MENGENAL KESEMPURNAAN MANUSIA [2]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Definisi Kesempurnaan
Sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya, yang dimaksud dengan
kesempurnaan dalam wujud adalah dicapainya maksud dan tujuan yang sebelumnya
tidak dimiliki atau diperolehnya sesuatu setelah ketiadaan sesuatu itu. Dari
sini terdapat kemungkinan bahwa penciptaan eksistensi mempunyai tingkatan dan
gradasi, dimana suatu tingkatan merupakan tingkatan yang lebih tinggi dan lebih
sempurna dari tingkatan yang lain, dan pada derajat-derajat yang lemah
senantiasa terdapat potensi untuk sampai pada derajat yang lebih tinggi, dan
setelah melakukan gerak, sesuatu yang lemah itu akan menjadi sempurna. Misalnya, di alam natural terdapat potensi sumber alam yang
beragam, di alam natural dan tabiat ini juga terdapat tumbuhan dan tumbuhan ini
kemudian menjadi makanan bagi hewan, lantas makanan ini berubah menjadi darah,
lalu darah berubah bentuk menjadi sperma dan dari sperma akan terbentuk hewan
lain dari generasi baru. Demikian juga, hewan inipun (misalnya kambing) akan
menjadi makanan untuk manusia dimana dari makanan tersebut kemudian terbentuk
nutfah yang selanjutnya akan menghasilkan manusia baru, dan pada manusia baru
ini yang karena terjadi pertumbuhan dan perkembangan, secara lambat laun akan mulai
belajar dan menjadi orang yang berpendidikan tinggi, lalu perlahan-lahan akal,
pikiran, dan rasionalitasnya akan mengaktual dan akhirnya akan menjadi sebuah
realitas wujud yang non-materi dan kemuadian menarik diri dari alam tabiat
menuju alam metafisika dan alam malakuti. Atau karena pengaruh pensucian diri,
akhlak yang mulia, dan ibadah yang ikhlas, dia akan hidup dan berbentuk menjadi
jiwa malakuti dan Ilahi, dan setelah alam materi ini dia akan ditempatkan pada
kedudukan yang paling tinggi kemudian dibangkitkan dan dikumpulkan bersama para
Nabi dan Rasul, para kekasih-kekasih Tuhan, orang-orang yang shaleh, dan para
malaikat-malaikatmuqarrabin. Sebuah Kesimpulan
Dengan demikian, kita telah memahami bahwa kesempurnaan akan mungkin terwujud dan
tercapai ketika: Pertama, eksistensi mempunyai keragaman derajat dan
tingkatan, mulai dari yang paling rendah hingga yang paling tinggi; Kedua, setiap derajat dan tingkatan yang rendah, senantiasa
memiliki potensi untuk sampai pada derajat yang lebih tinggi; Ketiga, derajat dan tingkatan yang rendah ini, akan bisa
sampai ke puncak tujuan dengan gerak dan usahanya sendiri. Akan tetapi
berdasarkan pendapat kaum materialis dan liberalis modern yang tidak menerima
realitas sesuatu kecuali materi, mengatakan bahwa kesempurnaan sama sekali tak
bermakna dan tidak mungkin ada.
Dari pendahuluan di atas, akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa setiap
aliran pendidikan yang berpikir terhadap pembinaan dan pertumbuhan manusia dan
berpikir untuk membimbing generasi manusia, selama mereka belum memiliki
pengenalan yang mendetail dan hakiki tentang dimensi-dimensi wujud manusia,
apapun yang mereka desain dan rencanakan untuk pembinaan manusia merupakan hal
yang jauh dari harapan dan tidak akan mampu melakukan penghidmatan hakiki
kepada masyarakat sedikitpun, dan apabila mereka tidak bisa mengalihkan
masyarakat dari kesesatan dan menghindarkan mereka dari segala penyimpangan,
maka aliran-aliran pendidikan dan pembinaan ini tidak akan pernah bisa
memberikan hidayah dan bimbingan.
