Agama dan Akhlak [II]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Komprehensi-komprehensi yang digunakan dalam akhlak seperti
"baik", "buruk", "harus", "tidak
boleh", "benar", "tidak benar", "tugas", dan
"tanggung jawab", semuanya merupakan komprehensi-komprehensi khusus
yang mempunyai makna dan pengertian masing-masing. Pemahaman-pemahaman nilai
ini memiliki paedah dalam penggunaannya ketika mempunyai basis dan landasan
ontologis, sehingga jika seseorang melanggar nilai-nilai akhlak, ia akan
merasakan konsekuensi dari pelanggarannya dalam bentuk penderitaan atau kepedihan
hidup serta jauh dari kebahagiaan. Fitrah manusia dan pengajaran yang didapatkannya dari agama,
dapat menjadi penjamin atas pengamalan dan perealisasian perbuatan-perbuatan
akhlak. Pahala dan balasan, dengan tidak melihat wilayah aktualitasnya,
mempunyai dampak atas perealisasian nilai-nilai akhlak di tengah masyarakat
apatah lagi dengan adanya sangsi-sangsi sosial seperti pujian terhadap pelaku
akhlak baik dan celaan terhadap para pelaku akhlak buruk. Namun yang paling
urgen dalam masalah ini adalah keberadaan Tuhan yang menjadi asumsi dan
postulat agama yang dapat menjadi penjamin utama bagi pelaksanaan
perbuatan-perbuatan akhlak baik dan pengaman ampuh untuk meninggalkan
perbuatan-perbuatan akhlak buruk. Sangat banyak dari
komprehensi-komprehensi agama bisa berpengaruh dalam masalah-masalah akhlak.
Misalnya, ketika kita mengatakan perbuatan benar adalah perbuatan yang
diperintahkan Tuhan, di sini kita membawa keberadaan Tuhan secara langsung
dalam masalah akhlak. Tetapi terkadang kita mengatakan perbuatan benar adalah
perbuatan yang menjamin kebahagiaan abadi manusia maka di sini kita tidak
berbicara secara langsung tentang Tuhan, tetapi salah satu dari doktrin lain
agama; yakni kita menerima postulat tentang kehidupan abadi manusia. Yakni kita
menerima secara yakin bahwa manusia setelah mati dan meninggalkan alam materi
ini, ia akan melewati kehidupan lain yang abadi dan lestari, dan di sana ia
akan mendapatkan pahala kebahagiaan atau balasan kesengsaraan. Berkenaan dengan komprehensi agama
dan komprehensi akhlak serta hubungan keduanya telah kita bahas dalam tulisan
sebelumnya, dimana dalam hal ini penentuan ukuran akhlak akan berpengaruh dalam
memberi tinjauan dan konklusi tentangnya. Dengan pengertian bahwa jika akhlak
berdasarkan prinsip manfaat atau prinsip kelezatan atau berdasarkan prinsip
sosial masyarakat atau prinsip akal praktik ('amali), dalam konteks ini
mungkin akhlak dengan agama diasumsikan tidak mempunyai hubungan sama sekali
atau hubungan keduanya hanya dalam bentuk pondasi bagi yang lainnya; dan jika
parameter permasalahan-permasalahan akhlak adalah kedekatan dengan Tuhan,
dengan meninjau ketiadaan pengetahuan kita terhadap "qurbah" dan "maqâm" Tuhan maka hubungan antara akhlak
dan agama merupakan hubungan proposisi dan kandungan. Dalam tulisan sebelumnya juga telah
dipaparkan secara singkat beberapa teori dan pandangan pemikir Barat berkenaan
masalah ini. Sekarang dalam tulisan kedua ini kami akan paparkan beberapa teori
dan pandangan dari ulama dan pemikir Muslim tentang hubungan akhlak dengan
agama serta mengungkapkan teori yang menjadi pilihan kami. Pandangan Ulama dan Pemikir Islam
1. Pandangan 'adliyah dan non-adliyah serta teori keberadaan konklusi dan
ketiadaan konklusi akhlak dari agama
Para teolog dan filosof Islam, membincangkan tentang
hubungan agama dan akhlak secara bertepatan dengan pembahasan mereka pada
masalah kebaikan dan keburukan syar'i atau akli. Dan secara umum kaum muslimin
berdasarkan tinjauan mereka terhadap hubungan kedua fenomena ini dibagi atas
dua kelompok asasi 'Adliyah (yang dianut oleh mazhab Syiah dan
Mu'tazilah) dan non-Adliyah (Asy'ariyah).
