Dunia Mengajarkan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Islam adalah agama yang realistis. Secara leksikal, kata
“Islam” sendiri berarti tunduk, patuh, menerima. Ini menunjukkan bahwa syarat
pertama menjadi seorang Muslim adalah menerima realitas dan kebenaran. Islam
menolak setiap sikap keras kepala, prasangka, taklid buta, berat sebelah dan
egoisme. Islam memandang semua itu bertentangan dengan realitas dan pendekatan
realistis terhadap kebenaran. Menurut Islam, orang yang mencari ke¬benaran lalu
menemui kegagalan dapat dimaafkan. Kalau kita secara membuta, keras kepala, dan
angkuh, atau karena keturunan menerima sesuatu sebagai kebenaran, maka menurut
Islam, apa yang kita lakukan itu tak ada nilainya. Seorang Muslim sejati mesti
dengan gairah menerima kebenaran di mana pun ia mendapatkannya. Sejauh
menyangkut menuntut ilmu, seorang Muslim tidak selayaknya apriori atau bersikap
berat sebelah. Upaya manusia mendapatkan ilmu dan kebenaran tidak hanya
berlangsung pada masa tertentu dalam hidupnya, tidak pula hanya dalam wilayah
terbatas. Dia juga tidak menuntut ilmu dari orang tertentu. Nabi SAW bersabda
bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim. Beliau juga meminta
kaum Muslimin agar menerima ilmu sekalipun dari seorang penyembah berhala.
Dalam sabda lain, Nabi SAW mendesak umatnya untuk menuntut ilmu sekalipun harus
ke negeri Cina. Tidak cukup sekedar itu, beliau bahkan menekankan, “Tuntutlah
ilmu sejak dari ayunan sampai liang lahat.” Maka, memahami suatu persoalan
secara parsial dan dangkal, secara membuta mengikuti orang-orang tua, dan
menerima tradisi turun-temurun tidaklah logis, karena semua ini bertentangan
dengan semangat tunduk di hadapan kebenaran. Oleh karena itu, Islam mengecamnya
dan menganggapnya sebagai penyesatan. Unsur realistis ini juga tampak jelas pada wujud manusia. Ia
adalah makhluk realistis. Sebagai bayi yang baru lahir, sejak detik-detik
pertama dari kehidupannya, ia telah mencari-cari susu ibunya sebagai realitas.
Secara berangsur-angsur tubuh dan jiwa bayi ini berkembang sedemikian sehingga
dia dapat membedakan antara dirinya dan sekitarnya. Kendatipun kontak bayi
dengan sekitarnya terjadi melalui serangkaian pengetahuannya, namun dia tahu
bahwa realitas sekitarnya itu berbeda dengan realitas pengetahuannya yang
berfungsi hanya sebagai perantara. Ciri-ciri Khas Dunia
Realitas sekitar itu yang dapat ditangkap oleh manusia
melalui daya inderanya, dan itu yang lalu disebut dengan dunia. Realitas dunia
ini memiliki sifat-sifat khas integral sebagai berikut: 1. Terbatas Segala yang dapat ditangkap oleh indera, dari partikel yang
paling kecil sampai benda yang paling besar, pasti terbatas ruang dan waktunya.
Apa pun dari realitas dunia ini tidak dapat eksis di luar batas-batas ruang dan
waktunya. Benda-benda tertentu menempati ruang yang lebih besar dan masanya
lebih panjang, sementara sebagian benda lain menempati ruang yang lebih kecil
dan masanya lebih pendek. Namun pada prinsipnya, benda-benda itu terbatas ruang
dan waktunya. 2. Berubah
Segala sesuatu berubah dan tidak tahan utuh. Keadaan segala
yang dapat ditangkap oleh indera dari dunia ini tidak statis dan tidak
berhenti. Kalau mereka tidak berkembang, maka akan rusak. Benda materiil yang
dapat ditangkap oleh indera, sepanjang masa eksistensinya, selalu mengalami perubahan
sebagai bagian dari realitasnya. Kalau suatu wujud materiil itu tidak memberi
sesuatu, maka ia menerima sesuatu, atau memberi sekaligus menerima. Dengan kata
lain, kalau ia tidak menerima sesuatu karena realitas benda-benda lain dan
tidak menambahkan sesuatu itu pada realitasnya sendiri, maka ia memberikan
sesuatu karena realitasnya atau menerima sekaligus memberi. Alhasil, di dunia
ini, tidak ada yang tetap dan statis. Ini adalah ciri dasar apa saja yang ada
di dunia ini. 3. Determinasi Sifat khas lain dari benda-benda indrawi adalah determinasi.
