Buku Daras Filsafat Islam: Dari Diksi sampai MaknaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh:1 Yusuf Bafagih, Ammar
Fauzi Heryadi
Pengembangan awal atas studi-studi filsafat Islam di negeri
kita melalui bahasa asing (baca: asing dari bahasa filsafat Islam, juga asing
dari bahasa Indonesia itu sendiri) sebagaimana dikurikulumkan di sebagian
kuliah filsafat Islam di tanah air, tidak hanya telah menyia-nyiakan potensi
bahasa Indonesia, tetapi juga tidak membantu pembudayaan filsafat Islam di bumi
ini. Namun begitu, tidak semestinya mengimbangi kedangkalan ini dengan cara
mengindonesiakan filsafat Islam sampai ada kalanya terkesan pemaksaan yang
berlebihan, sebagaimana yang tampak pada “Buku Daras Filafat Islam”. Dua
fenomena ini seringkali dituturkan sebagai dua langkah ‘ifrath wa tafrith’. Pada beberapa kurun terakhir ini, diskursus filsafat Islam
dan teori-teori mutakhir filosof-silosof muslim mendapatkan perhatian khusus di
tanah air. Perhatian ini dibantu oleh upaya-upaya penerjemahan karya-karya
mereka sehingga para peminta dapat mengakses buah pikiran dan karya tulis
mereka. Sebagai terjemahan, tentu tidaklah sama dengan naskah asli. Oleh karena
itu, penerjemahan diupayakan agar dilakukan secermat mungkin, dan ini
memerlukan penguasaan bahasa asli naskah itu ditulis oleh sang filosof, dan tentunya
penguasaan atas ilmu filsafat Islam itu sendiri, apalagi bagi penerjemah yang
juga turut terlibat dalam memberikan catatan-catatan kaki. Dahulu, kebanyakan buku filsafat Islam ditulis dalam bahasa
Arab, dan ada pula yang ditulis dalam bahasa Persia. Misalnya, Ibnu Sina dan
Suhrawardi menuangkan aliran filsafat mereka melalui dua bahasa ini dengan
lebih memilih bahasa Arab. Demikian ini juga berlanjut sampai karya-karya Mulla
Sadra; pencetus Hikmah Mutaaliyah yang hingga hari ini filsafat Islam berporos
pada prinsip-prinsipnya. Salah satu karya kontemporer Hikmah Muta’aliyah ialah
Buku Daras Filsafat Islam, karya Ayatullah Muhammad Taqie Misbah Yazdi. Buku
berbahasa Indonesia terbitan Mizan-Bandung (2003) ini diterjemahkan oleh Musa
Kazhim dan Saleh Bagir dari dua naskah terjemahan; Inggris dan Arab. Dan bukan
rahasia lagi bila pada terjemahan Arab dijumpai beberapa kekeliruan. Perlu ditegaskan bahwa naskah asli buku ini berbahasa Persia
dengan judul “Amuzesh-e Falsafeh” dalam dua jilid. Jadi, terjemahan Indonesia
buku ini tidak merujuk ke naskah asli, padahal sejauh pengetahuan kami,
penerjemah pertama yang juga sebagai penyunting buku bisa mengakses langsung
bahasa Persianya. Sayangnya, dia tidak melakukan hal itu, tidak pula merujuknya
sebagai perimbangan, dengan alasan yang tidak diungkapkan. Dialog-budaya Filsafat Islam
Bahasa adalah cermin peradaban dan budaya sebuah bangsa.
