Pemimpin Politik dan Ulil amriDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Agung Sugiri
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa aali
Muhammad
يَأَيهَُّا الَّذِينَ ءَامَنُواْ أَطِيعُواْ اللَّهَ وَ
أَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَ أُوْلىِ الْأَمْرِ مِنكم… "Yaa ayyuhalladzina aamanu athii'ullaha wa athii'uur
rasuula wa uulil amri minkum..." (An-Nisa: 59). Ada dua pendapat besar di kalangan kaum muslimin sejak
ditinggal Nabi saw hingga sekarang – dan agaknya akan berlanjut terus hingga
datangnya Imam Mahdi as – mengenai ulil amri yang kita wajib taati itu.
Pendapat pertama mengatakan ulil amri adalah para pemimpin bagi umat Islam yang
penetapannya dilakukan oleh manusia, yaitu melalui bai’at dari umat Islam.
Bahkan ada di antara penganut paham pertama ini yang berpendapat bahwa para
pemimpin negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim itu sebagai ulil amri.
Hal ini, agaknya karena pada saat ini tidak ada seorangpun yang disepakati oleh
seluruh muslimin untuk menjadi pemimpin tunggal umat. Di lain pihak, pendapat kedua meyakini bahwa ulil amri itu
adalah para pemimpin tertinggi umat yang ditetapkan dan diangkat langsung oleh
Allah swt. Setiap ulil amri menjadi pemimpin umat pada zamannya masing-masing,
sejak Rasul saw wafat hingga dunia ini berakhir nanti. Ada ulil amri yang
diakui sebagian besar masyarakat sehingga menjadikan mereka sekaligus sebagai
pemimpin politik umat, tapi banyak pula yang ditolak oleh sebagian besar umat
yang ternyata lebih memilih orang-orang yang bukan ulil amri sebagai pemimpin
politiknya. Singkatnya, Allah swt selalu menetapkan dan memberikan
pemimpin-pemimpin bagi manusia, tapi kebebasan manusia membuat mereka boleh
memilih untuk mengikuti dan mentaati pemimpin-pemimpin yang ditetapkan Allah
itu atau menolak mereka. Tentu saja, bukti-bukti atas kepemimpinan mereka yang
ditetapkan Allah itu pun telah Allah berikan secara jelas kepada manusia.
Apapun pilihan manusia, semuanya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah
swt di hari pengadilan nanti. Kelemahan pendapat pertama sebetulnya sudah jelas.
Nah, mari kita lihat masalah ini lebih lanjut agar menjadi lebih jelas. Once upon a time, a Nasrani Arab scholar after hearing
this verse (An-Nisa: 59), gave an interesting comment. Kurang-lebihnya begini
(in my own words): "The order to obey Rasul does make sense because he,
according to you (muslims), was infallible (ma’shum) as the channel of God's
commands. God never corrupts, so did Rasul, and God’s message was delivered
flawlessly by Rasul. But it's not understandable why you should obey those who
may err (Ulil amri dipahami sebagai muslim governments/pemimpin-pemimpin
politik umat Islam). Doesn't it mean that you should obey them although if they
order you to do wrong?" Then, when the scholar was told that muslims only obey ulil
amri when their commands are in accordance to Quran and Sunnah (means ketaatan
bersyarat kepada Ulil amri), the scholar replied: "So, in this case, you
(people) are more knowledenganable about Quran and Sunnah than your leaders
(because you know when they corrupt while they themselves don't), and thus it
would be much better if you be the leaders, NOT them. So, are you (people) the
ulil amri meant by the verse, or them (governments)?" Kritik orang luar ini, layak diperhatikan dengan
seksama. Kebingungan itu, antara lain adalah karena belum apa-apa umumnya kita
sudah menebak-nebak "o.. o.. siapa dia" yang dimaksud dengan Ulil
amri itu? Coba kalau kita kesampingkan dulu mengenai tebak-tebakan ini. Let it
just be ‘ulil amri’ first, dan kita coba pahami basic principle yang mau
disampaikan oleh ayat ini, insya Allah, mengenai siapakah mereka ulil amri itu
akan dapat kita ketahui jawabannya later on melalui bantuan akal sehat dan
ayat-ayat al-Quran lainnya. Prinsip yang mau disampaikan ayat ini secara TEPAT
telah diungkapkan oleh orang Arab Nasrani itu: channels of God's commands. Coba kita tengok pertanyaan-pertanyaan berikut. The first question is: Sebetulnya SIAPA SAJA yang
harus kita taati? Bagi penganut tauhid, jelas: HANYA ALLAH, The One and Only
yang harus kita taati. Then, the second question is: HOW to taat kepada only Allah? Kenyataan yang, mau tidak mau, diakui oleh semua God
conscience people adalah: TIDAK SEMUA ORANG dikomunikasikan langsung (melalui
wahyu dan/atau inspirasi) oleh Allah. Tentunya, jawaban untuk ini juga jelas:
kita taat kepada Allah melalui ketaatan kita kepada channel/s dari
commands-Nya, yang untuk umat akhir jaman adalah Rasul Muhammad saw. Nah, sampai di sini, "’athiullah wa ‘athiur
rasul" sudah kita pahami. Tapi, pertanyaan ketiga adalah, kenapa ada
lanjutannya: ...wa ulil amri minkum...? Kenapa tidak cukup athii'ullaha wa
‘athii'ur rasuul? Jika kita tidak tebak-tebak "o o siapa mereka
sang ulil amri" pada tahap ini, sebetulnya memahaminya mudah, bi
idznillah. Coba kita tengok ada HUBUNGAN apakah antara jawaban
pertanyaan pertama (yaitu: Allah) dan kedua (yaitu: Rasulullah saw) di atas?
