Kekeliruan Memandang Tasyayyu’Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Muhammad Baqir Shadr
Sebagian dari cendikiawan modern kita berusaha dengan penuh
semangat membedakan dan membagi Syi'ahisme atau Tasyayyu' menjadi dua macam: 1. Tasyayyu' Ruhi Maknawi (Syi'ah dalam moral
dan spiritual). 2. Tasyayyu' Siasi (Syi'ah dalam masalah
soslal politik). Dan mereka juga dengan susah payah ingin membuktikan bahwa
Ahlul Bayt sejak setelah pembantaian Imam Husein dan keluarga serta sahabatnya di
Tasyayyu' sejak lahir tidak pernah tergambar sebagai garis
haluan spiritual saja tetapi ia lahir sebagai konsep yang telah dicanangkan
Rasul saw demi kelancaran dakwah di bawah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as
setelah Rasul wafat baik dalam segi intelektual ataupun dalam segi politik
sosial secara sama rata, sesuai dengan kondisi yang telah memproses timbulnya
faham itu. Dan kita tidak menemukan adanya perbedaan antara Syi'ah
spiritual dan Syi'ah politik dalam konsep Tasyayyu' secara utuh, mengingat
kedua hal penting itu tidak terpisah dari Islam secara utuh. Dengan demikian kita dapat memastikan bahwa Tasyayyu' adalah
konsep yang disajikan guna menjaga kelancaran dakwah setelah Nabi saw. Masa
depan yang memerlukan adanya suatu kepemimpinan intelektual dan sosial politik
dalam rangka menelusuri perkembangan Islam secara serentak. Dan sejak semula sudah terdapat orang-orang yang mendukung
kepemimpinan Ali sebagal individu satu-satunya di tengah-tengah masyarakat
Islam yang mampu memainkan peranan khalifah dan melanjutkan kepemim pinan dari
ketiga orang yang telah mendahuluinya. Rasa hormat dan simpati itulah yang
mendorong hati masyarakat menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya setelah
Utsman bin Affan tewas terbunuh. Rasa cinta mereka itu bukanlah Syi'ahis yang
bersifat spiritual ataupun politik. Sebab Tasyayyu' adalah rasa yakin dan iman
bahwa Ali adalah pengganti secara langsung kepemimpinan Rasulullah saw.
Tasyayyu' mempunyai ruang lingkup dan pengertian yang lebih luas dari itu
semua. Tasyayyu' adalah sikap mendukung Ali secara menyeluruh sebagai pemimpin setelah
Rasul saw. Maka tidak dapat kita seenaknya membagi Tasyayyu' menjadi dua
pengertian saja secara terpisah. Kita ketahui bahwa diantara para sahabat besar ada yang
mendukung dan berfaham Syi'i dalam segi intelektual dan politik sosial seperti
Salman Al-Farisi, Abu Dzar Al-Ghifari, Ammar bin Yasir, dan lain-lain. Tapi
sikap mengikuti secara mutlak atau Tasyayyu' mereka tidak terbatas pada segi
sosial politik saja. Tetapi mereka beriman secara sempurna bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah pengganti Rasul saw dan pengemban dakwah setelahnya dan berfungsi
sebagai pemimpin intelektual dan politik sosial. Sikap iman mereka dalam hal
intelektual dan pemikiran tercermin dalam Tasyayyu' spiritual mereka. Adapun sikap mengikuti dan iman mereka dalam bidang sosial
politik, itu tersirat dalam sikap protes terhadap kepemimpinan dan khalifah Abu
Bakar dan partai berkuasa yang telah mengambil hak kekhilafahan Ali. Sebenarnya pendapat yang memisahkan Tasyayyu' moril dari
Tasyayyu' politik tidak timbul dan dihasilkan oleh logika seorang yang merasa
dirinya sebagai seorang syi'i. Lontaran ini mereka keluarkan akibat dari rasa
putus asa dan apatis melihat kenyataan yang ada di hadapannya dan merupakan
pengarah dari jiwa dan semangat Tasyayyu' yang mulai luntur dan lenyap yang tidak
lagi melihat Tasyayyu' sebagai konsep yang dipaparkan untuk melanjutkan
kepemimpinan Islam dalam rangka membina ummat dan menyempurnakan target
perombakan besar-besaran yang telah digariskan Rasul saw yang akhirnya condong
surut dan berubah menjadi ajaran dan bibit ideologi yang tersimpan di dalam
lubuk hati dan menjadikannya sebagal tongkat dan pembimbing dalam mencapai
cita-cita dan angan-angannya saja. Dari sini kita dapat menyadari mengapa sampai para imam dari
keluarga Rasul saw dan Cucu Husein as meninggalkan gelanggang sosial politik
dan memisahkan diri dari dunia dengan semua keributan dan romantikanya yang
bermacam-macam. Kita lihat Tasyayyu' yang merupakan konsep pengembangan dakwah
dan pelanjut kepemimpinan Islam dan bahwa manifestasi (misdaq) dari
kepemimpinan Islam itu adalah aksi perombakan yang telah diprakarsai demi
penyempurnaan upaya membina umat atas dasar prinsip dan ajaran Islam. Jika itu
semua kita sadari, maka tidak mungkin kita akan beranggapan bahwa para imam
dari Ahlul Bayt Rasul saw tidak lagi memperhatikan segi sosial politik. Sebab
dengan tidak memperhatikan segi ini berarti mereka tidak antusias kepada