Bahasa juga acapkali dijadikan definisi atas identitas suatu bangsa. Setidaknya
inilah yang berlaku pada bangsa dan negara Indonesia. Sekaitan filsafat, budaya
dan peradaban Indonesia masih diuntungkan dengan ajaran-ajaran filsafat lokal
dan kedaerahan, seperti filsafat Jawa. Dan tampaknya, kekayaan pemikiran
falsafi di negeri ini lebih mengandalkan kontribusi dialog dengan peradaban dan
kebudayaan bangsa-bangsa lain, baik filsafat Barat maupun filsafat Islam. Akan tetapi, proses atau proyek dialog peradaban-budaya ini
tampak lambat dan terhambat. Maka, bisa dimaklumi bila bahasa Indonesia sudah
lama tidak akrab dengan istilah-istilah dan kajian-kajian teoretis filsafat
Islam. Oleh karena itu, niat dan upaya terjemah karya-karya filsafat Islam amat
kondusif dalam membangun peradaban dan budaya pemikiran keislaman bangsa. Dan
ini sangat memungkinkan untuk memilih bahasa Indonesia sebagai alat yang tepat
dalam membudayakan filsafat Islam di negeri ini. Sebab telah menjadi
kesepakatan para ahli, bahwa bahasa Indonesia cukup plastis dalam menyerap
istilah-istilah asing. Potensi bahasa bagi bangsa Indonesia ini semestinya
dapat diaktualisasikan dan dioptimalisisasikan secara bertahap dan terarah. Tentunya, pengembangan awal studi-studi filsafat Islam di
negeri kita melalui bahasa asing (baca: asing dari bahasa filsafat Islam, juga
asing dari bahasa Indonesia itu sendiri) sebagaimana dikurikulumkan di sebagian
kuliah perguruan tinggi filsafat Islam di tanah air, tidak hanya menyia-nyiakan
potensi bahasa Indonesia, tetapi juga tidak membantu pembudayaan filsafat Islam
di tanah air, atau malah tidak mendukung upaya penggagasan filsafat Islam yang
keindonesiaan. Bila hal ini berlanjut, maka bukan hanya bahasa Indonesia tetap
terasing dari filsafat Islam, tetapi juga akan sulit diharapkan bangsa
Indonesia dengan potensi bahasanya akan dapat berdialog dengan peradaban bangsa
lain secara seimbang. Dan, lucu sekali bila seorang siswa Indonesia ingin
mempelajari filsafat Islam di negerinya sendiri dengan harus terlebih dahulu
menguasai bahasa asing dalam arti di atas itu. Kalau dengan cara itu studi
filsafat Islam dimulai, kita pun akan sulit lagi membayangkan ada karya
filsafat Islam berbahasa Indonesia yang kelak dijadikan rujukan dan sumber
inspirasi ketelitian filosofis. Pada saat yang sama, tidak semestinya menyeimbangi
kedangkalan di atas ini dengan cara mengindonesiakan istilah dan bahasa
filsafat Islam sehingga terkesan pemaksaan yang ceroboh. Dan inilah yang ditemukan
dalam buku ‘Buku Daras Filsafat Islam’ ini, tanpa hendak menutup mata dari
segenap keistimewaan terjemahan yang dimilikinya, Misalnya, terdapat sebagian
istilah padanan yang digunakan oleh para penerjemah buku ini dalam
mengalihbahasakan sebagian istilah filsafat Islam. Dua fenomena ini seringkali
dituturkan dalam bahasa Arab sebagai dua langkah ‘ifrath wa tafrith’. Terlepas dari berbagai keluhan yang mengesankan kerumitan
dan kesukaran sepanjang proses penelahaan Buku Daras Filsafat Islam (BDFI),
buku terjemahan ini diperkirakan oleh banyak peminat filsafat Islam di
Indonesia sebagai karya ilmiah yang penting, mengingat: 1. Buku ini menyajikan bahasan-bahasan tradisi Hikmah
Muta’aliyah dengan metode yang terbilang baru, lebih mudah diakses oleh pemula,
diperkaya dengan studi komparatif dan pandangan-pandangan khas penulis. 2. Buku ini diterjemahkan dari dua naskah terjemahan;
Inggris dan Arab, oleh dua penerjemah yang menguasai tiga bahasa asing
sekaligus, dan diterbitkan oleh penerbit nasional sekaliber Mizan yang punya
dewan redaksi seri filsafat Islam yang terdiri dari guru-guru filsafat di tanah
air. 3. Buku terjemahan ini termasuk buku pertama yang bila jilid
keduanya telah diterbitkan- paling lengkap dalam merangkum tema-tema filsafat
Islam (Hikmah Muta’aliyah). 4. Buku ini menjadi buku pelajaran di sebagian kuliah-kuliah
filsafat Islam di sebagai perguruan tinggi Indonesia. 5. Isi buku ini pernah dibedah secara terbuka dan
