‘Kawin Paksa’ Wahdatul Wujud dan Teologi Asy’Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 ‘
Muhsin Labib
Ahmad Sirhindi (1564-1624,) lahir di Realitas ironis ini menimbulkan reaksi negatif di kalangan
fuqaha dan pemuka agama Islam di India. Sirhindi adalah salah satu tokoh Islam
yang merasakan kepahitan itu. Ia bahkan sempat mengungkapkan keekcewaannya.
Sirhindi menganggap biang keladi dari sinkretisme dan eklektisisme Sultan Akbar
dan meluasnya sikap yang mengabaikan syariah dan aqidah adalah adalah konsep
Wahdah al-wujud Ibn Arabi dan Syi’isme. Karena itulah Ahmad Sirhindi bertekad
melakukan purifikasi. Sufisme ontologis dianggapnya sebagai biang keladi kultus
dan sinkretisme. Selain membenci Paganisme, Hinduisme, Kristen dan Yahudi,
Sirhindi juga membenci Islam Syiah yang dianut oleh hampir setengah jumlah
muslimin di anak benua India. Pada tahun-tahun awal, sebelum menjadi seorang sufi,
Sirhindi menulis suatu karya yang berisi serangan tajam terhadap Syiah. Ia
menuduh kaum Syiah sebagai orang kafir yang harus dibunuh. Bahkan karena
sikapnya yang sangat tidak toleran terhadap selain mazhab sunni apalagi
terhadap agama selain Islam, ia mendekam di penjara selama satu tahun atas
perintah Jahangir, putra Sultan Akbar yang telah wafat, yang semula bersikap
baik terhadapnya. Konon perubahan sikap Jihangir itu terjadi setelah ia menikah
dengan wanita cantik dari keluarga Syiah. Konon, di kemudian hari setelah
berpaling kepada sufisme, dia sikapnya terhadap Syiah kian melunak, dan kemudian
mengakui peran Imam Ali dan imam-imam lainnya di antara wali-wali Allah. Pada masa awal hidupnya, dia juga menjadi asisten Abu
al-fadhl, meskipun dia sangat menentang tradisi filsafat Yunani dan agama
selain Islam. Pada tahun 1599 atau 1600, dia bergabung dalam tarekat
Naqsyabandiyah yang dianggapnya lebih unggul dibanding tarekat lainnya. Sebab,
Naqsyabandiyah menolak raqsh (tarian) dan sima’ (mendengarkan musik). Sirhindi adalah tokoh sufi india yang paling orisinil dan
kontroversial. Dia punya beberapa pernyataan dan klaim yang sangat
kontroversial dan tidak lazim. Dia menjadi bahan perbincangan di antara kaum
modern muslim, sebagimana dikupas secara rinci oleh Johanan Fredmann. Ketika Ahmad Sirhindi memutuskan untuk mengikuti jalan
kesufian dia telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syekh
Muhammad al-Baqi. Ahmad Sirhindi mengaku telah melalui semua peringkat
spiritual. Syekh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, adalah kalimah Allah
kepada Ahmad Sirhindi. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian spiritual
dia kepada Sirhindi sehinggalah Ahmad Sirhindi mengalami kegairahan dan
kelazatan yang amat sangat. Klaim-klaim akan supremasi spiritual mististiknya
dituankannya pada bagian depan maupun di sela-sela komentar kritisnya atas
Wahdah al-wujud dalam Al-maktubat-nya. Dalam salah satu suratnya, Sirhindi mengungkapkan kronologi
pengembaraan spritualnya. Dia mengalami rasa kepiluan yang amat dahsyat
sehingga dia menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan
zikir Ismul Zat, ia mengaku telah dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan
diri. Dalam suasana spiritual yang demikian dia menyaksikan samudera yang
sangat luas. Dia menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut
tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang
sehingga memukau jiwanya. Ia mengaku telah mengalami suasana tersebut beberapa
lama, kadang-kadang berlarut sampai seperempat hari, kadang-kadang separuh hari
dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Ahmad Sirhindi melapokan
pengalamannya itu kepada Syekh Muhammad. Gurunya menjelaskan bahwa apa yang
telah dialami oleh Ahmad Sirhindi itu merupakan sejenis pengalaman fana dan dia
dinasihati supaya menjaga penyingkapan itu. Sirhindi mengaku meneruskan latihannya. Dua hari kemudian
dia mengalami fana yang lebih teratur. Dia meneruskan latihan sebagaimana yang
diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya dia mencapai fana dalam fana. Ahmad
Sirhindi melaporkan pengalamannya kepada Syekh Muhammad. Mursyidnya itu
bertanya apakah Ahmad Sirhindi menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu
kewujudan ataukah dia mendapati wujud tersebut bersatu dengan Yang Satu. Ahmad
Sirhindi mengaku bahwa demikianlah yang dia telah alami. Mursyidnya menjelaskan
bahwa fana dalam fana yang sebenarnya adalah walaupun disaksikan penyatuan
tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sadaran sehingga fana itu
sendiri tidak ada dalam kesadarannya. Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya dan
pada malam itu dia mengalami suasana fana seperti yang digambarkan oleh
mursyidnya. Dia melaporkan pengalaman kepada Syekh Muhammad, termasuk
pengalamannya sebelum memasuki fana. Sirhindi mengaku bahwa dirinmya mendapat
ilmu secara langsung dari Tuhan. Dia juga mendapati sifat-sifat yang menjadi
miliknya adalah juga milik Tuhan. Setelah peringkat tersebut dia maju lagi. Dia
menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut
berwarna hitam. Dia menyangka apa yang dia saksikan itu adalah Tuhan.