Tasyayyu' itu sendiri. Dan ini anggapan nihil bahwa para imam itu meninggalkan
kancah sosial politik itu berdasarkan alasan bahwa para imam tersebut tidak
lagi mengangkat senjata dan tidak mengadakan aksi pemberontakan militer dalam
menanggapi situasi yang ada pada saat itu. Anggapan seperti ini adalah cermin
kepicikan dan keterbatasan dalam memahami dan mengartikan aktifitas politik
sebagai aksi pemberontakkan militer dan angkat senjata saja. Dan kita mempunyai nash dan data otentik yang banyak dari
para imam yang menunjukan bahwa para imam selalu siaga dan siap terlibat dalam
aksi militer bila terdapat di sisi mereka pendukung dan pengikut-pengikut yang
berani dan setia di samping bila ada kekuatan yang dapat menjamin tercapainya
cita-cita Islam melalui aksi militer tersebut. Jika kita selalu memantau dengan teliti perjalanan gerakan
Syi'ahisme kita akan berkesimpulan bahwa para imam dari Ahlil Bayt Rasul saw
berpandangan bahwa menerima tampuk kekuasaan dengan sendirinya tidak dapat
menunjang dan menciptakan perombakan secara Islami, hal ini akan tercapai bila
kekuasaan tersebut didukung dan dibangun atas dasar pondasi dan pangkalan yang
kokoh serta sadar akan tujuan dan cita-cita kepemimpinan dan yakin akan
kebenaran teori itu serta menjelaskan sikap mereka kepada masyarakat di samping
mereka harus tabah menghadapi resiko penekanan dan intimidasi dari luar dan
dalam. Pada pertengahan abad pertama setelah wafatnya Rasul
tokoh-tokoh yang didukung oleh masa -sejak pengambilalihan kekuasaan dari pihak
yang kompeten- selalu berusaha mengambil kembali kekuasaan dengan cara yang
mereka anggap benar, sebab mereka masih yakin adanya tonggak-tonggak masa yang
sudah sadar atau sedang menuju ke arahnya baik dan pihak Muhajirin Anshar
maupun dari pihak tabi'in. Tapi setelah berjalan lebih dari setengah abad dan
setelah rasa optimisme itu larut sendiri di kalangan mereka ditambah dengan
hadirnya generasi-generasi loyo di tengah-tengah arus penyelewengan yang
melanda pada saat itu. Setelah menjadi suatu hal yang pasti bahwa apabila
gerakan Syi'ah menerima kekuasaan pun itu tidak akan membuahkan hasil dan
mewujudkan cita-cita yang diidamkan, karena tidak didukung dengan adanya
pangkalan dan tonggak-tonggak masa yang sadar dan siap untuk berkorban.
Menghadapi kenyataan ini diperlukan dua tindakan: 1. Bertindak demi terciptanya tonggak dan sendi-sendi
rakyat yang sadar sehingga dapat menyiapkan saat yang tepat dan menguntungkan
untuk mengambil kembali kekuasaan. 2. Menggerakkan dan menghidupkan nurani dan emosi
umat Islam serta menjaga semangat dan nurani tersebut, sehingga dapat
melindungi mereka dari segala macam sikap lunak yang bisa menjatuhkan harga
diri dan identitas mereka selaku umat Islam dari pihak penguasa yang zalim. Tindakan pertama adalah tugas yang telah dijalankan oleh
para imam dengan sendirinya. Dan tindakan kedua adalah tugas yang harus
dilakukan oleh beberapa tokoh dan kader revolusioner alawi yang selalu rajin
-dengan pengorbanan yang tidak sedikit- melindungi nurani dan semangat jiwa
Islami. Dan sebagian orang mukhlis daripada mereka mendapat dukungan moril dari
para Imam. Imam Ali bin Musa Ar-Ridha as pernah berkata kepada Khalifah
Ma'mun -ketika beliau mengenang jasa mulia Zaid bin Ali Zainal Abidin-:
"Ia adalah termasuk dari pada cendekiawan-cendekiawan keluarga Muhammad.
Ia murka dan marah hanya karena Allah lalu berjuang melawan musuh-musuh-Nya
hingga tewas dijalan-Nya. Aku pernah diberitahu Ayahku Musa bin Ja'far bahwa ia
dari ayahnya Ja'far berkata: Semoga Allah menurunkan rahmat-Nya kepada pamanku
Zaid. la meminta kerelaan dan restu dari pihak keluarga Muhammad kemudian ia
berhasil dan Allah penuhi permohonannya. la berkata: "Saya mengajak kalian agar rela akan keluarga
Muhammad:" (Wasa'il As-Syi'ah Kitab al-Jihad). Akhirnya kita ketahui bahwa tindakan dan sikap para imam
meninggalkan aksi militer dan pemberontakan fisik secara langsung melawan
penyelewengan-penyelewengan itu tidak berarti mereka meninggalkan secara
menyeluruh fungsi segi sosial politik serta memisahkan diri dari urusan
kekuasaan dan cita-cita mengambilnya kembali lalu hanya sibuk berkhalwat dan
melakukan ibadah ritual, tapi sikap demikian ini menggambarkan dan menandakan
perbedaan yang menyolok antara konsep tindakan yang berkenaan dengan masalah
sosial politik yang dttentukan oleh kondisi objektif dan ditunjang dengan
pemahaman yang mendasar tentang esensi dan kandungan yang ada pada tindakan dan
aksi perombakan serta metode dan cara mewujudkannya dalam bentuk yang hadir dan
terjelma dalam realitas. |