Akal, Wahyu dan Jalan Mengenal TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Ruhulllah Syams
Pengenalan dan pengetahuan akan keberadaan Tuhan merupakan
hal yang asasi dan prinsip bagi manusia yang beragama, meskipun nantinya konsep
tentang Tuhan berbeda sesuai dengan doktrin-doktrin suci agama dan penafsiran
aliran kepercayaan masing-masing. Tapi pada intinya, semua agama dan aliran
kepercayaan tersebut menegaskan dan membenarkan wujud suci dan agung Tuhan. Jika kita ingin mengindentifikasi metode-metode pencapaian
makrifat kepada Tuhan oleh setiap orang, maka bisa kita katakan bahwa setiap
orang memiliki metode dan cara tersendiri dalam meraih makrifat tersebut. Oleh
sebab itu, dikatakan bahwa jalan-jalan menuju Tuhan sebanyak jiwa-jiwa makhluk
yang ada di alam ini. Tetapi apabila kita ingin meninjau sisi yang sama dari
jalan-jalan makrifat kepada Tuhan tersebut, maka terdapat beberapa pendekatan
universal yang dapat mencakup semua manusia. Di bawah ini terdapat beberapa metode dalam pencapaian
makrifat kepada Tuhan, antara lain: a. Metode Argumentasi
Cara ini dapat ditempuh dan dijalani oleh setiap orang yang
memiliki akal sehat, sebab cara ini menggunakan premis-premis dan
prinsip-prinsip rasionalitas dalam menetapkan eksistensi Tuhan, sifat dan
perbuatan Tuhan. Namun dalam metode ini juga terdapat tingkatan-tingkan
argumentasi dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit dan filosofis
(dengan argumentasi filsafat). b. Metode Syuhudi Cara ini, jika ditinjau dari segi epistemologi memiliki
tingkatan yang lebih tinggi dari metode argumentasi di atas, sebab dalam
syuhudi manusia mengenal Tuhan dengan ilmu huduri, sedangkan pada metode
pertama dengan ilmu husuli. Cara ini dijalani dengan pembersihan dan pensucian
nafs (jiwa) lewat pendisiplinan diri pada tingkatan-tingkatan spiritual hingga
mencapai maqam “penyaksian” Tuhan dan dengan pandangan batin memandang sifat
jalal dan jamal-Nya. c. Metode Kontemplasi Manusia dalam perjalanan hidupnya senantiasa dipenuhi dengan
rasa ingin tahu terhadap apa yang dihadapannya, sebab itu apa saja yang
disaksikannya senantiasa memotivasinya untuk mengenal dan mengetahuinya lebih
jauh dan lebih dalam. Dan dengan berpikir terhadap fenomena-fenomena alam yang
disaksikannya serta hubungan satu sama lainnya bisa mengantarkannya pada
penemuan akan keberadaan Tuhan dan sifat-sifat-Nya seperti ilmu, iradah, hikmah
dan kekuasaan. Jalan ini bersandar pada pengamatan dan penyaksian alam natural,
sebab itu disebut jalan perenungan dan observasi. Perlu diketahui bahwa pada
dasarnya jalan ini tidak dapat dicapai tanpa menggunakan prinsip-prinsip akal. d. Metode Akal Jalan ini menggunakan premis-premis akal dan logika serta
metode-metode argumentasi yang murni bersandar pada kaidah akal dalam
pembuktikan keberadaan Tuhan dan menetapkan sifat-sifat khusus yang layak
bagiNya, seperti hidup, ilmu, hikmah, iradah, dan kuasa, serta
membersihkan-Nya dari sifat-sifat yang tidak layak, seperti bermateri, beranak
dan terbatas . e. Metode Fitrah Berbeda dari dua jalan sebelumnya, jalan ini tidak dengan
akal dan juga tidak dengan kontemplasi alam tabiat. Manusia dengan hanya
merujuk pada kedalaman batinnya, dia akan menemukan dan memperoleh makrifat
Tuhan. Dengan metode fitrah dan jalan mukasyafah irfani serta jalan musyahadah
kalbu termasuk dalam katagori jalan ini dalam menemukan Tuhan dan sifat jalal
dan jamal-Nya. Jalan ini hanya terbuka bagi hati-hati yang bersih yang tidak
dipenuhi dengan hawa nafsu, cinta materi dan duniawi. Selain dari kedua pembagian jalan makrifat pada Tuhan
tersebut di atas, juga ada pembagian lain sebagai berikut : a. Metode Umum Jalan ini adalah yang ditempuh oleh kebanyakan manusia, dan
keyakinan yang dihasilkan tidak begitu dalam dan sempurna, tetapi cukup untuk
dikatakan sebagai manusia beragama yang memiliki pengetahuan tentang Tuhan.
