Tauhid dan PembebasanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Banyak di antara kita yang akan memiliki kesulitan besar
dalam memahami bagaimana tauhid terkait dengan pembebasan. Hal ini mungkin
disebabkan oleh karena kita telah dikondisikan untuk memiliki tingkat keimanan
yang terbatas hanya pada perkumpulan peribadatan seperti maulud dan hajatan,
hukum fiqh (yurisprudensi Islam), ibadah keagamaan dan dogma teologis. Iman
(keyakinan) kita seperti jubah di dalam masjid. Penggunaannya terbatas pada
jam-jam tertentu dan hanya di dalam masjid sehingga keyakinan diceraikan dari
kenyataan dan dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Jadi banyak di antara
kita yang memiliki mata dan telinga keimanan yang hanya mampu melihat dan
mendengar di dalam masjid atau di daerah-daerah yang dirujuk oleh keyakinan
atau dogma. Ketika membaca surat kabar atau menemukan permasalahan sosial atau
politik, mata keimanan kita menjadi buta dan telinga keimanan kita menjadi
tuli. Kita melihat kenyataan tetapi kita tidak benar-benar melihatnya dan kita
mendengar banyak hal tetapi tidak memahaminya. Berapa banyak di antara kita
yang dapat mengingat wajah penjaja surat kabar yang kita lihat setiap hari;
apalagi memahami kenyataan di balik wajah tersebut? Kami bukan membuat
pembelaan dengan menekankan bahwa tauhid memiliki dimensi pribadi, sosial, dan
politik. Meskipun demikian, para aktivis Muslim harus menjaga diri mereka dari
ketidakseimbangan Islam mereka. Islam tidak hanya merupakan sebuah sistem
politik atau memberikan solusi-solusi politik. Ketika kita mendukung Islam yang
holistik maka kita juga merujuk kepada misalnya hubungan kita dengan bumi;
kepada kerukunan semua makhluk sebagai bagian dari ekosistem; perlindungan
laut, gunung, hutan, dan hewan-hewan liar. Kita berbicara tentang bagaimana
kita berurusan dengan teman, hubungan antarpribadi kita. Kita merefleksikan
kualitas dan frekuensi shalat kita serta sikap kita terhadap azan. Itu baru
merupakan beberapa pokok persoalan yang terkait dengan Islam yang komprehensif.
Kita harus melakukan semuanya dan tidak hanya beberapa yang kita anggap bisa
dilakukan. Kita tidak boleh masuk ke dalam jebakan yang sama seperti mereka
yang mengatakan atau bertindak seolah-olah Islam itu murni bersifat spiritual.
Apabila kita mengatakan atau bertindak seakan-akan Islam itu murni bersifat
politis, maka kita juga telah bersalah karena berpegang kepada sebagian dari
Kitab Suci dan menolak sebagian yang lain. Kamu percayai sebagian
Kitab dan menolak yang sebagian lagi? Ganjaran orang yang berbuat demikian di
antara kamu tak lain hanyalah kehinaan dalam kehidupan dunia ini dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan ke dalam azab yang berat. Dan Allah tiada lengah
akan segala yang kamu lakukan. Jadi sekarang kita telah berkumpul untuk merefleksikan
hubungan antara tauhid dan pembebasan. Apa makna tauhid dalam konteks
penindasan? Masyarakat seperti apakah yang Allah inginkan kita untuk
mewujudkannya, dalam kaitannya dengan filsafat dan realitas tauhid? Orang
seperti apakah yang memiliki kepribadian tauhid? Apakah tauhid bermakna lebih daripada
apa yang selama ini kita pahami? Keesaan Allah begitu pentingnya sehingga Dia mengutus
sekitar 124.000 Nabi ‘alaihim al-salam untuk memproklamirkannya. Tidak hanya
itu, tetapi mereka juga terkena ujian, penyiksaan dan bahkan kematian yang
mengerikan untuk menegakkan kesatuan ini. Mengapa Allah mengutus begitu banyak
orang pilihan-Nya dan mengapa mereka mengalami begitu banyak penderitaan?