Mursyidnya menjelaskan apa yang telah dia alami itu adalah menghadap kepada
Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan karena perkaitan Zat Yang Maha Suci
dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan. Setelah penafian itu Sirhindi mendapati cahaya hitam yang
membungkus segala sesuatu itu mula mengecil sehingga menjadi satu titik yang
sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu
supaya dia bisa sampai kepada suasana kehernan. Ahmad Sirhindi mematuhi arahan
mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Dia dikuasai oleh
suasana kebingungan. Dalam suasana kebingungan itulah Ahmad Sirhindi mendapati
Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya
mengsahkan bahwa apa yang dialami oleh Sirhindi itu adalah suasana kehadiran
yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat
Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk,
sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian. Maksud nisbat
adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang
jarang terjadi ini, menurut pengakuannya, dikurniakan atas dirinya dalam masa
dua bulan beberapa hari setelah dia ditalkinkan oleh Syekh Muhammad. Setelah melewati tahap nisbat, dia mengaku ada satu lagi
bidang fana dikurniakan kepadanya. Menurutnya, fana pada tahap ini adalah fana
hakiki. Dalam kefanaan yang demikian dia menyaksikan hati dia menjadi besar,
menjadi tersangat besar hingga seluruh alam termasuk al-Kursi dan al-Arasy
hanyalah seumpama sebiji sawi jika dibandingkan dengan hatinya. Ia mengaku,
setelah melewati peringkat ini, dia menyaksikan dirinya dan segala sesuatu
sebagai Tuhan. Kemudian dia melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu
dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Dia menyaksikan
seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus. Kemudian pengalamannya berubah lagi. Dia mengaku telah
menyaksikan zarah dirinya membesar hingga beberapa alam bisa dimasukkan ke
dalamnya. Dia menyaksikan dirinya atau satu zarah sebagai cahaya yang membesar,
memasuki setiap zarah kewujudan sehingga semua rupa dan bentuk alam hilang
lenyap di dalamnya. Setelah itu dia mendapati dirinya atau satu zarah,
menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian
adalah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, peringkat bersatu dalam kesatuan. Setelah peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang
berbeda dari pengalaman penyatuan. Dahulunya Ahmad Sirhindi menyaksikan segala
sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbedaan. Bila memasuki peringkat
yang baru ini dia menemukan bahwa segala sesuatu dalam alam tidaklah bersatu
dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam
penyaksian mata hati semata-mata. Dia masuk kepada suasana keheranan yang
menyeluruh. Saat itu dia teringat pada kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika
kamu suka kamu bisa memanggilnya ‘yang diciptakan’ atau jika kamu suka kamu
bisa memanggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain.
Kamu boleh juga mengatakan yang kamu tidak mampu membedakan keduanya”.Keterangan
dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Ahmad Sirhindi. Bila berkesempatan,
dia melaporkan pengalaman dia kepada Syekh Muhammad. Mursyid itu memberitahu
bahwa Sirhindi mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas. Dia
dinasihatkan supaya meneruskan latihan agar wujud boleh dibedakan dari khayali.
Ahmad Sirhindi bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi
tentang pengalaman yang telah dialaminya. Syekh Muhammad menjelaskan bahwa Ibnu
Arabi tidak menceritakan suasana yang sempurna yang berbeda dengan konsep
wahdah al-wujud, karena kebanyakan sufi tidak melewati peringkat menyaksikan
tidak ada perbedaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat
tersebut mereka akan menyaksikan perbedaan di antara Tuhan dengan makhluk. Ahmad Sirhindi meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari
dia dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbedaan di antara Wujud yang
sebenar dengan wujud khayali. Dia mendapati sifat, tindakan dan kesan yang
muncul pada wujud bayangan (khayali) sebenarnya datang dari Tuhan. Dia
menyadari sepenuhnya bahwa sifat dan perbuatan tersebut sebenarnya bayangan
atau khayalan sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya
menerangkan bahwa dia sudah sampai kepada peringkat mengalami suasana perbedaan
setelah penyatuan, adalah setelah menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba
bersatu sebagai wahdah al-wujud, dia meninggalkan peringkat tersebut dan
menyaksikan Wujud Tuhan sebenarnya berbeda dari wujud hamba. Peringkat ini
merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Setelah peringkat ini seseorang
itu akan memahami dan menyadari tujuan dia diberi bakat-bakat yang perlu.
Inilah peringkat kesempurnaan. Ahmad Sirhindi meringkas kronologi perjalanan spiritualnya.
Katanya, ketika dibawa kepada peringkat kesadaran sesudah mabuk, baqa sesudah
fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, dia tidak melihat
sesuatu melainkan Allah SWT dan dia temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’Tuhan.
Kemudian dia dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Dia masuk ke dalam suasana
kebingungan. Bila dia kembali kepada dirinya dia dapati Tuhan dan segala yang
maujud berada dalam dirinya. Kemudian dia dibawa lagi ke dalam suasana kebingungan.
Setelah itu kesadaran dia dikembalikan semula dan dia mendapati Tuhan bukan
satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaannya dia
menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian syuhud yang
demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan terlihat olehnya dengan
keadaan tersebut yang membuatnya merasakan seakan-akan Dia. Seterusnya dia
melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya dia melihat alam
berada di samping Tuhan. Dia kembali lagi mengalami suasana kebingungan.
Kemudian kesadaran dia kembali lagi. Dia kini memperoleh pengetahuan yang
sangat berbeda dengan pengetahuan dia sebelumnya. Dalam pengetahuan dia yang terbaru ini dia mendapati
hubungan Tuhan dengan alam adalah berlainan dengan apa yang dia pahami dahulu.
Hubungan Tuhan dengan alam tidak mampu diuraikan dan tidak dapat diketahui. Dia
masuk pula ke dalam suasana kebingungan. Dia merasakan kekerdilan diri. Ketika
sadar kembali, dia mendapatkan pengetahuan bahwa Tuhan tidak ada hubungannya
dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Dia mengaku telah diberi
pengetahuan khusus tentang tidak wujud hubungan antara Tuhan dengan makhluk
walaupun dia menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini dia mengaku telah
mendapatkan pengetahuan bahwa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur
ghaib, adalah bukan Tuhan. Menurutnya, ia hanyalah bentuk simbolik tentang
hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan syuhud.
Dia mengaku bahwa di akhir perjalanannya ia menemukan bahwa masih ada peringkat
yang lebih tinggi dari peringkat menyaksikan wahdah al-wujud. Syuhud terhadap
wahdah al-wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan
spiritual. Katanya, setelah meninggalkan peringkat tersebut, seseorang akan menjadi
sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara bertahap. Di penghujung
perjalanannya kesan syuhud wahdah al-wujud akan hilang sama sekali dan dia
menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah. Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi
konsep yang timbul dari pengalaman tersebut mungkin berbeda. Ibnu Arabi
mengalami suasana satu wujud berpegang kepada konsep wahdahul wujud. Ahmad
Sirhindi Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi dia berpegang
kepada konsep wahdahul syuhud. Ahmad Sirhindi mengaku telah meninggalkan
peringkat menyaksikan wahdah al-wujud dan dia kembali kepada jalan kenabian.