'Adliyah adalah golongan
yang meyakini bahwa manusia mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian
dari prinsip-prinsip akhlak, dan sebagian permasalahan-permasalahan akhlak
serta kebaikan dan keburukan perbuatan harus diperoleh dari jalan kitab serta
sunnah; kendatipun kebaikan dan keburukan perbuatan itu sendiri pada hakikatnya
merupakan esensialitas amal. Oleh karena itu kebahagiaan akhir manusia berada
dalam orbit pengamalan terhadap hukum-hukum akal dan syar'i akhlak. Teori dan
pandangan ini yang juga dianut oleh sebagian ulama Masehi, disandarkan kepada
Mu'tazilah dari ahlu sunnah dan pemikir-pemikir Syi'ah. Dalam berhadapan dengan
pandangan ini, kaum Asy'ariyah dan non-Adliyah yang menolak teori prioritas
(kedahuluan) akhlak atas agama serta memandang bahwa dalam kedudukan afirmasi
dan pembuktian, akhlak merupakan bagian dari agama dan natijahnya dihasilkan
dari agama. Teori mazhab Asy'ariyah yang mengusung pandangan kebaikan
dan keburukan syar'i dapat dijelaskan dalam dua bentuk: pertama, bentuk pengambilan natijah dan kedua, bentuk
kenyataan. Dengan pengertian bahwa ketika Tuhan memerintahkan kerjakan
perbuatan X, apakah dari kalimat ini dapat diperoleh konklusi bahwa para
mukallaf secara akhlak harus mengerjakan perbuatan X tersebut; yakni
proposisi-proposisi nilai dalam akhlak, setimbang dengan proposisi-proposisi
deskriptif dalam agama. Supaya kedua pandangan ini menjadi jelas maka kita
membutuhkan pembahasan tentang kebaikan dan keburukan dari sudut pandang
'Adliyah dan non-Adliyah. Masalah kebaikan dan keburukan dzâti (esensial) dan rasional, merupakan
pembahasan yang sangat urgen dan menjadi salah satu topik bahasan dalam
Teologi, Akhlak, dan Ushul Fiqih, dan berperan sebagai suatu kaidah dasar dalam
memecahkan banyak dari masalah-masalah lain yang berhubungan dengan akhlak dan
agama. Pembahasan keniscayaan dan kemestian akal dalam Ushul Fiqih, kelestarian
nilai-nilai asli manusia dalam ilmu akhlak, dan masalah-masalah penting teologi
seperti kewajiban taklif, keberadaan balasan, keniscayaan pengutusan Nabi dan
Rasul Tuhan As, dan masalah lainnya dalam ilmu Kalam, semua topik-topik
tersebut bersandar pada masalah kebaikan dan keburukandzâti. Akar dari
masalah kebaikan dan keburukan akal sejak dahulu telah diungkap dalam filsafat
Yunani; dimana filosof ini membagi filsafat dengan filsafat nazhari (teoritis) dan 'amali (praktik). Ilmu akhlak mereka masukkan
dalam filsafat 'amali dan mereka ungkapkan dalam filsafat
ini tentang kemandirian kebaikan dan keburukan serta kemandirian nilai-nilai
akhlak. Para teolog Islam juga dalam pembahasan
hikmah dan keadilan Tuhan, mengungkapkan tentang pembahasan kebaikan dan keburukan aqli, serta mengutarakan suatu
pertanyaan tentang apakah akal manusia mempunyai kemampuan memahami dan
menghukumi kebaikan dan keburukan amal dan perbuatan ataukah tidak? Dan mereka
memandang bahwa pemecahan masalah ini merupakan kunci daripada kerumitan
masalah-masalah kalam.[1] Untuk lebih gamblangnya masalah ini,
perlu perhatian terhadap penjelasan di bawah ini: Masalah kebaikan dan keburukan, diungkap
dalam hubungannya dengan maqâm penetapan danmaqâm kenyataan. Pada maqâm kenyataan dibicarakan tentang kebaikan
dan keburukan dzâti(esensial),
sedangkan dalam maqâm pembuktian dibahas tentang masalah
kebaikan dan keburukanaqli (rasional).
Pada maqâm pertama, pertanyaan dalam bentuk
apakah amal dan perbuatan, esensial dan dalam maqâm realitas tersifati dengan baik dan
buruk? Dan pada maqâm kedua, pertanyaan berhubungan dengan
epistemologi serta kemampuan akal dalam mengkonsepsi kebaikan dan keburukan
perbuatan. Adapun yang dimaksud dzâti (esensial) dalam baik dan buruk
perbuatan, terdapat dua pandangan: 1. Sebagian memandang bahwa dzâti dalam pembahasan ini, adalah dzâti bab burhan, yakni keniscayaan dzat; dengan
pengertian bahwa kebaikan dan keburukan terhitung sebagai kemestian dan
keniscayaan dzâti perbuatan.[2] 2. Sebagian lain menyalahi pandangan di
atas dan berkata bahwa keniscayaan kuiditas (mahiyah), merupakan suatu
realitas di samping realitas lain; sementara di sisi lain, kebaikan dan
keburukan merupakan suatu perkara iktibari (persepsi mental); oleh karena itu,
yang dimaksud dengandzâti dalam
masalah ini, adalah aqli itu sendiri; yakni seseorang tanpa
mengambil bantuan dari luar, mempersepsi kebaikan dan keburukan perbuatan.[3] Menurut pandangan kami, dari pembahasan-pembahasan dan
argumentasi penetapan atau penafian kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli dalam karya-karya Asy'ariyah dan
Mu'tazilah, duamaqâm kenyataan
dan pembuktian dalam masalah ini adalah jelas; kendatipun kedua maqâm ini, dalam hal dimana keduanya
bercampur maka esensial (dzâti) ditafsirkan dengan rasional (aqli),
akan tetapi yang benar dalam masalah ini adalah pemisahan kedua maqâm ini. Dalam maqâm kenyataan, pembahasan berhubungan
dengan apakah Syâri' Muqaddas (penetap hukum dan undang-undang,
yakni Tuhan) mempertimbangkan dan memperhitungkan kebaikan dan keburukan bagi
perbuatan ataukah perbuatan tidak diperhitungkan dengan sifat baik atau buruk?
