Aku Lebih Baik dari DiaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh : KH. Jalaluddin
Rakhmat
Suatu hari, Allah SWT berfirman kepada Nabi Musa as,
"Hai Musa, bila nanti kau akan bertemu dengan-Ku lagi, bawalah seseorang
yang menurutmu kamu lebih baik daripada dia." Nabi Musa as lalu pergi ke
mana-mana; ke jalanan, pasar, dan tempat-tempat ibadat. Ia selalu menemukan
dalam diri setiap orang itu suatu kelebihan dari dirinya. Mungkin dalam
beberapa hal yang lain, orang itu lebih jelek dari Nabi Musa, tetapi Nabi Musa
selalu menemukan ada hal pada diri orang itu yang lebih baik dari dirinya. Nabi
Musa tidak mendapatkan seorang pun yang terhadapnya Nabi Musa dapat berkata,
"Aku lebih baik dari dia." Karena gagal menemukan orang itu, Nabi Musa masuk ke
tengah-tengah binatang. Dalam diri binatang pun ternyata selalu ada hal-hal
yang lebih baik daripada Nabi Musa. Seperti kita ketahui, burung Merak,
misalnya, bulunya jauh lebih bagus dari bulu manusia. Sampai akhirnya Nabi Musa
melewati seekor anjing kudisan. Nabi Musa berpikir, "Mungkin sebaiknya aku
pergi membawa dia." Ia pun lalu mengikat leher anjing itu dengan tali.
Namun ketika sampai ke suatu tempat, Nabi Musa melepaskan anjing itu. Ketika Nabi Musa datang untuk bermunajat lagi di hadapan
Allah SWT, Tuhan bertanya, "Ya Musa, mana orang yang Aku perintahkan
kepadamu untuk kaubawa?" Nabi Musa menjawab, "Tuhanku, aku tidak
menemukan seseorang pun yang aku lebih baik darinya." Tuhan lalu
berfirman, "Demi keagungan-Ku dan kebesaran-Ku, sekiranya kamu datang
kepadaku dengan membawa seseorang yang kamu pikir kamu lebih baik darinya, Aku
akan hapuskan namamu dari daftar kenabian." Kata ana
khairun minhu atau "Aku
lebih baik dari dia" pertama kali diucapkan oleh Iblis untuk menunjukkan
ketakaburannya. Tuhan menyuruhnya untuk sujud kepada Adam as tapi Iblis tidak
mau. Ia beralasan, "Aku lebih baik dari dia. Kau ciptakan aku dari api dan
Kau ciptakan dia dari tanah." Takabur yang dilakukan oleh Iblis pertama
kali itu adalah takabur karena nasab, takabur karena keturunan. Menurut Al-Ghazali, di antara beberapa faktor yang
menyebabkan orang menjadi takabur dan berfikir, "Aku lebih baik dari
dia," adalah nasab. Iblis adalah tokoh takabur karena nasab yang paling
awal. Kebanggaan atau kesombongan karena nasab ini pernah menjadi satu sistem
dalam masyarakat feodal. Feodalisme adalah sistem kemasyarakatan yang membagi
masyarakat berdasarkan keturunannya. Sebagian masyarakat disebut berdarah biru
dan sebagian lagi berdarah merah. Ada sebuah buku yang dengan secara terperinci mengkritik
sebagian sayyid atau keturunan Rasulullah saw yang merasa bahwa mereka lebih
utama dari orang yang bukan sayyid. Sebagian sayyid itu berpendapat bahwa jika
ada orang bukan sayyid yang beramal saleh sebanyak-banyaknya, derajatnya akan
tetap lebih rendah dari seorang sayyid yang beramal maksiat. Menurut penulis
buku tersebut, seorang sayyid yang berpendapat seperti itu pastilah seorang
sayyid yang ahmaq atau tolol. Dalam salah satu buku itu,
ia memberikan contoh sayyid yang berpikiran seperti itu sebagai orang yang
takabur karena nasabnya. Ternyata, penulis buku itu pun adalah seorang sayyid.