Jalan ini tidak dengan pemikiran yang dalam, tetapi dengan pemikiran sederhana
yang didukung oleh fitrah yang sehat. b. Metode Khusus
Orang-orang yang sanggup menjangkau pemikiran-pemikiran
argumentatif (burhan) dan sampai pada keyakinan yang tidak lagi tergoyahkan
secara argumentasi. c. Metode Lebih Khusus Jalan ini tersedia bagi hati-hati yang bersih dan fitrah
yang tidak dinodai oleh hawa nafsu dan cinta materi. Para penapak jalan ini
mensucikan batinya sesuci-sucinya sehingga cermin hatinya dapat memantulkan
cahaya kebenaran secara hakiki. Dia akan mendapatkan wajah Tuhan dalam bentuk
aslinya, jauh dari pengaruh kesesatan ilusi dan imajinasi pikiran. e. Metode Terkhusus
Orang-orang yang memadukan jalan argumentatif dengan
pensucian batin lewat menapaki tangga-tangga spiritual sehingga sampai pada
maqam syuhud dan fana fi Allah. Kelebihan jalan ini dibanding jalan ketiga
adalah orang yang berhasil pada jalan ini selain menggapai maqam jalan ketiga,
ia juga mampu menguraikan makrifatnya dalam bentuk argumentasi akal, sehingga
ia mampu membimbing akal-akal pencari kebenaran dan kesempurnaan sampai pada
pemahaman yang hakiki. Jalan inilah yang ditempuh oleh orang-orang seperti;
Ibnu Arabi, Mulla Sadra, Imam Khomeini, dan Allamah Thaba-thabai. f. Metode Para Nabi Dan Rasul
Jalan ini adalah jalan yang paling sempurna dan istimewa dan
hanya diperuntukkan bagi manusia-manusia pilihan Allah Swt. Jalan ini
meskipun dalam tinjauan teoritis terbuka bagi semua manusia, tetapi karena
disertai dengan risalah dan wahyu serta tugas tertentu dari Tuhan, maka secara
riil hanya mempunyai jumlah yang terbatas; seperti Tuhan hanya mengutus pada
umat manusia sebanyak 25 Nabi dan Rasul, dan mengutus Nabi-nabi sebanyak
124.000 untuk seluruh umat manusia. Oleh sebab itu, jalan dan cara ini
meskipun bukan jalan argumen filosofis atau jalan penapak spiritual, akan
tetapi cara dan jalan ini tentu tidak bertentangan dengan akal para filosof serta
mukasyafah para pesuluk, bahkan ia malah menjadi tolok ukur kebenaran kedua
jalan tersebut serta penerang yang tak padam bagi keduanya. Sebagaimana akan
kami jelaskan nantinya kedudukan wahyu terhadap akal. Definisi dan Tujuan Agama
Dalam bahasa Arab, secara leksikal, agama disebut dengan
al-diin yang berarti ajaran, penyerahan, balasan dan ketaatan. Adapun arti
al-diin secara gramatikal bisa didefenisikan sebagai berikut, “Al-Din atau
agama adalah seluruh rangkaian ilmu, makrifat dan pengetahuan suci yang secara
teoritis maupun praktis”, yakni seluruh tinjauan dan pandangan terhadap
pengamalan-pengamalan yang mengandung muatan suci.[1] Tentu defenisi ini bersifat luas dan
tidak terbatas pada satu agama, sebab seluruh agama mempunyai konsepsi-konsepsi
dan praktek-praktek yang dipandang suci oleh para penganutnya. Adapun mengenai
kebenaran ajaran suatu agama, hal tersebut menjadi model dalam pembahasan
sistem keyakinan dan kepercayaan secara teoritis dan praktis, dimana akal dapat
menguji sejauh mana kebenaran serta kesesuaian agama itu dengan hakikat
realitas. Misalnya pandangan Islam tentang Tuhan berbeda dengan Kristen,
Yahudi, Hindu, Budha, Tao, Kongfucu dan agama-agama lainnya. Manakah diantara
agama-agama tersebut yang mempunyai pandangan dan keyakinan tentang Tuhan yang
dapat dibuktikan kebenarannya dan bersesuaian dengan akal dan realitas
hakiki? Jika defenisi tersebut di atas dihubungkan dengan Islam maka
agama berarti seluruh makrifat yang berkaitan dengan Tuhan yang terdapat dalam
teks-teks suci al-Quran dan sunnah nabi. Agama dapat juga didefenisikan sebagai berikut,
“Al-Diin yang berarti ketaatan mutlak dan balasan yang dijabarkan dalam bentuk
