MENGENAL KESEMPURNAAN MANUSIA[1]Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 1. Tentang Kesempurnaan
Pengenalan Kesempurnaan
Untuk mengenal kesempurnaan apapun, langkah awal yang harus dilakukan adalah
mengenal substansi dan hakikat sesuatu tersebut, karena apabila hakikat sesuatu
tidak menjadi jelas, maka mustahil ada kemungkinan untuk mengenal
kesempurnaannya.
Tuhan Yang Maha Mengetahui mencipta beragam eksistensi berdasarkan hikmah-Nya.
Dalam mekanisme penciptaan tersebut, masing-masing eksistensi memiliki
karakteristik dan kecenderungan tertentu dengan fungsi dan manfaat dalam
syarat-syarat yang tertentu pula, sedemikian sehingga tujuan khusus dari
masing-masing mereka berbeda dari selainnya dan masing-masing mereka pasti akan
melakukan aktifitasnya dalam ruang lingkup dan asas yang telah ditentukan oleh
Tuhan. Demikian juga, menghilangkan batasan dan ruang lingkup aktifitas
masing-masing perangkat eksistensi atau bahkan pemusnahan salah satu dari wujud
mereka ini senantiasa akan diiringi dengan kerugian global yang tidak bisa
tergantikan. Dan karena di alam eksistensi ini mustahil terjadi perulangan
penciptaan, dan setiap batas dan bentuk dengan seluruh syarat-syarat wujudnya
mempunyai karakteristik dan pengaruh yang khas, maka tujuan dari maujud
masing-masing penciptaan sama sekali tidak akan bisa digantikan oleh selainnya.
Dalam ilmu tasawuf dan irfan teoritis, masalah ini dituangkan dalam bentuk
sebuah kaidah yang mengatakan bahwa perulangan dalam tajalli dan penampakan
adalah mustahil.
Dari keempat poin di atas, yaitu 1. pengenalan kesempurnaan bergantung pada
pengenalan substansi dan hakikat benda, 2. masing-masing eksistensi memiliki
karakteristik, pengaruh dan manfaat tertentu dalam koridor syarat-syarat
tertentu pula, 3. menghilangkan salah satu eksistensi dalam mekanisme
penciptaan adalah mustahil dan akan menimbulkan kerusakan sistem, 4.
pengulangan dalam penciptaan maujud-maujud tertentu adalah mustahil atau
pengulangan dalam manifestasi adalah mustahil; akan bisa mengantarkan kita
kepada pemahaman tentang mekanisme dan sistem penciptaan yang penuh dengan
hikmah, agung, rapi dan teratur yang berujung pada dimensi yang menakjubkan
akan kebesaran Sang Pencipta Alam Eksistensi.
Di bawah ini kami akan menganalisa dan mengkaji satu persatu dari keempat poin
di atas: 1. Mengenal Kesempurnaan lewat
Pengenalan Hakikat
Pengenalan kesempurnaan bergantung pada pengenalan hakikat,
yaitu kita akan menemukan arah dan tujuan serta dimensi kesempurnaan wujud
sesuatu sebatas kemampuan kita dalam mengenal hakikat dan esensinya.
Pengetahuan manusia pun seluruhnya berputar mengelilingi tolok ukur ini,
sedemikian sehingga setiap cabang ilmu hanya akan mengalami kemajuan dan
perkembangan ketika telah mampu mengenal subyek-subyek yang ada di dalamnya
secara mendetail dan telah mampu menemukan lebih banyak karakteristik dan
keistimewaan serta pengaruh-pengaruh yang ditimbulkannya. Seorang ahli botani,
selama dia belum mampu mengenali substansi sesuatu dan belum melakukan analisa
dan eksperimen terhadap wujud sesuatu, maka dia tidak akan mampu menentukan
khasiat dan karakteristik wujudnya dan memhami kesempurnaannya. Seseorang yang
hingga saat ini tidak pernah melihat jeruk nipis dan tidak mengenal wujudnya,
dia tidak akan mengetahui bahwa kesempurnaan jeruk nipis terletak pada
keasamannya, semakin asam rasanya akan semakin sempurna keberadaan dan
eksistensinya. Seseorang yang mengetahui substansi air, dia akan mengetahui
bahwa paling sempurnanya air adalah yang tidak berasa, tidak berwarna, dan
memiliki massa tertentu. Tentunya, terkadang pengenalan seperti ini diperoleh
dari pengalaman berturut-turut dalam mengamati pengaruh-pengaruh suatu benda,
dimana metodologi ini sama sekali tidak bertentangan dengan asumsi kami, karena
dengan eksperimen terkadang esensi sesuatu dapat dikenali baik secara mutlak
ataupun nisbi dan kemudian menentukan kesempurnaan dan tujuan wujudnya dengan
berpijak pada pengenalan esensinya. 2. Performansi Khas Setiap Eksistensi
Setiap eksistensi di alam penciptaan mempunyai fungsi,
manfaat, dan tanggung jawab khusus untuk melakukan suatu aktifitas dalam
syarat-syarat yang tertentu. Kita mengetahui bahwa seekor kambing tidak akan
terlahir dari seekor rubah dan biji kurma tidak akan pernah berbuah anggur,
karena setiap wujud memiliki batasan, sifat, dan karakteristik khas yang
membuatnya hanya bergerak dan beraktifitas pada batasan tertentu tersebut. Hal
ini sedemikian sehingga ketika seorang ahli pertanian hendak memulai menanam
bibit dan biji tertentu di lahan pertanian, pada awal tahapan itu juga dia
telah mampu menggambarkan pekerjaan-pekerjaan yang akan dia hadapi pada sekian
tahun yang akan datang, dia telah bisa menggambarkan keuntungannya, bentuk, dan
kondisi buah serta panennya. Petani ini mengetahui tahapan pembibitan,
penanaman, dan panennya, dan pengetahuannya ini tidak lain karena adanya
pengenalan hakiki terhadap kesempurnaan wujud biji itu, hal ini terbukti dengan
keberhasilan panen. Apabila pengetahuan ini tidak mendetail, maka tidak ada
satu pekerjaanpun yang akan membawa ketenangan dalam kehidupan manusia dan
tidak seorangpun akan rela melakukan suatu pekerjaan. Jadi, kemudahan perputaran roda kehidupan masyarakat
bergantung pada satu poin berikut bahwa seluruh pengaturan program-program
kehidupan telah didesain berdasarkan fungsi dan peran penciptaan. Oleh karena
itu, dengan mengenal manfaat setiap maujud berarti ia telah menetapkan asas
usaha berdasarkan pengaturan di atas, yang hal ini akan mengantarakannya pada
hasil yang sesuai. Sebagai misal, apabila seseorang menanam gandum akan tetapi
yang keluar adalah padi, maka ketidakjelasan dan kebingungan yang muncul dari
peristiwa ini sedemikian berat sehingga hal ini akan bisa mengakibatkan
destruksi dan musnahnya generasi manusia pada masa yang akan datang. 3. Pemusnahan Salah Satu Ciptaan
Menyebabkan Kekacauan
Penghapusan salah satu asas penciptaan atau pemusnahan salah satu wujud
ciptaan niscaya akan menyebabkan kekacauan dan kehancuran mekanisme penciptaan.