Namanya Al-Sayyid Abdul Husain Asghai.# Penulis itu mengingatkan saya kepada Imam Ali Zainal Abidin
as. Ia pernah menangis terisak-isak di hadapan Baitullah. Thawus Al-Yamani
mendekatinya dan bertanya, "Wahai Imam, mengapa engkau harus beribadat
seperti ini? Bukankah kakekmu Rasulullah saw dan ibumu Fathimah as?" Lalu
Imam dengan marah menjawab, "Jangan sebut-sebut di hadapanku ibuku dan
kakekku, karena Allah SWT akan memberikan surga kepada siapa saja yang taat
kepada-Nya, walaupun ia adalah seorang budak dari Afrika. Dan Allah akan
memasukkan ke neraka siapa saja yang maksiat kepada-Nya walaupun ia adalah
seorang sayyid dari bangsa Quraisy." Berbangga sebagai keturunan Rasulullah saw saja adalah suatu
perbuatan takabur, apalagi berbangga sebagai keturunan bukan Rasulullah saw.
Orang yang berbangga karena keturunannya yang bukan Rasulullah saw adalah
seperti orang miskin yang takabur. Hal itu bukan berarti orang kaya boleh
takabur. Orang kaya yang takabur pun akan dimasukkan ke neraka. Kehormatan dalam Islam tidak ditegakkan berdasarkan nasab.
Tuhan berfirman, "Innâ akramakum ‘indallâhi atqâkum. Sesungguhnya
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling takwa."
(QS. Al-Hujrat 13 ) Pernah pada suatu hari, seseorang datang kepada Rasulullah
saw dengan membanggakan nasabnya. Di kalangan masyarakat Arab waktu itu,
kebanggaan suatu nasab didasarkan pada jumlah jasa yang dilakukan nasab itu.
Karena itu, mereka sering menyebut-nyebut jasa orang tua mereka. Orang itu
memperkenalkan dirinya dengan menyebut silsilah orang tuanya sampai keturunan
kesembilan. Rasulullah saw hanya menjawab pendek, "Wa anta ‘âsyiruhum
fin nâr. Dan engkau, keturunan yang kesepuluh, di neraka." Ia masuk
neraka karena ketakaburannya. Ketika berhadapan dengan orang yang takabur karena nasabnya,
yang membanggakan kehebatan orang tuanya, Sayidina Ali berkata, "Ucapan
kamu benar. Tapi alangkah jeleknya yang dilahirkan oleh orang tuamu." Al-Ghazali membagi takabur kepada dua bagian. Pertama, takabur dalam urusan agama dankedua, takabur dalam urusan dunia.
Takabur dalam urusan agama dibagi lagi menjadi dua; takabur karena ilmu dan
takabur karena amal. Menurut Al-Ghazali, yang banyak takabur karena ilmu adalah
para ilmuwan, filusuf, dan ulama. Apa tanda-tanda orang yang takabur karena ilmunya?
Ia tidak mau mendengarkan nasihat dari orang yang lebih bodoh darinya. Ia
merasa dirinya paling pintar dan tidak memerlukan bantuan orang lain. Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menceritakan kisah dua orang yang
lulus bersamaan dari perguruan tinggi. Satu orang di antaranya luar biasa
pintar dan lulus dengan nilai tertinggi sementara seorang yang lain lulus
dengan nilai pas-pasan. Dua tahun kemudian, diselidiki nasib kedua orang itu.