Seluruh ikhtilaf pendapat yang terdapat pada konsep etika-etika barat dan
non-barat bersumber pada ketiadaan pengenalan manusia dalam dimensi-dimensi
hakikinya. Apabila mereka telah mengingkari baik dan buruknya perbuatan,
berarti mereka telah menganggap etika dan akhlak sebagai sesuatu yang nisbi dan
relatif, mereka tidak menganggap pentingnya ilmu dan pembinaan etika untuk
manusia, mereka menganggap pembinaan etika dan akhlak hanyalah akan membatasi
kebebasan dan ruang gerak manusia saja, atau mereka menganggap prinsip dan asas
persoalan etika bersumber pada instink dan masalah-masalah seksual, yang hal
ini muncul dari ketiadaan pengenalan yang mendetail dan hakiki atas diri
manusia dan ketiadaan pemahaman terhadap kelayakan kehidupan duniawi dan
ukhrawi manusia.[1] Etika dan Kemuliaan di Era Kontemporer
Pada masa kontemporer, generasi manusia telah terjerumus ke dalam kehidupan
hedonisme, egoisme, fanatisme, konsumerisme dan sikap angkuh dan sombong.
Mereka sama sekali tidak meyakini adanya nilai kebahagiaan dan kehidupan hakiki
serta tidak sepakat adanya tindakan yang harus dilakukan untuk membatasi
pemuasan syahwat dan kesenangan pribadi. Ilmu, etika, akhlak, dan program pembinaan serta seluruh
perencanaan pendidikan lainnya mesti berdasarkan pada tolok ukur materi.
Apabila gerakan dan program semacam ini dimunculkan dan diwujudkan dalam
kehidupan manusia dan memaksa manusia untuk mengikuti prilaku masyarakat
liberal atau mengubah seluruh aturan-aturan suci Ilahi menjadi aturan-aturan
berskala materi dan berorientasi pada pemuasan dimensi jasmani manusia, atau
mengubah setiap proposisi dan nilai-nilai yang pasti menjadi nilai-nilai yang
relatif, maka hal ini akan mengakibatkan hadirnya kebiadaban dan kebebasan
mutlak yang akan berkonsekuensi negatif pada generasi manusia selanjutnya
dimana akan menjadi sebuah generasi malang yang hanya akan menjadi alat pemuas
hawa nafsu, egoisme, dan kejahilan. Fenomena semacam ini bisa disebut dengan
jahiliyah modern yang teramat mengerikan. Hal ini terjadi terutama ketika tujuan-tujuan rendah ini
telah terwujud dan terimplementasikan, karena modernisasi politik yang ada saat
ini tidak bisa dibandingkan dengan era sebelumnya. Saat ini, seluruh kekuatan
fisik, perekonomian, dan pengetahuan telah dikorbankan sebagai alat untuk
mencapai keinginan-keinginan rendah pribadi dan egoisme, dan mereka telah
meletakkan seluruh fasilitas yang memungkinkan hanya untuk satu tujuan yakni
meraih kekuasaan dan kejayaan materi. Namun keadaan akan menjadi lain apabila
rahmat Tuhan tercurah pada generasi manusia yang malang ini dan kekuatan
agung-Nya menghalangi langkah mereka lalu menghadirkan generasi baru yang akan
bangkit dan melawan segala bentuk kezaliman dan jahiliyah dengan segenap
kemampuan dan kekuatan yang dianugrahkan Tuhan pada mereka.