keyakinan, akhlak, hukum-hukum dan undang-undang yang berkaitan dengan individu
dan masyarakat. Agama-agama langit adalah agama-agama yang berasal dari sisi
Tuhan yang diwahyukan kepada Nabi-nabi as, sebab itu masalah dan persoalan agama
ditetapkan berdasarkan wahyu dan berita-berita yang diterima secara
yakin. Makna leksikal al-diin adalah kepatuhan, ketaatan, penyerahan dan
balasan. Dan makna istilahnya adalah keseluruhan keyakinan, akhlak,
undang-undang dan aturan-aturan yang bertujuan mengatur urusan-urusan manusia
dan membimbing mereka. Tidak semua ajaran itu seluruhnya benar dan dan juga
sebaliknya, dan terkadang dalam beberapa ajaran bercampur antara benar dan
batil. Jika keseluruhan ajarannya adalah benar maka disebut agama yang benar,
dan begitu pula sebaliknya disebut agama yang batil atau percampuran antara
benar dan batil.[2] Tujuan Agama
Secara global agama dipandang sebagai jalan dan petunjuk menuju
kebahagiaan dan kesempurnaan. Dalam hal ini, kita tidak berbicara tentang
agama-agama secara umum, kita hanya berbicara berkaitan dengan agama Islam.
Kita meyakini secara argumentatif bahwa hanya agama Islam yang secara utuh
memiliki kebenaran, baik secara teoritis maupun praktis. Kitab-kitab suci yang diturunkan Tuhan beserta Rasul dan
Nabi-Nya, semuanya mengajak manusia menyembah Tuhan dan mengesakan-Nya, berbuat
baik kepada manusia dan menegakkan keadilan. Jelaslah agama dalam hal ini
merupakan hidayah Tuhan Yang Maha Pengasih. Dan Tuhan juga memberi petunjuk
pada manusia dalam rangka menyampaikan mereka kepada kebahagiaan di dunia dan
kesempurnaan di akhirat. Yakni tujuan agama dalam konteks ini adalah memberi
hidayah dan petunjuk kepada manusia, mengaktualkan potensi manusia dan
mengangkat manusia ke maqam kedekatan Tuhan. Hakikat agama adalah kebahagiaan, kedamaian dan kemenangan
seluruh umat manusia. Agama adalah jalan mencapai puncak tujuan penciptaan dan
puncak kesempurnaan manusia. Agama bertujuan mengangkat manusia dari alam
materi yang rendah menuju ke alam malakuti yang tinggi. Agama berkeinginan
membantu manusia menyelesaikan berbagai problematika di dunia ini. Agama ingin
menghilangkan ketakutan manusia kepada kematian dengan memberikan harapan
kepada kehidupan abadi. Agama ingin mendekatkan manusia kepada Tuhan
Penciptanya Yang Esa. Agama dan Fitrah Manusia
Sebelumnya telah dijelaskan pengertian dari al-diin (agama)
baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Oleh karena itu, dalam pembahasan
selanjutnya yang perlu dijelaskan adalah makna dan pengertian fitrah manusia. Kata fitrah secara leksikal bermakna watak ciptaan suatu
maujud, namun dalam istilahnya mempunyai pengertian yang bermacam-macam. Dan
yang kita maksudkan dari pada fitrah disini adalah sisi-sisi universal yang
terdapat pada manusia dan mendasari sifat dan kecenderungan hakiki manusia
dalam menerima agama dan penyembahan kepada Tuhan. Adapun mengenai fitrah manusia kepada Tuhan dan agama
terdapat tiga pandangan: 1. Membenarkan keberadaan Tuhan merupakan pengetahuan
yang bersifat fitrah manusia. Fitrah dalam pengertian ini adalah fitrah akal
yang berhubungan dengan sistim pengenalan dan pengetahuan manusia. 2. Manusia secara hudhuri dan syuhudi memiliki
pengetahuan kepada Tuhan, dan manusia - berdasarkan potensinya masing-masing -
mendapatkan pengetahuan hudhuri dari Tuhan tanpa perantara. 3. Fitrah manusia kepada Tuhan adalah kecenderungan
alami dan esensi yang terdapat dalam diri manusia, yakni kecenderungan dan
keinginan kepada Tuhan merupakan hakikat penciptaan manusia. Syahid Murtadha Muthahari dalam mengomentari pandangan
pertama berkata, “Sebagian orang yang berpandangan tentang kefitrahan