publikatif, dan tidak sekali saja diresensi di media massa. Dalam upaya apresiasi nyata atas karya ilmiah BDFI, pada
kesempatan ini, kami ingin membedah buku ini sebagai hasil terjemahan seorang
penerjemah, bukan sebagai hasil buah pikiran seorang penulis. Untuk itu, sejauh
kondisi memungkinkan, kami merujuk ke naskah asli Persia dan naskah terjemahan
Arab BDFI. Sedari awal diakui bahwa apresiasi ini lebih bersifat gugatan
kritis, sebab sudah banyak apresiasi dan resensi yang bersifat sanjungan yang
tentunya kritis pula. Barangkali, hanya dengan cara ini kiranya kami dapat
mengajak dan menggiatkan kepedulian ilmiah para pelajar, para sarjana dan
guru-guru untuk membedah dan mengevaluasi secara agak serius karya-karya
terjemahan filsafat Islam di Indonesia; suatu hal yang masih belum mendapatkan
tempat yang sewajarnya di forum-forum dan media-media yang tersedia. Pembedahan buku ini dilakukan secara dini dan sederhana
sekali, yaitu terfokus pada beberapa kasus dari terjemahan buku yang tampaknya
tidak benar dan tidak tepat. Kasus-kasus ini memperkarakan enam poin: 1. Soal diksi; pemilihan kata yang ganjil, tidak tepat,
absurd, plural dan salah 2. Susunan kalimat yang tidak benar. 3. Kalimat panjang yang tak sempurna. 4. Terjemahan yang tidak benar. 5. Banyak catatan kaki MK keliru dan atau redundansi
(berlebihan). 6. Pengulangan yang kilat dan dahsyat istilah-istilah asing
dua bahasa dalam tanda kurung. Jumlah poin ini sudah cukup banyak, dan menjadi membengkak
bila dicermati kasus-kasus dan mishdaq-mishdaqnya, satu per satu. Kami katakan
sederhana sekali, karena keterbatasan yang sedang dialami. Maka itu, kami
membatasi upaya ini pada pencermatan atas terjemahan yang terkait dengan nama
judul-judul dan nama sub-subjudul di beberapa halaman daftar isi buku -sebagai
langkah awal umumnya para pembaca yang ingin mendapatkan gambaran umum tentang
isi suatu karya dengan menyoroti jumlah kecil dari tema-tema khas filsafat
Islam. Ma’qul Tsani Falsafi dan Mafhum Falsafi
Pada halaman xi, kita menjumpai subjudul ‘Objek Kawruhan’
dua kali dalam satu judul pelajaran ke-15; “Berbagai Tipe Konsep Universal”.
Ini lebih dahulu diangkat karena duduk persoalan dan latar belakang pelajaran
ini amat penting, dan sebagai satu kekhasan filsafat Islam yang sulit ditemukan
dalam sistem filsafat lainnya. Ada dua hal membuat pembacaan global kami
terganggu; pertama, apa hubungan-nya objek dengan konsep, dan kedua, apa
kawruhan itu. Kami atau juga peminat filsafat yang lain merasakan keganjilan.
Seperti sudah maklum, salah satu kasus diksi adalah keganjilan yang oleh ahli
mantiq; Nashiruddin Ath-Thusi dalam ‘Asasul Iqtibas’ disebut sebagai ‘ghurbah’
yang harus dihindari dalam mendefinisikan kata. Namun begitu, lantaran dua
gejala ganjil itulah kami terdorong untuk membaca pelajaran terkait yang
berakhir pada semakin jelasnya keganjilan tersebut dan kejanggalan diksi
lainnya. Tentang kawruhan, sejauh pengetahuan kami, kata ini –entah
aslinya dari bahasa daerah mana- bukanlah dari bahasa Indonesia dan masih belum
mendekati titik baku. Setidaknya, dapat kami perkirakan asal muasalnya dari
bahasa Jawa Kawi yang terasa akrab dengan bahasa pewayangan atau bahasa resmi
ningrat yang tidak semua orang bisa memahaminya, apalagi orang Indonesia pada
umumnya. Selain itu, karena bahasa dan kata-kata membawa muatan dan nuansa
tertentu, maka setiap kata akan membawakan kesan atau imej yang berbeda-beda,
walaupun secara global memiliki arti yang sama. Ihwal kata kawruhan, saat kita
menyimaknya, seketika imej kita kerap tertuju kepada sesuatu yang bernuansa
kata itu, seperti cerita pewayangan, kidung-kidung Jawa dan yang semisal
dengannya, tidak malah menghantarkan nuansa intelektual kita pada dunia
filsafat Islam yang berwibawa. Itu pertama. Kedua, dalam perbandingan BDFI dengan naskah
Arab dan Persia, kata ‘objek kawruhan’ adalah padanan untuk istilah ma’qul.
