Nash dan ijtihadDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Abu Mahdi
"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan
tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah
menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang
urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah
dia telah sesat, sesat yang nyata." (Al-Ahzab:36) Dasar-dasar
Hukum Islam Semua muslimin sepakat bahwa sumber hukum pertama yang
tertinggi adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yang disebut
Al-Quran. Sumber hukum peringkat selanjutnya adalah kejelasan yang tersurat
maupun yang tersirat dari kehidupan Rasul Allah; disebut as-Sunnah. Kedua dasar dan sumber hukum ini saling kait dan terikat.
Apa yang ada di dalam Al-Quran adalah sumber awal yang melegitimasi segala
hukum sesudahnya. Darinya tersurat dan tersirat rangkaian hukum atas sandaran
hukum yang lain. Sementara landasan selain Al-Quran adalah semua yang sudah
mencukupi ruang batas ketentuan yang dibenarkan Al-Quran, sehingga tidak ada
ketentuan yang berada di luar ketentuan yang sudah ditetapkan Allah. Dengan
landasan ini, muslimin sependapat bahwa barang siapa yang menentang dan
mengubah ketentuan Allah dan Rasul-Nya, maka dinyatakan sebagai kufur. Tanpa disadari, keterikatan muslimin untuk taat kepada Allah
dan Rasul-Nya dan dengan kekhawatiran akan jatuh dalam kekufuran, menjadikan
setiap muslim berjanji untuk mengikuti Al- Quran dan Hadits/Sunnah. Mereka
mencoba mengekspresikan semua yang ada dari keduanya dalam kehidupan
keseharian. Tapi, ada hal yang tidak dapat ditolak, yakni adanya perubahan
persepsi di kalangan muslim dalam memahami keduanya. Dari dasar sumber yang
sama, ternyata, muslimin memahami dengan berbeda. Dari sumber yang sama
(Al-Quran dan Hadits), difahami secara berbeda, sehingga beramal pun dengan praktik
yang berbeda. Karena, memang bukan mustahil bahwa dari ungkapan yang sama
tetapi muatannya berbeda. Awal perbedaan ini, nampak jelas ketika Rasulullah SAW
wafat. Al-Quran, dalam artian wahyu atau kalam Ilahi dan penjelas dalam praktik
kehidupan sehari-hari Nabi SAW itu terhenti. Sebagian muslimin berpandangan
bahwa periode dasar hukum telah terhenti, sehingga mereka berpandangan hanya
Al-Quran dan Sunnah Nabi saja sebagai sumber hukum yang mutlak. Sebagian muslimin yang lain memiliki pandangan dan keyakinan
berbeda. Wafat Nabi Muhammad SAW tidak berarti terhentinya nash Ilahi dalam
bentuk Sunnah. Karena, Sunnah dalam pemahaman kelompok ini tidak terbatas pada
Nabi Muhammad SAW, tetapi juga ada pada tiga belas orang maksum setelah beliau.
Yaitu, dimulai dari Ali bin Abi Thalib AS sampai dengan Muhammad bin Hasan
al-Mahdi AS (termasuk Fatimah az-Zahra AS), hingga akhir zaman. Kedua pandangan
inilah yang menjadi pemilah kesatuan muslimin yang telah dibina Rasulullah SAW.