Mekanisme eksistensi merupakan satu realitas yang tunggal, dimana seluruh
partikel-partikel dan anggota-anggota dalam mekanisme tersebut, beroperasi dan
berjalan secara serasi, teratur, dan saling memberikan efek dan pengaruh, dan
yang menakjubkan adalah bahwa seluruh realitas alam mengarah pada satu tujuan
universal dan senantiasa mengalami kesatuan dan keterikatan alami.
Mengenai masalah ini, dalam filsafat Hikmah
Muta'aliyah, Mulla Sadra menjelaskan bahwa alam eksistensi merupakan
hakikat tunggal yang kemajemukan dan keberagamannya kembali kepada
kemanunggalannya.[1] Alamah Thabathabai pada beberapa
tempat dalam kitabnya al-Mizanmenekankan
tentang kesatuan alam eksistensi, keragaman aktifitas maujud, dan kesatuan
tujuan dari majemuk eksistensi. Dari sini disimpulkan bahwa menghilangkan salah
satu dari anggota eksistensi akan merusak sistem operasional global yang
berlangsung pada seluruh eksistensi dan akan memicu ketidakseimbangan dalam
seluruh dimensi mekanisme penciptaan. Tentunya menghapuskan salah satu
realitas, fungsi, dan manfaat sesuatu dari alam eksistensi adalah berbeda
dengan perubahan salah satu substansi menjadi substansi yang lain, dengan kata
lain, kemungkinan terbakar dan musnahnya sebuah pohon adalah sangat mungkin
terjadi, akan tetapi pohon yang telah terbakar itu tidak berarti bahwa ia telah
menjadi tiada dan musnah dari alam wujud, melainkan ia hanya mengalami
perubahan dari satu wujud ke wujud yang ain, dan persoalan ini secara normal
terjadi pada seluruh maujud dan eksistensi alam. Yang mustahil terjadi adalah
musnahnya satu satu eksistensi yakni keberadaannya terhapus dan hilang sama
sekali dari mata rantai eksistensi, dan tidak mengalami perubahan ke dalam
bentuk yang lain.
Beberapa waktu yang lalu pada salah satu negara barat, pihak pemerintah
mengubah sebuah hutan menjadi sebuah jalan yang hal ini menjadi bahan aksi dan
protes sekelompok ilmuwan, mereka mengatakan bahwa pemanfaatan yang tidak logis
ini akan menyebabkan perubahan pada mekanisme ekosistim alam dan akan
menciptakan lingkungan kehidupan yang tidak seimbang bagi generasi manusia
mendatang. Demikian juga terdapat beberapa kelompok ilmuwan yang mengutarakan
keberatannya ketika sekelompok lainnya hendak menciptakan obat-obatan untuk
memusnahkan dan menghilangkan generasi nyamuk dan lalat dari alam eksistensi,
para penentang mengatakan bahwa nyamuk dan lalat merupakan salah satu realitas
penciptaan alam dan kita tidak boleh semudah itu untuk menghapuskannya. Setelah melakukan beberapa kali pengkajian ulang, akhirnya
mereka sampai pada kesimpulan penting berikut bahwa apabila hal ini
dilaksanakan maka manusia akan kehilangan anggota inti mekanisme penyerbukan,
karena fertilisasi dan penyerbukan pada sekelompok besar tumbuhan dilakukan
oleh makhluk-makhluk kecil ini. Jadi, setiap eksistensi wujud yang berada di
alam ini, masing-masing bergerak sesuai dengan arah, tujuan, fungsi, karakter,
sifat, manfaat, dan kewajiban mereka, dan aktifitas mereka di alam natural ini
begitu jelas dan bertujuan, yang hal ini telah tertetapkan sebelumnya. Jadi,
sebenarnya mereka semua bergerak ke tujuan satu dengan langkah-langkah yang
berbeda, jelas, dan rasional. 4. Kemustahilan Pengulangan Penciptaan
Maujud Tertentu
Pernyataan ini mempunyai makna bahwa di alam mekanisme
penciptaan eksistensi ini tidak diciptakan dua wujud yang memiliki sifat dan
karakter yang mutlak sama. Dua helai daun dari sebuah pohon tidak akan pernah
sama secara sempurna. Dua butir kacang, dua tangkai anggur, dua biji delima
dalam sebuah delima, mustahil memiliki kesamaan secara mutlak, dan minimal
mereka memiliki perbedaan pada ruang dan waktu. Pada poin ini, al-Quran
mengisyarahkan dengan firman-Nya, "Setiap
waktu Dia berada dalam kesibukan".[2] Yakni setiap "detik" Tuhan
memencarkan rahmat-Nya dan mencipta suatu realitas yang khusus. Sebuah 'akibat' senantiasa mengikuti 'sebabnya', dengan ini setiap maujud merupakan
hasil dan 'akibat' dari 'sebabnya' sendiri dan senantiasa mengikuti rangkaian
kausalitas wujud, dan pada dasarnya 'akibat' yang khas merupakan intisari dari
'sebab' khas, dimana bentuk dan karakteristik wujud 'akibat' pun memiliki
kekhususan sesuai dengan yang diciptakan oleh sebab yang khas pula, karena itu
'akibat' juga mempunyai fungsi, manfaat, dan kecenderungan tertentu. Jadi,
jelaslah bahwa kondisi, waktu, dan tingkatan wujud setiap 'sebab-sebab'
memiliki perbedaan satu sama lain, dengan demikian konsekuensinya adalah juga
terjadi perbedaan alami pada masing-masing 'akibat' yang diwujudkan oleh
'sebab-sebab' tersebut. Sebagai contoh, setiap orang tua akan melahirkan anak,
dan anak-anak yang kelak merupakan orang tua masa datang ini akan melahirkan
anak-anak pula yang memiliki keistimewaan dan karakteristik tertentu yang
berbeda dengan anak-anak lain. Atau setiap biji dan batang akan mengeluarkan
buah sesuai dengan kondisi tanah dan iklim, dan setiap hasil dan buah akan
mempunyai karakteristik dan keistimewaan tersendiri sesuai dengan tanah dan
iklim dimana dia tumbuh.