Dari uraian di atas, senyatanya dua kata ini sama-sama asing (dari bahasa
Indonesia) dan sama susahnya untuk dilafalkan, yang kalaupun hendak diserap dan
diadaptasikan ke dalam bahasa Indonesia, peluang mereka tidak lebih-tidak
kurang. Pada hemat kami, selama dalam studi filsafat Islam, maka pilihan yang
tepat adalah kata ma’qul saja. Paling tidak, kata ma’qul –selain pendek- adalah
istilah asli filsafat Islam, terlebih kesan kata ini lebih dapat mengakrabkan
akal kita sesuai dengan dunianya, dan lebih enteng semudah mereka menyerap
kata, galat, iktibar, mahiyah, murakkab, itsbat, pemujaradan, perspektival,
ataupun kata daras. Dari padanan di atas ini, tampak arti kata objek terkait di
sini, yaitu sasaran (kawruhan; pengetahuan). Namun, ada dua masalah lagi yang menganjal.
Pertama, sepertinya para penerjemah tidak konsisten dalam penggunaan kata itu
di tempat lain. Misalnya, mereka memilih kata ini untuk ‘sensible things/umur
hissiyyah’ (objek-objek kendriya) yang dalam konteksnya, objek yang ini berupa
sisi banding di balik konsep. Oleh karenanya, di tempat lain, kata Inggris itu
diartikan dengan ‘benda-benda kendriya’ pada hal.132. Sementara objek dari
kawruhan ialah sebanding dengan konsep itu sendiri. Kalau tidak, maka objek
kawruhan filsafat dan logika itu sejatinya adalah konsep primer/mahuwi (ma’qul
awwali). Jadi, di sini tampak keganjilan pertama itu, yakni apa hubungan-nya
objek dengan konsep? Apakah juga benar kita memadankan ma’qul dengan ‘benda
kawruhan’? Sekali lagi, di sini tidak ada masalah pemahaman, karena
para penerjemah dapat dipercaya telah memahami dengan baik (identisitas) arti
mafhum dan ma’qul. Hanya saja, mengapa mereka memilih padanan Jawa itu untuk
ma’qul, tidak untuk mafhum, padahal dua istilah ini identik maknanya? Mengapa
mereka tidak menggunakan kata konsep untuk ma’qul seperti yang selalu mereka
gunakan untuk mafhum? Oleh karena itu, dibandingkan kawruhan, konsep sudah jauh
lebih membaku. Dan nyatanya, konsep lebih kerap digunakan oleh mereka untuk
istilah ma’qul. Maka itu, amat disayangkan ‘objek kawruhan’ diprioritaskan
terutama sebagai subjudul. Jadi, disarankan agar diganti saja dengan ‘konsep
universal’; sesuai dengan nama judul pelajaran Berikut ini sejumlah inkonsistensi mereka dalam pemilihan
dan penggunaan istilah padanan yang terkait. Di antaranya: a. Mereka menerjemahkan istilah mafhum mahuwiyah dan
ma’qulat awwaliyah dengan beberapa padanan: 1. konsep kemahiyahan (hal.111), 2.