Apakah hal itu hanya karena Ketunggalan-Nya secara matematis? Apa dampak dari
Ketunggalan ini sehingga menimbulkan antagonisme yang sengit dan berlarut-larut
dari kaum yang berkuasa terhadap para nabi? Apakah tauhid ada dengan
sendirinya, dengan nilai-nilai intrinsik yang hanya memerlukan sebuah pengakuan
verbal, tanpa adanya keharusan untuk mewujudkan atau mengaktualisasikannya di
sini dan sekarang? Apakah menjadi persoalan Allah itu satu atau tiga atau
seribu apabila hal itu hanya meminta sebuah pengakuan verbal dan hubungan
budaya yang luas dengan orang lain yang juga telah melakukan hal tersebut?
Perkataan berikut akan terdengar seperti sebuah sindiran: Apakah buah pohon ek
yang jatuh di hutan akan menimbulkan bunyi apabila tidak ada orang yang
mendengar kejatuhannya? Bukankah mendengar adalah prasyarat dari keberadaan
suatu bunyi? Analogi matahari mungkin akan lebih dekat dengan tauhid. Matahari
ada dengan semua cahaya terangnya, tetapi apa artinya buat saya ketika saya
mengalami dingin atau panas sebagai akibat dari keberadaannya? Allah ada di
sana, selalu ada di sana dan akan terus ada di sana, tetapi bagaimana saya
merasakan Kesatuan-Nya. Sampai akhir-akhir ini, perdebatan filosofis mengenai tauhid
hanya dibatasi kepada Kesatuan Allah secara matematis; apakah Tangan-Nya adalah
tangan yang riil; Apakah Singgasana-Nya bersifat fisik, dsb. Dengan demikian,
perdebatan itu dibatasi hanya kepada 'dunia yang lain' atau murni bersifat
ortodoks-yang berlawanan dengan ortopraxis. Keyakinan Anda harus baik dan
keyakinan adalah sesuatu yang tertinggi dan sederhana, dengan sebuah pengakuan
verbal. Selalu terdapat elemen-elemen penting, terutama para pengikut Abdul
Wahab Najdi dan Ibnu Taimiyyah, yang menyamakan ortodoksi - keyakinan yang
benar - dengan ortopraksis - tindakan yang benar. Mereka juga beranggapan bahwa
yang pertama akan hampa tanpa yang terakhir. Meskipun demikian, para
cendekiawan pada masa kemudian, seperti Fazlur Rahman Anshari, Muhammad Iqbal,
Khalifah Abdul Hakim dan Ali Syari’ati menjelaskan bahwa tauhid terdapat dalam
keseluruhan kosmos, dan umat manusia, sebagai bagian dari kosmos tersebut,
harus mengatur kehidupan pribadi dan sosialnya sesuai dengan tauhid. Jadi kami
menyatakan bahwa keesaan Allah hanya akan berarti untuk saya apabila saya
menjadi seorang prajurit di dalam perjuangan untuk mengaktualisasikan sebuah
tata tertib tauhid dalam kehidupan pribadi dan kehidupan sosial-ekonomi saya. Adakah manusia mengira, bahwa mereka akan dibiarkan berkata,
“Kami beriman,” padahal mereka tidak diuji? Kami telah menguji orang-orang
sebelum mereka, dan Allah pasti tahu siapa yang benar dan pasti tahu siapa yang
berdusta. Kami kemudian diberitahu bahwa sebuah pernyataan verbal
tidaklah cukup dan harus diikuti oleh sebuah perjuangan untuk membenarkannya.