Orang yang pintar itu ternyata menganggur sementara orang yang tidak pintar
telah menjadi manajer di sebuah perusahaan. Selidik punya selidik, ternyata
orang pintar itu tidak tahan bekerja di satu tempat, karena dia tidak bisa
bekerja sama dengan orang lain. Ia merasa dirinya pintar sehingga tidak memerlukan
bantuan orang lain. Takabur yang kedua di dalam urusan agama adalah takabur
karena amal. Jika seseorang banyak beramal, ia bisa menjadi sombong. Dalam
sebuah hadis diriwayatkan seseorang yang datang ke majelis Nabi. Orang itu
dipuji para sahabat karena kebagusan ibadatnya. Tapi Nabi mengatakan, "Aku
melihat bekas tamparan setan di wajahnya." Nabi kemudian menyuruh sahabat
membunuh orang itu. Orang itu merasa amal dirinya paling baik di antara orang
lain. Di waktu lain, Rasulullah saw bersabda, "Jika ada seseorang yang
berkata, ‘Manusia ini semuanya sudah rusak,’(dan ia merasa bahwa hanya dirinya
yang tidak rusak) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya dia yang paling
rusak." Ada orang yang merasa amalnya sudah bagus sehingga dia
merendahkan orang lain. Ada juga orang yang merasa dirinya amat saleh dan
segera menganggap rendah orang lain yang tidak salat berjemaah di masjid
seperti dirinya. Ia pun mengecam orang lain yang salatnya dijamak. Orang-orang
seperti itu termasuk orang yang takabur karena amalnya. Sayidina Ali mengajarkan kepada para pengikutnya,
"Kalau kamu berjumpa dengan orang yang lebih muda, berpikirlah dalam
hatimu: Pasti dosanya lebih sedikit dari dosaku. Kalau kamu berjumpa dengan
orang yang lebih tua, berpikirlah dalam hatimu: Pasti amalnya lebih banyak dari
amalku." Setiap orang pasti ada kelebihannya. Kita juga punya kelebihan,
tetapi hal itu tidak menyebabkan kita menjadi lebih mulia daripada orang lain.
Begitu kita merasa diri kita lebih mulia dari orang lain dan ingin diperlakukan
sebagai orang mulia secara diskriminatif, kita sudah jatuh kepada takabur.
Takaburnya bisa karena ilmu atau karena amal. Takabur bagian kedua menurut Al-Ghazali adalah takabur dalam
urusan dunia. Takabur dalam urusan dunia disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena nasab, seperti telah dijelaskan
di atas.Kedua, karena harta kekayaan. Ketiga,
karena kekuasaan. Keempat,
karena kecantikan. Kelima,
karena banyaknya anak buah dan pengikut. Penyakit yang terakhir ini biasanya
diderita oleh para ulama. Rasulullah saw bersabda, "Tidak akan masuk surga orang
yang di dalam hatinya terdapat takabur walaupun hanya sebesar biji sawi."
Kita dapat mengukur hati kita, apakah terdapat sebutir takabur atau tidak,
dengan menjawab beberapa pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan itu sebagai berikut:
Ketika Anda masuk ke dalam sebuah majelis dan melihat kawan Anda yang setara
dengan Anda duduk di tempat yang lebih mulia, sementara Anda duduk di tempat
yang lebih rendah, apakah ada perasaan berat dalam diri Anda? Ketika Anda akan
memilih menantu dan memperhatikan keturunan calon menantu itu, lalu ternyata
keturunannya tidak sebanding dengan Anda, apakah Anda merasa berat menerimanya?
Apakah Anda merasa berat menerima nasihat dari orang yang lebih rendah daripada
Anda? Apakah Anda merasa berat untuk memakai pakaian yang jelek ketika
menghadiri pengajian? Jika Anda menjawab "ya" untuk salah satu dari
pertanyaan di atas, ketahuilah, Anda sudah jatuh ke dalam takabur. Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah hadis. Rasulullah saw
bersabda, "Pastilah orang yang takabur itu punya cacat dalam dirinya yang
ia sembunyikan." Hadis itu saya kira sangat modern. Menurut Psikologi
mutakhir, orang-orang yang arogan atau sombong di dunia ini sebetulnya adalah
orang yang menderita cacat tertentu yang tidak kita ketahui dan mereka berusaha
menutupinya. Kita dapat mengobati perasaan takabur dengan istighfar dan
bersikap tawadhu. Tidak ada obat bagi takabur selain bersikap rendah hati. Rasulullah
saw bersabda, "Jika kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap
tawadhu, maka hendaklah kamu bersikap lebih tawadhu lagi kepada mereka. Dan
apabila kamu temukan di antara umatku orang yang bersikap takabur, maka
hendaklah kamu bersikap lebih takabur lagi kepada mereka." (Ceramah KH. Jalaluddin Rakhmat pada Pengajian Ahad, tanggal
5 September 1999, di Masjid Al-Munawwarah, Bandung. Dengan beberapa perubahan
redaksional, ceramah ini ditranskrip oleh Ilman Fauzi R.) |