Banyak juga sufi yang tidak terlepas dari kesan menyaksikan wahdah al-wujud,
lalu mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdah al-wujud. Sufi tersebut
ditarik kepada konsep demikian karena kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam
kesadaran tidak patut mengikuti konsep yang demikian. Perlulah diketahui bahwa
apa yang dialami dalam alam spiritual tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam
demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu tentang Kebenaran
Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam spiritual boleh dialami secara
syuhud atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah
seseorang boleh menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat
Kenabian. Cahaya yang disaksikan dalam daerah latifah boleh mempesonakan
seseorang dan hakikat kenabian boleh membalikkan pandangan seseorang. Ada orang
yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada
orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan
nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebahagian dari
mereka yang mencuba untuk mencungkil ‘Rahasia’. Mereka menyatukan diri mereka
dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bedanya
diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Konsep mereka sudah jauh menyimpang dari
kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang saja. Manusia
dari aspek jasad datang dari jasad yang satu adalah jasad Adam. Walaupun
bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka dari jasad
yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain.
Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya.
Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas
dengan perjalanannya, menanggung bahagia atau celakanya sendiri. Begitu juga
dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bahagia, roh
Abu Jahal tidak ikut bahagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke
dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun
sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan
perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Konsep menyatukan jasad
atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain adalah konsep yang keliru.
Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana
penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya,
bukan itulah yang sebenarnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang arif orang
tersebut akan berterusan berada di dalam gambaran khayalannya atau di dalam
alam bayangan. Al-maktubat, Magnum Opus Sirhindi
Melalui surat-surat Ahmad Sirhindi berusaha untuk
mengembalikan kemuliaan Mughal ke jalan yang benar yang menuntun kepada
keselamatan. Para pengikutnya barangkali tidak menyadari tuntutan Sirhindi yang
sangat tinggi pada dirinya sendiri dan ketiga penerusnya, sebab dia merasa
dirinya sebagai qayyum, seseorang yang melalui gerakan dirinya dunia
berlangsung – suatu peringkat yang jauh lebih tinggi dibanding qutb dalam
mistik Islam. Pengaruh Sirhindi setelah dia meninggal meluas di banyak bagian
tengah dan timur duania Muslim, dan surat-surat dari imam rabbani,’Imam yang
diilhami Tuhan,’ telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa Islam. Orisinalitas gagasannya dalam tasawwuf bisa dilihat dalam
doktrin-doktrinnya (terungkap melalui surat-surat) mengenai peringatan seribu
tahun Islam. Seribu tahun bulan dalam hijriyah telah berlalu sejak kenabian
Muhammad SAW dan, kata Sirhindi, berarti akan terjadi suatu perubahan dramatis.
Dia mengajarklan bahwa di atas ‘Realitas Muhammad’ (dalam bahasa Perisa,
haqiqat e Muhammad-i), yang oleh para sufi sebelumnya dianggap sebagai realitas
tertinggi di bawah Tuhan, ada ‘Realitas Quranik’. Di atas itu, ada ‘Realitas
Ka’bah’. Seribu tahun setelah kematian Muhammad SAW, Realitas Muhammad bangkit
menggantikan Realitas Ka’bah dan memperoleh nama baru sebagai ‘Realitas Ahmad’
(haqiqat-i Ahmadi). Kita harus memahami bahwa Ahmad merupakan nama lain baik
bagi Muhammad maupun bagi Sirhindi sendiri. Sirhindi menyatakan bahwa dia
adalah seorang murid langsung Tuhan. Menurutnya, dalam tahap terakhir
perjalanan sufinya, sang mistikus itu turun dari pengalamannya dengan Tuhan
menuju dunia untuk menjalankan fungsi yang mirip dengan fungsi para nabi.
Meskipun seorang wali semacam itu tidak bisa menyerupai nabi secara umum, dia
bisa melampauinya dalam beberapa aspek (seperti halnya seorang mujahid mampu
melampaui nabi). Doktrin ini menempatkan Sirhindi sekubu dengan Ibn ‘Arabi,
meskipun banyak pula yang membedakan keduanya. Sering kali dibayangkan pula
bahwa Sirhindi berusaha untuk menggantikan sistem mistik Ibn Arabi dengan
sistemnya sendiri. Jadinya, banyak diduga bahwa ajaran wahdah al-wujud Ibn
Arabi akan digantikan oleh ajaran Wahdah al-syuhud Sirhindi. Masalah ini semakin kompleks. Sirhindi menerima beberapa
doktrin Ibn Arabi namun menolak beberapa doktrinnya yang lain. Tampaknya
sirhindi, seperti penulis modern, beranggapan salah bahwa Ibn Arabi dan para
pengikutnya, ketika mereka menyatakan keyakinannya terhadap wahdah al-wujud,
mengakui hanya ada satu entitas dalam dunia (pandangan monisme murni).
Sebagaimana dikatakan Sirhindi, mereka hanya bisa melihat matahari sehingga
mengingkari keberadaan bintang-bintang. Sirhindi menganggap mereka telah
dibutakan oleh rasa mabuk sehingga bisa dimaafkan. Padahal, ada tingkatan yang
lebih tinggi, yaitu wahdah al-syuhud, yang berarti hanya melihat ketauhidan
Tuhan tanpa mampu m,elihat yang lain, tapi mengetahui bahwa entitas-entitas
lain itu ada (seperti halnya mampu melihat matahari, namun tetap mengetahui
bahwa bintang-bintang itu ada). Tahapan tertinggi adalah jika kita mampu
melihat baik matahari maupun bintang. Sirhindi, meskipun di satu sisi memiliki pandangan ambigu
(mendua), sangat tegas terhadap pihak lain. Sebagaimana umumya ditemui dalam
komunitas ulama, dia mengutuk wanita yang mengurbankan binatang di makam para
sufi. Dia mengatakan bahwa kaum Hindu harus dicela; dan membunuh seorang yahudi
itu menguntungkan Islam. Dia mendapat dukungan material bagi rumahnya sendiri
dari para bangsawan kerajaan. Disebutkan bahwa ia sempat sudah menulis surat
yang meminta posisi penting kerajaan bagi teman-temannya. Karena keberanian pendapat-pendapatnya yang sangat anti
terhadap non muslim dan non sunni, dia sempat mendekam dalam atas perintah
kaisar Jahan-gir (1605-1627) dan kemudian dibebaskan. Hanya ada sedikit bukti
yang mendukung pendapat umum bahwa sang kaisar melakukan itu karena dia
berbalik mengakui pendapat Sirhindi. Pada masa hidupnya, dia dikritik oleh para sufi
konvensional, karena kesombongannya, dan oleh para ekstremis karena Sirhindi
bersikukuh bahwa kenabian itu lebih unggul dibandingkan kewalian. Nanti, pada
abad ke –17, ajaran-ajarannya sering kali dihujat. Pada tahun 1679, fuqaha utama
kerajaan itu melarang secara resmi penyebaran ajaran-ajaran tersebut. Namun,
pengikutnya tetap bertahan. Pada abad ke-20 ia dipandang sebagai pahlawan utama
dalam tasawwuf Islam sunni. Utopia “Mengganti Wahdah al-Wujud dengan
Wahdah al-Syuhud”
Ketika mengalami suasana keesaan Tuhan itu tidaklah berarti
bahwa sufi sudah menjadi Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Ia adalah satu
suasana yang Tuhan gubah demi memperkenalkan keesaan-Nya. Orang yang memasuki
suasana tersebut akan kenal, faham dan mengerti maksud Tuhan Maha Esa.