Apakah hubungan ini bersifat horisontal atau vertikal? Pada kalimat:
"athiullah wa ‘athiur rasul", apakah WA di sini menunjukkan hubungan
horisontal atau vertikal? In other words: Apakah kita mentaati Allah DAN Rasul
(hubungan horisontal), atau kita mentaati Allah MELALUI ketaatan kita kepada
Rasul-Nya (hubungan vertikal)? Saya yakin semua muslimin sudah tahu jawabannya:
hubungan vertikal. Jika kita menjawab hubungan horisontal, berarti terjebak
kepada menyekutukan Allah dengan Rasul-Nya, sebab menganggap Allah dan Rasul
saw dalam kedudukan yang comparable dengan independent authority masing-masing.
Naudzubillah. Padahal, authority hanya kepunyaan Allah. Laa haula wa laa
quwwata illa billah. Begitulah, karena hakikatnya ketaatan itu HANYA kepada ALLAH
saja, yaitu "athiullah", maka sambungan ayat itu "...wa athiur
Rasul wa Ulil amri minkum..." adalah menunjukkan CARA bagi kita untuk TAAT
kepada ALLAH SEMATA, yaitu MELALUI KETAATAN kepada Rasul saw dan Ulil amri
alaihim assalam.*) Jadi, yang HORISONTAL itu adalah hubungan Rasul dan
Ulil amri, BUKAN Allah dan Rasul! Nggak adanya kata TAATILAH lagi di depan kata
Ulil amri mengindikasikan bahwa Rasul wa Ulil amri adalah pada posisi yang
HORISONTAL, maksudnya mereka semua adalah manusia-manusia, sama-sama CIPTAAN
Allah, yang telah Allah tetapkan sebagai saluran bagi petunjuk-petunjuk-Nya. Kebanyakan muslimin memang mengartikannya sebagai
ketaatan bersyarat terhadap Ulil amri. Tapi jika demikian, maka akan timbul
kerancuan seperti yang dikritik secara valid oleh seorang sarjana Nasrani di
atas. Bagaimana mungkin ulil amri, yang ketaatan kepada mereka Allah sejajarkan
dengan ketaatan kepada Rasul saw itu, perlu kita tegur karena ada kemungkinan
salah memahami al-Quran dan Sunnah? Bukankah ini sama saja dengan meyakini
kemungkinan bahwa Rasul saw boleh salah pula dalam memahami al-Quran? Suatu hal
yang mustahil. Kalau seorang Nasrani saja bisa berpikir sejernih itu, then why
can't we, who claim to have a religion better than his? Hubungan horisontal Rasul-Ulil amri ini diperlukan,
KECUALI jika Rasul saw itu hidup selamanya sampai hari kiamat sehingga tidak
diperlukan adanya pengganti dan penerus misi kepemimpinan/Imamah-nya (sedangkan
Nubuwah berakhir dengan wafatnya). Kenyataannya tidak demikian. Rasul saw
meninggal pada umur 63 tahun. Maka pertanyaan keempat berikut kiranya boleh
membantu: How to taat kepada Rasul setelah meninggalnya beliau saw? Many muslims may answer: melalui ketaatan kepada
al-Quran dan Sunnah. Well, ini akan kembali lagi ke kemuskilan di atas. I can
only say this: seribu sekian ratus tahun sudah seluruh kelompok kaum muslimin
ini mengklaim sebagai mentaati al-Quran dan Sunnah, akan tetapi terbukti
muslimin masih tercerai-berai dan jadi bulan-bulanan mudah bagi musuh-musuh
Islam. BECAUSE al-Quran (and Sunnah) IS NOT ONE in meaning. It is NOT al-Quran
and Sunnah, PERIOD. BUT, in fact, it is Quran and Sunnah according to who? Dalam
bahasa Imam Ali as dalam menanggapi ajakan tahkim bil Quran dari pihak Muawiyah
yang saat itu sebenarnya sudah terdesak hampir kalah: "Itu (mushaf
al-Quran) adalah al-Quran yang diam, dan inilah (sambil menunjuk dirinya)
al-Quran yang bicara atau hidup (Quranun nathiq)". So, The Book of Quran
and The Books of Ahadith CANNOT be "Allah and Rasul" refered by the
lanjutan dari ayat An-Nisa: 59 itu ("...maka jika kalian berselisih