objek kawruhan primer (hal. 111), 3. objek kawruhan utama (hal.113), 4. objek
kawruhan pertama (hal. 223). Singkatnya, kerumitan filsafat Islam lebih bisa
diimbangi dengan ketelitian konsep dan –tentunya- bahasa. b. Mereka menerjemahkan istilah ma’qulat tsaniwiyah
falsafiyah dengan berbagai padanan kalimat yang kurang lebih berbeda satu sama
lain dan terulang-ulang secara acak di berbagai tempat, misalnya saja: 1.
konsep filosofis (hal. 178), 2. konsep filsafat (hal. 113), 3. konsep
kefilsafatan (hal. 168), 4. objek filosofis yang terfahami secara sekunder
(hal. 187), 5. objek kefilsafatan yang terfahami secara sekunder (hal. 226), 6.
objek filosofis yang tertangkap secara sekunder (hal. 58), 7. objek filsafat
yang tertangkap secara sekunder (hal. 118), 8. objek sekunder yang terpahami
secara filosofis (hal. 44). Padanan Indonesia sebanyak empat kali lipat dari
istilah asli Arabnya ini terbilang cukup fantastis! c. Tentu mereka menyadari bahwa penerjemahan istilah asing
yang benar-benar asing bagi dunia filsafat seperti di Indonesia tak ubahnya
dengan peletakkan dan penawaran istilah baru yang diusahakan secara
singkat-padat, sebab istilah bukanlah kaidah. Terlihat, kebanyakan padanan di
atas ini hanyalah terjemah harfiyah sehingga panjang, campur aduk, tidak
teliti, jelimet dan melelahkan, ditambah lagi penjejalan yang bertubi-tubi atas
dua istilah asing dalam tanda-tanda kurung. d. Jadi, disarankan agar digunakan konsep primer atau konsep
mahuwi untuk ma’qul awwali dan mafhum mahuwi, konsep sekunder untuk ma’qul
tsanawi, konsep filosofis untuk ma’qul tsanawi falsafi, sebagaimana telah
digunakan pula pada tabel hal. 120, konsep logis untuk ma’qul tsanawi mantiqi.
Adapun semua pemilihan kata objek yang mengawali setiap istilah padanan di atas
tampak bermasalah besar, sebab objek, sekali lagi, bukanlah konsep. Objek
berbanding lurus dengan konsep. Sedangkan ma’qul hanyalah konsep. Ilmu Hudhuri
Dalam filsafat Islam, tema ‘ilm atau ilmu dan pengetahuan
amatlah penting. Penulis bahkan meletakkan sebagai misal untuk menjelaskan
kebadihian wujud. Bila dikritisi lebih teliti, ternyata istilah ilmu ini juga
seringkali oleh filosof Muslim dipertukarkan dengan istilah ‘idrak’. Kemudian,
para penerjemah selalu memilih kata cerapan atau persepsi untuk ‘idrak’ ini.
Padahal, tidak selalunya demikian. Yakni, akan lebih sederhana bila ‘idrak’
dipadankan dengan pengetahuan, sebagaimana mereka sempat melakukan ini
hal.92/96, khususnya saat dibubuhi ajektif seperti ‘badihi/nadzari’. Misalnya,
‘idrak aqli’ yakni pengetahuan intelektual, ‘idrak nadzari’ yakni pengetahuan
spekulatif, ‘idrak hushuli’ yakni pengetahuan hushuli. Demikian ini studi
filsafat akan berlangsung secara lebih tertib, tegas, mudah. Namun, sekaitan dengan ajektif ‘badihi’, pada mulanya kami
menemukan sebagian gejala-gejala yang lebih serius dari ini dan di atas itu
dalam upaya para penerjemah memadankan sepenting istilah ilmu hudhuri dalam
filsafat Islam ini. Sekedar melihat-lihat kembali daftar isi buku BDFI
berkaitan dengan pelajaran ke-13 dan ke-14 pada hal. x s/d xi, kita akan
menjumpai: 1. ‘Pembagian Pertama Ilmu Pengetahuan’. Kata ilmu di sini
hanya pemborosan, kalau tidak mengecoh lantaran ia juga mengasosiasikan
disiplin ilmu atau sains. Yang tepat adalah “Pembagian Pertama Pengetahuan” 2. ‘Pengetahuan dengan Kehadiran’ sebagai padanan untuk
istilah ilmu hudhuri. Ternyata, dua baris di bawahnya dipenuhi oleh kalimat
‘Pengetahuan Presentasional’. Lalu, muncul lagi ‘Pengetahun dengan Kehadiran’.