Kita dapati bahwa semua benda-benda itu determinatif dan ditentukan. Dengan
kata lain, eksistensi masing-masing ditentukan oleh dan bergantung pada
eksistensi benda yang lain. Tidak ada yang dapat eksis jika benda-benda lainnya
tidak eksis. Kalau dengan saksama kita perhatikan realitas benda-benda
materiil, ternyata banyak catatan “jika” yang menjadi syarat eksistensinya. Tak
dapat ditemukan satu benda materiil yang bisa eksis tanpa syarat dan tanpa
ketergantungan pada benda lain. Eksistensi segala sesuatu tergantung pada
eksistensi sesuatu yang lain, dan eksistensi sesuatu yang lain juga tergantung
pada eksistensi sesuatu yang lainnya lagi, dan begitu seterusnya. 4. Bergantung Eksistensi segala sesuatu tergantung pada terpenuhinya
banyak syarat. Eksistensi masing-masing syarat ini tergantung pada
ter¬penuhinya sekian syarat yang lain. Tak ada sesuatu yang dapat eksis dengan
sendirinya, yakni tak ada syarat untuk eksistensinya. Dengan demikian, ihwal
bergantung merupakan sifat esensial segala yang ada. 5. Relatif
Eksistensi dan kualitas segala sesuatu di dunia ini relatif.
Kita menilai sesuatu itu besar, kuat, indah, tahan lama dan bahkan ia itu ada,
namun penilaian kita ini dalam bandingannya dengan benda-benda lain. Saat kita
katakan, misalnya, matahari itu sangat besar, maksud kita adalah bahwa matahari
itu lebih besar daripada bumi dan planet lain dalam sistem tata surya kita.
Kalau tidak, sesungguhnya matahari ini sendiri lebih kecil daripada banyak bintang.
Juga, ketika kita mengatakan bahwa kapal atau binatang tertentu hebat, kita
membandingkannya dengan manusia atau sesuatu yang lebih lemah daripada manusia. Bahkan eksistensi sesuatu itu komparatif. Bila kita bicara
soal eksistensi, kesempurnaan, kearifan, keindahan, atau kekuatan, berarti kita
mempertimbangkan tingkat lebih rendah dari kualitas itu. Kita selalu dapat
mengasumsikan tingkatannya yang lebih tinggi juga, dan kemudian tingkatan lebih
tinggi yang berikutnya. Setiap kualitas dalam perbandingannya dengan
tingkatannya yang lebih tinggi berubah menjadi sebaliknya. Eksistensi menjadi
non-eksistensi, sempurna berubah menjadi tidak sempurna. Juga, kearifan,
keindahan, keagungan dan kehebatan masing-masing berubah menjadi kebodohan,
keburukan dan kehinaan. Berbeda dengan ruang lingkup indera, daya pikir manusia
memiliki ruang lingkup yang tidak sebatas hal-hal lahiriah, namun juga sampai
kepada apa yang ada di balik layar realitas materiil. Ini menunjukkan bahwa
realitas itu bukan semata-mata apa saja yang kasat indera, terbatas, berubah,
relatif dan tergantung itu. Realitas Mutlak
Jadi realitas-realitas yang kita lihat, tampaknya dan pada
umumnya, ada tidak dengan sendirinya. Mereka semua bergantung. Karena itu,
tentu ada satu Realitas yang abadi, tak-bersyarat, mutlak, tak terbatas, dan
selalu ada di balik segenap realitas itu. Segala sesuatu bergantung pada
Reallitas Mutlak ini. Kalau tidak demikian, maka tidak mungkin ada realitas
seperti Dia. Atau dengan kata lain, tidak akan ada yang eksis; sama sekali. Al-Qur'an menerangkan bahwa Allah ada secara mandiri dan
tak-bergantung. Ia mengingatkan bahwa segala yang ada, yang tergantung dan
relatif itu, membutuhkan adanya suatu Realitas yang ada dengan sendiri-Nya
untuk menopang eksistensi mereka. Allah ada dengan sendiri-Nya dan apa saja
selain Dia pasti bergantung pada-Nya. Allah sempurna, karena segala sesuatu itu