Pengalaman yang demikian terjadi tatkala sufi hilang ingatan dan kesadaran kepada
segala perkara kecuali Allah s.w.t. Ketika ingatan dan kesadarannya kembali
semula pengalaman tentang keesaan Allah s.w.t itu tidak hilang, tidak seperti
orang gila yang melupai segala pengalaman gilanya tatkala dia sadar kembali.
Pengalaman hati membawa sufi bermakrifat dengan keesaan Tuhan. Apa yang
diketahui oleh orang lain secara ilmiah, dalil dan bukti, dialami sendiri oleh
sufi. Pengalaman keesaan yang dialami oleh hati itulah yang dinamakan wahdahul
syuhud. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud, menurut Sirhindi,
berpecah kepada dua golongan. Golongan yang pertama memahamkan apa yang dialami
itulah kebenaran yang sejati dan kebenaran yang paling tinggi. Hati telah
mengalami wahdah al-wujud maka tentu sekali wahdah al-wujudlah yang benar.
Berdasarkan syuhud atau pengalaman hati mengenai wahdah al-wujud itulah
terbentuk konsep wahdahul wujud. Yang wujud hanyalah Tuhan, penampakan Tuhan
atau wajah-wajah Tuhan. Alam dan makhluk adalah bentuk zahir yang dengannya
Tuhan menyatakan Wujud-Nya. Alam dan makhluk jika dipandang dari satu segi
adalah Tuhan dan jika dipandang dari segi yang lain adalah makhluk. Begitulah
konsep wahdahul wujud yang dibuat sebagai terjemahan kepada pengalaman wahdahul
syuhud. Sufi golongan kedua tidak menggubah terjemahan kepada apa yang mereka
alami. Bagi golongan ini wahdah al-wujud adalah syuhud atau pengalaman hati,
tidak ada sebab mahu mengatakan wahdahul syuhud itu sebagai wahdahul wujud.
Golongan ini memahamkan bahwa menyaksikan keesaan Tuhan bukan bermakna menjadi
Tuhan atau bersatu dengan Tuhan. Memasuki suasana Keesaan Tuhan yang Tuhan buat
tidak berarti a masuk kepada Tuhan. Tuhan tidak dikandung oleh masa, zaman atau
ruang. Tidak ada satu perbatasan di mana bertempat Tuhan Yang Maha Esa. Tidak
ada sesuatu apa pun yang boleh sampai kepada Zat Tuhan. Walaupun Keesaan Tuhan
dikenali dan dialami ia tidak mengubah bangunan alam maya dan tidak mengubah
ketuhanan Allah SWT Orang lelaki yang bermimpi menjadi perempuan tidaklah
benar-benar bertukar menjadi perempuan. Tetapi pengalaman menjadi perempuan di
dalam mimpi itu membuatnya mengenali perempuan dengan mendalam, tahu daya rasa
dan citarasa perempuan dan sebagainya. Pengetahuan yang didapati secara hushuli
meyakinkan pengetahuan yang diketahui secara pembelajaran dan dalil. Pengalaman
menjadi perempuan dalam mimpi dikatakan pengalaman hakikat lelaki berkenaan
mengalami hakikat keperempuanan melalui cara bermimpi. Lelaki tersebut
mengenali perempuan secara sempurna. Sufi yang mengalami hakikat ketuhanan adalah orang yang
masuk ke dalam suasana hakikat dan makrifat, tidak masuk ke dalam Tuhan.
Menurutnya, hakikat dan makrifat adalah suasana yang digubah Tuhan untuk
memperkenalkan Diri-Nya kepada sesiapa yang Dia kehendaki berbuat demikian.
Ketika seorang hamba yang menetap dalam makam kehambaan diperkenalkan akan
sifat al-Aziz, maka hatinya berdebar, tubuhnya menggelinjang, parasnya menjadi
pasi hingga ia nyaris terhuyung pingsan. Setelah sadar, dia kenal maksud
al-Aziz. Pengenalan sempiris itu lebih berkesan dan meyakinkan dari perkenalan
secara ilmiah. makrifat melalui pengalaman hakikat itu melahirkan ungkapan
seperti: “Aku kenal Tuhanku melalui
Tuhanku; Aku melihat Tuhanku tanpa rupa, tanpa bentuk, tanpa warna, tanpa
cahaya; Aku kenal Tuhanku tanpa sesuatu pengenalan”. Banyak lagi ungkapan yang seumpamanya. Sufi yang mengalami wahdahul syuhud tetapi menolak konsep
wahdahul wujud, berpegang pada konsep wahdahul ma’abud adalah kepercayaan
kepada keesaan Tuhan tanpa menafikan kewujudan makhluk ciptaan Tuhan. Sufi
golongan ini mengakui bahwa wujud makhluk memang tidak berhakikat tetapi oleh
karena makhluk diciptakan Tuhan maka makhluk mempunyai kewujudan yang teguh,
stabil, tetap, kekal mempunyai tindakbalas dan sebagainya, bukan seperti wujud
khayali yang dibuat oleh ahli silap mata. Jadi, wahdahul syuhud yang membawa
sebahagian sufi kepada wahdahul wujud itu juga yang menetapkan sufi pada
wahdahul ma’abud. Sufi yang tidak terbalik pandangan karena pengalaman wahdahul
syuhud adalah yang ditetapkan pada makam kehambaan, sekalipun menempuh
gelombang Alam Misal, alam bayangan, cahaya dan warna. Apa saja yang muncul
dinafikannya dengan kalimah :“La ilaha illa
Llah ” dengan membawa
maksud : “Tiada Tuhan melainkan Allah.” Kalimah Tauhid yang menetapkan sebahagian sufi pada makam
kehambaan itu boleh juga digunakan untuk mencabut kehambaan apabila maksud
kalimah tersebut diubah kepada: “Tiada yang maujud melainkan Allah” (La maujud illa Llah ). Renungan yang
mendalam dan disertakan dengan ucapan yang berulang-ulang bertindak sebagai
memukau diri sendiri sehingga terpahat keyakinan dalam jiwa bahwa hanya Wujud
Tuhan yang ada. Orang yang memperoleh konsep wahdahul wujud secara renungan
demikian tidak mengalami wahdahul syuhud, tidak ada pengalaman hakikat, tidak
mengalami hal-hal ketuhanan karena mereka belum lagi sampai kepada tahap
kesadaran hati (kalbu). Hal ketuhanan hanya dialami oleh orang yang sampai
kepada tahap kesadaran hati. wahdahul wujud yang diperolehi secara tafakur itu
menjadi pegangan orang yang berada pada tahap ilmu, tetapi ilmu bayang bukan
ilmu yang sebenar. Dengan prinsip dualitas wujud (tsunaiyah al-wujud) atau
wahdah al-syuhud, Sirhindi sebenarnya meyakini bahwa pemilik wujud sempurna
hanyalah Allah dan bahwa wujud selain Allah tidaklah sempurna. Sirhindi mencoba
mengargumentasikan gagasannya dengan mengutip sebuah riwayat yang sangat
populer “Tidak ada shalat tanpa fatihah”.