Dan dalam maqâm pembuktian, pembahasan berhubungan
dengan metode pengetahuan, yaitu apakah dalam menyingkap kebaikan dan keburukan
perbuatan kita butuh kepada teks agama? Apakah akal, tanpa butuh pada media
lain mampu mengkonsepsi kebaikan dan keburukan perbuatan? Maka dari itu,
masalah pertama berhubungan dengan maqâm pembuatan dan penetapan dan masalah
kedua, berhubungan dengan maqâmpenyingkapan
dan pembuktian. Dengan
demikian, dzâti tidak bisa ditafsirkan sebagai aqli; demikian pula tidak
mungkin juga dikembalikan kepada dzâti bab burhan. Penelitian kami dalam masalah ini menyimpulkan bahwa dzâti di sini, bermakna bahwa
perbuatan-perbuatan yang tersifatkan dengan baik dan buruk, tidak butuh kepada
perantara dalam "tsubût" (kenyataan) yaitu dzâti sebagaimana yang dibahas dalam bab
burhan dan jika sebagian dari peneliti ushul fiqih menyanggah bahwa sangat
banyak dari perbuatan-perbuatan, seperti mengambil harta lain yang dialamatkan
dengan kebencian dan ketidakridaan, tersifatkan dengan sifat buruk dan berhak
dicela, dan penyifatan perbuatan dengan buruk mengambil bentuk dengan
perantara.[4] Harus dijawab bahwa peneliti
bersangkutan telah salah-kaprah dalam meninjau subyek keburukan; sebab dalam
contoh tersebut, terjadi pada subyek yang disebut sebagai
"pencurian", bukan mengambil harta lain; meskipun dalam "unwân"
(nama, alamat) pencurian, juga tersembunyi pengertian mengambil harta lain dan
ketidakrelaan. Para teolog Islam dalam masalah ini terbagi kepada dua
kelompok; suatu kelompok yang mengingkari kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli serta masyhur disebut kaum Asy'ariyah;
kelompok lainnya yang menerima kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli,
disebut dengan kaum Adliyah. Muhaqqiq Thusi dan teolog lainnya dari Adliyah,
mengkonstruksi beberapa argument untuk membuktikan kebaikan dan keburukan dzâti dan aqli;
sebagai contoh Muhaqqiq Thusi dalam Kitab "Tajrîd al-I'tiqâd",
berkata: "Jika kebaikan dan keburukan adalah syar'i, dalam bentuk ini maka
tidak akan tertetapkan kebaikan dan keburukan akal demikian juga kebaikan dan
keburukan syar'i; sebab jika misalnya berdusta adalah bukan keburukan aqli, dan secara asumsi seorang
nabi mengabarkan bahwa berdusta adalah buruk, darinya tidak dapat diterima
berita tersebut; sebab mungkin saja pemberitaannya tentang keburukan berdusta,
adalah dusta. Dengan demikian kenabian ia juga tidak terbukti; sebab berdasarkan
atas asumsi, berbuat yang menyalahi hikmah, tidak buruk bagi Tuhan dan
membenarkan pendusta juga adalah tidak buruk. Implikasi dari asumsi ini juga,
mungkin saja seseorang mengkalim kenabian tentang dirinya dengan berdusta dan
Tuhan memberlakukan mukjizat ditangannya, di samping itu tidak ada celaan jika
nabi palsu ini mencegah orang-orang dari sesuatu yang diwajibkan Tuhan serta
memerintahkan mereka pada sesuatu yang diharamkan Tuhan atas nama Tuhan. Singkat kata, ketika berdusta bukanlah keburukan aqli maka seluruh kemungkinan-kemungkinan
ini tentu saja menjadi hal yang dimungkinkan.[5] Dengan penjelasan lain, jika kebaikan
dan keburukan aqlitidak
diterima maka keluarnya mukjizat dari para pendusta dan nabi hakiki tidaklah
dapat dibedakan dan dalam bentuk itu, tidak ada kemungkinan untuk menetapkan
kenabian dan syariat. Para pengusung Adliyah setelah menetapkan kebaikan dan
keburukan dzâti serta akli, lantas menyandarkan berbagai masalah teologi khusus
terhadap kaidah ini; masalah-masalah seperti makrifatullah atau keniscayaan
pengenalan terhadap mun'im (pemberi nikmat), kemestian bersyukur
kepada mun'im, kemestian
menolak dharâr (kerugian) yang sangat berefek pada
keselamatan, menyifatkan Tuhan dengan sifat adil dan hikmah, kemustahilan
keluarnya keburukan dari Tuhan, kaidahlutf, keniscayaan pengutusan
nabi-nabi, kebaikan taklif, pembenaran terhadap para penyeru kenabian,
undang-undang tetap dalam dunia yang berubah, kelestarian akhlak dan
topik-topik lain yang menjadi natijah dari masalah ini.[6] Setelah pembuktian kebaikan dan keburukan dzâti, giliran berikutnya
adalah pembuktian kebaikan dan keburukan aqli.