Hal ini direfleksikan lebih lanjut dalam hadis berikut: Barangsiapa melihat kemunkaran, hendaklah dia mencegah dengan
tangannya, bila tidak mampu hendaklah dia mencegah dengan lisannya dan bila
tidak mampu juga hendaknya dia mencegah dengan hatinya, dan itu (hatinya)
adalah selemah-lemahnya iman. Versi lain dari hadis yang sama menambahkan: “dan setelah itu tidak akan ada
sebiji keimanan yang tertinggal.” Kita
belajar dari hadis ini bahwa keadaan keimanan kita terkait langsung dengan
tingkat di mana kita siap untuk menentang kemunkaran, dan ketika Nabi saw
menyatakan bahwa “setelah itu
tidak akan ada sebiji keimanan yang tertinggal,” maka itu berarti bahwa hati yang
kosong dari perlawanan terhadap kemunkaran dan penindasan adalah hati yang
kosong dari keimanan. Hadis berikut - “barang
siapa meninggal dunia tanpa pernah berjuang untuk Islam atau memiliki niat
berjuang untuknya, maka ia meninggal dunia dalam keadaan jahilliyyah (kebodohan
atau keadaan tidak beriman pra-Islam)” -
menekankan hal ini lebih lanjut. Lalu apa hubungan antara tauhid dengan pembebasan pribadi
dan antara tauhid dengan pembebasan politik? Apa maksudnya ketika kita diminta
untuk membentuk sifat-sifat kita sesuai dengan Allah? Tauhid dan Pembebasan Pribadi Sebuah kepribadian tauhid
adalah sebuah makhluk yang terintegrasi dan harmonis, yang menjadi satu dengan
dirinya, lingkungan alamnya dan dengan Allah. Ia tidak dapat dan tidak akan
membagi hidup ke dalam kehidupan yang religius dan sekuler, privat dan publik,
spiritual dan politik, karena hal itu melanggar filsafat integrasionis yang
melekat dalam tauhid. Sebuah kepribadian tauhid tidak akan menundukkan
kepalanya kepada Allah di masjid dan kepada kapital di pasar bursa di luar
masjid. Ia tidak akan mengucapkan Allah-Allah di rumah dan menjadi seorang
Freudian di kampus. Ia tidak bisa tetap berpuasa di bulan Ramadhan dan kemudian
mendukung sistem sosial-ekonomi yang menindas, baik secara aktif ataupun
diam-diam. Ia tidak hanya mengamati dan menentang sistem yang menciptakan dan
mengekalkan kelaparan atau kekuatan sosiologis-cum-industrial yang memunculkan
sikap permisif yang tak bermoral, tetapi juga mengamati dan menentang perannya
di dalam sistem atau kekuatan tersebut. Kepribadian tauhid tidak akan sibuk
dengan tari kupu-kupu eskapisme yang sia-sia dan penyimpangan dari pencapaian
kesatuan dengan diri. Perjuangan untuk mempribadikan tauhid juga mengimplikasikan
perjuangan untuk mengaktualisasikannya secara sosial. Nabi saw telah menyatakan
bahwa kufur merupakan sebuah sistem tunggal. Jadi kufur bukan hanya merupakan
seperangkat keyakinan tetapi juga sebuah pola perilaku. Anda tidak bisa
bersikap lemah lembut di masjid dan terjebak dalam watak kasar di luar masjid.
Anda tidak bisa memperhatikan aturan-aturan shalat dan tidak peduli dengan
aturan-aturan muamalat (berurusan dengan orang). Sistem nilai dan standar
perilaku kita yang valid untuk masjid juga valid untuk toko. Inilah yang
dimaksud oleh Nabi saw ketika ia menyatakan bahwa ia tidak khawatir para
pengikutnya akan melakukan syirik (pemberhalaan) yang nyata, tetapi khawatir
bahwa mereka akan melakukan syirik yang tersembunyi, yaitu bahwa kita akan menganggap
Allah sebagai tuhan kita di masjid tetapi membiarkan diri rendah kita berkuasa
sebagai bos di diskotik. Ini adalah syirik. Itu tidak hanya syirik, tetapi juga
sakit. Pertama-tama, hal itu akan mengarah kepada kepribadian yang terbelah dan
kemudian kepada disintegrasi kepribadian. Tauhid dan Pembebasan Sosial-Ekonomi Sebuah masyarakat
tauhid bermakna kesatuan semua makhluk karena kesatuan Penciptanya. Umat
manusia tidak bisa mengeksploitasi semua sumber daya bumi dan beranggapan bahwa
sumber daya itu tidak terbatas. Kita tidak boleh memperkosa dan menjarah bumi
dengan memandang rendah lingkungan kita sepenuhnya, memburu, memakan, dan
mengeksploitasi seolah-olah tidak akan ada hari esok. Kita tidak bisa terlibat
dalam industrialisasi yang tak terkontrol tanpa memperhitungkan biaya-biaya
yang terkait dengan limbah industrial dan kerusakan ekosistem. Umat manusia
adalah bagian dari lingkungan alam dan kita tidak boleh menganggap diri kita
sebagai lawan darinya. Sebuah masyarakat tauhid tidak hanya berarti bahwa umat
manusia menjadi satu dengan alam, tetapi yang paling penting adalah bahwa kita
menjadi satu dengan umat manusia lainnya. Dengan demikian, kita tidak hanya