Katanya, Nabi tentu tidak bermaksud melenyapkan shalat seseorang yang dilakukan
tanpa fatiha, namun Nabi menganggap shalat tanpa al-fatihah itu tidaklah sempurna. Utopia “Mengawinkan Syariah dan Haqiqah”
Menurutnya, Syari’ah memiliki tiga bagian: pengetahuan,
perbuatan, dan tujuan yang mulia (ikhlas), Jika tidak anda mengikuti semua
bagian-bagian tersebut, maka kamu belum dapat dikatakan taat kepada syari’ah,
dan ketika kamu mematuhi syari’ah maka kamu taat kepada kesenangan Tuhan, yang
merupakan kebaikan yang terbesar didunia dan akhirat, al-Qur’an : “Kesenangan
tuhan adalah kebaikan yang tertinggi”, maka Syari’ah merupakan satu kesatuan
yang utuh dari semuah kebaikan di dunia dan akherat, dan tidak ada yang
ditinggalkan dari segala hal yang ada di Syari’ah. Thariqah dan Haqiqah, sebagaiman dikenal di kalangan sufi,
adalah bagian yang takterpisahkan dari syari’ah, yang biasa digunakan untuk
mengetahui tiga bagiannya. Kenamaan,dan kemuliaan, jadi mereka dijaga dalam
upaya untuk melaksanakan syari’ah bukan untuk meraih sesuatu didalam syari’ah,
pengembaraan dan kesenangan dari pengalaman para sufi dan wawasan dan kebenaran
yang datang kepada mereka ketika mereka sedang dlm pengembaraannya adalah bukan
tujuan dari sufisme, mereka kadang-kadang memberi cerita dan menyenangi anak
anak mereka yang sedang diberi makan, diantaranya mereka harus meninggalkan
mereka dan meraih tingkatan ketenangan (rida) yang merupakan tujuan akhir dari
suluk. Menurut Sirhindi, syari’ah adalah bagian terpenting yang
mendasar dalam Tasawwuf oleh sebab itu. Seandainya sesesorang disebut Shaikh
namum belum mempraktekan Syari’ah, maka setiap seharusnya menolak mengikutinya,
dan memilih untuk mengikuti shaikh yang mengajarkan dan memperaktekan syari’ah. Tujuan dari penggabungan thariqah dan haqiqah tidak lain
adalah realisasi dari ikhlas yang memerlukan usaha dari rida.hanya satu dari
ribuan sufi yang ditolong dengan tiga iluminasi dan gnostic visi, pekmberian
ikhlas, dan naik kemartabat rida. Kritik –kritik atas Sirhindi
Mencampur-adukkan sufisme, filsafat, teologi dan fiqh
nampaknya menjadi ciri dominan Sirhindi dalam kritik-kritiknya terhadap Wahdah
al-wujud atau al-tauhid al-wujudi Itulah sebabnya, al-maktubat terkesan kacau
dan tidak metodologis. Hal ini diperparah oleh pilihan kata Sirhindi yang
terkadang cenderung agigatif dan emosional. Yang lebih memprihatinkan lagi,
Sirhindi menunjukkan ketidakmampuannya menyembunyikan tendensi-tendensi
sektarian dan persionalnya dalam tulisan-tulisannya. Sebenarnya polemik tentang apakah wujud itu tunggal ataukah
beragam telah menjadi salah satu tema terkuno dalam khazanah tasawwuf, filsafat
dan teologi Islam. Mungkin Sirhindi yang hidup di anak benua India tidak pernah
akrab dengan wacana ontologis yang rumit dan sulit itu, meski sering mengklaim
telah menguasainya. Kalau saja Sirhindi tidak terlampau fanatik dan sinis
terhadap Syiah dan akrab dengan pustaka dan karya-karya para ulama Syiah
tentang wahdah al-wujud, mungkin ia tidak akan bersikap sangat sinis terhadap
wahdah al-wujud. Meski sama-sama meyakini adanya Tuhan yang Maha Sempurna,
umat Islam tetap saja berbeda pendapat tentang apakah Tuhan saja yang ada
sedangkan selainnya “mirip” ada” atau “berada dalam wahdah al-wujud Tuhan”
ataukah Tuhan memiliki ruang eksistensi sedangkan setiap makhluknya memiliki
ruang bagi eksistensinya masing-masing? Kaum pluralis dan dualis, termasuk kaum paripatetis dan
sebagian besar kaum rasionalis Timur, berkeyakinan bahwa hakikat wujud (bukan
maujud) beragam, mencakup Tuhan dan setiap makhlukNya. Dengan kata lain,
menurut mereka, Tuhan memiliki hakikat wujud tersendiri yang berbeda secara
total dengan hakikat wujud setiap makhlukNya. Sirhindi semestinya memahami bahwa para penganut wahdah
al-wujud itu tidak selalu sama dalam detail pendapat mereka. Para penganut
monisme yang meyakini unitas hakikat terbagi tiga aliran yang berbeda pendapat
tentang wahdah-al-wujud; Bahwa hakikat-hakikat wujud aini mempunyai kesekutuan dan
kesatuan yang berbeda-beda. Dengan kata lain, wujud hanyalah sebuah hakikat.