Harus diperhatikan bahwa pertikaian dan perbedaan di antara Asy'ariyah dan
Adliyah berada pada tataran bahwa pendukung kebaikan dan keburukan aqli (Adliyah) memiliki keyakinan bahwa
akal mempunyai kemampuan dalam mengkonsepsi sebagian dari perbuatan-perbuatan
Tuhan dan manusia. Asas dan prinsip universal kebaikan dan keburukan perbuatan
seperti kebaikan perbuatan adil dan dan keburukan perbuatan zalim serta
sebagian yang partikular seperti keburukan menggunakan harta orang lain tanpa
keridaannya, keburukan bohong, kebaikan jujur, kebaikan amanah dan
perbuatan-perbuatan partikular lainnya, bagi semua orang adalah sudah jelas
kedudukannya. Di samping itu Adliyah juga berkeyakinan bahwa untuk mengetahui
dan menyingkap sebagian kebaikan dan keburukan, harus dengan perantara syariat
suci yang datang dari Tuhan. Dalam berhadapan pandangan ini, mereka yang
mengingkari kebaikan dan keburukan aqli.
Menurut mereka (Asy'ariyah), akal secara mandiri sama sekali tidak mampu
mengkonsepsi dan mengetahui kebaikan dan keburukan perbuatan, oleh karena itu
berasaskan ini, untuk mengetahui seluruh perkara baik dan buruk perbuatan
adalah dharuri dan niscaya merujuk kepada syariat. Perbedaan yang jelas dalam norma dan kultur di antara
bangsa-bangsa, tidak bertentangan dengan kebaikan dan keburukan aqli; sebab klaim Adliyah pada
maqam pembuktian yang berhubungan dengan prinsip universal dan sebagian yang
partikular, dimana pada poin-poin itu tidak terdapat perbedaan di antara
suku-suku dan bangsa-bangsa. Jika seseorang mengkonsepsi subyek dan predikat
masalah ini secara benar maka ia akan menghukuminya juga secara benar. Demikian
juga penerimaan terhadap kebaikan dan keburukan dzâti serta aqli, tidak memestikan penentuan
dan pembatasan kekuasaan Tuhan; sebab ketika dikatakan bahwa Tuhan tidak akan
melakukan perbuatan-perbuatan buruk; ini punya pengertian bahwa kesempurnaan
wujud Tuhan secara tinjauan takwini meniscayakan perkara demikian ini dan akal
juga menyingkap hubungan niscaya tersebut. Hubungan akhlak dan agama mendapatkan pandangan yang berbeda
berasaskan masing-masing dari pra asumsi-pra asumsi di atas. Berdasarkan
prinsip Adliyah, akhlak dalam maqâm kenyataan tidak mempunyai hubungan
dengan agama dan syariat serta masing-masing terlepas satu sama lain; sebab
perbuatan-perbuatan, secara dzat tersifati dengan baik dan buruk, dan pada
maqam itsbât (penetapan, pembuktian), dalam bagian
universal dan sebagian dari bagian partikular juga terlepas dan mandiri dari
agama dan syariat. Akan tetapi dalam masalah-masalah lain dari akhlak, terdapat
hubungan yang erat dan dalam dengan agama dan syariat. Adapun berdasarkan
prinsip Asy'ariyah, akhlak pada maqâmkenyataan
dan penetapan mempunyai hubungan sinkritis dengan agama, dan akhlak secara
kenyataan dan penetapan diperoleh dari agama serta merupakan bagian dari agama. 2. Pandangan Ustad Misbah Yazdi:
Hubungan Organik Akhlak dan Agama
Ustad Misbah Yazdi, dalam kitab "Filsafat Akhlak",
secara detail memasuki pembahasan hubungan gama dan akhlak. Ringkasan
pandangannya antara lain berikut ini: Baik dan buruk akhlak, pada kenyataannya
menjelaskan adanya hubungan antara perbuatan ikhtiar manusia dan
natijah-natijah akhir dari itu dan kita dapat memahami bahwa perbuatan itu
adalah baik ataukah buruk. Jika suatu perbuatan mempunyai hubungan positif
dengan kesempurnaan akhir kita maka itu adalah baik dan jika hubungannya
negatif maka itu adalah buruk. Pada dasarnya, pandangan ini tidak diambil dari satupun
keyakinan agama; yakni kemestian penerimaan pandangan ini tidak memestikan
penerimaan wujud Tuhan atau hari kiamat dan atau perintah-perintah agama. Akan
tetapi dalam masalah apakah kesempurnaan akhir itu? Dan bagaimana dapat
disingkap hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir? Di sinilah timbul
hubungan antara akhlak dengan agama. Oleh karena itu, jika kita hanya meninjau prinsip asli dari
pandangan ini maka kita tidak berakhir pada agama; akan tetapi ketika kita
ingin memberi bentuk khusus dan tertentu tentang apa yang merupakan akhlak baik
dan apa yang merupakan akhlak buruk, dalam hal ini akan mendapatkan hubungan
dengan ushul agama dan kandungan wahyu serta kenabian. Ketika kita ingin
menentukan kesempurnaan akhir manusia, kita terpaksa mengutarakan permasalahan
Tuhan sehingga kita dapat menetapkan bahwa kesempurnaan akhir manusia adalah qurbah (dekat) pada Tuhan. Pada konteks
inilah pandangan ini mendapatkan hubungan dengan keyakinan agama. Demikian pula
untuk menentukan perbuatan-perbuatan baik dan hubungannya dengan kesempurnaan
akhir manusia, harus kita tinjau masalah keabadian jiwa sehingga jika
mendapatkan perbedaan dengan sebagian dari kesempurnaan-kesempurnaan materi
serta bertentangan dengannya, kita dapat melebihkan salah satu di antara mereka
dan berkata bahwa perbuatan X adalah buruk; bukan dikarenakan kita tidak mampu
meraih kesempurnaan materi; akan tetapi dikarenakan bertentangan dengan salah
satu dari kesempurnaan-kesempurnaan ukhrawi; maka dari itu harus juga ada
keyakinan terhadap ma'âd(eskatalogi). Di samping itu, apa yang dapat kita dapatkan dengan
perantara akal dari hubungan antara perbuatan dan kesempurnaan akhir, satu seri
pemahaman-pemahaman universal yang mana pemahaman-pemahaman ini, tidak seberapa
berguna untuk menentukan mashâdiq (contoh-contoh) perintah akhlak.