Dari pendahuluan di atas, bisa dipahami dengan baik bahwa tingkat kesempurnaan
setiap eksistensi terletak pada tujuan khas yang telah tertetapkan dalam
perjalanan wujudnya secara alami. Dari sini, kesempurnaan setiap eksistensi
bergantung pada tujuan dan maksud yang telah ditetapkan padanya dalam mekanisme
alam penciptaan, dan mengimplementasikan tujuan pada batas yang sesuai tersebut
merupakan suatu kesempurnaan bagi setiap realitas wujud dalam kesatuan majemuk
eksistensi. Rasa dan bau obat-obatan penyembuh yang terdapat di dalam
buah-buahan dan makanan bukan hanya tidak sesuai dengan selera manusia bahkan
bisa menimbulkan ketidaksenangan dan phobia pada manusia. Dengan demikian, pengaruh dari tujuan yang telah diatur pada
beragam eksistensi alam sedemikian kuatnya sehingga masing-masing memiliki
tanggung jawab dalam aktifitasnya sendiri tanpa menunggu pengaruh dari
eksistensi lain. Bahkan apabila orang menyangka bahwa rasa obat-obatan yang
pahit sebagaimana pengaruh dan efek rasa madu yang manis dan lezat, demikian
juga menganggap rusa sebagaimana karakter singa, kambing dan rubah, berarti dia
tidak memiliki informasi dan pengetahuan tentang mekanisme Ilahi yang sangat
mendetail ini dan juga tidak memiliki ilmu terhadap aturan dan hukum dalam
tingkatan eksistensi. Kebodohan semacam inilah yang telah menyebabkan persoalan
'kesempurnaan' menjadi sangat sulit dijelaskan bagi sebagian kelompok, sehingga
mereka mengingkari kesempurnaan universal dalam mekanisme penciptaan atau
menolak kesempurnaan masing-masing maujud atau mereka menggambarkan makna
kesempurnaan secara universal kemudian membandingkannya dengan
eksistensi-eksistensi partikular sehingga mendefenisikan kesempurnaan setiap
maujud sebagai sesuatu yang relatif. Relatifitas Kesempurnaan
Karena berpijak pada pandangan bahwa kesempurnaan itu bersifat mutlak dan umum,
akhirnya mereka beranggapan bahwa apakah rasa asam bisa dikatakan sebagai
sebuah kesempurnaan? Jawabannya adalah negatif, karena meskipun keasaman
tersebut merupakan kesempurnaan pada jeruk nipis, akan tetapi pada banyak
buah-buahan, asam dan kecut kadangkala merupakan cacat dan tidak sempurna.
Demikian juga keganasan singa, meskipun bagi singa merupakan sebuah
kesempurnaan, akan tetapi karakter keganasan bukan merupakan sifat kesempurnaan
bagi kambing dan rusa. Kegemukan pada kambing merupakan kesempurnaan baginya
akan tetapi pada kuda merupakan suatu ketidaksempurnaan. Jadi kesimpulannya,
kesempurnaan secara mutlak merupakan suatu gambaran pikiran yang memiliki individu-individu
di alam nyata, atau bisa dikatakan bahwa kesempurnaan itu sendiri (bukan
gambaran dalam pikiran) berada di alam nyata dan bersifat nisbi. Sebuah Kritikan dan Solusinya
Kritikan dan sanggahan ini muncul karena adanya anggapan bahwa kesempurnaan
merupakan makna yang mutlak atau umum, sehingga mereka kemudian mencari makna
mutlak tersebut di alam eksternal, akan tetapi tidak menemukannya. Dari sinilah
kemudian mereka beranggapan tentang kesempurnaan bersifat relatif atau bersifat
ideal. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa pada mekanisme alam eksistensi
ini, kesempurnaan setiap maujud atau eksistensi mempunyai karakteristik dan
batasan tertentu yang telah ditetapkan oleh perangkat penciptaan - sebagaimana
yang telah kami katakan sebelumnya - dan akal sama sekali tidak akan
menggambarkan lahirnya kesempurnaan khusus sebuah eksistensi dari eksistensi
yang lain. Bahkan pada sistem alam eksistensi, keistimewaan dan karakteristik
saling berbeda dan bisa jadi keistimewaan dan kesempurnaan yang sangat sesuai
untuk sebuah eksistensi tertentu, merupakan ketidaksempurnaan dan aib bagi
eksistensi yang lain. Jadi, pada mekanisme yang dinamakan sebagai mekanisme
paling sempurna oleh al-Quran ini, sebagaimana fenomena-fenomena di alam
eksistensi memiliki keragaman, maka kesempurnaan setiap sesuatu adalah berbeda
dengan kesempurnaan-kesempurnaan maujud lainnya, dengan ungkapan lain, akar
kesempurnaan dalam maujud-maujud di alam ini adalah berbeda dan beragam, bukan
nisbi dan bertambah. Definisi Kesempurnaan
Jadi, dalam bentuk sebuah kaidah bisa dikatakan sebagai berikut bahwa
kesempurnaan setiap eksistensi dan maujud adalah mengaktualnya potensi-potensi
khusus yang diletakkan oleh mekanisme alam penciptaan atasnya dan tidak adanya
penyimpangan dan halangan pada perjalanan dan gerak menuju kesempurnaan dan
pengaktualan potensi-potensi yang telah ditentukan untuk mereka. 2. Dimensi Kesempurnaan Manusia
Pendahuluan
Sebagaimana yang telah kami katakan, kesempurnaan setiap eksistensi harus
ditemukan dalam mekanisme penciptaan wujud tersebut di alam. Untuk melakukan
hal ini, pada langkah pertama harus dilakukan pengenalan terhadap eksistensi
tersebut untuk menemukan kedudukannya dalam alam penciptaan, setelah itu
dibutuhkan spesialisasi yang untuk mengetahui, memperkirakan, dan terakhir
memberikan kesimpulan yang layak. Tentunya persoalan ini tidak bisa dilakukan
dengan merujuk pada pendapat masyarakat umum, dengan misalnya bertanya siapakah
manusia yang sempurna dan berhasil, atau merujuk pada adat istiadat dan
peradaban yang ada pada setiap zaman dan menerima apa yang diterima oleh setiap
zaman secara taklid buta. Mengenal Kesempurnaan Manusia
Dengan memperhatikan pemikiran di atas, maka hal-hal yang diperlukan untuk
mengenal kesempurnaan manusia, adalah: 1.
