agama modern, manusia tetap tidak melupakan kebutuhan kemanusiaan ini. Kata
Comte; manusia bisa saja letih dari bekerja dan berfikir, namun ia tidak akan
pernah lelah dari cinta[3].
Dalam pandangan Comte, agama memiliki tiga dimensi. Pertama; dimensi akal,
yaitu kepercayaan pada dogmatis agama. Kedua; dimensi perasaan yang menjelma
dalam bentuk ibadah dan penyembahan. Ketiga; dimensi praktik, Comte menyebutnya
dengan disiplin. Edward Burnett Tylor
Tylor meyakini bahwa Animisme adalah pemahaman agama yang
paling awal dan yang paling mendasar. Mereka menjelaskan asal mula dan
perubahan agama melalui pandangan tersebut. Dalam pandangan Tylor, agama adalah
sebuah jenis filsafat dan pandangan dunia, dimana manusia yang tidak memiliki
pandangan ilmu, menjelaskan dan menafsirkan alam sekitarnya dengan agama
tersebut. Ia juga meyakini bahwa Animisme ini sampai mempengaruhi
seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, yang mengatur seluruh prilakunya,
misalnya jika kita ingin tahu mengapa manusia-manusia primitif memberikan
hadiah yang berharga pada orang mati, dan bahkan terkadang mengorbankan seorang
manusia untuknya. Jawabannya ada pada Animisme. Dan juga jika kita ingin
bertanya mengapa sebagain dari manusia primitif dapat berbicara dengan hewan,
yang seolah-olah seperti bicara dengan manusia. Jawabannya juga ada pada
Animisme, yaitu karena mereka juga seperi manusia memiliki ruh dan jiwa. Dengan berbagai contoh yang dikemukakan oleh Tylor,
membuktikan bahwa Animisme-yang secara sepintas kelihatannya nihil dan tidak
bermakna-dapat dipahami dan masuk akal. Pandangan Tylor yang berakar pada perkembangan dan evolusi
alam mental dan pikiran manusia, meyakini bahwa ada tiga bentuk metode dalam
memandang dunia, yaitu metode magic, metode agama dan metode ilmu.[4] Menurut Tylor, magic yang tidak
meyakini pada ruh dan jiwa, namun meyakini akan sebuah kekuatan-kekuatan
non-personal, namun secara mendasar aktivitas magic dilakukan berasarkan
prinsip analogi dan asosiasi. Para ahli magic berusaha mempengaruhi sesuatu dengan
melakukan sebuah aktivitas magic pada sesuatu yang mirip dengan sesuatu
tersebut. Dalam metode agama, mereka menisbahkan fenomena-fenomena alam pada
ruh-ruh yang mengontrol di balik fenomena-fenomena tersebut. Oleh karena itu,
untuk menghindar atau mendatangkan fenomena tersebut mereka melakukan
penyembahan pada ruh-ruh tersebut. Dalam pandangan Tylor, perjalanan tahapan
evolusi pikiran dan pemikiran manusia akan berakhir pada metode ilmu, dimana
dalam tahapan tersebut tidak ada lagi tempat untuk magic dan agama. Walaupun dalam pandangan Tylor meyakini bahwa agama bersifat
rasional (akal), tapi agama berhubungan pada masa manusia primitif. Menurutnya,
walaupun agama Animisme dilihat sebagai sebuah usaha manusia primitif dalam
menjelaskan alam, dan dianggapnya sebagai sebuah usaha yang seiring dengan ilmu
alam, namun jika dibandingkan dengan ilmu modern, agama lebih kuno, lebih
primitif dan kurang ahli dalam menjelaskan fenomena alam. Menurut Tylor,
walaupun kepercayaan kepada ruh-ruh merupakan salah satu bagian tahapan dari
tahapan-tahapan evolusi, namun ketika kita telah masuk pada tahapan ilmu,
kepercayaan tersebut tidak bisa lagi kita terima, karena saat ini, ilmuan