Yang jadi soal ialah, apa perbedaan dua kalimat ini? Lagi-lagi maksud pembacaan
daftar isi buku terganggu. Ketika memeriksa pelajaran-pelajaran terkait,
masalahnya bukan sekadar penyuntingan, tapi istilah ilmu hudhuri dipadankan
lebih dari satu atau dua, seperti: 3. pengetahuan yang menghadir dalam fitrah (hal.149), 4.
pengetahuan yang langsung-menghadir (hal.170), 5. pengetahuan yang langsung
hadir (hal.138), 6. secara hudhuri (hal.191), 7. hasil pengenalan langsung
(hal.xxiv). Jumlah padanan yang kurang lebih beda kali ini lebih fantastis dari
jumlah di atas itu. Dekat dengan jumlah ini adalah padanan-padanan untuk ilmu
hushuli seperti; 1. pengetahuan santiran, 2. pengetahuan tangkapan, 3.
pengetahuan perolehan, 4. pengetahuan representasional (hal.135), 5.
pengetahuan melalui representasi konseptual (hal.99). 3. Sekaligus, masih pada pelajaran yang sama, terdapat
istilah form/shurah yang dipadankan dengan banyak kata seperti: 1. santiran
(hal.130-131), 2. gambaran (hal.183.), 3. forma (hal.145). 4. hasil kognisi
(hal.147). 5. bentuk, 6. bentukan (hal. 209). Tampak sekali, penerjemah amat
cenderung menggunakan padanan no.3 (forma) dan no.5 (bentuk), meskipun tampak
ganjil dan tidak linier dengan predikat-predikat yang sering dibawakannya
seperti mencerminkan (hal.92), menyantirkan (hal.102). Selain itu, pada hal.
87, shurah juga diartikan dengan bentuk mental yang menurut susunan kalimatnya
tidak mengasosiasikan gambaran konseptual sama sekali, kecuali setelah membaca
sampai hal 92. Begitupula dengan ‘bentuk-bentuk indriawi’ pada hal. 140.
Mungkin, kalaulah tidak mengacu pada naskah terj. Inggris (form), kata gambaran
akan selalu dipilih. 4. Barangkali para penerjemah mempunyai alasan dan metode
khas yang membuat mereka cenderung meletakkan padanan yang beraneka ragam hanya
untuk satu istilah sehingga terlalu berkali-kali memasukkan tanda-tanda kurung.
Hanya yang perlu dicatat ialah bahwa ilmu hudhuri adalah ilmu hudhuri. Ia hanya
satu istilah untuk satu makna. Begitupula dengan istilah ilmu hushuli. Kedua
istilah falsafi ini –terutama yang pertama- sudah mulai akrab digunakan oleh
sebagian peminat. Jadi, biarkan saja dua istilah ini digunakan sebagaimana
adanya dan tentunya lebih layak diletakkan sebagai judul dan sub-subjudul
pelajaran. Toh, penerjemah juga sudah menggunakannya. Dan padanan untuk istilah
shurah dzihniyyah, yang tepat adalah gambaran mental/konseptual. ‘Nafs Al-Amr’
Penilaian semua di atas ini tentunya dapat juga
dipertimbangkan dengan merujuk ke indeks BDFI, sehingga menjadi jelas lagi;
apakah penilaian ini tidak pada tempatnya ataukah indeks itu dilampirkan di
akhir buku sealakadarnya, karena umumnya istilah yang telah dibedah di sini
termuat dalam indeks buku hanya secara sekelumit. Sekadar isyarat, termasuk
yang tidak terdiskripsikan secara baik, tertib dan jarang adalah
istilah-istilah seperti: badihi dan dua padanannya, ‘mabadi’ tashdiqiyyah dan
lima padanannya, ushul maudhu’ah dan empat padanannya, ‘isytirak lafdzi’ dan
lima padanannya, ‘dzihn’ dan empat padanannya, ‘haliyyah bashitah’ dan empat
padanannya, haliyyah murakkabah dan tiga padanannya, ‘waqi’e ‘aini’ atau
‘kharij’ dan empat belas padanan; mulai dari ‘realitas yang menjelma’ sampai
‘akara luaran’. Bahkan pada hal. 156, kata kemendasaran yang menjadi andalan
para penerjemah –dibandingkan tiga padanan lainnya- dalam menggantikan istilah
sewibawa ‘ashalah’ malah digunakan pula secara gegabah untuk istilah
‘fitriyyah’, itu pun dalam filsafat Kant (lihat juga baris akhir hal. xxv).