Mengenal dimensi kesempurnaan manusia; 2.
Menetapkan dimensi terbaik di antara seluruh dimensi wujud yang dimilik
manusia; 3.
Mencari kesempurnaan yang layak dari poin terbaik; 4.
Menemukan metodologi pendidikan dan pembinaan untuk mengarahkan manusia menuju
titik kesempurnaan tertinggi; 5.
Cerdas dalam melangkah, mengenal, dan memilih jalan dan tarikat di antara
jalan-jalan yang telah dikenali; 6.
Menemukan derajat dan kedudukan yang harus diperoleh pada perjalanan
menyempurna ini, 7.
Memperoleh akhir kedudukan yang ditempuh oleh seorang pesuluk dan sampai pada
titik akhir kesempurnaan. Pencapaian Tujuan Tertinggi Manusia
Syarat pertama untuk melakukan perjalanan ke arah tujuan
tertinggi manusia adalah melaksanakan ketujuh poin di atas, dimana ketiadaan
perhatian pada salah satu atau meninggalkan seluruhnya akan menyebabkan
kebingungan dan kesesatan bahkan pada perjalanan yang pertama. Poin pertama, sebagaimana yang telah kami katakan
sebelumnya, manusia merupakan sebuah majemuk dari seluruh tingkatan eksistensi
dan merupakan contoh atau miniatur dari seluruh keberadaaan. Manusia yang
paling sempurna akan memiliki seluruh kesempurnaan yang dimiliki oleh Sang
Penciptanya. Poin kedua, telah dikatakan bahwa dimensi terbaik dan
terunggul yang dimiliki oleh manusia adalah dimensi non-materinya (akalnya)
yang menyebabkan seluruh malaikat bersujud padanya. Poin ketiga, kesempurnaan yang layak untuk kedudukan manusia
ini adalah dia merupakan dan menjadi maujud yang terbaik dan paling sempurna di
antara seluruh eksistensi, tidak menganggap dirinya kecil, rendah, dan tidak
menjual dirinya untuk tingkatan yang lebih rendah seperti materi, melainkan
memanfaatkan dan meletakkan seluruhnya sebagai alat dan wasilah dalam
perjalanan menuju tingkatan tertinggi dan untuk mencapai kedudukan yang lebih
tinggi dan paling sempurna. Poin keempat, melewati dan meniti jalan yang diperintahkan
oleh Tuhan yang telah ditetapkan oleh-Nya dengan diturunkannya agama Islam
lewat Nabi dan Rasul-Nya. Dimana hal ini harus ia lakukan dengan menghiasi
aspek lahir dan dimensi batin dengan mengamalkan perintah-perintah dan
aturan-aturan Tuhan (baca: syariat) serta tidak melakukan perlawanan terhadap
aturan-aturan Ilahi tersebut sekecil apapun, dan pada langkah pertama dia harus
menegaskan dirinya untuk melaksanakan lima hukum (wajib, mushtahab, mubah,
haram, dan makruh) dan berusaha untuk menyebarkan dan mendakwakannya. Poin kelima, meletakkan setiap
jejak dan langkahnya dalam mengikuti orang-orang yang shaleh dan berilmu,
berjalan sendiri sangat besar kemungkinan untuk tersesat karena dia tidak mampu
mengenali jalan yang hak dan benar, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Musa
bin Ja'far as dalam salah satu haditsnya, "Binasalah orang yang tidak
memiliki pembimbing yang membimbingnya" dan sebagaimana yang dikatakan
oleh Amirul Mukminin Ali as, sebelum manusia mencapai tingkatan alim rabbani
(orang yang mengenal Tuhan) dan mengetahui derajatnya, terlebih dahulu dia
harus belajar untuk mendapatkan jalan keselamatan. Poin keenam, mengetahui setiap
tahap dari masing-masing derajat dan kedudukan spiritual, supaya dia tidak
menghentikan langkahnya pada posisi yang telah didapatkannya, karena setiap
kedudukan memiliki pengaruh yang sebegitu agung dan menakjubkan kadangkala hal
ini memunculkan sangkaan pada seseorang bahwa dia telah sampai pada titik
tertinggi dari kesempurnaan, sementara dia tidak mengetahui bahwa saat ini dia
baru saja memulai perjalanannya yang begitu panjang. Salah satu persoalan yang
paling urgen dalam melakukan perjalanan ke arah tujuan yang benar dan hakiki
adalah terletak pada kesalahan dalam menentukan kedudukan dan derajat spiritual
ini, yang tentu saja akan menyebabkan stagnasi dalam perjalanan ke tahapan
selanjutnya. Pada tahapan ini, diharuskan ada seorang guru untuk membimbingnya
ke derajat dan kedudukan tertinggi. Melakukan perjalanan spiritual seorang
sendiri dengan tanpa guru sebagai pembimbing spiritual, kadangkala akan
mengakibatkan perjalanan justru mengarah ke ambang kesesatan, kehilangan akal
sehat, dan munculnya kebingungan. Apabila untuk melakukan perjalanan di alam
ini saja kita harus mengetahui dan mengenal lintasannya, bagaimana mungkin kita
akan bisa berjalan di alam transenden dan spiritual tanpa terlebih dahulu
mengetahui dan mengenal lintasan perjalanannya dan tanpa adanya guru
pembimbing? Poin ketujuh, akhir dari
derajat dan kedudukan manusia adalah perjalanan menuju ke Realitas Tak
Terbatas, hal ini yang akan kami jelaskan secara panjang lebar pada bab
mendatang. Hakikat Insan dan Kesempurnaan Hakikinya
Faktor paling besar penyebab kesalahan dalam perjalanan manusia saat ini adalah
ketidakjelasan dan ketiadaan perhatian terhadap hakikat manusia. Persoalan ini
telah menyebabkan manusia meninggalkan fitrah yang benar dan terjerumus ke
lembah kesesatan. Dalam keadaan seperti ini, kesalahan, kesesatan, dan
keburukan telah termanifestasi dalam bentuk tujuan yang tinggi sedangkan tujuan
asli dan hakiki mereka lupakan. Dalam keadaan ini, hawa nafsu dan khayalan
kosong dari sekelompok pengikut kesesatan akan menempati arah dan tujuan yang