pengetahuan kepada Tuhan yang mereka maksud dalam hal ini adalah fitrah akal.
Mereka berkata bahwa manusia berdasarkan hukum akal yang bersifat fitrah
tersebut tidak membutuhkan premis-premis argumentasi dalam menegaskan wujud
Tuhan. Dengan memperhatikan tatanan eksistensi dan keteraturan segala sesuatu,
maka otomatis dan tanpa membutuhkan argumen, manusia mendapatkan keyakinan
tentang keberadaan Sang Pengatur dan Sang Perkasa.”[3] Pandangan kedua tentang fitrah adalah manusia secara fitrah
mempunyai pengetahuan hudhuri kepada Tuhan, bukan dengan ilmu hushuli yang
diperoleh lewat argumentasi akal. Yakni manusia mempunyai hubungan yang dalam
dan hakiki dengan Penciptanya, dan ketika manusia memandang ke dalam dirinya,
dia akan menemukan hubungan tersebut. Karena kebanyakan manusia sibuk dengan
kehidupan materi, maka dia tidak mendapatkan hubungan dengan Penciptanya. Tapi
manusia pada saat memutuskan hubungannya dengan kesibukan-kesibukan kehidupan
dunia, atau saat manusia kehilangan harapan dari sebab-sebab materi, barulah
manusia merasakan hubungan tersebut yang terdapat dalam dirinya. Fitrah dalam pandangan ketiga juga bukan fitrah akal atau
pengetahuan hushuli yang sederhana, tetapi yang dimaksud adalah fitrah qalbu.
Syahid Muthahari berkata, “Fitrah qalbu adalah manusia secara khusus diciptakan
berkecenderungan dan berkeinginan kepada Tuhan. Dalam diri manusia telah
diletakkan suatu bentuk instink pencarian Tuhan, kecenderungan kepada Tuhan,
cinta dan penyembahan kepada Tuhan, sebagaimana instink kerinduan kepada
ibu dalam watak seorang anak.[4] Anak-anak yang baru dilahirkan meskipun belum memahami makna
kesadaran riil tetapi terdapat dalam dirinya apa yang tidak disadarinya berupa
kecenderungan kepada ibu dan kerinduan padanya. Dalam wujud manusia terdapat kecenderungan
seperti ini, suatu kecenderungan agung dan tinggi, yakni kecenderungan
penyembahan dan kecenderungan kepada Tuhan. Kecenderungan inilah yang membawa
manusia ingin berhubungan dengan suatu hakikat yang tinggi dan ingin dekat
kepada hakikat tersebut serta mensucikannya. Fitrah manusia yang telah
diciptakan Tuhan dan diletakkan pada diri manusia dalam bentuk tabiat
penciptaan, dengan tabiat tersebut manusia menerima agama dan menyembah
dan menyintai Tuhan. Agama dan Akal
Salah satu hal penting yang menyibukkan pikiran dan menjadi
wacana penting dikalangan para filosof dan teolog disepanjang sejarah adalah
hubungan akal dan wahyu atau agama dan filsafat.Uuntuk lebih jelasnya
pembahasan ini sebaiknya terlebih dahulu kita jelaskan makna dan pengertian
akal dan wahyu. Pengertian Akal
Akal dalam bahasa arab bermakna mencegah dan menahan, dan
ketika akal dihubungkan dengan manusia maka bermakna orang yang mencegah dan
menahan hawa nafsunya. Selain itu akal juga digunakan dengan makna pemahaman
dan tadabbur. Jadi akal dari segi leksikalnya bisa bermakna menahan hawa nafsu
sehingga dapat membedakan antara benar dan salah, juga bisa bermakna memahami
dan bertadabbur sehingga memperoleh pengetahuan. Akal dalam istilah mempunyai makna yang bermacam-macam dan banyak
digunakan dalam kalimat majemuk, dibawah ini macam-macam akal, antara lain: 1. Akal instink: Akal manusia di awal penciptaannya, yakni
akal ini masih bersifat potensi dalam berpikir dan berargumen;[5] 2. Akal teoritis: Akal yang memiliki kemampuan untuk
mengetahui sesuatu yang ada dan tiada (berkaitan dengan ilmu ontology), serta
dalam hal tindakan dan etika mengetahui mana perbuatan yang mesti dikerjakannya
dan mana yang tak pantas dilakukannya (berhubungan dengan ilmu fiqih dan
akhlak). 3. Akal praktis: Kemampuan jiwa manusia dalam bertindak,