sederhana pun mengetahui bahwa tidak ada satupun pohon yang memiliki ruh, dan
mengetahui bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam, bukan
berdasarkan kecendrungan pada ruh-ruh. Oleh karena itu, agama dalam periode tertentu telah membantu
manusia dalam mengetahui alam, saat ini dengan kemajuan pemikiran manusia, dan
bersandar pengetahuan ilmiah, tidak lagi membutuhkan agama dalam menjelaskan
fenomena alam. Manusia modern dapat membuang agama kecuali sebagian dari
anjuran-anjuran akhlaknya, dan sebagiannya lagi harus ditolak dan dibuang. Selanjutnya, Tylor berhadapan dengan sebuah pertanyaan,
mirip dengan pertanyaan yang kita ajukan pada Comte, bahwa jika saat ini telah
masuk pada periode ilmu, mengapa keyakinan dan kepercayaan terhadap agama masih
tetap ada? Atau dengan kata lain, mengapa unsur-unsur yang ada dalam agama,
masih tetap ada dalam periode ilmu? Untuk menjawab persoalan ini, Tylor
mengambil bantuan dari pemahaman �survival�. Maksud Tylor dari �survival� adalah tradisi-tradisi, ritual-ritual, pandangan-pandangan
ataupun semacamnya, yang pindah pada masyarakt modern melalui �kebiasaan.�[5] Oleh karena itu, yang menyebabkan unsur-unsur dalam tahapan
sebelumnya tetap ada dalam tahapan modern adalah �kebiasaan�. Pertanyaan selanjutnya
bagaimana kita membedakan antara�survival� dengan lainnya? Menurut Tylor dalam sebuah budaya, segala
sesuatunya memiliki makna, dan jika makna sesuatu dalam budaya tersebut tidak
dapat dipersepsi, maka hal tersebut adalahsurvival. Survival adalah perkara-perkara yang dalam
bingkai budaya kekinian tidak memiliki makna tertentu. Namun jika ada orang
yang mampu memaknai kembali terhadap makna ketika pertama kali hal tersebut
ditemukan, maka hal tersebut kembali memiliki makna. Misalnya pada periode Animisme masyarakat sangat meyakini
ruh dan jiwa, salah satu kepercayaannya adalah ketika orang bersin, maka ruh
keluar dari badannya, oleh karena itu, ketika ia bersin ia mengucapkan �semoga anda disembuhkan�. Namun saat ini tidak
ada lagi yang meyakini hal tersebut. Bahkan saat ini perkataan di atas (semoga
Anda mendapat kesembuhan) berubah menjadi tradisi yang nihil, yang mana tujuan
asli dari pengucapan tersebut telah lama dilupakan. Dalam pandangan Tylor, sejarah
manusia dipenuhi oleh khurafat-khurafat seperti ini, sebuah khurafat yang tetap
tinggal dalam masyarakat. Agama juga termasuk salah satu dari �survival� tersebut yang harus ditinggalkan. Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa setiap unsur
dari unsure-unsur sebuah budaya memiliki makna tertentu, dan survival hanya dapat diketahui dengan
merevisi kembali alam mental ruang lingkup budaya. Setelah itu kita harus mengetahui
bagaimanakah seorang sosiolog dan antropolog dapat mengetahui seluruh budaya
atau sebagian dari unsur-unsur budaya sebuah masyarakat asing? Apakah kita
tidak dapat mengetahui hal tersebut kecuali jika kita masuk dalam budaya
tersebut dan kemudian mengenal lebih dalam lewat mempelajari bahasa,
adapt-istiadat dan etikanya? Untuk menyelesaikan persoalan ini, Tylor menawarkan sebuah
solusi yang mudah. Tylor meyakini bahwa manusia memiliki bentuk pikiran dan
pemikiran yang sama, ia menamakan kesatuan ini dengan �kesatuan psikis."