tidak ada pada diri mereka, maka mereka bergantung pada Realitas yang menutupi
ketidakadaan tersebut dengan eksistensi. Al-Qur'an menggambarkan segala sesuatu sebagai
"tanda" atau "ayat". Dengan kata lain, pada gilirannya
segala sesuatu merupakan ayat dari Realitas Yang tak terbatas wujud, ilmu,
kuasa, dan kehendak-Nya. Menurut Al-Qur'an, alam semesta laksana sebuah kitab
yang dicipta oleh satu wujud yang arif, yang setiap baris dan kata di dalamnya
merupakan tanda kearifan penulisnya. Dari sudut pandang Al-Qur'an, semakin
orang tahu realitas segala sesuatu, dia semakin mengenal kearifan Allah, kuasa
dan rahmat-Nya. Dari satu sudut, setiap ilmu alam (maksudnya adalah ilmu
yang digunakan untuk mengkaji dunia fisis, misalnya, fisika, kimia, biologi,
geologi, botani—pen.) merupakan cabang dari kosmologi. Dari sudut lain dan
dengan cara melihat sesuatu secara lebih mendalam, setiap ilmu alam merupakan uraian
dari pengetahuan akan Allah. Dalam Al-Qur'an, kita dapat menjumpai satu dari
sekian ayat yang menegaskan konsepsi ini: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih
bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna
bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan
air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia di bumi itu
sebarkan segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan
antara langit dan bumi, sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran
Allah) bagi kaum yang berpikir. (QS. al-Baqarah: 164) Dalam ayat ini, manusia diajak untuk memperhatikan kosmologi
umum, industri pembuatan kapal, turisme beserta keuntungan finansialnya,
meteorologi, asal-usul angin dan hujan, gerakan awan, biologi dan ilmu hewan.
Al-Qur'an memandang perenungan tentang filosofi ilmu-ilmu ini adalah cara yang
mengarah kepada pengenalan akan Allah. Realitas Sempurna
Al-Qur'an mengatakan bahwa Allah memiliki segenap sifat
kesempurnaan: Dialah yang memiliki Nama-nama yang terbaik. (QS. al-Hasyr: 24) Dan bagi-Nyalah sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi.
(QS. ar-Rûm: 27) Sebagaimana telah dipaparkan, Allah Mahahidup, Mahatahu,
Maha Berkehendak, Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk, Maha
Pencipta, Mahaarif, Maha Pengampun dan Mahaadil. Dia memiliki segenap sifat
yang mahatinggi. Allah bukanlah tubuh; juga bukan susunan. Dia tidak lemah. Dia
tidak kejam. Sifat-sifat kesempurnaan ini dapat disederhanakan pada dua
macam: sifat positif, yakni sifat-sifat yang secara langsung menegaskan
kesempurnaan Allah; dan sifat negatif, yaitu segala sifat yang menafikan dari
Dzat-Nya apa pun asumsi kelemahan, kekurangan dan ketaksempurnaan. Dua
macam sifat Allah itu tampak dalam ungkapan kita. Kita senantiasa memuji dan
menyucikan Allah. Memuji Allah berarti menyebut sifat positif-Nya. Dan
menyucikan-Nya berarti menyatakan bahwa Dia bebas dari semua yang tidak patut
bagi Dzat-Nya. Realitas Yang Satu
Allah tidak berbanding dengan sekutu. Tak ada yang sama
dengan-Nya. Pada dasarnya, mustahil ada yang sama dengan-Nya. Karena kalau
begitu, akan ada dua Tuhan atau lebih; Dia tidak lagi satu. Dua, tiga atau
lebih merupakan ciri khas pada sesuatu yang terbatas dan relatif. Dalam kaitannya dengan wujud yang mutlak dan tak-terbatas,
pluralitas tak lagi berarti. Misalnya, kita bisa punya satu anak. Juga bisa
punya dua anak atau lebih. Kita juga bisa memiliki seorang teman, juga bisa
memiliki dua teman atau lebih. Teman atau anak merupakan wujud yang terbatas.