Namun dalam kesatuan tersebut, terdapat keragaman. Teori ini mengacu pada
pendapat Mulla sahdra tentang pembagian wujud kepada mandiri (mustaqil) dan
bergantung (rabith). Pendapat ini dikenal dengan teori “al-wahdah
fi ain al-katsrah”. Bahwa hakikat wujud sejati dan “realitas” (wujud objektif,
entitas, maujud) hanya terbatas pada Allah. Sedangkan eksistensi
entitas-entitas lain bersifat metaforis. Teori ini dikenal dengan “Wahdah
al-wujud wa al-maujud”. Bahwa, “wujud sejati” hanya ada pada dzat Allah. Sedangkan “maujud
sejati” mencakup
makhluk-makhluk. Kaum monis bahwa realitas-realitas wujud memiliki titik
kesamaan dan kesatuan sekaligus perbedaan. Dengan kata lain, realitas-realitas
wujud yang berlainan itu satu. Namun perbedaan tersebut tidak meniscayakan
ketersusunan sehingga tidak dapat diuraikan menjadi genus dan defrentia.
Perbedaan tersebut hanyalah dalam intensitas dan gradasinya, sebagaimana lilin
dan lampu 500 watt yang satu atau sama-sama lampu namun kualitas pencahayaannya
berbeda. Singkatnya, wujud yang satu dan sederhana itu gradual dan
bertingkat-tingkat. Hakikat “wujud’ itu sederhana atau tunggal namun
bertingkat-tingkat atau gradual, masing-masing tingkat berbeda intensitasnya.
Adalah jelas, keberadaan tumbuh-tumbuhan lebih sempurna dan lebih tinggi dari
keberadaan benda-benda padat, karena ia memliki sifat berkembang, konsumtif dan
produktif. Ke-ada-an binatang juga lebih sempurna dari ke-ada-an
tumbuh-tumbuhan, karena ia, selain memiliki sifat-sifat yang ada pada
tumbuh-tumbuhan, memiliki sejumlah sifat kesempurnaan lainnya, seperti
berperasaan, bergerak dan berkehendak. Benda padat, tumbuh-tumbuhan dan
binatang sama-sama memiliki eksistensi, namun masing-masing berada pada
tingkat-tingkat kesempurnaan yang berbeda. Cahaya juga demikian. Ia bersifat
gradual, ada yang kuat sekali, ada yang lebih lemah dan begitu seterusnya,
meski semuanya adalah cahaya. Banyak orang yang mengkaitkan pendapat ini
keyakinan kaum fahlavi, para filsuf Iran kuno. Tingkat tertinggi dari wujud
bersifat tak berhingga, sedangkan tingkat yang paling rendah bersifat terbatas,
lemah, dan tidak mandiri. Kedua: Agama para rasul, tulis Sirhindi, tegak atas dasar premis
kegandaan (al-itsnainiyah), dan bukan pada keidentikan antara Tuhan dan dunia.
Ia memisahkan antara makhluk dan Maha Pencipta, hamba dan Tuhannya, dan tidak
pernah menyampaikan bahwa pencipta adalah ciptaan, atau bahwa Tuhan adalah
hamba. Para rasul tidak pernah mengabaikan pengetahuan, kehendak, kekuasaan,
tindakan, dan pengalaman manusia atau makhluk-makhluk lain, dan kemudian
menjadikannya hanya sebagai predikat Tuhan saja. Mereka tidak pernah menyatakan,
bahwa hanya ada satu pelaku atau satu zat, atau satu subjek saja. Sirhindi semestinya mampu membedakan antara tema-tema
ontologis dan tema-tema religius (teologis). Tema-tema ontologis adalah
konsep-konsep yang dibangun berdasarkan keyakinan akan alam keberadaan.
Sedangkan tema-tema tentang para rasul dan syariah dibangun berdasarkan
prinsip-prinsip nubuwah, yang merupakan turunan dari prinsip-prinsip teologis.
Seseorang bisa saja meyakini adanya wujud mutlak yang merupakan pencipta
tunggal, namun ia tidak mesti meyakini kenabian atau agama. Sirhindi semestinya
mengkritik wahdah al-wujud dengan berusaha menggugurkan premis-premis
ontologisnya, tidak malah memprovokasi pembaca dan pengikutnya dengan
mengandalkan tema-tema teologis dan fiqhiyah yang sangat sektarian dan tidak
aksiomatis. Dari kritiknya di atas, tampak pula bahwa bahwa Sirhindi
tidak mampu membedakan antara terma “satu”, “esa”, “sederhana”, penampakan” dan
terminologi lainnya yang merupakan elemen integral dalam khazanah sufisme dan
filsafat. Ketiga: Selain bertentangan ajaran para Rasul, menurut Sirhindi,
doktrin wahdah al-wujud jkuga bertentangan dengan berbagai prinsip dasar ajaran
Islam. Menurutnya. doktrin tersebut membenarkan adanya penyembahan berhala
karena filsafat tersebut mengidentikkan dunia dengan Tuhan, maka penyembahan
atas berbagai objek akan disamakan dengan penyembahan Tuhan, karena yang
disembah adalah perwujudan Tuhan. Inilah apa yang sebenarnya diyakini oleh para
penyembah berhala, katanya. Karena menyadari bahwa konsep monisme Ibn Arabi, yang
menjadi dasar utama tasawwuf pasca Al-bustami dan Al-hallaj, tidak sejalan
dengan teologi Asy’ariyah, yang dianut oleh sebagian besar masyarakat sunni,
Sirhindi melacarkan kampanye anti wahdah al-wujud sembari menuduhnya sebagai imbas
dari ajaran Syiah dan Zoroastrianisme. Sirhindi semestinya mengetahui bahwa apabila ada selain
selain Allah yang memiliki wujud sama dengan Allah, maka berarti “ada sesuatu
yang menyerupai Allah dalam wujud”. Kalau para rasul mengajarkan kepada umat mereka
, bahwa “tiada Tuhan selain Allah” maka itu tidak berarti “tiada yang berwujud
selain Allah” pastilah salah. Hal itu karena ilah hanyalah satu satu dimensi
kesempurnaan maksimum zat-Nya. Tuhan bukan hanyazat yang esa sebagai ilah
(sembahan), namun Ia juga esa dalam segala arti kesempurnaan. Dengan kata lain,
kita semestinya menganggap Allah sebagai pemilik satu-satunyaal-wujud,
al-uluhiyah, al-khaliqiyah, al-ma’budiyyah, al-rububiyah dan semua sifat dan