Dalam penerjemahan demikian ini juga pantas disadari, bahwa tak sesekali
penulis menggunakan istilah ashalah untuk satu istilah filsafat Barat, karena
memang ashalah adalah pusaka ‘sui generis’ filsafat Islam yang masih teramat
asing dalam filsafat Barat. Alhasil, penggunaan setiap istilah dan padanan-padanannya
ini oleh para penerjemah digilir secara berulang-ulang, bergantian dan acak,
bahkan dalam satu paragraf pendek sekalipun. Dan inilah yang mungkin membuat
indeks buku jadi mengalami kesulitan atau tampak begitu tidak relevan dan tidak
memadai. Bahkan, tidak juga menampilkan bahasa Indonesia filsafat Islam menjadi
tampak kaya. Di samping pemilihan kata-kata padanan lainnya yang
sungguh-sungguh salah atau mengaburkan, terdapat kata-kata padanan yang lumayan
tegas seperti kata padanan untuk istilah ‘Nafs Al-Amr’. Istilah ini juga tidak
kalah pentingnya dengan istilah ma’qul; punya latar sejarah yang panjang,
bahkan menjadi aksis pengembangan teori dan deskripsi atas maknanya. Hingga
kini, istilah ‘nafs al-amr’ telah berhasil mengoleksi 10 teori dari analisis
para filosof muslim. Salah satunya adalah analisis Ayatullah Musbah Yazdi yang
digagasnya dalam BDFI ini. Bagaimana pemahaman dan padanan pilihan penerjemah pada
kasus ini? Pada Halaman 151, kita membaca: “Menimbang penjelasan tentang
kebenaran dan kegalatan proposisi di atas, jelas bahwa pengertian ‘nafs al-amr’
bukanlah realitas luaran, melainkan wadah pembuktian akal (intellectual
demonstration) atas obyek-obyek yang dirujuk oleh proposisi…”. Ada bererapa
catatan kritis untuk hal-hal yang terkait di sini: 1. Baru saja, kami katakan ‘nafs al-amr’ ini lumayan tegas,
karena beberapa alasan. Pertama, tegas karena istilah ini dipadankan hanya
dengan dua kata; perkara/hal/kasusnya sendiri dan kehakikian (hal. 154). Kedua,
lumayan karena kehakikan juga digunakan oleh mereka untuk istilah ashalah
(hal.115). Sepertinya, aspek ketegasan ini pun lebih diuntungkan oleh
sedikitnya pengunaan istilah ini di sepanjang naskah Arab dan Persia. Namun,
pemilihan istilah ini pada redaksi di atas seaslinya dan sealakadarnya dengan
huruf miring menunjukkan pertimbangan yang luas penerjemah, dan kalaupun
istilah ini banyak digunakan penulis, justru memperkukuh ketegasan tersebut.
