Tajalli (Manifestasi Al-Haq) Dan Martabat TujuhDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Kata “tajali” (Ar.: tajalli) merupakan istilah tasawuf yang
berarti ”penampakan diri Tuhan yang bersifat absolut dalam bentuk alam yang
bersifat terbatas. Istilah ini berasal dari kata tajalla atau yatajalla, yang
artinya “menyatakan diri”. Konsep tajali beranjak dari pandangan bahwa Allah Swt dalam
kesendirian-Nya (sebelum ada alam) ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya.
Karena itu, dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian, alam ini merupakan cermin
bagi Allah Swt. Ketika Ia ingin melihat diri-Nya, Ia melihat pada alam. Dalam
versi lain diterangkan bahwa Tuhan berkehendak untuk diketahui, maka Ia pun
menampakkan Diri-Nya dalam bentuk tajali. Proses penampakan diri Tuhan itu diuraikan oleh Ibn ’Arabi.
Menurutnya, Zat Tuhan yang mujarrad dan transendental itu bertajali dalam tiga
martabat melalui sifat dan asma (nama)-Nya, yang pada akhirnya muncul dalam
berbagai wujud konkret-empiris. Ketiga martabat itu adalah martabat ahadiyah,
martabat wahidiyah, dan martabat tajalli syuhudi. Pada martabat ahadiyah, wujud Tuhan merupakan Zat Mutlak
lagi mujarrad, tidak bernama dan tidak bersifat. Karena itu, Ia tidak dapat
dipahami ataupun dikhayalkan. Pada martabat ini Tuhan—sering diistilahkan
al-Haq oleh Ibn ’Arabi—berada dalam keadaan murni bagaikan kabut yang gelap (fi
al-’amâ’); tidak sesudah, tidak sebelum, tidak terikat, tidak terpisah, tidak
ada atas, tidak ada bawah, tidak mempunyai nama, tidak musammâ (dinamai). Pada
martabat ini, al-Haq tidak dapat dikomunikasikan oleh siapa pun dan tidak dapat
diketahui. Martabat wahidiyah adalah penampakan pertama (ta’ayyun
awwali) atau disebut juga martabat tajali zat pada sifat atau faydh al-aqdas
(emanasi paling suci). Dalam aras ini, zat yang mujarrad itu bermanifestasi
melalui sifat dan asma-Nya. Dengan manifestasi atau tajali ini, zat tersebut
dinamakan Allah, Pengumpul dan Pengikat Sifat dan Nama yang Mahasempurna
(al-asma al-husna, Allah). Akan tetapi, sifat dan nama itu sendiri identik
dengan zat. Di sini kita berhadapan dengan zat Allah yang Esa, tetapi Ia
mengandung di dalam diri-Nya berbagai bentuk potensial dari hakikat alam
semesta atau entitas permanen (al-’a’yan tsabitah). Martabat tajalli syuhudi disebut juga faidh al-muqaddas
(emanasi suci) dan ta’ayyun tsani (entifikasi kedua, atau penampakan diri
peringkat kedua). Pada martabat ini Allah Swt bertajali melalu asma dan
sifat-Nya dalam kenyataan empiris atau alam kasatmata. Dengan kata lain,
melalui firman kun (jadilah), maka entitas permanen secara aktual menjelma dalam
berbagai citra atau bentuk alam semesta. Dengan demikian alam ini tidak lain
adalah kumpulan fenomena empiris yang merupakan lokus atau mazhar tajali
al-Haq. Alam yang menjadi wadah manifestasi itu sendiri merupakan wujud atau
bentuk yang tidak ada akhirnya. Ia tidak lain laksana ’aradh atau aksiden
(sifat yang datang kemudian) dan jauhar (substansi) dalam istilah ilmu kalam.
Selama ada substansi, maka aksiden akan tetap ada. Begitu pula dalam tasawuf.
Menurut Ibn ’Arabi, selama ada Allah, maka alam akan tetap ada, ia hanya muncul
dan tenggelam tanpa akhir. Konsepsi tajali Ibn ’Arabi kemudian dikembangkan oleh Syekh
Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri (ulama India abad ke-16) dalam tujuh martabat
tajali, yang lazim disebut martabat tujuh. Selain dari tiga yang disebut dalam
konsepsi versi Ibn ’Arabi, empat martabat lain dalam martabat tujuh adalah:
martabat alam arwah, martabat alam mitsal, martabat alam ajsam, dan martabat
insan kamil. Martabat alam arwah adalah ”Nur Muhammad” yang dijadikan
Allah Swt dari nur-Nya, dan dari nur Muhammad inilah muncullah ruh segala
makhluk. Martabat alam mitsal adalah diferensiasi dari Nur Muhammad itu dalam
ruh individual seperti laut melahirkan dirinya dalam citra ombak. Martabat alam
ajsam adalah alam material yang terdiri dari empat unsur, yaitu api, angin,
tanah, dan air. Keempat unsur material ini menjelma dalam wujud lahiriah dari
alam ini dan keempat unsur tersebut saling menyatu dan suatu waktu terpisah.
Adapun martabat insan kamil atau alam paripurna merupakan himpunan segala
martabat sebelumnya. Martabat-martabat tersebut paling kentara terutama sekali
pada Nabi Muhammad saw sehingga Nabi saw disebut insan kamil. Tajali al-Haq dalam insan kamil ini terlebih dulu telah
dikembangkan secara luas oleh Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili (1365-1428, tokoh
tasawuf) dalam karyanya al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifat al-Awâkhir wa al-Awâ’il
(Manusia Sempurna dalam Mengetahui [Allah] Sejak Awal hingga Akhirnya).
Baginya, lokus tajali al-Haq yang paling sempurna adalah Nur Muhammad. Nur
Muhammad ini telah ada sejak sebelum alam ini ada, ia bersifat kadim lagi
azali. Nur Muhammad itu berpindah dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam berbagai bentuk para nabi, yakni Adam, Nuh, Ibrahim, Musa–salam Allah
atas mereka semua—dan lain-lain hingga dalam bentuk nabi penutup, Muhammad saw.
Kemudian ia berpindah kepada para wali dan berakhir pada wali penutup (khatam
awliya), yaitu Isa as yang akan turun pada akhir zaman. Dalam tradisi esoterisme Syi’ah, para imam Syi’ah
Imamiyah—sejak Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib hingga Imam Mahdi (yang
digaibkan Allah)—merupakan wali-wali yang memanisfetasikan diri sebagai insan
kamil hakiki. Kepada merekalah, para pengikut Syi’ah Dua Belas sering kali
bertawasul agar kebutuhan material-spiritual mereka terpenuhi. Demikianlah proses tajali al-Haq pada alam semesta. Wadah
tajali-Nya yang paling sempurna adalah insan, sementara insan yang paling
sempurna sebagai wadah tajali-Nya adalah insan kamil dalam wujud Nabi Muhammad
saw. Allahumma shalli ’ala Muhammad wa âli Muhammad! (Diolah dari Ensiklopedi
Islam, jilid 5, hal.41, terbitan PT Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta, 2001, lema
”tajali”, dengan sedikit penyuntingan kembali). Sumber: qitori.wordpress.com |