nama terbaik (al-asma al-husna). “Dialah pemilik nama-nama terbaik”,
sebagaimana difirmankan dalam al-Qur’an. Apakah karena Ia adalah pemilik
nama-nama terbaik, maka berarti kita sebagai makhluknya tidak diperbolehkan
menjadi pemilik majazi-nya? Inilah yang perlu direnungkan oleh Sirhindi dan
para penentang wahdah al-wujud. Wahdah al-wujud dapat dianggap sebagai pemuncak
atau saripati dari tauhid. Keempat: Doktrin wahdah al-wujud, menurut Sirhindi, mengabaikan
adanya keburukan. Sebagai manifestasi Tuhan, yang merupakan kebaikan absolut
tentu segala sesuatu mengada dalam keadaan baik; ia hanya buruk dalam kaitannya
dengan sesuatu yang lain di luar dirinya sendiri.Bahkan kekafiran dan
kemuratadan bukanlah suatu keburukan; dalam kenyataannya ia merupakan kebaikan
dalam dirinya sendiri, dan buruk atau kurang baik hanya ada apabila
dibandingkan dengan iman dan islam. Menurutnya, ini jelas bertentangan dengan
misi dasar para rasul yang bertujuan menjauhkan manusia dari penyembahan
berhala dan kemurtadan. Meski kebaikan dan keburukan masing-masing mempunyai satu
arti yang baku, namun standar untuk menentukan sesuatu sebagai baik dan sesuatu
lain sebagai buruk bisa saja berbeda mengikuti konteks yang berbeda-beda. 1-
Ada kalanya kebaikan dan keburukan difahami sebagai kesesuaian dan
ketidak sesuaian dengan selera (cita rasa). Panorma yang indah, karena sesuai
dengan cita rasa, adalah baik. Sedangkan pemandangan yang menyeramkan, karena
bertentangan dengan selera, dianggap sebagai buruk; 2- Ada kalanya ebaikan dan
keburukan diinterpretasikan sebagai keselarasan dan ketidakselarasan dengan
kepentingan. Tujuan dan kepentingan bisa bersifat individual bisa pula bersifat
komunal. Membunuh musuh, misalnya, dianggap sebagai baik karena selaras dengan
tujuan, namun buruk bagi teman dan keluarga orang yang terbunuh, karena bertentangan
dengan tujuan dan kepentingan personal mereka. Keadilan karena memelihara
ketertiban masyarakat dan kepentingan umum, adalah baik. Sedangkan kezaliman,
karena meruntuhkan keteraturan dan bertentangan dengan kepentingan umum, adalah
buruk; 3-Ada kalanya kebaikan dan keburukan sebagai kesempurnaan dan kekurangan
jiwa. Pengetahuan, misalnya, adalah pesona atau hiasan, sedangkan kebodohan
adalah noda atau aib; 4- Ada kalanya kebaikan dan keburukan sebagai keterpujian
dan ketercelaan sesuatu secara rasional. Sering kali akal sehat kita memastikan suatu perbuatan
sebagai baik, karena sesuai dengan kesempurnaan eksistensial bagi manusia,
selaku entitas berakal dab berkehendak, dan memastikan suatu perbuatan sebagai
buruk karena meniscayakan kekurangan eksistensial bagi manusia, tanpa
mengikutsertakan faktor manfaat personal atau sosial, seperti membalas kebaikan
dengan kebaikan sebagai sesuatu yang diharuskan oleh akal sehat, dan membalas
kebaikan dengan keburukan sebagai sesuatu yang dilarang oleh akal sehat. Harus diakui bahwa penelitian kita tentang maslah-masalah
keberadaan belum final sehingga belum mencapai kedalaman fenomena-fenomena
eksistensial. Persitiwa-peristiwa mengenaskan yang pada mulanya sebelum
diketahui dimensi-dimensinya, mengesankan tidak adanya keadilan. Di bawah
pengaruh dan tekanan emosional itulah, kita sering memberikan analisis yang
irasional. Namun, bila kita teliti secara seksama dan rasional, maka kita akan
segera sadar bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menjadi buruk di mata kita
karena pertimbangan individual dan subjektif. Dalam alam yang tidak ada gempa
dan bencana, perubahan dan evolusi tidaklah terjadi. Dalam alam yang tidak berubah dan berevolusi, tidak ada
gerak. Dalam alam yang tidak bergerak, hukum dan norma moral dan sosial tidak
berarti. Perbedaan dan evolusi adalah bagian niscaya dari alam yang dinamis.
Tanpa itu, alam tidak akan ada, matahari, bulan dan semuanya tidak akan ada.
Dalam alam yang tidak mengandung sakit, usaha dan sengsara, perasaan gembira
dari kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan adalah absurd, cita-cita untuk lebih
sempurna adalah sia-sia, dan hubungan antar sesama akan tak bermakna. Keburukan adalah ketiadaan mutlak. Karenanya, semua yang ada
di alam ini pastilah sesuatu yang baik, karena kebaikan adalah kata lain dari
keberadaan. Sesuatu menjadi buruk, karena ia merupakan patner asumtif dari
lawannya, yaitu baik, sebagaimana gelap yang kita annggap ada karena menjadi
entitas refleksif dari kebenderangan. Bencana dan keburukan-keburukan adalah
salah satu tema lama dalam sejarah peradaban manusia dan berkaitan erat dengan
keyakinan keagamaan. Seandainya Tuhan adalah kebaikan semata dan tidak ada
keburukan setitik pun dalam DzatNya sama sekali, maka bagaimana mungkin
keburukan-keburukan dinisbahkan kepadaNya! Tak pelak, kehidupan manusia adalah
kehidupan sosial. Di dalamnya ada kepentingan-kepentingan personal dan komunal.
Akal sehat mengutamakan kepentingan komunal atas kepentingan personal.
Karenanya, sebagian fenomena alam muncul berupa bencana dan keburukan bagi
sebagian orang, namun pada saat yang sama bencana dan keburukan diderita oleh
sebagian anggota masyarakat tersebut memuat kepentingan umum dan masyarakat.