Karena seluruh manusia satu sama lain saling berargumentasi, oleh karena itu
kita senantiasa dapat memahami maksud orang-orang yang hidup dalam budaya lain,
bahkan sampai mengetahui niat-niat mereka. Oleh Karena itu, walaupun manusia-manusia
primitif memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, namun mekanisme alam mental
mereka dengan mekanisme alam mental manusia modern adalah sama.[6] Tylor meyakini dirinya berada dalam tahapan ilmu. Oleh
karena itu, ia merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan fenomena-fenomena
budaya, termasuk agama, berdasarkan metode-metode ilmiah. Menurutnya, setiap
penjelasan dengan berbagai dalih seperti mukjizat, ilham dan lain-lain, tidak
termasuk kategori ilmiah, karena itu hal tersebut harus disingkirkan, hanya
penjelasan yang berdasarkan metode-metode ilmiah yang dapat diterima. Analisa dan Kritik
Tidak diragukan bahwa teori Intelektualisme telah memberikan
peranan yang begitu penting dalam analisis-analisis sosiologi dan antropologi
agama. Di sisi lain, teori ini termasuk teori yang pertama dalam ilmu sosial
modern, yang membahas mengenai agama, tidak heran jika banyak kita temukan
kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, saat ini kita akan membahas dan
menganalisa dari berbagai sisi pandangan Intelektualisme tersebut. Layak
kiranya jika kita membahas teori tersebut dengan analisa kritis, dan
mengungkapkan sisi positif dan sisi negatifnya. Di Barat, sebelum August Comte dan seluruh pemikir
Intelektualisme, pada umumnya membahas agama dengan metode teologi dan sangat
fanatik. Para teolog gereja yang sangat antusias dalam pembahasan-pembahasan
seperti ini, seluruh usahanya dikerahkan untuk menetapkan doktrin gereja dan
membatilkan agama lainnya. Metode yang mereka gunakan adalah metode teologi
(kalam) yang bersandarkan pada filsafat dan kitab suci. August Comte, Spencer dan Tylor yang merupakan pendiri
ilmu-ilmu sosial modern datang dan menganalisa agama dan fenomena-fenomena
agama dengan menggunakan metode-metode ilmiah dan positivistik. Mereka berusaha
mengumpulkan bukti-bukti objektif dari agama-agama primitif dan
masyarakat-masyarakat Badui. Melalui hal ini, mereka menjelaskan secara
gamblang mengenai asal mula dan evolusi agama. Oleh karena itu, tawaran dalam
menggunakan metode ilmiah dalam menganalisa secara teratur dan sistematik
mengenai realitas agama, merupakan salah satu keunggulan aliran
Intelektualisme. Salah satu keunggulan yang lain dalam teori ini adalah adanya
keterkaitan antara unsur yang satu dan unsur yang lainnya. Sebagaimana yang
Anda perhatikan, teori ini dimulai dengan paradigma tentang manusia, yang
meyakini bahwa benak manusia dan alam mental manusia adalah sama. Selanjutnya
teori ini mulai menelusuri agama yang paling primitif, yang mereka sebut dengan
Animisme, kemudian Politeisme hingga Monoteisme. Keunggulan ketiga dari teori ini adalah senantiasa melihat
agama dalam paradigma sejarah peradaban, yang senantiasa bersama dengan
manusia, dan memperlihatkan pentingnya agama tersebut dalam kehidupan manusia.
Berbeda dengan Marks yang menganggap agama sebagai candu. Dari beberapa keunggulan yang telah kami utarakan, kami akan
beralih untuk mencoba mengungkapkan kekurangan yang dimiliki oleh teori tersebut. Salah satu kritikan yang bisa kita utarakan pada mereka
adalah berkenaan dengan metodologi analisis mereka. Sebagaimana kita ketahui
bahwa mereka ini adalah pencetus ilmu-ilmu sosial modern, yang meyakini bahwa
dalam menjelaskan sebuah fenomena harus berdasarkan dengan data-data objektif.
Namun secara praktik mereka menjalankan metode lain dalam menjelaskan agama,
yang mana sosiolog dan antropolog saat ini tidak menerima lagi metode tersebut.
Mereka tidak lagi menganalisa dan mensintesis data-data objektif, tapi yang
mereka lakukan adalah dengan mengasumsikan manusia primitif, dan menjelaskan
asal mula dan evolusi agama dengan menggunakan metode internalisme yang
digunakan pada masa itu. Oleh karena itu, penjelasan dan analisa mereka, pada
akhirnya tidak bersandar pada data-data objektif dan bukti-bukti sejarah, namun
hanya bersandarkan pada metode internalisme semata. Salah satu kritikan lain yang berkenaan dengan metodologi
analisis mereka, bahwa; bahkan dalam batasan kemampuan mereka dalam menggunakan
data dan informasi, berdasarkan sebuah asumsi kesatuan psikis dan alam mental
manusia, mereka telah melupakan basis-basis sejarah dan budaya-budaya
masyarakat, dan mereka memperoleh kesimpulan-kesimpulan universal melalui
informasi-informasi yang terpisah-pisah dari masyarakat yang berbeda-beda.