Pada zaman ini, ilmu teronggok dalam kesuciannya sendiri, tidak memberi
kemuliaan dan keutamaan pada manusia dan tidak pula menjadi sesuatu yang bisa
dipercaya untuk mempertahankan hak asasi manusia, melainkan seluruhnya telah
menjadi kacung para agresor, setiap pandangan dan pikiran kita dan setiap
kebaikan dan perbaikan yang kita usahakan hanya akan menjadi bahan celaan dan
ejekan dari kaum tak bermoral ini. Lembah yang mengerikan dan menakutkan ini
merupakan sebuah lintasan yang sebelumnya tidak pernah dilalui oleh manusia manapun
dan hingga kini manusia pun belum pernah tertimpa musibah dengan tingkat
kejahilan yang sedemikian mengerikan. Bisa jadi, ketika kelak manusia telah
duduk pada masa kejayaan dan telah menemukan peradaban, rasionalitas, etika,
dan kemuliaan, mereka akan menggambarkan kurun keduapuluh dan keduapuluh satu
ini sebagai titik puncak kezaliman dan kejahilan manusia. Manusia Tidak Mengetahui Apapun Saat
Kelahirannya
"Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, lalu Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur".[2]Mungkin
bisa dikatakan bahwa manusia merupakan satu-satunya makhluk hidup yang terlahir
dalam keadaan tidak mengetahui apa-apa, tidak berilmu dan tidak berpengetahuan,
tidak berdaya dan tidak mampu. Pada saat kelahirannya ini, bahkan dia tidak
mempunyai kekuasaan terhadap inderanya sendiri misalnya terhadap matanya
sendiri, sedangkan seluruh gerakan yang terjadi pada tubuhnya tidak lain
merupakan kumpulan refleksi dan aktifitas tak sadar yang dilakukan oleh
otot-otot tubuh (yakni tidak bersumber dari iradah dan kehendaknya sendiri),
dimana Tuhan dengan perantaraan aksi dan reaksi tak sadar ini memberikan
peregangan-peregangan alami supaya kelenjar dan otot-otot tubuhnya mengalami
elastisitas dan selanjutnya secara bertahap mampu menggerakkan mata, kaki,
tangan, dan indera lainnya yang berdasarkan kewenangan dan ikhtiarnya sendiri. Kebalikan dengan yang terjadi pada awal kelahiran
makhluk-makhluk hidup lainnya yang semuanya telah dilengkapi dengan seluruh
perangkat pertahanan dan perangkat hidup yang telah disesuaikan dengan tempat
dan kondisinya, sehingga mereka memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup
untuk terjun langsung dalam kancah kehidupan dunia ini. Mereka mampu mengenali
kelompok dan golongan mereka serta mampu menentukan pihak musuhnya dengan
tepat. Mereka juga mampu menentukan makanan, menghindarkan diri dari kekerasan,
memisahkan kebaikan dan keburukan dari lingkaran kehidupannya, dan semua ini
telah mereka miliki persis sejak saat kelahirannya dan untuk memperoleh hal-hal
itu mereka sama sekali tidak membutuhkan proses belajar mengajar sebagaimana
manusia.
Perbedaan ini terjadi karena seluruh makhluk hidup yang ada di alam ini -
kecuali manusia - telah mampu mencukupkan dirinya dengan informasi dan
pengetahuan yang ada (yakni pengetahuan alami atau instink), dan pengetahuan
mereka tidak mengalami pertambahan kecuali sangat sedikit. Meskipun tidak
disangkal tentang adanya beberapa jenis hewan yang memiliki kemampuan belajar
dan mengikuti proses pembelajaran dan pelatihan dalam batasan yang tertentu,
seperti kuda, kera, anjing, dan sebagian jenis burung dan bahkan pada berbagai
pertunjukan terlihat juga beberapa jenis hewan ganas yang mampu melakukan
aktifitas belajar ini, akan tetapi hal ini merupakan perosalan yang sangat
jarang terjadi dan membutuhkan jerih payah yang sangat besar yang kadangkala
diiringi pula dengan bahaya yang tidak sedikit, akan tetapi tidak demikian
halnya dengan makhluk bernama manusia, karena manusia mempunyai kapasitas,
potensi, dan kemampuan yang tidak terbatas dalam proses belajar mengajar. Ketidakterbatasan Kemampuan Manusia
Dimensi-dimensi yang membedakan antara manusia dan seluruh makhluk hidup lain
adalah potensi, kapasitas, dan kemampuan belajar dan menuntut ilmu yang tidak
terbatas. Namun kemampuan ini berada dalam dua arah positif dan negatif.