beramal dan beretika sesuai dengan ilmu dan pengetahuan teoritis yang telah
dicerapnya . 4. Akal dalam istilah teologi bermakna proposisi-proposisi
yang dikenal dan niscaya diterima oleh semua orang karena logis dan riil.[6] 5. Juga akal dalam istilah teologi bermakna
proposisi-proposisi yang pasti dalam membentuk premis-premis argumen dimana
meliputi proposisi badihi (jelas, gamblang) dan teoritis.[7] 6. Akal substansi: sesuatu yang non materi dimana memiliki
zat dan perbuatan. Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal
disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi dan burhan dimana
didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga nantinya
dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis
(argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci
agama. Pengertian wahyu Wahyu merupakan kata yang tak dapat dipisahkan dari
agama-agama langit, sebab wahyu Tuhan merupakan dasar dan prinsip yang
membentuk suatu agama samawi. Ragib Isfahani dalam menjelaskan pengertian wahyu secara
literal berkata, “Akar kata wahyu bermakna isyarat cepat, oleh sebab itu setiap
perbuatan yang dilakukan dengan cepat disebut wahyu. Dan ini bisa berbentuk
ucapan bersandi dan berkinayah, atau tidak dalam bentuk kata-kata tapi
berbentuk isyarat dari bagian anggota-anggota badan atau dalam bentuk tulisan.”[8] Adapun wahyu menurut istilah adalah terbentuknya hubungan
spiritual dan gaib pada setiap Nabi ketika mendapatkan pesan-pesan suci dari
“langit”.[9] Wahyu bukanlah sejenis ilmu hushuli yang didapatkan lewat
mengkonsepsi alam luar dengan panca indera dan akal pikiran, tetapi wahyu
adalah sejenis ilmu hudhuri, bahkan wahyu merupakan tingkatan ilmu huduri yang
paling tinggi. Wahyu adalah penyaksian hakikat dimana hakikat tersebut
merupakan pilar dan hubungan hakiki eksistensi manusia, manusia dengan ilmu
hudhuri mendapatkan hubungan eksistensi dirinya dengan Tuhan dan kalam Tuhan,
sebagaimana manusia mendapatkan dirinya sendiri.[[10] Batasan Akal dan Wahyu Tak dapat diragukan dan dipungkiri bahwa akal memiliki
kedudukan dalam wilayah agama, yang penting dalam hal ini menentukan dan
menjelaskan batasan-batasan akal, sebab kita meyakini bahwa hampir semua kaum
muslimin berupaya dan berusaha mengambil manfaat akal dalam pengajaran agama
dan penjelasan keyakinan agama secara argumentatif. Para filosof Islam dalam
hal ini juga berusaha menjelaskan batasan antara akal dan syariat
(hukum-hukum agama). Al-Kindi (lahir 185 H), filosof Islam pertama yang
mendalami filsafat dan terlibat dalam penerjemahan karya-karya filsafat
adalah tokoh yang sangat memperhatikan masalah tersebut. Dia berupaya
menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut
keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat
realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat
sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh
sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat
kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka
cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks
suci agama. Metode ini dilanjutkan dan diteruskan oleh Al-Farabi. Al-Farabi juga berpandangan bahwa agama dan filsafat sebagai
dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan
seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana
Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah
akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan
kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif. Perlu kita
ketahui, dikalangan filosof Islam akal aktif tersebut ditafsirkan sebagai
malaikat Jibril as atau ruhul qudus dalam agama Islam. Ibnu Sina membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan
filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal
dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana
berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis
dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara
(al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan
akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada
syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat
serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap
undang-undang dan rincian pengamalannya.”[11] Sebagaimana kita saksikan dalam perkataan Ibnu Sina tersebut
bahwa dia memandang sumber dan dasar pembagian-pembagian filsafat praktis
berpijak pada syariat Tuhan dan dia juga memandang bahwa batas-batas
kesempurnaan pembagian tersebut ditentukan oleh syariat. Pandangan-pandangan para filosof Islam tersebut menjelaskan
tentang wilayah dan batasan akal terhadap wahyu, dimana akal menentukan dan
mendefenisikan hal-hal universal yang berhubungan dengan pandangan dunia agama,
dan adapun hal-hal yang bersifat terperinci dan pengamalannya ditentukan oleh
agama itu sendiri. Tujuan agama dan kemestian manusia untuk beragama serta
penentuan agama yang benar dibebankan pada kemampuan akal. Akal tidak memahami
masalah-masalah seperti dari mana manusia datang, tujuan hakiki kehadiran dia,
cara dia berterima kasih kepada Pencipta, kemana manusia setelah meninggal, dan
bagaimana bertemu Tuhannya, tetapi akal manusia memahami bahwa
pertanyaan-pertanyaan ini hanya dapat dijawab oleh agama (dalam pengertian
khusus) dan bukan tanggung jawab serta diluar kemampuan akal pikiran manusia. Oleh karena itu, secara umum manusia menyaksikan bahwa
masalah-masalah tersebut merupakan batasan dan wilayah agama, dan hanya agama
yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Secara rinci, akal tak
mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dengan demikian, untuk
memperoleh jawaban secara mendetail dan terperinci dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut tak ada cara lain selain merujuk kepada agama dan syariat suci Tuhan. Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan
dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi
akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan
hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat
yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya. Kesesuaian Akal dan Wahyu (Agama)
Jika kita berbicara tentang segala ciptaan Tuhan, maka akal
dan wahyu juga merupakan dua realitas ciptaan Tuhan. Tuhan mengutus Nabi-nabi disertai wahyu dan agama untuk
memberi hidayah umat manusia. Dan Tuhan pun yang menciptakan akal manusia. Akal
adalah salah satu fenomena diantara fenomena-fenomena alam yang ada. Tuhan adalah
Pencipta akal dan Tuhan juga merupakan sumber syariat dan agama (wahyu). Jadi
akal dan wahyu berasal dari Tuhan dan berujung pada satu hakikat yang tinggi
dan suci. Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam
timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan
menilai berbagai perbuatan dan tindakan, serta menghukumi baik dan buruknya
atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan,
kejujuran, balas budi, menolong orang-orang yang dalam kesulitan dan
kemiskinan, dan juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dan
merampas hak dan milik orang lain. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan
wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran
dan kebohongan. Dalam hal ini juga syariat Tuhan menegaskan dan memberi hidayah
manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. Oleh sebab itu, jika husn wa
qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Nasiruddin