berjuang melawan semua model pembangunan yang berupaya membuat kita menjadi
penguasa asing di bumi, tetapi kita harus mencapai kesatuan dengan umat manusia
lainnya, karena “Hai umat
manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu!” Dr. Ali Syari’ati sebagai seorang syahid berpendapat bahwa
masyarakat tanpa kelas adalah sebuah konsekuensi dari tauhid. Maulana Fazlur
Rahman Anshari juga berpendapat bahwa sebuah masyarakat tauhid bersifat
“non-rasial, non-kesukuan, tanpa kasta dan tanpa kelas.” Masyarakat tauhid
adalah sebuah masyarakat egalitarian yang melampaui kekakuan egalitarianisme
menuju masyarakat persaudaraan. Nilai dari masyarakat itu diwakili dalam
al-Quran dan konsep “falâh,” yaitu kesejahteraan, yang dalam
kaitannya dengan tauhid haruslah bersifat kolektif dan integralistik, yaitu
secara politik, ekonomi, moral, fisik, spiritual, dsb. Jadi anggota masyarakat yang seperti itu tidak hanya disebut
sebagai orang yang setara secara ekonomi, tetapi juga sebagai saudara dan
saudari, yang serba-mencakup. Hal ini biasanya dengan senang diakui oleh semua
Islamis dan ini agak mengganggu. Hal itu mengganggu, karena cukup banyak
Islamis yang berasal dari sebuah kelas yang akan kehilangan banyak apabila
masyarakat yang seperti itu benar-benar terwujud. Bisa saja komitmen mereka
terhadap perwujudannya bersifat total, sehingga mereka melupakan implikasi
ekonominya atau mereka menganggap bahwa sebuah Afrika Selatan yang baru akan
dibangun dengan pemilik yang sekarang tetap menjadi penjaga, yang akan
menjangkau kaum tak berpunya dengan ramah, sebuah kedermawanan yang
paternalistik. Apa yang perlu kita tanyakan adalah bisakah kita berbicara
tentang kemauan untuk bergerak menuju sebuah masyarakat tauhid yang
fraternalistik, apabila kapitalisme dan konsumerisme seumur hidup serta dua
ratus tahun industrialisasi telah mengeraskan hati orang-orang beriman yang tak
sadar dalam “tauhid yang
melangit.” Kemudian kita
merasa bahwa kita harus memberontak dan menghancurkan semua sistem yang
membelah rakyat atas dasar apapun kecuali takwa (kesalehan) karena “tidak ada keutamaan orang Arab
atas orang non-Arab atau orang non-Arab atas orang Arab kecuali dengan takwa.” Inilah makna tauhid dalam kehidupan kita. Tauhid bukanlah
persaudaraan yang lemah dan emosional, yang ditunjukkan oleh para apologis
Muslim kepada dunia non-Muslim. Lihatlah dalam masjid kita, di mana kaum miskin
dan kaya shalat bersama! Lihatlah dalam haji, di mana kaum kulit hitam dan
kulit putih menjalankan thawaf Kabah bersama-sama, kita semua dalam pakaian
ihram yang sama! Itu hanyalah tauhid simbolik yang harus kita lampaui. Apa
gunanya kesatuan Arafah ketika Anda kembali ke rumah dan kulit hitam dipisahkan
lagi dari kulit putih? Juga beberapa di antara kita mati karena tidak cukup
makan sementara yang lain mati karena kekenyangan? Apa gunanya kita berdiri
bersama-sama sebagai saudara dalam masjid apabila setelah shalat Anda pulang ke
rumah megah Anda sementara sang muazzin harus merangkak masuk ke dalam kamarnya
yang kecil? Maulana Yusuf, amir kedua dari Tablighi Jama'at berpendapat bahwa
adalah suatu penindasan apabila beberapa di antara kita tinggal di istana
sementara yang lainnya tinggal dalam gubuk. Bekerja untuk menghilangkan
rintangan-rintangan ini adalah bekerja untuk membangun tauhid di bumi. Ketika Sayyidina ‘Ali mengatakan bahwa tidak mungkin
beberapa orang mendapatkan sejumlah besar kekayaan kecuali yang lain mati
kelaparan; ketika Sayyidina Abu Dzar al-Ghiffari mengatakan:“Seandainya aku
berkuasa, maka aku akan pergi ke semua orang kaya dan mengambil dengan paksa
kelebihan harta mereka serta membagikannya kepada orang-orang miskin.” Ketika Sayyidina ‘Umar mengatakan: “Seandainya sebelumnya aku tahu apa
yang kuketahui sekarang, maka aku tidak akan ragu-ragu untuk mengambil
kelebihan harta kaum Anshar dan membagikannya kepada kaum Muhajirin yang
miskin.” Semua ini menunjukkan perjuangan para pendahulu kita untuk
mewujudkan tauhid dalam bidang sosial-ekonomi. Tetapi bagaimana dengan Nabi
Sulaiman dan Hazrat Utsman? Bukankah mereka itu kaya? Kekayaan mereka pada
hakikatnya tidak pernah terkait dengan keseluruhan sistem penindasan dan
eksploitasi. Lagipula, mereka adalah raksasa-raksasa spiritual. Kekayaan mereka
ada di tangan mereka dan keimanan mereka dengan kuat melekat di hati mereka.