Metode seperti ini, tidak digunakan lagi dalam menganalisa ilmu-ilmu sosial
masa kini, karena saat ini kita tidak bisa lagi memungkiri adanya keragaman
budaya. Oleh karena itu, boleh jadi beberapa dari adat-istiadat
secara sepintas memiliki sisi kemiripan, namun pada hakikatnya memiliki makna
dan tujuan yang berbeda. Walaupun para saintis saat ini meyakini prinsip
kesatuan psikis manusia dalam artian bahwa manusia memiliki potensi yang sama
dalam pikiran dan alam mental dari ras-ras yang berbeda, namun prinsip ini
kemudian tidak memestikan bahwa manusia di mana saja akan menghasilkan sebuah
budaya yang satu. Kemudian para analis Intelektualisme dengan mengasumsikan
kesatuan psikis, yaitu kesatuan alam mental dan pemikiran manusia, mereka juga
mengasumsikan akan kesatuan sejarah dan budaya-budaya seluruh manusia, dan atas
dasar ini, mereka mengumpulkan sampel yang berbeda-beda, dan menganalisanya
tanpa memperhatikan basis-basis sosial dan budaya. Selanjutnya, kelemahan lain yang dimiliki teori ini adalah
kurang akuratnya data dan informasi yang mereka dapatkan, dan bahkan keluar
dari wilayah pembahasan. Hanya Tylor yang sempat berkunjung ke Meksiko dan
mengamati dengan jelas masyarakat primitif yang ada di sana. Namun Spencer,
Comte dan Frazer, tak satupun dari mereka yang menyempatkan dirinya berkunjung
ke suatu tempat. Kritikan lainnya adalah bahwa pandangan ini hanya membatasi
agama pada dimensi akal saja, mereka melupakan instrument emosi yang merupakan
instrument penting dalam agama. Kritikan lain yang dikemukakan oleh Emile Durkheim; bahwa
Animisme dan Fetishisme yang bersifat individualistik, tidak
dapat menjelaskan agama sebagai sebuah fenomena sosial dan kelompok. Menurut
Durkheim, Intelektualisme yang meyakini bahwa jelmaan pertama kali agama dalam
bentuk kelompok adalah ritual nenek moyang, yang menyembah para ruh nenek
moyang mereka. Jika memang demikian, persoalan selanjutnya yang muncul adalah
bagaimanakah proses ruh ini yang merupakan sebuah fenomena individual,
tiba-tiba berubah menjadi sebuah produk kelompok dan mendapatkan sakralisasi.
Jika dikatakan bahwa kematian yang memunculkan fenomena tersebut, jawabnya
adalah bahwa kematian hanya memberikan kebebasan yang lebih untuk
berpindah-pindah. Kematian menyebabkan ruh tidak bergantung lagi pada badan,
dan perbuatan-perbuatan yang selama ini hanya bisa dilakukan dalam mimpi,
setelah ini bisa dilakukan untuk selamanya, namun jenis perbuatan yang
dilakukan tidaklah berubah. Lantas mengapa mereka yang masih hidup, menganggap
ruhnya berbeda dengan ruh-ruh nenek moyang mereka, hal tersebut seharusnya
diteliti. Oleh karena itu, terdapat jarak psikologi dan logika antara pandangan
yang berhubungan dengan kebebasan ruh dan pelaksanaan ritual untuknya. Namun
jika kita mengetahui perbedaan antara dunia sakral dan dunia profan, maka jarak
tersebut akan semakin jelas. Kritikan selanjutnya yang dikemukakan oleh Durkheim; jika
kita menerima argumen Animisme dalam menjelaskan agama, berarti kita harus
menerima bahwa agama adalah sebuah perkara imajinativ, yang tidak punya dasar
objektif sama sekali, dan keberadaan-keberadaan sakral pun adalah produk alam
mental atau benak manusia.[7]
[1] Dar
Amadi Bar Nazariyeha_e_Din. Bahktiyari,Muhammad Aziz, p. 66.
|