sebenarnya. Jadi, para ulama yang akan duduk sebagai pemimpin kafilah manusia
dan memperkenalkan dirinya sebagai pemimpin masyarakat adalah penting bagi
mereka untuk terlebih dahulu berpikir tentang hakikat manusia dan berusaha
menentukan identitas hakiki manusia untuk mengetahui poin-poin kesempurnaan
yang layak untuk mereka. Manusia yang sifat dasarnya adalah dari malaikat dan ruh
Ilahi, "Dan telah Aku
tiupkan ke dalamnya ruh-Ku",[3] untuk apa mengarahkan dirinya pada
suatu realitas yang bukan tujuan suci penciptaannya? Manusia yang Tuhan
menyebut kedudukannya dengan firman-Nya, "Sesungguhnya
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya, kemudian Kami
kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya",[4] tidak seharusnya menjadikan tempat
tinggal abadinya di asfalus-safilin(paling
rendahnya kedudukan), melainkan tempat terendah tersebut (baca: alam materi)
harus dianggap sebagai batu loncatan menuju ke langit suci makrifat dan derajat
tertinggi. Burung-burung angkasa yang sayapnya lebar yang tidak bisa tertampung
dalam sebuah sangkar dan sarang manapun, sama sekali tidak layak terpenjara
dalam sebuah sangkar yang sempit. Dia harus terbang bebas mengarungi angkasa,
lautan, dan hutan-hutan. Manusia yang kalbunya tidak dapat dipenuhi dan dipuaskan
oleh realitas apapun, sehingga apabila planet bumi ini diserahkan kepadanya, ia
tetap akan memikirkan untuk menguasai planet-planet lainnya, dan apabila telah
menguasai seluruh alam, masih tetap memiliki keinginan untuk menguasai apa yang
berada di luar alam, apakah dia akan merasa beruntung dan bahagia dengan hanya
mengenyangkan perut dan syahwatnya? Tidak, sama sekali tidak demikian, apabila
dia memiliki kapasitas wujud yang tidak terbatas, maka dia hanya layak untuk
sesuatu yang juga tidak terbatas, dan kesempurnaan hakikat yang tak terbatas
ini menuntut kehadiran realitas kesempurnaan yang tidak terbatas pula. Ibarat di atas adalah kandungan dari ayat, "Yaitu orang-orang yang
beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah,
hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram",[5] yang dengan beberapa penegasan
mengatakan bahwa satu-satunya yang mampu menenangkan hati dan memberi
ketentraman serta kepuasaan pada kalbu dan jiwa manusia tidak lain adalah Sang
Penciptanya sendiri. Dalam sebuah hadits mulia dikatakan, jiwa mukmin adalah
'rumah' Tuhan, maka janganlah kalian menerima selain Tuhan di dalam rumah ini.
Kesempurnaan yang layak untuk manusia adalah tidak melepaskan diri dari
mengingat Tuhannya dan mencintai-Nya dengan setulus hati. Para Nabi dan Rasul sebagai Pembimbing
Kesempurnaan
Karena Tuhan mengajak manusia ke arah kesempurnaan-Nya dan menjaminnya
keamanan, ketenangan, dan kehancuran dunia serta juga memberikan kemudahan
untuk menggapai realitas alam malakuti, maka Dia menciptakan teladan-teladan
suci berupa Nabi, Rasul, dan Ahlulbait dan mengajak seluruh manusia untuk
berjalan bersama mereka dan meniti jalan yang mereka lalui, teladan-teladan
suci tersebut diletakkan sebagai contoh dari kalangan manusia yang telah mampu
mencapai derajat dan kedudukan manusia yang paling tinggi. Dalam keadaan
ini, karena kita belum menjadi manusia sempurna adalah logis apabila segala
gerak dan langkah kita sebagaimana gerak dan langkah para manusia sempurna
tersebut, dan kita bergerak dan berjalan di bawah hidayah dan bimbingan mereka.
Hal ini persis seperti keadaan orang buta yang melakukan perjalanannya dengan
meletakkan tangannya pada genggaman orang yang tidak buta. Sudah pasti orang
buta tersebut akan melangkah sebagaimana orang yang tidak buta, dia akan aman
dari bahaya kebutaan, karena meskipun dia buta, akan tetapi gerak dan
langkahnya bukan gerak dan langkah orang buta. Dalam lingkup tujuan yang sangat
agung dan berharga inilah kemudian tercipta maktab suci Ilahi untuk memberikan
bimbingan dan mengarahkan keinginan mulia manusia, dan mengingatkan bahwa
apabila keinginan hakiki manusia tidak diiringi dengan hidayah khusus dengan
perantara para teladan suci dan manusia sempurna, maka kesempurnaan tertinggi
dan tujuan suci penciptaan manusia tidak akan pernah tergapai dan terwujud. Dosa, Penghalang Perjalanan Menyempurna
Almarhum Allamah Thabathabai ra sepakat bahwa melakukan maksiat dan dosa
sekecil apapun, akan mampu menjadi penghalang bagi perjalanan memasuki medan
makrifat Ilahi, dan mengetahui kewajiban berkenaan dengan perintah-perintah
suci Ilahi adalah syarat awal menuju kesempurnaan dan langkah awal seorang
pesuluk. Tentu saja puncak kesempurnaan ini tidak dapat dengan mudah diperoleh
karena menuntut penjagaan ketat dan kehati-hatian sempurna. Almarhum Allamah
dalam risalahnya al-Wilayah menukilkan bahwa gurunya, almarhum Ayatullah
Sayyid Ali Qadhi Thabathabai, mengatakan bahwa para pertapa India yang hanya
memakan sebutir kacang dalam setiap minggunya, tidak tidur pada hari-hari
tertentu, berdiri di atas satu kaki dengan merentangkan kedua tangan dalam
sehari semalam, atau hal ajaib lainnya, pada dasarnya mereka telah lari dari
amanah dan tanggung jawab yang besar dan beralih pada hal-hal yang mudah.