Ketika muncul kebutuhan terhadap kekayaan mereka, maka mereka akan
mengeluarkannya dengan sukarela. Dan ketika cinta kepada isi tangan mereka
mengancam isi hati mereka, maka mereka melepaskan isi tangan mereka untuk
melindungi keimanan mereka. Mereka diasingkan oleh masyarakat apabila mereka
memperlihatkan keengganan untuk melakukan hal itu. Nabi saw tidak menjawab
ucapan salam mereka dan bahkan istri mereka diperintahkan untuk dipisahkan dari
mereka. Contoh khusus adalah Murarah bin Rabi, Hilal bin Ummayah dan Ka’ab bin
Malik. Mereka menunda keikutsertaan mereka ketika panggilan jihad
datang. Kebun kurma mereka sedang berkembang penuh dan karena pada saat itu
adalah musim panen, maka mereka takut kehilangan hasil panen yang sangat besar,
yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka tinggal dan beranggapan bahwa
mereka akan mengikuti ekspedisi setelah selesai memanen. Tetapi ekspedisi
tersebut pulang lebih awal dari yang diperkirakan. Mereka semua mendatangi Nabi
saw untuk menyatakan alasan mereka. Nabi saw mengabaikan mereka, tidak menjawab
ucapan salam mereka, memerintahkan masyarakat untuk mengasingkan mereka dan
memerintahkan istri mereka untuk dipisahkan dari mereka selama empat puluh
hari. Manusia modern - dan juga termasuk umat “Muslim” - duduk dengan kekayaan di hatinya dan
keimanan di tangannya - ketika isi hati mereka terancam, mereka akan melepaskan
apa yang ada dalam tangan mereka. Dan Kami hendak memberi karunia kepada mereka yang tertindas
di bumi; dan akan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin dan Kami jadikan mereka
para ahli waris; (Lebih jauh lagi, hendak) Kami kukuhkan mereka di bumi ini,
dan hendak Kami perlihatkan kepada Firaun dan Haman, serta pasukannya, apa yang
mereka khawatirkan.10 Apabila kita harus memilih antara perspektif Abu Dzarr dan
Utsman maka kita harus memilih satu yang dekat dengan pembebasan. Di sebuah
negara di mana 10 anak meninggal tiap jam karena kekurangan gizi, maka kita
dipaksa untuk mengikuti perspektif Abu Dzarr. Islam, sebagai agama yang
dinamis, memang mengakui perubahan dalam urusan manusia dan menjawab tuntutan
sah masyarakat yang muncul dari waktu ke waktu. Pembatalan Umar ra terhadap
aturan memberikan zakat kepada mereka yang hatinya condong kepada Islam adalah
sebuah contoh. Beberapa orang di antara kita meminta untuk membatalkan
instruksi tegas Nabi saw bahwa perempuan tidak boleh dihalangi untuk sering
mengunjungi masjid, karena menurut mereka, waktu telah berubah.
Perubahan-perubahan ini semuanya dapat diterima karena tidak menyentuh apa yang
paling menyakitkan - rekening bank kita. Catatan Kaki: |