Hinggalah sekarang, pengaruh dan bara tersebut masih saja menyala. Akibat lain yang ditimbulkan dari perbedaan pandangan itu
adalah telah terbentuknya ideologi yang menjadi dasar cara pandang muslim dalam
melihat Islam. Dengan dasar perspektif pandangan masing-masing, Islam akan
tampak berbeda, dan motif pada tindakan pun menjadi berbeda pula. Perbedaan
inilah yang mendasari lemahnya kekuatan muslimin dalam menghadapi tantangan
zaman, baik dari nilai ideologi maupun tantangan fisik. Permasalahan di atas, juga menjadi faktor yang melahirkan generasi
muslim zaman ini. Generasi kini adalah hasil dari generasi terdahulu, karena
unsur sejarah mendominasi pandangan muslim dalam menilai Islam. Dengan
kenyataan yang terjadi, dan pandangan yang tercipta dari waktu ke waktu, serta
informasi yang diterima untuk dipelajari hari ini, telah membentuk opini
keislaman seseorang. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah bahwa dengan cara
memandang pada fenomena sejarah yang berbeda akan didapatkan nilai keislaman
yang berbeda pula. Sehingga i'tiqad dasar keislaman pun akan berbeda. Sementara
itu, semua muslim sepakat bahwa Islam adalah agama Ilahi yang satu dan
merupakan hamparan jalan tunggal menuju kepada Allah. Karena itu, muslimin, mau
tak mau, harus memilih juga, yang konsekuensinya adalah i'tiqad dasar dari
pandangan di atas harus ditimbang kembali untuk mendapatkan nilai yang benar,
sehingga seseorang dapat memastikan keberadaan setiap personal di jalan yang
lurus dan tunggal tersebut. Ijtihad
di Kalangan Muslimin Ijtihad (secara bahasa), berasal dari akar kata bahasa Arab
al-jahd yang berarti jerih payah. Kelompok terdahulu, termasuk al-Hajibi
mendefinisikan ijtihad sebagai tindakan menguras tenaga untuk mengetahui hukum
tentang sesuatu dalam batas menduga. Seperti, menguras tenaga untuk memperoleh
dugaan tentang hukum syar'i. (al-Ra'ya al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid wa
al-Ihthiyath, hal.9). Ijtihad juga diartikan menguras tenaga dan jerih-payah
untuk memperoleh hukum syar'i yang bersifat dugaan dari Al-Quran, Sunnah,
Qiyas, Ihtihsan dan sebagainya. Muslimin (secara historis) menggunakan kesempatan berijtihad
untuk melepaskan tanggung jawab dalam menjawab permasalahan kehidupan yang
belum ditemui dalam hukum yang jelas (dhahir) sampai datangnya masa penaklukan
kota Baghdad di masa kekuasaan Dinasti Abbasiyah oleh Bangsa Tartar (sekitar
665 H.) Setelah adanya kejadian tersebut, ulama tidak lagi terkumpul dan pintu
ijtihad menjadi "tertutup". Dari sinilah hak ijtihad hanya menjadi
milik mujtahid terdahulu. Selanjutnya, perkembangan ijtihad dalam kehidupan muslimin
berjalan lamban, dan secara umum tidak ada perbedaan mendasar tentang ijtihad,
meskipun ada juga pembeda di antara kelompok muslim. Seperti, adanya perbedaan
antara mereka yang memasukkan qiyas dalam ijtihad dan sebagian lagi menolak. Kasus
Seputar Ijtihad Dasar sumber-sumber ijtihad adalah Al-Quran, Sunnah, Akal
dan Ijma'. Namun demikian, dari keempat sumber ini, bukan berarti tidak terbuka
kemungkinan untuk tidak ditemukannya ketentuan hukum dari keempatnya. Atau,
didapatkan hasil kesimpulan yang tidak kokoh. Atau, dalil-dalil yang ada tidak
cukup untuk mendukung kasus yang ada. Karena itu, terhentinya atau tidak dibenarkannya ber-ijtihad
dapat memastikan bahwa fiqih dan pembahasan pun akan terhenti. Maka masalah
yang timbul di masa kini tidak akan teratasi. Satu hal lain yang mendasar bahwa
muslimin akan terhenti dalam ruang lingkup kehidupan yang tradisional (lampau),
serta tidak memiliki kesempatan mengembangkan akal pikiran manusia. Dengannya orientasi hidup hanya kembali ke alam kehidupan dahulu
dan tidak akan membentuk opini kehidupan yang mendatang, konsekuensinya adalah
hukum Islam menjadi hukum yang menindas kemanusiaan. Padahal yang dikenal bahwa
muslim yang mengenal Islam itu membela dan membangun kehidupan kemanusiaan. Kasus yang terjadi sekarang adalah dengan tertutupnya
ijtihad, maka setiap muslim telah menjadi mujtahid pada posisinya. Karena,
sebagai tuntutan hidup yang nyata, seorang muslim harus hidup dalam hukum,
padahal banyak persoalan kehidupan yang dijalani dan harus dipecahkannya tidak
terdapat di buku para mujtahid terdahulu. Tanpa disadari, mereka menyimpulkan hukum dari sumber-sumber
hukum yang ada (ber-ijtihad). Maka jadilah muslim yang awam tersebut sebagai
mujtahid, walaupun terbatas hanya untuk dirinya. Fenomena ini tidak terhindar
karena kenyataan adanya tuntutan Islam dan perjalanan masa/waktu, yang
memojokkan manusia untuk meletakkan dirinya pada hukum. Meskipun pada dasarnya
hukum yang dijadikan sandaran tersebut tidak diketahui keabsahan dan
kebenarannya. Mujtahid
Sebagai Standar Keilmuan Islam sebagai agama dan ideologi merupakan sarana penghantar
perjalanan manusia kepada Allah. Dengan sarana yang pasti ini, memastikan
manusia untuk tidak memilih jalan lain atau berjalan di jalan yang salah.