Al-Quran berfirman, "Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami
kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka)."[3]
Terdapat dua arah dan kecenderungan pada diri manusia, yaitu kecenderungan
menaik dan kecenderungan menurun. Pada satu sisi manusia merupakan
sebaik-baiknya wujud makhluk, akan tetapi pada sisi yang lain merupakan
mengarah pada asfalus-safilin,
yaitu pada derajat wujud yang terendah, dan manusia terletak di antara dua
kutub tertinggi dan terendah ini. Manusia mempunyai potensi dan kemampuan gerak menyempurna
sedemikian sehingga mampu mencapai kedudukan tertinggi di alam eksistensi
(yaitu kedudukan malakuti dan Ilahi), akan tetapi dia juga memiliki potensi
untuk jatuh terjerumus pada posisi terendah yang bahkan lebih rendah dari
kedudukan yang dimiliki oleh binatang dan setan. Yang kelak akan menjadi bagian
manusia dari dua titik ini hanya bergantung dari proses pembelajaran yang
dilaluinya di dunia ini, dimana menjelang nafas terakhir seluruh
potensi-potensi ini akan terhenti dan tidak lagi memiliki persiapan dan kelayakan
untuk menerima kesempurnaan apapun, keadaan ini sebagaimana sebuah angka yang
konstan dan secara tetap berada pada tingkatan wujudnya yang tertentu, pada
salah satu hadits dikatakan, "Hari ini kamu memiliki potensi dan kemampuan
untuk melakukan gerak dan memproses diri untuk menambah kesempurnaan diri
kalian sendiri, akan tetapi setelah nafas yang terakhir dan penghabisan, kamu
hanya akan disibukkan dan diperhadapkan dengan berbagai perhitungan terhadap
apa-apa yang kamu kerjakan dan hasilkan dalam kehidupan di dunia."[4]
Manusia merupakan satu-satunya eksistensi yang dalam proses perjalanan
penciptaan, telah tercipta dengan memiliki potensi, kemampuan, dan kapabilitas.
Hanya manusialah yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh, berkembang, dan
mengubah tingkatan wujudnya dalam kehidupannya, bahkan para malaikat muqarrabin pun diciptakan dengan keadaan mereka
yang permanen dan tidak akan pernah berubah dari apa yang telah ada. Hanya manusialah yang akan mampu bergerak dan berproses ke
satu arah positif dengan adanya proses belajar dan mengajar. Fitrah Manusia Terwujud Sejak Lahir
Manusia pada tahapan awal kelahirannya memiliki potensi-potensi khusus yang
akan segera dan cepat mengaktual tanpa melewati proses belajar mengajar ataupun
bimbingan, dan potensi-potensi khusus ini akan mekar di dalam diri manusia yang
kemudian akan berfungsi dan bertujuan untuk menyiapkan lahan dalam melakukan proses
pembelajaran dan pendidikan. Potensi-potensi yang telah mengaktual ini
dinamakan fitrah manusia. Dalam waktu yang sangat singkat manusia akan memahami
persoalan-persoalan logis semacam kemustahilan hukum kontradiksi, hukum-hukum
sebab-akibat (kausalitas), dan aksioma-aksioma lainnya. Demikian juga, dalam waktu yang tidak berapa lama, dengan
sendirinya dia akan menemukan dan mengetahui berbagai persoalan etika dan
akhlak beserta prinsip-prinsipnya, seperti masalah-masalah keburukan kezaliman,
kebaikan keadilan, tercelanya kebohongan, pahitnya kekerasan, keindahan alam,
dan persoalan lain yang bersifat fitrawi. Demikian juga, setelah beberapa waktu
lamanya dia akan mampu menyusun argumentasi-argumentasi sederhana, terutama