Tanggung jawab yang besar dan perbuatan yang mulia adalah dalam waktu selama 70
tahun sama sekali tidak berbohong, ghibah, riya, memandang perempuan
non-mahram, dan lain-lain. Sebagian dari murid almarhum Ayatullah Ogho Rahim
Arbab menukilkan bahwa beliau berkata, sejak umur lima belas tahun hingga
sekarang, aku tidak pernah satu kali pun memandang perempuan non mahram.
Jadi, kemestian pengamalan seluruh kewajiban dan perintah Ilahi merupakan
syarat pertama untuk memasuki wilayah suci Ilahi dan secara bertahap dia akan
mengalami perluasan kapasitas wujudnya. Amirul Mukminin Ali as dalam kitab Nahjul Balaghah mengatakan, kalbu dan jiwa manusia
merupakan wadah-wadah dan terbaiknya wadah adalah yang memiliki kapasitas yang
terbanyak.
Program-program yang telah difirmankan oleh Tuhan untuk manusia dan tertuang di
dalam agama suci Islam mengatakan bahwa badan materi merupakan sebuah
eksistensi yang tidak abadi dan fana, maka jadikanlah badan-badan tersebut
menjadi realitas ruhani dan Ilahi (yakni jiwa melesak ke alam tinggi malakuti),
karena tidak mengikuti aturan-aturan Ilahi hanya akan menjadikan ruh menjadi realitas
materi (yakni jiwa akan turun ke alam terendah materi). Kebodohan dan kejahilan
yang tidak memberikan manfaat sedikitpun, lantas berperan dan berusaha dalam
membumi hanguskan program-program Ilahi dan meletakkan segala sesuatu untuk
berkhidmat kepada alam materi dan dunia, dan kejahilan ini dengan seluruh
usahanya berupaya untuk menyimpangkan agama Islam supaya manusia-manusia malang
terjebak dan terkubur dalam sifat dan prilaku hewan. Mereka menganggap bahwa
tolok ukur kebahagiaan dan kesempurnaan manusia terletak pada motivasi-motivasi
dalam memenuhi tuntutan syahwat dan perut, dan mereka tidak mengetahui sesuatu
lebih dari hal itu. Penyakit tanpa Rasa Sakit
Penyakit-penyakit tubuh terbagi menjadi dua kelompok, sebagian penyakit tubuh
diikuti dengan rasa sakit yang tidak menyenangkan seperti penyakit pada sistem
pencernaan atau infeksi-infeksi pada sistem-sistem organ yang diikuti dengan
rasa sakit yang luar biasa pada anggota badan. Akan tetapi terdapat jenis
penyakit lain yang mampu mengalami perkembangan sangat pesat di dalam tubuh
manusia akan tetapi sama sekali tidak diikuti dengan rasa sakit, dan penderita
penyakit semacam ini biasanya tidak mengetahui adanya kerusakan di dalam
tubuhnya, seperti kejang yang terjadi pada pembuluh kapiler atau pengentalan
darah yang timbulkan oleh sedimen bahan-bahan seperti lemak yang akan menekan
jantung, hal ini secara bertahap dan tanpa diketahui oleh manusia akan mampu
menghentikan detak jantung secara tiba-tiba dan hal ini berarti berakhirnya
sebuah kehidupan.
Penyakit-penyakit ruh yang muncul karena tidak adanya kesempurnaan spiritual
pun memiliki keadaan seperti tersebut di atas. Manusia tidak pernah merasakan
adanya aib dan kekurangan di dalam dirinya karena dia telah terkekang dalam
mekanisme materi. Dan karena manusia tidak mengetahui bahwa kecintaan atas
materi tidak terhitung sebagai kesempurnaan dirinya, tidak bisa memuaskan
fitrahnya, dan tidak bisa menjadi solusi bagi tuntutan potensi-potensinya, oleh
karena itu dia sama sekali tak merasakan ketersiksaan sedikitpun. Dia hanya
berpikir pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tabiat dan badannya dan dia tidak
mengenal kebutuhan ruhani yang lebih tinggi dari itu. Orang-orang semacam ini
tidak akan mendapatkan kesempurnaan hakiki, bersamaan dengan itu ia tak pula
merasakan sakit dan kekurangan. Penyebab dari masalah ini adalah hati mereka
sibuk, larut dan tenggelaman dalam lautan dunia materi. Al-Quran menamakan
orang-orang semacam ini dengan orang-orang yang buta dan tuli dan saking tuli
dan butanya sehingga dia tidak mengetahui penyakit yang diderita di dalam
dirinya sendiri.
Akan tetapi ketika mereka melihat jarak yang begitu jauh dan penuh bahaya
disertai dengan segala ketegangan dan ketakutan yang terjadi di alam akhirat,
memahami bahwa dia tidak memiliki kendaraan dan alat untuk bergerak dan melihat
betapa banyak nikmat-nikmat tak terbatas yang tercecer akan tetapi dia tidak
mampu mengumpulkan dan memanfaatkannya, dan dia tidak mempersiapkan tempat
tinggal dan kediaman abadi untuk dirinya, keadaan ini persis seperti seorang
anak yang lahir dari ibu dan tidak memiliki mata, telinga, tangan, kaki,
hidung, dan mata untuk melihat, mendengar, berjalan, bernapas, dan makan.