Sehingga manusia dengan sendirinya wajib memastikan dirinya untuk berada di
dalam Islam. Pemikiran ideal ini menjadi i'tiqad muslimin. Dasarnya adalah
dengan adanya Maksum maka i'tiqad dan idealnya Islam dapat terjaga bersamanya. Tetapi dengan tidak adanya maksum, maka pikiran ideal
merupakan i'tiqad tanpa kepastian untuk didapatkan dalam praktik kehidupan
muslim. Maka muslimin mengejar idealisme kesempurnaan Islam dengan berusaha
mendapatkan nilai ideal. Namun, karena agama samawi ini tidak memberikan
jaminan kepada manusia yang tidak maksum secara takwin, maka Nilai Islam yang
ada dalam i'tiqad muslimin pun tidak terjamin untuk kesempurnaannya pada
kebenaran Ilahi. Kebenaran yang ada adalah nilai yang didapat dari usaha
maksimal sebagai manusia untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab di hadapan
Allah. Maka akan ada selisih antara kebenaran yang bersifat absolut
Ilahi yang di-i'tiqadi dengan nilai kebenaran yang diamalkan oleh manusia.
Namun demikian, usaha yang dilakukan oleh muslimin untuk mendapatkan ilmu Islam
dari sumber-sumber dasar hukum (Al-Quran, Hadits/Sunnah, Ijma' dan Akal) yang
kita sebut ijtihad, merupakan satu hal yang tidak dapat dihindari, karena: Pertama, tidak hadirnya Imam Maksum di antara muslimin.
Islam sebagai sumber hukum dan nilai absolut, hanya ada pada Allah dan
Maksumin. Selain dari keduanya, Islam masih merupakan konsep yang harus digali.