premis awal argumentasi, dan kadangkala pula dia akan mengutarakan
premis-premis mayor untuk merasionalisasikan perbuatan-perbuatannya. Poin Penting
Pengetahuan atas hukum-hukum sebab-akibat (kausalitas) dan kemustahilan kaidah
kontradiksi, untuk tingkatan anak-anak tidak bermakna sebagai sebuah istilah
filsafat atau pelajaran logika sebagaimana yang dipelajari secara khsusu,
melainkan bermakna sebuah bentuk pengetahuan yang hadir dari fitrah sucinya
dimana disebut sebagai pengetahuan terhadap hukum sebab-akibat dan kemustahilan
kontradiksi. Sebagai contoh, suara yang sangat pelan akan menarik perhatian
anak ke arah sumber suara, dan apabila hadir suara menggelegar yang sampai ke
telinganya, dia akan menjadi takut lalu menangis. Dia akan merasakan bentuk
pandangan ibunya yang lagi marah dan akan sedih dengan ketiadaan perhatian
kedua orang tuanya, sementara itu pandangan yang penuh kasih sayang akan dia
anggap sebagai perhatian mereka padanya, sehingga mengarahkannya untuk mendekat
dan melekat dalam pelukan mereka. Ketika lapar, dengan keadaan yang khas tanpa
adanya kemampuan berbicara dia akan mencari air susu dan makanan dari ibu,
begitu juga ketika jauh darinya, dia akan merasa sendirian lalu dia akan
mengungkapkan kesedihannya. Pada persoalan-persoalan semacam ini dia akan mengambil
kesimpulan dari premis-premis tertentu dan mengetahui dengan baik arah, dasar,
dan konsekuensi dari premis tersebut.
Ketika si anak ini menyaksikan botol susu di hadapannya ia kemudian akan
memintanya dari ibu, akan tetapi ketika sang ibu menolak untuk memberi dan
mengatakan bahwa ini bukan botol susu, maka si anak ini dengan menyaksikan
adanya kontradiksi akan menjadi sangat kecewa dan dia akan mengungkapkan
kekecewaannya tersebut dalam bentuk suatu tangisan. Sebuah Kenangan
Penulis teringat pada suatu hari dalam liburan Tahun Baru ketika menjadi tuan
rumah dan sekaligus mengamati tamu-tamu kecil yang senantiasa sibuk dalam dunia
mereka sendiri, usia mereka rata-rata masih berkisar antar 4 hingga 5 tahun.
Saking sibuknya bermain, mereka tidak lagi memperdulikan kehadiran saya. Di
tengah-tengah permainan mereka, saya mendengar celoteh dua bocah kecil yang
tengah melakukan tanya jawab, bocah pertama bertanya pada bocah kedua,
"Apakah kamu menyukai anak-anak yang nakal?" Bocah kedua menjawab,
"Ya, aku hanya menyukai anak-anak yang nakal", bocah pertama bertanya
lagi, "Kamu juga menyukai dirimu sendiri?" Kedua menjawab,
"Tentu saja", lantas bocah pertama berkata, "Jadi jelas bahwa
ternyata kamu juga anak yang nakal."
Dialog di alam kanak-kanak ini berakhir dengan sebuah silogisme dan kesimpulan
dari bentuk argumentasi sederhana. Bocah pertama dengan mengambil premis mayor
yang diungkapkan oleh bocah kedua (aku hanya menyukai anak-anak yang nakal)
berusaha membentuk premis minor dengan sebuah pertanyaan (apakah kamu menyukai
dirimu?). Setelah bocah pertama ini membentuk premis minor, dia kemudian
menuangkannya ke dalam argumentasi sederhana lalu mengambil kesimpulan yang
logis. Di bawah ini kami akan menganalisa bentuk argumentasinya: Premis minor: aku menyukai diriku sendiri; Premis mayor: aku hanya menyukai anak-anak yang nakal; Silogisme: jadi aku juga anak yang nakal.