Misalnya kita memahami bahwa keadilan adalah baik atau menyembah Tuhan adalah
baik; akan tetapi dalam permasalahan bahwa adil dalam setiap masalah
meniscayakan apa dan bagaimana bertindak adil dalam setiap permasalahan, tidak
jelas dalam banyak masalah serta akal dengan sendirinya tidak dapat
menentukannya. Sebagai asumsi, apakah dapat ditinjau
dalam masyarakat hak-hak wanita dan laki-laki harus sama secara keseluruhan
ataukah harus ada perbedaan-perbedaan di antara mereka? Ketika kita dapat
menghukumi dengan adil suatu pandangan yang meliputi seluruh hubungan-hubungan
perbuatan kita dengan tujuan dan natijah akhirnya, tetapi kita mengetahui bahwa
pencakupan seperti ini tidak mungkin untuk akal biasa manusia; maka dari itu,
agar kita dapat memperoleh mashâdiq (contoh-contoh) khusus
perintah-perintah akhlak, kita tetap butuh kepada agama; artinya wahyulah yang
akan menjelaskan perintah-perintah akhlak dalam setiap masalah khusus dengan
batasan khususnya dan dengan syarat-syarat serta kemestian-kemestiannya, dan
akal secara mandiri tidak dapat mengambil tanggung jawab ini. Oleh karena itu,
pandangan kami juga dalam bentuk sempurnanya, butuh kepada prinsip-prinsip
keyakinan agama (keyakinan pada Tuhan, Ma'ad dan Wahyu) dan juga dalam
menentukan mashâdiq (contoh-contoh) kaidah akhlak butuh
kepada kandungan wahyu dan perintah-perintah agama. Yang pasti sesuai dengan
pandangan yang kami anggap benar, harus kami katakan bahwa akhlak tidak
terpisah dari agama; tidak dari keyakinan-keyakinan agama dan tidak dari
perintah-perintah agama. Dalam maqâm tsubût dan dalam maqâm itsbât, pandangan ini
meyakini keberadaan hubungan akhlak dengan agama.[7] 3.Pandangan Doktor Sourush: Agama
Minimum dalam Koridor Akhlak
Doktor Sourush dalam makalah "Agama Minimum dan
Maximum" yang ditulis dalam konteks menjawab batasan agama dalam tema yang
bermacam-macam seperti fikhi dan hak asasi, ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu humaniora,
dan akhlak, menjelaskan hubungan agama dan akhlak serta memandang agama
dinisbahkan dengan akhlak secara minimum. Ringkasan pandangannya antara lain berikut ini: · Salah satu yang paling penting penantian
kita dari agama adalah mengajarkan kepada kita moralitas dan nilai-nilai
moralitas; mengajarkan baik, buruk, kemuliaan, kehinaan, jalan kebahagiaan, dan
jalan kesengsaraan. · Moralitas terbagi atas dua kelompok
besar: moralitas makhdûm dan moralitas khâdim. Kedua kelompok besar
dari moralitas ini menjadi tinjauan kita terhadap hubungannya dengan kehidupan:
yakni kita memiliki satu kelompok dari nilai-nilai akhlak dimana kehidupan
untuknya dan kita mempunyai satu kelompok nilai-nilai dimana mereka itu untuk
kehidupan. Nilai-nilai yang mana kehidupan untuknya, kita namakan nilai-nilai makhdûm; yakni kita berkhidmat
kepada mereka; dan nilai-nilai yang untuk kehidupan atau berkhidmat pada
kehidupan, kita namakan nilai-nilai khâdim.
Pada dasarnya, volume besar ilmu-ilmu akhlak dibentuk dari nilai-nilai khâdim. 99 % adalah nilai-nilai khâdim dan 1% adalah nilai-nilaimakhdûm.
