Muhammad saw Hanya Hamba AllahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muhammad Alcaff
Mukaddimah
Manusia besar memiliki kebesaran/keistimewaan yang tidak
dimiliki oleh manusia biasa. Karakter, kebiasaan, dan gaya hidup manusia yang
besar berbeda dengan manusia biasa. Apalagi jika manusia besar yang kita
bicarakan adalah utusan Tuhan alias nabi atau rasul, maka perbedaannya dengan
manusia biasa semakin besar. Lebih dari itu, bila yang kita bandingkan dengan
manusia biasa adalah nabi terbaik dan utusan Allah Swt termulia maka
perbedaannya dengan manusia biasa semakian jauh lebih besar. Sebab, Nabi termulia
ini jangankan dengan manusia biasa seperti kita, dengan nabi-nabi lainnya pun
beliau dibedakan. Sudah menjadi maklum bagi kita bahwa pembedaan ini bukan
diskriminasi yang tidak adil dari Allah Swt, karena setiap orang dibedakan-Nya
berdasarkan tingkat ketakwaannya di sisi-Nya. Tentu yang paling bertakwa di
sisi Allah akan menjadi orang yang termulia di sisi-Nya. Maka Rasulullah saw
dibedakan oleh Allah Swt dan mendapat sapaan dan perlakuan yang khusus dari-Nya
di dalam Al Qur’an karena beliau berhasil mencapai tangga `ubudiyyah (perihal
menjadi hamba Allah) yang tertinggi dan teristimewa. Allah Swt membedakan
Rasulullah saw karena beliau merupakan manifesati yang sempurna dari hamba
mutlak-Nya. Beliau kapanpun dan dimanapun alias selamanya selalu menjadi hamba
mutlak Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan tidak pernah menjadi
hamba selain-Nya. Beliau tidak pernah menjadi hamba harta, hamba tahta, apalagi
hamba wanita. Muhammad saw hanya hamba Allah Swt. Rasulullah saw memiliki banyak sifat-sifat yang utama dan
mulia, seperti penyayang, dermawan, sabar, pemaaf, ramah, pandai, pemimpin,
rendah hati, tegas, bijak, arif, optimis dan lain-lain. Alhasil, semua sifat
yang utama dapat kita nisbatkan kepada beliau. Dan sebaliknya semua sifat
tercela harus kita jauhkan dari pribadi agung beliau. Dalam diri Rasulullah saw terdapat serangkaian sifat-sifat sempurna,
dimana setiap orang dapatmenjadikannya sebagai uswah (teladan) dan tuntunan
terbaik untuk melangkah menuju pembangunan jiwa.Yang demikian itu karena beliau
adalah insan kamil (manusia seutuhnya/manusia yang sempurna). Rasul saw adalah
manifestasi dari setiap kesempurnaan spiritual. Jika kita berbicara tentang
sifat sabar maka Rasul saw merupakan manifestasi dari puncak kesabaran. Jika
kita berbicara tentang ilmu maka beliau telah menggapai tangga ilmu/makrifat
yang tertinggi. Jika kita berbicara tentang ibadah maka beliau telah merasakan
manisnya ibadah yang paling tulus dan paling dalam. Alhasil, Rasulullah saw
merupakan manifestasi paling sempurna dari seluruh sifat jalaliyyah (sifat
kebesaran) dan jamaliyah (sifat keindahan) Ilahiah. Ketika beliau bersabda:
“Berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah,” maka beliau merupakan tajalli
(penampakan) yang paling agung dari akhlak Allah di muka bumi. Dengan kata
lain, semua sifat terpuji yang kita saksikan di muka bumi merupakan pancaran
dari Nur Muhammad saw. Sehingga karena itu mustahil seorang Muslim mencapai
keutamaan akhlak yang ideal tanpa menjadikan Rasulullah saw sebagai pembimbing
dan guru akhlaknya. Perlu digarisbawahi bahwa kita pun dalam batas-batas
tertentu memiliki sifat-sifat utama yang disandang oleh Nabi saw, seperti
penyayang. Saat kita memperlakukan anggota keluarga kita dengan penuh kasih
sayang maka kita berusaha meniru Nabi saw yang bersikap lemah lembut terhadap
keluarganya. Dan nabi-nabi terdahulu pun menyandang seluruh atribut kesempurnaan
yang dinisbatkan kepada Nabi Muhammad saw. Jika berbicara tentang kesabaran dan
kedekatan kepada Allah Swt, misalnya, maka nabi- nabi dan para rasul terdahulu
pun memiliki keduanya. Ini bukan hanya monopoli Nabi Muhammad saw. Namun bila
kita bertanya kepada Al Qur’an adakah suatu karakter/ciri khas yang dimiliki
oleh Rasul saw yang tidak dimiliki oleh seluruh nabi terdahulu, apalagi manusia
biasa selain mereka? Al Qur’an menjawab, iya. Ada karakter yang hanya menjadi
monopoli Nabi saw, yaitu kedudukan beliau sebagai hamba mutlak Allah Swt. Al Qur’an Bersaksi bahwa Nabi saw Hanya
Hamba Allah Swt
Al Qur’an sebagai kitab suci yang agung memiliki keunikan
dan keajaiban yang menggagumkan. Mukjizat Al Qur’an bukan hanya terletak pada
kedahsyatan maknanya namun juga pada pemilihan kata/lafalnya. Al Qur’an al Karim ketika ingin menisbatkan “hamba” (`abd)
kepada seluruh nabi maka sesudah atau sebelum kata itu selalu disertai dengan
penyebutan nama-nama mereka. Misalnya, Allah Swt berfirman: Tetapi saat kata `abd itu dinisbatkan kepada Nabi Muhammad
saw maka tanpa disertai dengan menyebut nama beliau. Yang demikian itu karena
Rasulullah saw merupakan manifestasi hamba yang mutlak (`abd mutlak).
Sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: “Maha Suci Allah yang telah
menurunkan al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi
peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Furqan: 1) Meskipun Kitab Taurat Nabi
Musa as juga merupakan Furqan (pembeda antara yang hak dan batil) namun Allah
menyebut nama Musa dalam firman-Nya: “Dan ingatlah ketika Kami berikan kepada
Musa al Kitab (Taurat) dan keterangan yang membedakan antara yang benar dan
yang salah (al Furqan).” QS. Al Baqarah: 53) Jadi, ketika kita membaca Al
Qur’an lalu kita temukan kata `abd secara mutlak maka hamba yang sempurna (`abd
kamil) akan segera terlintas dalam pikiran kita, yaitu Rasulullah saw. Dalam ayat tersebut, sebelum kata “`abd” dan sesudahnya,
nama Nabi saw tidak disebutkan, sehingga kita dapat mengatakan bahwa nama
beliau dihapus dengan qarinah (indikator). Di samping itu, yang juga menarik
adalah bahwa Al Qur’an tidak pernah menggunakan ungkapan “`abdana” (hamba-hamba
Kami) untuk Nabi Muhammad saw, karena itu mengisyaratkan majemuk (katsrat)),
namun ia mengatakan `abduhu’ (hamba-Nya), dimana ini mengisyaratkan kepada
wahdat (kesatuan). Ayat lain yang menunjukkan bahwa hamba yang mutlak hanya
dikhususkan untuk Nabi saw adalah firman Allah Swt dalam permulaan surah al
Isra: “Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam.”
(QS. Isra: 1) Dan dalam permulaan surah al Kahfi, terdapat ta`bir (ungkapan)
yang menyerupai ayat ini: “Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada
hamba-Nya al Kitab (Al Qur’an).” (QS. Al Kahfi: 1) Berkenaan dengan kedua ayat
tersebut, filosof dan pakar tafsir kontemporer Iran, Ayatullah Jawadi Amuli
berpendapat bahwa fokus pembicaraan pada awal surah al Isra’ adalah tasbih
(penyucian), sedangkan pada permulaan ayat surah al Kahfi mengarah pada tahmid
(pemujian). Sebab, hamba mutlak Allah Swt dapat menjadi manifestasi—karena
`ubidiyah-nya yang sempurna—dari Subbuh (Yang Maha Suci) sebagaimana ia dapat
menjadi manifestasi dari hamid (Yang Maha Terpuji). Kita tahu bahwa Allah Swt berbicara dengan kita melalui
media “arabiyyun mubin” (bahasa Arab yang jelas), tetapi bahasa ini tampak
keluh/tak berdaya untuk menjelaskan maqam Rasul saw, apalagi bila menggunakan
bahasa yang lain. Ayat di atas mengatakan: M^a auha (sesuatu yang diwahyukan)
dan ia tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan sesuatu yang diwahyukan.
Seakan-akan hanya Allah dan Rasul tercintanya saw yang berhak tahu tentang
pengalaman Mi`raj itu, sedangkan manusia biasa seperti kita tidak harus atau
malah tidak boleh tahu. Menurut Al Faidh dalam kitab “Al Wafi”, bahasa Arab disebut
dengan mubin (yang jelas) karena kamus bahasa Arab itu begitu luas, dimana ia
mampu menjadi penerjemah seluruh kamus dan bahasa, sedangkan bahasa-bahasa yang
lain tidak memiliki keistimewaan seperti ini. Banyak makrifat yang tinggi dapat
dijelaskan dalam bahasa Arab dengan menggunakan kata yang sederhana (basith),
sedangkan bila memakai bahasa yang lain maka hal itu harus diungkapkan dengan
kombinasi beberapa kata (murakkab). Namun bahasa Arab yang memiliki
keistimewaan seperti ini tidak dapat menjelaskan makrifat tinggi yang terjadi
pada peristiwa Mi`raj. Dalam hal ini bahasa Arab tampak kurang dan tidak mampu. Rasul saw Yang Pertama dan Yang Terakhir Keistimewaan lain yang hanya disandang oleh Nabi Besar
Muhammad saw dalam Al Qur’an adalah bahwa beliau satu-satunya nabi yang
bergelar “awwalul muslimin” (Muslim yang pertama). Yang dimaksud dengan Muslim
yang pertama ialah beliau merupakan ciptaan yang pertama (awwaliiyah
dzatiyyah), bukan yang pertama dari sisi waktu (awwaliyyah zamaniyyah). Allah
swt tidak pernah menggunakan ungkapan awwalul Muslimin untuk nabi-nabi yang
lain. Nabi Ibrahim as meskipun bila dilihat dari sisi zaman lebih dahulu diutus
daripada Nabi Muhammad saw dan silsilah kenabian bermuara padanya, namun beliau
tidak diperintahkan untuk mengatakan, “saya orang Muslim yang pertama”.