Hal-hal semacam ini tidak susah untuk ditemukan, hanya saja untuk menemukan
fitrah yang agung pada anak-anak ini memerlukan kesabaran dan kecermatan, dan
dengan keyakinan penuh bisa dikatakan bahwa tidak ada satupun percakapan yang
kosong dari argumentasi dimana dua belah pihak yang berkecimpung di dalamnya
tidak mengetahui istilah penyimpulan dan nama premis-premisnya. Bahkan dengan
ungkapan yang lebih luas bisa dikatakan bahwa kebanyakan masyarakat yang
memiliki pikiran sederhana pun, dalam percakapan dan dialog-dialognya, akan
senantiasa berusaha untuk menguasai lawan bicaranya lalu membuat rivalnya
terdiam dengan argumentasi. Fitrah argumentasi ini sedemikian menyatu dalam
diri manusia sehingga apabila seseorang mengingkari keistimewaan argumentasi
ini, berarti pengingkarannya terhadap argumentasi itu sendiri sebenarnya juga
merupakan sebuah argumentasi tanpa dia ketahui dan sadari.
Argumentasi sederhana dan kesimpulannya ini, tidak akan membuat diam para
pengargumen. Sebuah proposisi sama sekali tidak akan dapat dibuktikan atau
dinafikan tanpa melakukan penyusunan argumentasi. Oleh karena itu, penolakan
sebuah argumentasi harus dilakukan dengan membentuk sebuah argumentasi pula.
Argumentasi versus argumentasi.
Salah satu dari tanda-tanda Ilahi yang paling besar dan mulia tidak lain adalah
fitrah agung manusia yang menakjubkan ini. Manusia mempunyai potensi tidak
terbatas yang telah terwujud sejak awal kehidupannya dimana realitas ini dengan
sendirinya merupakan media bagi proses pembelajaran, pembinaan, pendidikan, dan
media argumentasi. sementara untuk melakukan transfer makna-makna mesti
dipersiapkan oleh guru bagi muridnya.
Apabila pada diri para murid tidak tersedia potensi dan kemampuan untuk
mengambil kesimpulan dan silogisme dari premis-premis argumentasi, maka
mustahil akan terjadi proses belajar dan mengajar serta pendidikan. Yang
dilakukan oleh guru hanyalah membentuk, menyusun, dan melahirkan premis-premis,
akan tetapi penyimpulan dan silogisme berada di tangan para murid. Apabila guru
menghadirkan dan mewujudkan dua premis serta berkata kepada para muridnya bahwa
"alam mengalami perubahan", dan "setiap perubahan adalah
bersifat temporer", di sini apabila murid tidak mampu mengambil kesimpulan
dan silogisme bahwa "alam adalah bersifat temporer", maka tujuan dari
metodologi dan proses belajar mengajar dan pendidikan sama sekali tidak akan
tercapai. Tentunya, apabila dua premis yang subyektif (makna-makna premis masih
dalam sebuah perdebatan atau tidak bersifat aksioma) dalam
argumentasi-argumentasi yang saling berkaitan satu dengan lainnya, maka dalam
hal ini kesimpulan yang dihasilkan akan keluar dari kewenangan seseorang, baik
argumentasi tersebut sesuai dengan keinginan rivalnya ataupun bertentangan
dengannya. Potensi dan kemampuan yang dikaruniakan oleh Tuhan kepada para
hamba-Nya ini adalah dimaksudkan supaya mereka mempunyai persiapan untuk proses
menyempurna dan dengan perantara potensi-potensi ini mereka akan sampai pada
titik kulminasi dan terselamatkan dari alam materi ini lalu melesak dan
menanjak ke alam malakuti dan Ilahi. Islam dan Penyempurnaan Manusia
Karena yang mewujudkan al-Quran tidak lain adalah Zat yang menciptakan manusia,
maka ajaran dan syariat-syariat hukum yang ada di dalam al-Quran identik dan
sesuai dengan hakikat, tujuan, dan mekanisme penciptaan dan eksistensi, tidak
ada sedikitpun pertentangan pada lingkup ini dan senantiasa berdasarkan hakikat
wujud manusia. Dia senantiasa membimbing umat manusia.