Memilih diam (tutup mulut) adalah adab kehidupan dalam sistem penindasan yang
telah berlalu. Berkata benar dan berdusta adalah nilai-nilai umum akhlak; akan
tetapi juga merupakan nilai-nilai khâdim;
bukan makhdûm. Kehidupan
tidak untuk berkata benar; tetapi berkata benar untuk kehidupan. · Dalam dunia baru, akan diganti dengan
nilai-nilai khâdim. Dalam
pembahasan globalisasi dan modernitas, perubahan nilai-nilai pada dasarnya
kembali kepada perubahan nilai-nilai khâdim; bukan kepada makhdûm. Akhlak yakni
adab kedudukan, adab perang, adab khalwat, adab kelas, adab tabiat, dan lainnya
bukanlah sesuatu yang relativ; ini adalah kemestian kedudukan; sebagaimana
seorang anak kecil yang akan menjadi besar dan mengganti masyarakatnya,
pengecualian-pengecualian moralitas adalah saksi terhadap perkara ini. Sesuai
dengan pandangan para cendekiawan akhlak, berdusta pada kondisi tertentu
diperbolehkan; mengapa? Sebab ketika kedudukan telah berganti, adab yang
berhubungan dengannya juga berubah. Ini tidak bermakna bahwa akhlak adalah
nisbi. Relativitas akhlak terjadi ketika relativitas di arahkan dalam nilai-nilai
makhdûm.[8] · Sekarang setelah diketahui bahwa
nilai-nilai khâdim adalah adab-adab kedudukan, oleh karena itu dari satu sisi,
setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan, mengharuskan terjadi juga
perubahan dalam medan moralitas (yakni nilai-nilai Khâdim kehidupan); dari sisi
lain, perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan, mempunyai hubungan
langsung dengan perubahan pengetahuan kita dihubungkan dengan kehidupan dan
manusia. Poin ini luar biasa penting; manusia hidup dengan kadar yang sesuai
dengan pengetahuannya. Kehidupan hari ini jika adalah kompleks, dikarenakan
pengetahuan mereka adalah kompleks dan kehidupan sederhana orang-orang dahulu,
dikarenakan pengetahuan sederhana mereka tentang alam, masyarakat, dan manusia.
Ringkasnya, ilmu-ilmu humaniora baru, juga merupakan cerminan kehidupan baru,
juga yang melahirkan kehidupan baru. Demikian juga agama dihubungkan dengan
ilmu-ilmu humaniora baru, mempunyai penjelasan minimal, sebab penjelasan agama
dihubungkan dengan kehidupan dan adab-adab akhlak juga adalah minim.[9] Kritik Terhadap Pandangan Doktor Sourush
Doktor Sourush, sejak zaman penyusunan
teori Qabdh wa Basth Teorik
Syariat, hingga kini telah banyak menuliskan dan mengungkapkan
masalah-masalah yang berhubungan dengan pengetahuan agama dan agama. Ketika ia
menuliskan Qabdh wa
Basth, ia berakhir pada relativitas makrifat agama; sekarang
pandangan-pandangan Doktor Sourush lebih banyak mengarah pada peminimalan dan
pengurangan warna rukun-rukun agama dan bentuk pandangannya ini juga merambah
pada bidang moralitas agama, dimana para pemikir Barat sekuleristik berusaha
semaksimal mungkin mengkonstruksi serangan-serangan terhadap bidang ini. Sekarang kami isyratkan beberapa
isykalan, sanggahan dan kritik terhadap pandangan di atas: a. Pertama kita tinjau pengklasifikasian akhlak dari
penyusun; dari defenisi yang ia utarakan dan nisbahkan terhadap nilai-nilai khâdim serta ia memperkenalkannya sebagai
nilai-nilai yang berkhidmat pada kehidupan masyarakat, ia pada dasarnya dalam
wilayah parameter akhlak normatif, menemukan kecenderungan pandangan teleological. Teori Teleologikal, memperkenalkan
hukum-hukum akhlak secara keseluruhan bersandarkan atas efek dan natijah dari
amal dan berdasarkan itu membawa perbuatan-perbuatan pada hukum baik dan buruk
atau harus dan tidak boleh; sekarang natijah itu, merupakan keuntungan amal
akhlak bagi pribadi pelaku, ataukah kecenderungan kelezatan atau sesuatu yang
lain bagi individu dan masyarakat. Pandangan ini, secara lebih dalam diutarakan
oleh tokoh-tokoh aliran empiris seperti Hume dan Stuart Mill; akan tetapi orang-orang
yang dalam koridor parameter keharusan dan ketidakbolehan moralitas,
mendeskripsikan tentang kesesuaian masalah-masalah akhlak dengan kesempurnaan
manusia, kedekatan Tuhan dan dimensi agung manusia, juga pada dasarnya dalam
suatu sisi berada pada pandangan dan teori teleologikal. Dalam berhadapan
mereka, ungkapan teori dan pandangan deontologikal (yang memandang bahwa
proposisi-proposisi akhlak itu memiliki realitas luaran) yang tidak membawa
kebenaran dan ketidakbenaran atau keharusan dan ketidakbolehan amal pada hasil, tujuan, dan
efek amal perbuatan; akan tetapi para pengikut teori ini berkeyakinan bahwa
amal mempunyai kekhususan-kekhususan yang menampakkan kebaikan dan keburukan
atau keharusan dan ketidakbolehan amal itu sendiri. Kant dan P. Richard