Demikian juga Nabi Nuh as yang bergelar “Syeikh al Anbiya” (sesepuh para nabi),
bahkan Adam yang menyandang kehormatan “Abul Basyar” (Bapak seluruh manusia)
pun tidak mengatakan hal tersebut. Satu-satunya orang yang menyandang gelar
awwalul Muslimin dalam Al Qur’an adalah Rasulullah saw. Adalah jelas bahwa yang dimaksud yang pertama di sini bukan
pertama dari sisi zaman dan sejarah. Karena kalau ini yang dimaksud maka setiap
nabi layak untuk menjadi awwalul Muslimin bagi kaumnya dan nabi-nabi terdahulu
pun juga demikian. Jadi, ketika Nabi saw diperintahkan untuk mengatakan, saya
orang Muslim yang pertama maka ini mengisyaratkan bahwa tidak ada seorangpun
yang mendahului wujud Rasullah saw. Beliau adalah makhluk yang pertama
diciptakan. Begitu juga nanti di hari kiamat beliau orang pertama yang akan
dibangkitkan. Demikianlah Allah Swt memberi maqam yang begitu tinggi pada
Rasulullah saw. Beliau adalah makhluk yang pertama diciptakan dan beliau juga
satu-satunya manusia yang mencapai puncak terakhir dari maqam qurb (kedekatan)
dengan Allah Swt sebagaimana diisyaratkan dalam firman-Nya: “Dan bahwasannya
kepada Tuhan-Mulah kesudahan (segala sesuatu).” (QS. An Najm: 42) Maka Nabi
Muhammad saw layak untuk menjadi teladan bagi seluruh umat manusia karena
beliau adalah manifestasi dari ayat: “Dia yang pertama dan Dia yang terakhir.”
(QS. Al Hadid: 3) Dan perlu dicatat bahwa beliau mendapat semua kehormatan ini,
terutama disebut sebagai awwalul Muslimin karena beliau adalah hamba mutlak
Allah Swt. Kriteria Hamba Allah Menurut Al Qur’an
1- Hamba Allah adalah orang yang bertakwa: “Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya”. QS. Al
Ankabut: 16 2- Hamba Allah adalah orang yang ahli sujud: “Maka bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia)”. QS. An
Najm: 62 3- Hamba Allah adalah orang yang taat kepada Allah: “Sembahlah olehmu Allah dan bertakwalah kepada-Nya dan
taatlah kepada-Ku”. QS. Nuh: 3 4- Hamba Allah adalah orang yang menentang setan: “Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu, hai Bani Adam,
supaya kamu tidak menyembah setan? Dan hendaklah kamu menyembah-Ku. Inilah jalan
yang lurus”. QS. Yasin: 60-61 5- Hamba Allah adalah orang yang bersikap tawadu`: “Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu )ialah)
orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila
orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata ytang baik”. QS.
Al Furqan: 63 6- Hamba Allah adalah orang yang berbuat ikhlas: “Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa)
mukhlashin”. QS. Ash-Shaffat: 40 7- Hamba Allah adalah orang yang beriman: Katakanlah, “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah
kepada Tuhan-Mu”. QS. Az Zumar: 10 8- Hamba Allah adalah orang yang mengikuti pendapat yang
terbaik: “Sampaikanlah berita gembira kepada hamba-hamba-Ku yang
mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya”. QS.
Az Zumar: 17-18 9- Hamba Allah adalah orang yang saleh (dzati): “Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan
hamba-hamba-Mu yang saleh”. QS. An Naml: 19 10- Hamba Allah adalah orang yang baik (muhsin): “Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik”. QS. Ash Sahaffat: 80 11 Hamba Allah adalah orang yang mencari rezeki yang halal
dan suka bersuci: “Katakanlah, siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan siapa pulalah yang
mengharamkan rezeki yang baik?” QS. Al A`raf: 32 12- Hamba Allah adalah orang yang ahli taubat: “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya Allah menerima tobat
dari hamba-hamba-Nya”. QS. At Taubah: 104 13- Hamba Allah adalah orang yang anti terhadap maksiat QS.
Al Isra: 17 Dan cukuplah Tuhan-mu Maha Mengetahui lagi Maha Melihat dosa
hamba-hamba-Nya 14- Hamba Allah adalah orang yang takut kepada Allah: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya
ulama (orang yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah)” QS. Fathir: 28 15- Hamba Allah adalah orang yang tidak kafir: “Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya” QS. Az Zumar:
7 Sumber: Islamalternatif.net |