Sayangnya, pemilihan ini hanya mampu dipertahankan dua kali saja. 2. Merujuk ke naskah Arab atau naskah asli Persia, terdapat
kata ‘ghair’ yang berarti ‘bukan’ atau ‘selain’. Jika kita memaknai dengan
‘bukan’, kata itu akan memberikan arti negasi secara mutlak. Tetapi, jika
dimaknai dengan selain, di samping ia memberikan makna negasi, juga bisa
memberikan makna bagian darinya, seperti pada kalimat; “Selain membeli baju,
dia juga membeli sepatu”. Sejauh redaksi terjemahan di atas, kata ‘ghair’ di
situ tidak relevan jika diartikan ‘bukan’, dengan melihat alasan-alasan sebagai
berikut: a. jika dimaknai dengan bukan, maka akan meniscayakan
pembatasan dan penyempitan makna ‘nafs al-amr’ yang hanya ditujukan pada wadah
pembuktian akal saja. Padahal yang dimaksudkan oleh sang penulis tidak
demikian. Beliau sama sekali tidak membatasi makna ‘nafs al-amr’ hanya pada itu
saja, tetapi justru sebaliknya, yakni memperluas makna itu sehingga juga
mencakup hal-hal yang lainnya. b. Tampaknya, para penerjemah tidak sungguh-sungguh
‘menimbang penjelasan penulis tentang kebenaran dan kesalahan proposisi’ dalam
dua poin persis di halaman sebelumnya. Dua poin dan penjelasannya yang telah
diterjemahkan mereka itu tidak mendukung pemahaman dan redaksi di atas. c. Seperti di catatan kaki MK di hal. xxxv, simpulan dan
pertanyaan di akhir setiap pelajaran dihapuskan dari terjemahan Inggrisnya.
Namun, penerjemah tentu masih bisa mengakses terjemahan Arabnya yang memuat
simpulan dan pertanyaan itu. Pada pelajaran ke 19, terdapat simpulan dari
pembahasan nafs al-amr. Kalaulah simpulan ini dirujuk dan ditelaah, tentu akan
disadari kekeliruan pemahaman penerjemah sebelum diterjemah-tuliskan. d. Jadi, merujuk naskah asli Persia dan terjemahan Arab,
redaksi terjemahan yang benar ialah “Menimbang penjelasan yang lalu tentang
kebenaran dan kesalahan proposisi, jelas bahwa pengertian ‘nafs al-amr’ -selain
realitas objektif- adalah alam ketetapan intelektual bagi obyek-obyek yang
diungkap oleh proposisi…”. 3. Dalam redaksi terjemahan, terdapat kalimat “pembuktian
akal (atas)” sebagai padanan dari kalimat Inggris “intellectual demonstratoin”.
Sampai di sini, para penerjemah sudah cermat menerjemahkan kalimat Inggris ini
ke kalimat Indonesia. Namun, kedua kalimat terjemahan ini tidak tepat bila kita
bandingkan dengan naskah terjemahan Arabnya, yaitu “ats-tsubut al-‘aqli” yang
berarti “ketetapan intelektual”. Yang mengenal bahasa Arab dan Hikmah
Mutaaliyah, tentu bisa membedakan kata ‘al-itsbat’ (pembuktian atas) dan
‘ats-tsubut’ (ketetapan, kenyataan atau fakta). Dan secara filosofis, kata
kedua bersifat ontologis, dan kata pertama bersifat epistemologis. Kemungkinan
besar, para penerjemah tidak konsisten dalam merujukkan terjemahannya kepada
naskah Arab. Adapun naskah asli Persia hanya dan hanya menguatkan terjemahan
Arab, tidak edisi Inggris ataupun edisi Indonesia. 4. Setelah ini semua, lalu apa yang tersisa dari teori baru
penulis yang hendak digagasnya dalam BDFI ini? Bila terjemahan ini dibiarkan
begini, tentu tidak ada lagi. Sambil lalu saja, bagi yang akrab dengan studi
epistemologis, kata ‘al-waqi’e’, ‘al-kharij’ dan ‘al-haqiqah’ biasa dipadankan
dalam bahasa Inggris dengan ‘fact’, dan dalam bahasa Indonesia bisa dipadankan
dengan fakta. Fakta lebih umum dari realitas, reality, dan ‘al-waqi’e
al-khariji’. Fakta bisa berarti kebenaran sekaligus ralitas objektif; dekat
sekali dengan kata al-haqiqah dan haqq. Istilah ‘tsubut di sini, juga tepat
dipadankan dengan fakta, bahkan fakta dalam arti yang sepenuhnya mampu mewakili
teori baru dari filosof mutakhir ini.[islamalternatif.net] Yusuf Bafagih: S2 Jurusan Filsafat Irfan di Universitas Imam
Khomeini Qom, Republik Islam Iran. Ammar Fauzi Heryadi: Anggota Redaksi
Islam Alternatif.
|