merupakan tokoh utama dari aliran ini. Sekarang setelah kedua kelompok motif
pendekatan ini dalam parameter masalah-masalah akhlak menjadi jelas, perhatian
penulis makalah "agama minimum dan maximum" terhadap dua poin ini
adalah perlu: pertama, pengklasifikasian akhlak kepada akhlak khâdim (proposisi akhlak yang diperuntukkan
untuk kehidupan, akhlak di sini sebagai media) dan makhdûm (sebaliknya, kehidupan ditujukan untuk
nilai-nilai akhlak), berdasarkan teori teleologikal adalah benar dan jika
seseorang berpandangan teori deontologikal maka pasti ia sama sekali tidak
menerima pengklasifikasian ini. Kedua, perubahan dan kenisbian nilai-nilai khâdim berdasarkan landasan aliran keuntungan
dan aliran kelezatan serta sebagian dari teori teleologikal adalah benar; akan
tetapi penjelasan akhlak seperti ini, tidak dapat diterima oleh orang yang
mendasarkan pandangannya atas landasan kesesuaian akhlak dengan kesempurnaan
manusia dan kedekatan Ilahi serta kelanggengan kesempurnaan akhir manusia. b. Pertanyaan yang bisa kita tujukan pada penulis makalah
"agama minimum dan maximum" adalah; dari jalan apa ia hasilkan
pembagian persentase yang dinisbahkan terhadap nilai-nilai khâdim dan makhdûm
serta pengkhususan 99% terhadap nilai-nilai khâdim dan 1% terhadap nilai-nilai makhdûm? Apakah diperoleh
dengan jalan induksi sempurna dalam proposisi-proposisi akhlak, ataukah
diperoleh dengan penelitian lapangan? c. Tentang ungkapannya bahwa antara adab dan akhlak harus
dipisahkan, ini tidak ada keraguan; akan tetapi terdapat nasehat-nasehat dari
maksumin As yang berhubungan dengan ketiadaan pengajaran adab-adab terhadap
anak-anak; tapi adapun komparisasi adab-adab atas nilai-nilai khâdim adalah
tidak sempurna atau minimal tidak mempunyai dalil. d. Penyusun makalah, mengutarakan pemisahan antara
nilai-nilai khâdim dan makhdûm;
akan tetapi ia tidak menyebutkan satupun contoh bagi nilai-nilai makhdûm; hal ini dikarenakan
setiap nilai-nilai moralitas mempunyai hubungan dengan kehidupan dan
pengarahannya kepada kehidupan dunia dan akhirat; dengan ungkapan penyusun;
hatta nilai-nilai makhdûm juga berhubungan dengan kehidupan manusia; dengan
dalil ini maka pemisahan yang dilakukannya adalah tidak sempurna. e. Jika pengkhususan 99% terhadap nilai-nilai khâdim dan juga perubahannya kita terima
dalam tatanan dunia baru dan modern serta berkembang, dalam bentuk itu kita
harus menerima penghapusan bagian besar daripada agama (dimana ini semua adalah
moralitas itu sendiri); dan kita tidak hanya terpaksa menghadapi minimalisasi
terhadap akhlak akan tetapi kita juga terpaksa menghadapi minimalisasi terhadap
al-Qur'an dan sunnah. d. Penyusun, untuk membuktikan klaimnya, menganggap bahwa
pengecualian-pengecualian akhlak dan kebolehan berdusta dalam sebagian kondisi
sebagai bukti atas permasalahannya, sementara dengan wujud ini, pada saat yang
sama ia menghindar dari kenisbian akhlak; akan tetapi pertama, ini sendiri
adalah kenisbian akhlak; yakni 99% dari akhlak ditinjau dari segi
ke-khâdim-annya adalah berubah dan nisbi; oleh karena itu, ini bukanlah jalan
keluar dari relativisme. Kedua, pembolehan berdusta, tidak menunjukkan sama
sekali bentuk pengecualian terhadap proposisi-proposisi akhlak; karena itu,
dalam hal ini penyusun tidak mempunyai ketelitian yang cukup dalam subyek
permasalahan. Jika subyek "tidak boleh dan buruk", adalah murni
berdusta, tentu saja hukum itu dapat dikecualikan; akan tetapi ketika berdusta
kita tinjau dengan seluruh syarat-syaratnya dan kita letakkan berdusta disertai
dengan penyebaran kerusakan sebagai subyek, maka selamanya akan berlaku hukum
tidak boleh dan buruk atasnya. e. Poin penting lain yang penyusun lalai darinya adalah
bahwasanya nilai-nilai khâdim juga terbagi atas dua bagian: pertama,
nilai-nilai yang diperuntukkan kehidupan dan berhubungan dengan bagian kebutuhan-kebutuhan
tetap kehidupan serta kebutuhan-kebutuhan abadi manusia, kedua, nilai-nilaikhâdim yang berhubungan dengan bagian-bagian
yang berubah dari kehidupan. Pembicaraan tentang perubahan nilai-nilai akhlak
dikarenakan perubahan-perubahan kehidupan atau pengetahuan-pengetahuan kita
tentang tabiat, manusia, masyarakat, dan ilmu-ilmu humaniora, hanya dikhususkan
pada kelompok kedua dari nilai-nilai khâdim, yaitu yang adab-adab itu sendiri. f. Dalam menentukan hubungan antara agama dan
fenomena-fenomena lain, di antaranya akhlak, komprehensi-komprehensi kualitas
seperti minimum dan maximum, tidak mengobati satupun dari penyakit serta tidak