Paling tidak dengan memprediksikan bahwa konsep tadi dinyatakan benar oleh
pandangan muslimin. Kedua, perkembangan pola hidup manusia. Ketika muslim
merupakan bagian komunitas alam yang saling mengikat, maka perubahan yang
terjadi selalu memiliki keterikatan dengan yang lain. Baik pada komunitas
muslim atau dengan yang di luar muslim. Perubahan pola hidup yang dimaksud
adalah perubahan pola berfikir dan bertindak serta adanya tuntutan keperluan
hidup. Sehingga hukum aktual yang ada dalam Islam merupakan suatu keharusan. Pada sisi lain, tanpa adanya wahyu dan maksum yang berkuasa
dalam kehidupan muslim, maka muslimin harus bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri, yakni ia harus selalu berada dan berjalan di bawah hukum Ilahi. Maka
usaha maksimal mendapatkan hukum tersebut merupakan kewajiban muslimin. Dengan hal di atas pun bukan berarti permasalahan kewajiban
tersebut telah terlepas dari persoalan, tetapi masih banyak masalah lain dalam
ijtihad, seperti: a. Apakah ijtihad hanya terbatas pada kasus-kasus yang tidak
ada nashnya? b. Apakah boleh berijtihad (ta'awul) ketika ada nash? c. Mana yang harus didahulukan, ijtihad atau hadits nabawi? d. Siapa yang berhak untuk berijtihad? Empat kasus di atas telah membelah muslim menjadi dua
pecahan, yaitu kelompok Ahl al-Ra'yu dan Ahl al-Hadits, tanpa disadari. Boleh
jadi, dari sini pula kelompok kalam terbagi menjadi Mu'tazilah yang menggunakan
akal untuk qiyas dalam menentukan hasan (baik) dan qubuh (buruk); dan kelompok
Asy'ariy yang lebih mengutamakan hadits nabawi. Apapun yang terjadi, permasalahan ini akan kembali kepada
persoalan: adakah kini masih terbuka pintu ijtihad dan siapa yang dibenarkan
untuk berijtihad? Dibalik pertanyaan ini sebenarnya tersembunyi suatu hal yang
sangat penting, yaitu fiqih itu sendiri. Karena, fiqih merupakan gambaran atau
penjelas dari simbol dan amal serta kriteria Islam. Dengan kata lain, gambaran
Islam dapat dilihat dari keberadaan fiqih. Keislaman seseorang terlihat dengan
bentukan (pengejawantahan) fiqih pada dirinya. Karena itu keberadaan ijtihad
dan mujtahid memegang peran yang sangat penting atas keberadaan Islam dalam
kehidupan manusia. Dalam Surat al-Taubah ayat 122 ditegaskan: "Mengapa
tidak pergi sebagian di antara setiap golongan kamu untuk memperdalam
pengetahuan tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya bila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka dapat menjaga dirinya." Fiqih berasal dari akar kata tafaqquh. Fiqih adalah
pemahaman mendalam serta pengertian sempurna tentang realitas sesuatu.
Al-Raghib al-Isfahani dalam Mufrad Al-Quran menyatakan bahwa tafaqquh ialah
spesialisasi, dengan mengatakan: tafaqqahu idza thalabahu fatakhashshasha bihi.
Begitulah, Al-Quran memerintahkan muslimin untuk memperdalam pengetahuan
sehingga dapat mengatasi problema kehidupan ini. Bergabungnya
Semua Hukum Islam dengan Politik Islam bukan merupakan satu sisi penilai terhadap persoalan,
tapi Islam merupakan penilai dan penilaian dari semua sisi. Semua permasalahan,
baik yang berhubungan dengan dunia, politik, masyarakat, ekonomi, dan juga
semua permasalahan yang berhubungan dengan sisi-sisi yang tidak diketahui oleh
ahli-dunia. Agama Tauhid didatangkan agar manusia mengetahui kedua sisi
tersebut dan membahasnya. Dan untuk keduanya terdapat hukum di dalamnya. Karena itu, muslim yang ber-tauhid tentu saja tidak hanya
memandang dari satu sisi saja dan melupakan sisi lain. Islam, yang
kesempurnaannya melebihi agama lain, semua hukumnya bergabung dengan politik.
Semuanya terikat dalam politik. Shalat bersenyawa dengan politik. Haji, zakat,
pelaksanaan negara, semuanya berhubungan dengan politik. Kaum isti'mar
(penindas)-lah yang berusaha hendak memisahkan dan mengesampingkannya. Dengan ini fungsi fuqaha (jamak dari faqih) merupakan fokus
perjalanan Islam di tengah kehidupan Islam. Dinyatakan dalam ungkapan:
"Fuqaha adalah benteng Islam seperti benteng kota untuk membentengi
kota." Dari sisi lain dinyatakan: "Ulama adalah pewaris Nabi." Jadi, dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan ulama
adalah faqih (yang menguasai fiqih) yang dapat menjaga Islam. Maka ulama akan
masuk dalam standar keulamaan dengan predikat faqih-nya, untuk menjaga Islam.
"Demikianlah sesungguhnya perjalanan semua hal dan ahkam ada pada tangan
ulama Ilahi, penanggung-jawab halal dan haram-Nya." |