Dan wujud yang terbatas bisa diserupai oleh wujud lain yang jumlah juga bisa
banyak. Ini sama sekali berbeda dengan wujud yang tak-terbatas; dia tidak
mungkin berganda dan berlipat jumlahnya. Pendekatan berikut ini, meskipun tidak memadai, dapat
menambah kejelasan untuk masalah ini. Ada dua teori yang dirujuk oleh para
untuk menafsirkan dimensi-dimensi alam materiil, yaitu dunia yang dapat kita
lihat dan rasakan. Sebagian berpendapat bahwa dimensi-dimensi alam semesta ini
terbatas. Dengan kata lain, alam ini punya titik akhir. Namun sebagian yang
lain berpendapat bahwa pada dimensi-dimensi alam ini, tidak ada tengahnya,
tidak ada awalnya, tidak ada juga akhirnya. Atas dasar teori keterbatasan alam
materiil, timbul pertanyaan; apakah alam ini hanya ada satu atau lebih dari
satu? Dan berdasarkan teori ketakterbatasan alam ini, asumsi adanya alam lain
menjadi absurd dan tak masuk akal. Apa pun asumsi kita mengenai keberadaan alam
lain, hanya menegaskan identisitas alam itu dengan alam ini, atau bagian
darinya. Pendekatan di atas ini berlaku pada alam materiil yang
terbatas, bergantung dan diciptakan. Realitas alam ini tidak mutlak, tidak
mandiri, dan tidak ada dengan sendirinya. Dan kendati tidak terbatas dari segi
dimensi-dimensinya, alam ini tetap terbatas dari segi realitasnya. Kalau
dimensi-dimensinya tidak terbatas, maka tidak dapat diasumsikan adanya alam
lain. Eksistensi Allah SWT tidak terbatas. Dia hanyalah Realitas
Mutlak. Dia ada pada segala sesuatu. Dia ada dalam ruang dan waktu. Dia lebih
dekat dengan kita ketimbang urat leher kita sendiri. Karena itu, mustahil ada
sesuatu yang menyerupai Allah. Bahkan kita tak dapat mengasumsikan adanya wujud
lain seperti Dia. Kita melihat tanda-tanda kearifan Allah SWT ada di
mana-mana. Kita melihat satu kehendak dan satu sistem yang mengatur segenap
alam semesta. Itu menunjukkan bahwa pusat dunia ini satu; tidak lebih. Kalau
saja ada dua Tuhan atau lebih, tentu ada dua kehendak atau lebih yang berlaku pada
alam. Dan dua realitas atau lebih yang pusat mereka berbeda tentu akan eksis di
segala sesuatu yang ada. Akibatnya, segala sesuatu menjadi dua atau lebih.
Konsekuensi lgisnya, tidak akan ada yang eksis sama sekali. Inilah maksud ayat
Al-Qur'an: Sekiranya di langit dan di bumi ada tuhan-tuhan selain
Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. (QS. al-Anbiyâ': 22) Konsekuensi Praktis
Kesadaran kita akan Allah sebagai Realitas Esa, Sempurna,
Pemilik sifat-sifat tertinggi, Suci dari apa pun kekurangan dan keterbatasan,
dan—dalam hubungan-Nya dengan alam semesta—Dia sebagai Pencipta, Pengelola,
Maha Pemurah, Maha Pengasih dan Penyayang, akan menciptakan reaksi dalam diri
kita. Reaksi ini apa yang kita sebut dengan menyembah. Menyembah merupakan satu bentuk hubungan antara manusia dan
Sang Pencipta. Hubungan ini adalah ketundukan, pemujaan dan syukur.
Hubungan seperti ini hanya dapat dilakukan oleh manusia kepada Penciptanya. Dan
hubungan ini tidak mungkin dan terlarang bila dilakukan kepada selain Sang Pencipta,
karena dengan mengenal Allah sebagai satu-satunya sumber eksistensi, Penguasa
dan Pengelola segala sesuatu, kita menyadari tanggung jawab untuk tidak
menjadikan makhluk sebagai sekutu-Nya dalam pemujaan kita. Al-Qur'an menegaskan
bahwa hanya Allah sajalah yang harus disembah. Tak ada dosa yang lebih besar
daripada menyekutukan-Nya. Kini mari kita bahas apa ibadah itu dan hubungan seperti apa
yang khusus bagi Allah dan tak dapat dilakukan dengan selain-Nya. Makna Ibadah
Untuk menjelaskan makna ibadah dengan benar, perlu
ditekankan dua pengantar ini: 1. Ibadah terdiri atas perkataan dan perbuatan.
Perkataan terdiri atas serangkaian kata dan kalimat yang kita baca, seperti
memuji Allah, membaca Al-Qur'an atau membaca zikir atau doa yang lazim dibaca
ketika melakukan shalat, dan mengucapkan "Labbaik" dalam haji.