Dari perspektif ini, di dalam mekanisme Islam seluruh usaha diletakkan untuk
mempersiapkan lahan pertumbuhan dan pembinaan, bukan bermaksud menambahkan
sesuatu kepada wujud manusia, melainkan bermakna mengembangkan dan
menyempurnakan wujud manusia. Dan apabila Tuhan memberikan perintah kepada
mereka, seluruhnya berada dalam tahapan berikut yaitu mereka akan dipersiapkan
untuk berkembang, menyempurna, dan mengaktualkan seluruh potensinya. Agama
Islam tidak menganggap manusia sebagai sebuah pita kosong yang bisa diisi
sesuka hati, melainkan persis sebagaimana sebuah bibit yang kita semaikan di
lahan subur pertanian, dan kualitas dari unsur-unsur seperti air, cahaya, jenis
tanah, dan pupuk, akan menentukan kualitas buah yang dihasilkannya. Apa yang
dipersembahkan oleh sebatang kurma tidak lain adalah apa yang dikandungnya
secara potensial dan sekarang dipersembahkan dalam bentuk buah yang sebelumnya
secara potensial telah berada dalam wujudnya dan apabila dia memberikan buah
yang lebih baik, maka hal ini hanya dikarenakan pengaruh dari unsur-unsur
terbaik dalam tanah dan tersedianya kondisi-kondisi pertumbuhan yang lebih
sesuai baginya.
Demikianlah, agama suci Islam melakukan satu 'perdagangan' dengan manusia,
karena Tuhan mengetahui bahwa Dia telah menciptakan fitrah dan mengetahui bahwa
jiwa dan ruhnya lebih baik dari yang lainnya, dan fitrah dan jiwa itu sendiri
merupakan tolok ukur untuk kebaikan dan keburukan. Dalam salah satu firmannya,
Allah swt berfirman, "Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya." [5] Allah telah menciptakan manusia
sedemikian rupa sehingga dengan adanya ilham Ilahi, mereka mampu membedakan
antara yang baik dan buruk. Demikian juga pada ayat yang lain, al-Quran
mengutarakan tentang kesesuaian agama dengan fitrah, dalam firman-Nya, "Maka hadapkanlah wajahmu
dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah
menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."[6]
Dari sini, Tuhan telah menyediakan media sebagai lahan untuk
tumbuh-menyempurnanya fitrah manusia, dalam bentuk dimana kadangkala manusia merasakan
adanya hasil dari sebuah pembinaan dan hanya al-Quran-lah yang melakukan hal
ini kepada manusia. Atas dasar inilah, sehingga Islam memberikan jawaban yang
positif kepada maktab empirisme, yang hal ini tidak pernah dilakukan oleh
aliran-aliran etika yang manapun. Para manusia sempurna seperti para Nabi dan
Rasul serta pengikut-pengikut terdekat mereka dan juga orang-orang yang pada
sepanjang perjalanan sejarah mengikuti seluruh perintah dan aturan-aturan
Ilahi, seluruh kesempurnaan mereka ini berada di atas gambaran para pencetus
dan pemimpin aliran etika dan pemikiran yang mengklaim dirinya sebagai
pembimbing manusia.