Sebenarnya harus diketahui bahwa seluruh perintah dan aturan-aturan suci Tuhan
hanyalah untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia di alam akhirat
dan mempersiapkan kediaman abadinya. 3. Tahapan Akhir Kesempurnaan
Lintasan Gerak
Gerak manusia adalah ke arah realitas tak terbatas. Allamah Thabathabai ra
dalam risalahnya al-Wilayah mengutarakan isyarah-isyarah yang
diungkapkan oleh al-Quran dan hadits tentang tingkatan dan derajat akhir
manusia ini. Pada risalah itu disinggung tentang lima tingkatan dan
menentukan garis lintasan manusia: Pertama: Hukum-hukum
agama dan syariat suci Islam memiliki dimensi lahir dan batin; Kedua: Mekanisme batin alam tidak berdasar pada mekanisme
alam natural ini karena dia memiliki mekanisme tersendiri yang khusus dan
tertentu; Ketiga: Tidak ada sedikitpun keraguan bahwa para Nabi
memiliki hubungan dan keterkaitan dengan batin alam ini; Keempat: Pintu ke arah batin alam tersebut terbuka pula
untuk umat manusia dan terdapat kemungkinan untuk melakukan hubungan dengan
tingkatan dan derajat alam tersebut; Kelima: Apa yang dicapai manusia dalam perjalanan suci ini
adalah menggapai puncak kesempurnaan wujud.
Allamah Thabathabai ra pada masing-masing poin tersebut menyertakan juga
sanad-sanad yang sesuai dari al-Quran dan hadits, bisa dikatakan bahwa risalah
ini merupakan hasil karya yang sangat berharga pada kurun ini.
Almarhum Allamah pada poin keempat dari risalah tersebut mengatakan,
"Sesungguhnya jalan paling dekat dan paling bermanfaat untuk bergerak ke
arah kesempurnaan mutlak adalah perjalanan jiwa (seir anfusi)",[6] dengan makna bahwa pada lintasan ini,
manusia sama sekali tidak akan bergelut dengan defenisi-defenisi dan pemikiran.
Yang akan dihadapi hanyalah hakikat-hakikat wujud yang bisa ditemukan dalam
jiwa manusia dimana hal ini akan menambah keluasan wujudnya. Pada topik ini,
Allamah menyandarkannya pada salah satu ayat yang berbunyi, "… Tiadalah orang yang sesat
itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk …".[7]
Sedangkan pada poin kelima, beliau mengatakan,[8] "Manusia akan sampai pada suatu
realitas dimana Tuhan akan menyingkap tabir dari mata-mata mereka dan
meletakkan mereka pada golongan muqarribin (orang-orang yang didekatkan
pada-Nya), Tuhan berfirman, "Tahukah
kamu apakah 'Illiyyin itu? (yaitu) kitab yang bertulis, yang disaksikan oleh
malaikat-malaikat yang didekatkan (kepada Allah)",[9] dimana pada posisi ini mereka akan
'menyaksikan' alam-alam keberadaan yang tertinggi dimana merupakan sebuah
lembaran dimana keberadaan dan segala sesuatu yang terjadi di alam itu telah
tertulis dan terjaga dengan rapi. Juga manusia akan mengalami penyempurnaan
hingga sampai pada sebuah derajat yang jauh dari jangkauan dan pengaruh setan,
karena setan berkata, "Demi
kekuasaan-Mu aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang
mukhlas (orang yang disucikan dan diikhlaskan) di antara mereka".[10]
Demikian juga akan sampai pada suatu tempat dimana mereka akan memperoleh
balasan atas segala amal dan perbuatan sebagaimana manusia-manusia lainnya,
dalam salah satu ayat-Nya berfirman, "Dan
kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu
kerjakan",[11] akan tetapi pada kelanjutan ayat
tersebut Tuhan berfirman, "Kecuali
hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa)."[12]
Imam Ali as dalam salah satu khutbahnya, mengatakan, "Ya Allah! Mata
manakah yang akan mampu bertahan ketika berhadapan dengan pancaran cahaya dan
kodrat-Mu, dan akal manakah yang mampu menggapai kodrat dan cahaya-Mu, kecuali
mata yang telah tersibak dari tabir dan hijab yang membutakan."[13]
Imam Ali as dalam munajat Sya'baniyah juga menganjurkan kepada kita untuk
memanjatkan doa kepada Allah Swt sebagai berikut, "Ya Allah! Terangkanlah
mata hati kami untuk memandang kemuliaan-Mu supaya terbuka hijab-hijab yang ada
di antara kami sehingga kami akan sampai kepada keagungan-Mu dan ruh-ruh kami
bergantung pada seluruh kemuliaan suci-Mu."
Pada bagian yang lain, dari munajat yang sama, beliau bersabda, "Ya Allah!
Sampaikanlah kami kepada cahaya kemuliaan dan cahaya menakjubkan yang Engkau
miliki, sehingga kami mampu mengenal-Mu dan memalingkan wajah dari
selain-Mu."