membuka satupun dari kekusutan problema keilmuan dan kemasyarakatan. Oleh
karena itu kita harus mengungkapkan masalah-masalah seperti ini dalam bentuk
yang jelas dan akurat, tidak malah melemparkan masalah yang ambigu (syubha)
dan tidak jelas di tengah masyarakat. 4. Pandangan Pilihan
Dengan memperhatikan topik-topik yang telah lalu (tulisan
pertama dan kedua ini), minimal pandangan yang jadi pilihan bagi pembaca sudah
jelas; dan dalam bagian akhir ini kami akan berusaha mengungkapkannya secara
lebih rinci lagi. Pembahasan hubungan agama dengan akhlak dapat diobservasi
dari dua sudut tinjauan; sudut tinjauan dalam agama dan sudut tinjauan luar
agama. Dari sudut tinjauan luar agama, dengan tidak merujuk pada ayat dan
riwayat, kontrak-kontrak akhlak terealisasikan dengan jaminan loyalitas
terhadap tradisi-tradisi agama; dengan kata lain, keyakinan kepada Tuhan dan
pahala serta siksa ukhrawi, mempunyai pengaruh kuat dalam terealisaasinya
perintah-perintah akhlak. Akan tetapi para pengikut agama dalam level rendah,
dengan bantuan keyakinan agama, secara khusus janji pahala dan ancaman siksa,
membawa mereka loyal terhadap kontrak-kontrak akhlak dan dalam level yang lebih
tinggi, motivasi dekat pada Tuhan, kesempurnaan akhir, dan keyakinan terhadap
hubungan takwini antara amal-amal akhlak dan kesempurnaan manusia, berpengaruh
dalam terealisasinya perintah-perintah akhlak. Di samping itu,
keyakinan-keyakinan agama dalam mendeskripsikan proposisi-proposisi akhlak dan
falsafah ketaatan terhadap perintah-perintah akhlak, juga mempunyai pengaruh
yang cukup berarti. Tentu saja kami dalam hal ini tidak menerima seluruh
pandangan teleologikal dalam masalah-masalah akhlak; sebab (sesuai pandangan
ini) keniscayaan-keniscayaan akhir akhlak adalah mutlak dan tidak bergantung
pada agama dan tujuan-tujuan lain. Agama dan doktrin-doktrin agama yang merupakan penjelasan
atas program universal kehidupan dan dimensi-dimensi beragam hubungan
kemanusiaan, mempunyai peran sentral dalam terwujudnya dan ditemukannya
kandungan-kandungan akhlak; sebab meski dengan keberadaan akal amali dan hati
nurani manusia yang mempunyai kemampuan mengkonsepsi prinsip-prinsip akhlak,
namun dalam menentukan misdak-misdak dan menerapkan prinsip-prinsip (universal)
atas misdak-misdak, akal dan nurani manusia tidak mampu melakukan hal tersebut.
Dengan dalil ini, manusia dalam kehidupan duniawinya harus merujuk kepada
metode langit dan Ilahi sebagai pelengkap akal praktis (amali) dan hati nurani,
sehingga mereka dapat menyingkap apa yang "harus" dan "tidak
boleh" yang lain. Adapun jika dengan sudut pandang dalam agama kita merujuk
kepada masalah hubungan agama dan akhlak, serta kita merujuk dengan teks-teks
agama, yakni kita meletakkan kitab dan sunnah sebagai sentral dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan penting ini, tidak diragukan kita akan menyaksikan
hubungan kandungan yang dalam antara akhlak dan agama. Bagian besar dari ayat-ayat
dan riwayat-riwayat yang kita miliki, mempunyai kekhususan pada masalah-masalah
akhlak dan tentu saja perintah-perintah akhlak ini, berpengaruh dalam
kebahagiaan kehidupan dunia serta berasaskan prinsiptajassum amaliyah, kebahagiaan akhirat juga lahir
dari ketentuan kebahagiaan dunia. Perlu kami ingatkan bahwa sebagian perintah-perintah akhlak,
masuk pada bagian adab-adab yang berlaku secara temporal dan waktu tertentu
serta para Maksumin As juga menasihatkan kepada kita bahwa: "Jangan kamu
adabkan anak-anakmu dengan adab-adabmu". Akan tetapi ketika tidak terdapat
dalil-dalil aqli dan naqli yang pasti, hal ini menunjukkan bahwa
yang berlaku adalah kepermanenan prinsip-prinsip akhlak. Agama Islam, di samping menjelaskan masalah-masalah akhlak
dan misdak-misdak keadilan dan kezaliman, juga menjelaskan maksud dan tujuan
nilai-nilai akhlak dan dikarenakan tidak satupun dari jalan-jalan hasil
pemikiran manusia yang dapat menentukan jalan pencapaian terhadap tujuan yang
agung, maka dari itu manusia harus merujuk kepada agama untuk mengenal maksud
dan tujuan nilai-nilai itu.[] [1] Allamah Hilli, Kasyful Murâd fi Syarh
Tajridul I'tiqâd, Hal. 302.
[2] Mahdi Hâiri, Kâwesyhâ-e Akl-e Amali, Hal. 147-148. [3] Ja'far Subhâni, Husn wa Qubh Aqli, Hal. 21-23. [4] Muhammad Husain
Isfahâni, Nihâyah ad-Dirâyah,
Jld. 2, Hal. 8. [5] Allamah Hilli, Kasyful Murâd, Hal. 303. [6] Ja'far Subhani, Husn wa Qubh Aqli, Hal. 111-122. [7] Muhammad Taqi Misbah
Yazdi, Durûs Falsafah Akhlak, Hal. 197-199. [8] Abdul Karim Surusy, Majalah Kiyân: Agama Minimum dan
Maximum, No: 41, Hal. 5. [9] Ibid, Hal. 5-6. |