Sedangkan ibadah perbuatan adalah seperti berdiri, rukuk dan sujud ketika
menunaikan salat, tawaf mengitari Ka'bah dan berada di Arafah dan Mahsyar
ketika haji. Kebanyakan perbuatan ibadah seperti: salat dan haji, terdiri atas
perkataan dan perbuatan sekaligus. 2. Ada dua macam perbuatan manusia. Sebagian perbuatan
tidak memiliki tujuan yang jauh. Perbuatan seperti ini dilakukan bukan sebagai
simbol untuk sesuatu yang lain, melainkan dilaku¬kan untuk mendapatkan efek
alamiahnya sendiri. Misalnya, seorang petani melakukan kegiatan bertani untuk
mendapatkan hasil wajar dari kegiatannya itu. Kegiatannya tersebut dilakukan
bukan sebagai simbol, bukan untuk mengungkapkan perasaan. Begitu pula dengan seorang
penjahit yang melakukan kegiatannya. Ketika kita melangkah ke sekolah, yang ada
dalam benak kita tak lain adalah sampai di sekolah. Dengan perbuatan ini kita
tidak bermaksud mencapai tujuan lain atau makna lain. Namun ada perbuatan yang kita lakukan sebagai simbol dari
beberapa hal lain atau untuk mengungkapkan perasaan kita. Kita menganggukkan
kepala sebagai tanda setuju, kita menunduk kepada seseorang sebagai tanda
hormat kepadanya. Kebanyakan perbuatan manusia tergolong jenis pertama, dan
hanya sedikit yang tergolong jenis kedua. Namun demikian, ada perbuatan yang
dilakukan untuk mengungkapkan perasaan kita atau untuk menunjukkan maksud lain.
Perbuatan ini dilakukan sebagai ganti dari kata-kata untuk mengungkapkan
maksud. Berdasarkan dua hal di atas, dapat kita katakan bahwa
ibadah, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, merupakan aktifitas yang
memiliki makna. Melalui dedikasinya, manusia mengungkapkan suatu kebenaran.
Juga, melalui perbuatan seperti rukuk, sujud, tawaf dan seterusnya, manusia ingin
menyampaikan apa yang diucapkannya ketika membaca bacaan ibadah. Model Ibadah
Melalui ibadah, entah dengan kata-kata atau perbuatan,
manusia menunaikan hal-hal tertentu: 1. Memuji Allah dengan mengucapkan sifat-sifat khusus
milik Allah yang mengandung arti kesempurnaan mutlak, seperti Mahatahu,
Mahakuasa dan Maha Berkehendak. Kesempurnaan mutlak berarti bahwa ilmu, kuasa
dan kehendak-Nya tidak dibatasi atau tidak bergantung pada yang lain. Arti
kesempuraaan ini merupakan implikasi wajar dari independensi Allah
seutuh-utuhnya. 2. Menyucikan Allah, yakni menyatakan bahwa Dia tidak
memiliki kekurangan dan kelemahan seperti: mati, terbatas, tidak tahu, tak
berdaya, pelit, kejam, dan seterusnya. 3. Bersyukur kepada Allah, yakni memandang-Nya sebagai
sumber sesungguhnya dari segala yang baik serta segala karunia dan rahmat.
Bersyukur berarti percaya bahwa segala rahmat dan karunia hanya diperoleh dari
Allah, dan bahwa yang apa pun selain Allah hanyalah perantara yang ditentukan
oleh-Nya. Tunduk dan Patuh kepada Allah, sepenuh-penuhnya. Yakni
mengakui bahwa kepatuhan tanpa syarat wajib diberikan kepada Allah. Kewajiban
ini adalah konsekuensi langsung dari pengakuan terhadap Allah sebagai Penguasa
Mutlak atas segenap realitas dan Dzat yang berhak mengeluarkan perintah, dan
dari kesadaran diri kita sebagai sebagai hamba Allah. Ketaatan kita itu hanya
kepada Allah dikukuhkan oleh keimanan kita akan ketiadaan sekutu bagi Allah.
Hanya Dia Yang Mutlak Sempurna, Yang tidak memiliki apa pun kekurangan. Dialah
sumber sejati segala karunia, dan hanya Dia yang patut disyukuri atas semua
itu. Hanya Dia yang patut dipatuhi sepenuhnya dan ditaati tanpa syarat. Setiap
kepatuhan kepada selain Allah seperti: kepada Nabi SAW, para Imam, penguasa
Muslim yang sah, orang tua dan guru, pada prinsipnya haruslah sebagai
kepanjangan dari kepatuhan kepada-Nya, dan dalam rangka mendapatkan ridha-Nya.
Itulah reaksi yang tepat yang harus ditunjukkan seorang manusia kepada Allah.
Reaksi seperti ini dapat dilakukan hanya kepada Allah SWT. [islammuhammadi/mt]
Dari: Muqadimeh-i bar Jahanbini-e Islami: 1373 HS.—Rm. Murtadha Muthahari |