Allamah Thabathabai ra pada akhir risalahnya menyatakan, "Apabila kita
berpikir dan bertadabbur dengan baik pada ayat-ayat dan hadits-hadits, maka
akan kita temukan bahwa ternyata kita masih belum mendapatkan informasi
sempurna tentang wilayah suci Ilahi dan apa yang akan mereka gapai dari
kesempurnaan-kesempurnaan Ilahi tersebut, tak satupun ibarat dan ungkapan yang
bisa digunakan untuk menceritakan secara utuh maqam, derajat dan kedudukannya
sama sekali."[14]
Manusia merupakan satu-satunya eksistensi yang memiliki potensi dan kapasitas
yang mampu meletakkan seluruh alam ini di dalam jiwa dan kalbunya, dan -
sebagaimana yang telah kami katakana - apabila Allah menyebut seluruh alam
dengan sebutan mikrokosmos dan dalam al-Quran memperkenalkan dunia dengan
sebutan "sedikit" akan tetapi pada ayat lainnya menyebutnya sebagai
sebuah "komoditi", dan mendefinisikannya sebagai sesuatu yang tidak
berharga dan kecil, bukan disebabkan karena dunia ini memang tidak berharga dan
kecil, melainkan karena kedudukan manusia yang besar, agung, dan sangat
berharga, dan kapasitasnya yang sedemikian besar sehingga kalbunya merupakan arsy Ar-Rahman dan 'rumah' Tuhan, dimana pada salah
satu hadits dikatakan, "Kalbu para mukmin merupakan tempat suci
Tuhan" dan seluruh alam ini tidak berharga ketika berdampingan dengan
realitas yang bisa menampung arsy Ilahi atau tempat suci Tuhan."[15]
Dari sinilah Amirul Mukminin Ali As mengatakan, "Perdagangan yang tidak
beruntung adalah manusia yang menganggap dirinya memiliki nilai tertentu dan
terbatas lalu dia menjual dirinya dengan nilai tersebut".[16] Perdagangan seperti ini hanya akan
menghasilkan penyesalan tak terbatas. Betapa indahnya, apabila manusia
mengetahui citra, hakikat, dan nilai dirinya, dan melakukan amal dan perbuatan
sedemikian sehingga dia mampu menyibakkan tabir yang menutupinya dan menggapai
kesempurnaan dirinya dengan penuh kebahagiaan. 4. Pendidikan dan Pertumbuhan Akhlak
dalam Islam
Makna Pertumbuhan dan Pendidikan
Kata pendidikan mempunyai makna menghasilkan dan menambah. Sedangkan kata
pertumbuhan memiliki makna menjadi sesuat yang lebih baik, berkembang, dan
berproses menuju posisi yang lebih sempurna. Jelaslah bahwa yang dimaksud
dengan pembinaan - dalam proses pengajaran dan pendidikan - seorang manusia
bukan berarti mengarahkan pertumbuhan badan dan menaikkan berat badannya,
melainkan yang dimaksud adalah menyelamatkan manusia dari keterjebakan dalam
dunia materi dan memberikan pemahaman akan arah dan tujuan yang lebih tinggi,
lebih mulia, lebih agung, dan lebih sempurna dari sekedar memuaskan instink dan
syahwat semacam makan, tidur, berpakaian dan kebutuhan jasmani lainnya. Jelaslah bahwa di atas mekanisme jasmani manusia terdapat
mekanisme lain yang berkedudukan lebih tinggi dan lebih suci, dimana struktur
dan pondasi derajat tersebut berada pada salah satu tingkatan wujud yang
terletak lebih tinggi dari alam materi.
Manusia yang berkedudukan tinggi dan suci bukanlah mereka yang lebih baik dalam
hal makan, minum, tidur, dan kelebihan dalam fasilitas-fasilitas materi
lainnya, melainkan apabila mereka hanya mencukupkan pada persoalan-persoalan
ini, berarti mereka malah telah terjerembab dari derajat insaniah menuju
derajat hewaniah, dan kemerosotan manusia yang semacam ini tidak bisa dianggap
sebagai sebuah pertumbuhan atau kesempurnaan.
Hal ini sama artinya ketika kita menganggap alam eksistensi ini hanya sebatas
alam materi - sebagaimana yang diungkapkan oleh kaum materialis - karena dengan
anggapan seperti ini berarti proses menyempurna yang ada pada alam eksistensi
sama sekali tidak bermakna. Meskipun mereka telah merasionalisasikan kemunculan
makhluk-makhluk hidup bahkan manusia dan mengatakan apabila di dalam alam
natural ditemukan makhluk hidup, maka sebenarnya unsur-unsur maujud di alam
eksistensi akan terkomposisi dan terwujud dalam bentuk yang lebih rumit dan
lebih mendetail. Dengan ungkapan lain, partikel atom alam ini tetap konstan dan
permanen, akan tetapi kadangkala mereka saling berbaur dalam bentuk yang
sederhana, dimana dalam keadaan ini akan muncul eksistensi yang sederhana pula
seperti in-organik dan tumbuhan; terkadang pula, atom-atom ini berkomposisi
dengan sangat rumit dimana akan menghasilkan spesis hewan. Jadi perbedaan
antara katak dengan batu, bunga, dan tumbuhan hanya terletak pada komposisi
partikel atom atau unsur-unsurnya dalam bentuk yang lebih rumit, dan apabila
kemudian terwujud manusia, hal ini terjadi pula dengan cara yang sama yaitu
karena pengaruh penggabungan unsur-unsur dan partikel-partikel atom alam ini
sedemikian mendetail dan lebih rumit dari makhluk lainnya, dengan ini
terbentuklah eksistensi yang menakjubkan berupa manusia, akan tetapi tetap saja
berada dalam lingkup unsur-unsur pertama materi dan tidak keluar darinya, dan
apabila seluruh maujud yang terdapat di alam ini dikembalikan semula dalam
bentuk atom-atom, maka jumlah atom-atom tersebut niscaya akan tetap dan
konstan, tidak terkurangi dan tidak pula bertambah.
Dari penjelasan di atas, secara pasti bisa dikatakan bahwa perspektif ini tidak
sesuai dengan proses kesempurnaan maujud-maujud, dan bahkan pernyataan mereka
tentang kesempurnaan dalam bentuk di atas tidak diterima oleh aliran filsafat
manapun, karena perubahan dari satu materi ke materi yang lain tidak bisa
dikatakan sebagai sebuah proses kesempurnaan, melainkan hanya sebuah rangkaian
penjumlahan dan pembagian dimana pada satu kondisi akan menggabung dan pada
kondisi lain akan memisah. Dengan ibarat lain, sekedar perubahan kondisi tidak
bisa dikatakan sebagai kenaikan derajat sebuah maujud. Suatu gerak akan bisa
dikatakan sebagai gerak ke arah kesempurnaan ketika ada hasil pada setiap
lintasan perjalanan yang dilaluinya, dimana hasil itu sebelumnya tidak dimiliki
dan sekarang mengalami pertambahan.
Ibnu Sina menganggap bahwa setiap gerak merupakan kesempurnaan awal, yaitu
langkah pertama untuk mencapai segala yang dikehendaki ialah gerak, dimana
manusia atau setiap maujud akan bergerak dan mengarah pada tujuan. Bila tujuan
yang akan dicapai tidak ada, melainkan antara wujud awal dan wujud akhirnya
adalah sama dan tidak ada satu hal baru yang dihasilkan, maka aksi-reaksi
semacam ini tidak bisa dikatakan sebagai sebuah proses
kesempurnaan.[bersambung] [1] Rujuk, Al-Asfar, Mulla Sadra,
jilid 6, hal. 266 dan 385.
|