Thusi berkata, “Baik dan buruk dalam mizan akal (husn wa qubh al-aql) secara
mutlak tertegaskan, karena keduanya berkaitan erat dalam keberadaan dan
keabsahan syariat”.[12]
Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat
juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal iut
tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi
as adalah baik. Manusia juga tak dapat mengetahui bahwa para Nabi dan Rasul as
pasti tidak bohong. Jika manusia mengetahui dari syariat bahwa para nabi pasti
berkata jujur dan kejujuran adalah sifat yang mulia, maka muncul masalah bahwa
syariat yang belum diketahui apakah hasil dari perkataan jujur atau bohong,
sehingga dipercayai kejujuran dan kebenarannya. Yang pasti jika baik dan buruk
dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang
dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya, hatta syariat itu sendiri. Dari tinjauan tersebut di atas, tidak bisa dikatakan
bahwa akal dan syariat di alam realitas saling berlawanan dan kontradiksi. Para
ulama ushul fiqih mazhab Syi’ah Itsna Asyariyah (dua belas imam) memiliki
konsep dan pandangan dalam bentuk sebagai berikut: Tuhan adalah pencipta akal
dan “pemimpin” masyarakat berakal serta Tuhan pulalah yang menganugrahkan wahyu
dan agama untuk manusia, maka tak mungkin wahyu dan agama tak sesuai
dengan akal, dan jika tak ada kesesuaian maka akan terjadi inner kontradiksi
dalam ilmu Tuhan. Oleh karena itu, kita meyakini bahwa tidak terdapat
kontradiksi antara akal dan wahyu, dan antara rasionalitas dan agama. Diakhir pembahasan ini, kami akan menyajikan pandangan Mulla
Sadra, salah seorang filosof besar Islam dan pendiri hikmah muta’aliyah, dimana
Filsafatnya mencerminkan pengaruh timbal balik akal dan wahyu. Dia berusaha
semaksimal mungkin membangun filsafatnya dari kekuatan akal dan kesucian
wahyu. Jika kita tinjau hubungan antara muatan wahyu dan proposisi
akal, maka hubungan tersebut bisa dibagi menjadi tiga bagian: 1. Muatan wahyu sesuai dengan akal; 2. Muatan wahyu lebih tinggi dari akal; 3. Muatan wahyu kontradiksi dengan akal. Menurut keyakinan Mulla Sadra, wahyu hakiki dan pesan hakiki
Tuhan tidak kontradiksi dengan proposisi akal (bagian ketiga). Dalam tinjauan
tersebut, dia berkata, “Maka kami bawakan dalil kuat yang berkaitan dengan
topik ini, sehingga diketahui bahwa syariat dan akal memiliki kesesuaian
sebagaimana dalam hikmah-hikmah lainnya, dan mustahil syariat Tuhan yang benar
dan hukum-hukum-Nya berbenturan dan bertentangan dengan makrifat-makrifat akal
dan argumentasi rasional, dan binasa bagi filsafat yang teori-teorinya tak
sesuai dengan kitab suci Tuhan dan sunnah Nabi-Nya”.[13] Menurut Mulla Sadra, hukum-hukum
agama yang penuh dengan cahaya suci Tuhan mustahil bertentangan dan bertolak
belakang dengan pengetahuan-pengetahuan universal akal, filsafat yang benar tak
mungkin teori-teorinya bertentangan dengan kitab suci Tuhan dan sunnah
Nabi-Nya. Dia berkeyakinan bahwa filsafat yang benar dan hakiki adalah filsafat
yang memiliki korelasi dengan wahyu suci Tuhan. Secara prinsipil, para
filosof yang perkataannya menyalahi agama bukanlah filosof hakiki. Dia berkata,
“Dan barang siapa yang agamanya bukan agama yang dianut oleh para Nabi as, maka
pada dasarnya dia tidak mendapatkan sedikitpun bagian dari hikmah (filsafat
hakiki)”.[14] Artinya, para filosof yang agamanya
bukan agama para Nabi as, maka dia tidak mengambil manfaat sama sekali dari
filsafat. Dari perkataan Mulla
Sadra di atas, dapat disimpulkan bahwa dia berusaha - dengan
pandangan-pandangan argumentatif - membela gagasan kebersesuaian akal dan
wahyu, filsafat dan syariat, dan menolak adanya kontradiksi diantara
keduanya. ] |