Bila fenomena dan gejala alam tersebut dianggap sebagai keburukan oleh
segelintir orang, maka itu adalah penilaian personal karena bertentangan dengan
kepentingan sejumlah orang, namun ia sesuai dengan kepentingan umum yang lebih
besar pada tempat dan waktu yang berbeda. Perbuatan merobohkan sebuah bangunan
di tengah kota yang menimbulkan debu besar, misalnya, akan dinilai oleh
sementara orang yang kebetulan lewat di dekatnya sebagai perbuatan yang
merugikan mereka, karena debunya mengganggu kesehatan dan penglihatan. Namun
perbuatan itu justru menguntungkan bagi orang-orang yang kelak sakit dan akan
dirawat di atas tanah bekas bangunan yang diruntuhkan tersebut akan dibangun
sebuah rumah sakit. Karena pengetahuan yang serba terbatas, manusia menghukumi
dan menilai peristiwa-peristiwa dengan penilaian yang negatif. Padahal bila
manusia membandingkankan pengetahuannya yang dangkal dengan pengetahuan Tuhan,
maka ia akan meralatnya kembali, sebagaimana dinyatakan dalam surah Al—Imran
ayat 191 dan surah Al-Isra’ ayat 85. Kehidupan manusia tidak hanya berdimensi material namun juga
berdimensi spiritual. Tentu, kebahagiaan dan keberuntungan di dalam kehidupan
ini merupakan tujuan utama di balik penciptaaan manusia. Kunci keberhasilan untuk
mencapai kebahagiaan tersebut adalah menyembah Allah dan tunduk kepada-Nya.
Karenya, peristiwa-peristiwa yang menimbulkan gangguan dalam beberapa aspek
kehidupan material boleh jadi merupakan penyebab utama kembalinya manusia
kepada Tuhan, sebagaimana ditegaskan dalam surah An-Nisa’. Sejumlah bencana
alam adalah akibat ulah berdosa dan perbuatan maksiat. Manusia bertanggungjawab
terhadap banyak peristiwa menyedihkan dan tragedi memilukan dalam alam,
sebagaimana ditegaskan dalam surah Ar-Rum ayat 41 dan Al-A’raf ayat 96. Kelima:
Ibn Al-arabi dan para pengikutnya menyitir ayat al-Qur’an; “Sesungguhnya
engkau tidak melemparkan (sejumput debu) ketika engakau melempar, adalah Tuhan
yang melemparkannya,” dan
ayat-ayat lain yang serupa, yang menopang doktrin tentang aktor tunggal.
Doktrin Wahdah al-wujud, menurut Sirhindi, meyakini bahwa Tuhan adalah aktor
tunggal. Karena tidak ada dua zat, maka tentu tidak ada dua kehendak. Oleh
sebab itu, simpul Sirhindi, apapun yang dipilih atau dilaksanakan oleh
seseorang, maka dalam kenyataannya adalah dipilih dan dilaksanakan oleh Tuhan.
Kepercayaan pada aktor tunggal (tauhid fi’li) menurut Sirhindi adalah produk
dalam kedaan mabuk. Ia menggambarkan pandangan determinisme (al-jabariyah). Sirhindi semestinya memahami konsep kausalitas secara lebih
mendalam, agar tidak tergesa-gesa menjatuhkan palu vonis terhadap sesama
penyembah Allah. Hubungan antara sebab dan akibatnya adalah hubungan
eksistensial real (objektif). Bila hubungan tersebut terjalin, maka ke-ada-an
akibat menjadi pasti, ke-ada-an sebab memastikan ke-ada-an akibatnya, dan
ketiadaan sebab juga memastikan ketiadaan akibatnya. Maujud dapat juga dibagi
dua: 1- Entitas yang memiliki pengaruh terhadap eksistensi selain dirinya, yang
lazim disebut kausa atau Al-illah; 2-Entitas yang memerlukan selain dirinya
untuk menjadi ‘berada’ yang disebut Al-ma’lul.[] Rujukan:
Fazlur Rahman, Islam, terj, Ahsin Muhammad , (Bandung:
Pustaka, 1997), cet III, hal. 215 Muhammad Abdul-Haq Ansari, Merajut Syariah dan Haqiqah, hal.
2-3 Hourani, Albert. Arabic Thought in the Liberal Age
1798-1939. Cambridge: Cambridge University Press, 1983. P: 142: Nasution,
Harun. Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan
Bintang, 1975. Hal. 191). Op.cit. Abd. Haq Ansari, hal. 31 ibid, hal. 31 Ahmad Sirhindi, Al-maktubat, Fazilet Nasyriyet ve Ticaret
A.S, Istanbul, hal 6 Yohanan Friedman, “Ahmad Sirhindi” dalam Mircea Eliade (ed),
The Enclopedia of Religion, (New York: MacMillan Publishing Company, 1987),
vol. 13, P. 337 Op.cit. Al-maktubat, hal. 4 Francis Robinson, “Ahmad Sirhindi”, John L. Esposito (ed) ,
The Oxford Enclopedia of Modern Islamic World, (Oxford University Press, 1995),
vol. 4, p. 78. Islam Mistik, Julian Baldick, hal 160-162, Serambi, 2002 cet
1 ibid Al-maktubat, hal. 280, cetakan Istanbul. Muhammad Abdul Haq Ansari,pp 221-2, Naskah asli dari sir
Hindi vol I:36 Al-manhaj Al-jadid, 399-405 Amolui, , Shahrul-Mandhumah, juz 2, hal. 105, Daftar e
Tablighat Qom 1987, Shadruddin Syirazi, al-Asfar al-arba’ah juz, 1, hal. 432,,
Daftar e Tablighat, Qom 1989, Al-Falsafah Al-Ulya, 90 Al-manhaj al-jadid,
403-405. Sirhind, al-Maktubat, vol. I: 272, hal. 650-651. Ibid vol. 234, hal. 494; vol. II; 1, hal.. 854. Ibid, vol. I, 272, hal. 651,652. Ja’far Subhani, Muhadharat fil-Ilahiyat, hal. 89, Daftar e
Tablighat Alk-Islami, Qom, 1999 Jalal Al-din Ashtiyani, The existence from View Point of
Philosophy and Mysticism, The center of Publication of the office Islamic
Propagation of The Islamic Seminary of Qum, 2000, P. 168-175. Al-Qur’an, 8:17 Ibi, vol. I: 30, hal. 101; I: 289, hal. 734, 738. M. Reza Sadr, Al-falsafah Al-ulya, 113, Daftar e Tablighat,
Qom, 2000; M.H. Thabathabai, Nihayah Al-hikmah, 201, Jamiah al-mudarrisin, Qom
2000. Ibid, Nihayah Al-hikmah, 202,; ibid Al-falsafah Al-ulya,
113, ibid, Al-asfar Al-arba’ah. |