Karena Islam menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi unggul dan mulia yang
tidak memiliki rival dan saingan dalam mekanisme penciptaan ini, maka Islam
memilihkan para Nabi dan Rasul sebagai pembimbing untuk manusia, para
pembimbing yang suci dan sempurna ini diletakkan sebagai pengemban risalah-Nya
yang perintah-perintah dan aturan-aturannya harus diikuti oleh manusia supaya
mereka mampu melangkahkan kaki dengan mantap dan sepenuh keyakinan pada jalan
yang lurus menuju ke arah tujuan tertinggi penciptaan manusia, sebuah tingkatan
dan derajat kesempurnaan yang paling dekat dengan Sang Pencipta Alam. Al-Quran
dalam masalah ini berfirman, "Sesungguhnya
Tuhanku di atas jalan yang lurus",[7] dan juga berfirman, "Yang menciptakan, dan
menyempurnakan (penciptaan-Nya), dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan
memberi petunjuk",[8] Dia menciptakan dengan rencana dan
tujuan khusus, dan membimbing seluruh manusia dengan bimbingan-Nya yang khas
pula, lalu memperkenalkan tujuan suci penciptaan manusia dengan firman-Nya,"Sesungguhnya
hanya kepada Tuhanmulah kamu kembali."[9] Kesatuan Ilmu dan Amal
Agama Islam dengan jalannya yang lurus ini, menganggap bahwa ilmu dan amal
sebagai suatu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan, dimana melakukan yang satu
tanpa mewujudkan yang lainnya, sama sekali tidak akan bermanfaat. Al-Quran
menyebut keduanya sebagai penyempurna satu terhadap yang lainnya dan pada
sebagian ayat-Nya, al-Quran mendahulukan menuntut ilmu dari pensucian diri
(amal), dengan firman-Nya, "Dia-lah
yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang
membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan
mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah) dan sesungguhnya mereka sebelumnya
benar-benar dalam kesesatan yang nyata",[10] dan pada sebagian ayat yang lain
mendahulukan pensucian diri dari menuntut ilmu, dengan firman-Nya, "Ya Tuhan Kami, utuslah untuk
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat-Mu, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan al-Hikmah
(Al-Quran) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana."[11]
Yang diterima oleh agama suci ini adalah kebersamaan dan kesatuan antara ilmu
dan amal dimana keberadaan yang satu tanpa kehadiran yang lainnya bukan saja
tidak akan berguna melainkan akan merusak tatanan dan aturan.
Imam Ali as dalam salah satu haditsnya bersabda, "Dua jenis manusia akan
mematahkan tulang punggungku, yaitu lelaki berilmu bermulut manis yang fasik
dan lelaki jahil keras hati yang beramal. Jangan sekali-kali kalian mendekati
ulama yang fasik dan menghindarlah dari orang jahil yang taat, karena yang
pertama akan menipu dengan ilmunya dan yang kedua dengan ibadahnya, dan
seseorang yang tertipu, maka ketahuilah bahwa dia telah tertipu dengan
pengetahuan tanpa taqwa dan ibadah tanpa ilmu".[12] Hakikat Islam sedemikian membenci orang-orang jahil yang
taat beramal, sehingga Imam Ali as bersabda, "Tidur dan makannya
orang-orang yang hidup hatinya dan berilmu adalah lebih baik, lebih diterima,
dan lebih layak untuk dipuji dari shalat malam dan puasanya orang-orang yang
bodoh".[13] Prinsip-Prinsip Pengajaran
Sebagaimana yang telah kami singgung sebelumnya, manusia ketika memasuki alam
eksistensi ini meskipun dia tidak memiliki sedikitpun ilmu dalam bentuk aktual,
akan tetapi dia memiliki potensi yang tidak terbatas. Dengan berlalunya waktu,
dengan sendirinya akal manusia akan menemukan dimensi-dimensi rasionalitas
seperti hukum sebab-akibat (kausalitas), kemustahilan kontradiksi dan
sebagainya. Manusia dengan aspek-aspek rasionalitas yang sederhana ini
mempersiapkan dirinya untuk menerima proses pembelajaran pada waktu yang tepat.
Tentunya sebagaimana yang telah kami katakan bahwa premis-premis rasionalitas
yang sederhana tersebut, bukannya diperoleh lewat pembelajaran dari
istilah-istilah resmi dan filosofis melainkan muncul bersamaan dengan kehadiran
fitrahnya sejak awal kelahirannya. Misalnya ketika mendengar sebuah suara, dia
akan berusaha untuk menemukan penyebabnya, dan tidak akan percaya bahwa suara
tersebut ada dengan sendirinya, dia juga mengetahui bahwa keberadaan itu tidak
sama dengan ketiadaan dan dia memahami keberadaannya sendiri tanpa diberitahukan
oleh yang lain serta dia tak menyukai kebohongan dan orang yang berbohong. |