mengenai sesuatu, maka kembalikanlah itu kepada Allah dan Rasul, jika benar-benar
kalian beriman kepada Allah dan hari akhir..."**)). "...kembalikanlah kepada Allah dan Rasul"
yang dimaksud di penggalan ayat itu adalah, tentu saja, bertanya kepada atau
meminta keputusan Rasul saw ketika beliau masih hidup (tidak mungkin jika para
sahabat berselisih, kemudian mereka bertanya langsung kepada Allah untuk
me-resolve-nya?). Nah, ketika Rasul saw sudah meninggalkan kita, maka Ulil
amri-lah sumber rujukan itu. Maka, jika pertanyaan kedua di atas (how to taat
kepada Allah) dijawab dengan "melalui ketaatan kepada Rasul-Nya",
maka jawaban pertanyaan keempat ini (how to taat kepada Rasul setelah
meninggalnya) adalah: "melalui ketaatan kepada Ulil amri". Dengan pemahaman seperti ini, jelaslah sudah bahwa
tidak mungkin Ulil amri itu ditetapkan oleh manusia, baik itu bai’at melalui
musyawarah atau demokrasi, ataupun keturunan/kerajaan, ataupun
pemaksaan/kudeta. Karena Ulil amri adalah channels of God’s commands dan
pemimpin yang umat wajib taat “sami’na wa atha’na”, maka penetapan dan
pengangkatan mereka adalah sepenuhnya Hak Allah, bukan hak manusia. Nah, setelah kita pahami ini, baru kita beranjak ke
tahap selanjutnya, yaitu mencari jawaban "o o siapa ulil amri" itu.
Bagi para scholars yang mengerti kaidah research, maka nggak ada salahnya kita
terapkan itu dalam menjawab the main Question: Who are the ulil amri? Apakah kita langsung menelusuri belantara
hadits-hadits? Boleh-boleh saja, BUT I don't think it's a proper method dalam
pandangan science. Tentu saja kita harus menetapkan proposisi dahulu mengenai
kriteria-kriteria ulil amri. Proposisi ini didapat melalui logika rasional dan
studi al-Quran. Baru nantinya, proposisi ini kita test-kan kepada data-data
empirik yang kita dapatkan dari belantara hadits-hadits dan dokumen-dokumen
sejarah terkait lainnya mengenai orang-orang yang dinominasikan sebagai para
ulil amri itu. We all know, hadits may err, but NOT the Quran sebab
Allah menjamin kemurniannya. Tidak sukar untuk mem-proposisi-kan
kriteria-kriteria ulil amri. Sebagai the channels of God's commands and the
continuation of Rasul's role as The Imam or The Single Authority of muslim
ummah, maka kriteria ulil amri, insya Allah, bisa kita uraikan.***) Semoga menjadi jelas perbedaan ulil amri dengan
pemimpin-pemimpin politik kita di Indonesia saat ini: Kita wajib taat TANPA
SYARAT (sami'na wa atha'na) kepada Ulil amri, tapi kita taat kepada pemimpin
politik hanya dalam rangka menepati perjanjian bernegara Indonesia ini, yaitu
HANYA jika perintah-perintah pemimpin politik itu tidak bertentangan dengan
petunjuk-petunjuk Ulil amri. Dan jelas juga bahwa banyak pemimpin-pemimpin
politik kita saat ini yang TIDAK KENAL sama sekali dengan Ulil amri kita,
sehingga bagaimana mungkin mereka bisa mengeluarkan keputusan-keputusan yang
sejalan dengan al-Quran dan Sunnah yang sebenarnya -bukan yang menurut
interpretasi mereka sendiri-, alias petunjuk-petunjuk dari Ulil amri yang tidak
mereka kenal itu?! Siapapun yang wafat dalam keadaan tidak mengenal Imam
Zamannya, maka dia wafat seperti matinya kaum jahiliyah****), meskipun dia
telah ‘mengenal’ Allah, Rasul saw, dan Kitab-Nya. Naudzubillah. Hal ini
menunjukkan betapa pentingnya masalah ma’rifat ulil amri ini. Ma'rifatullah,
ma'rifaturrasul dan ma'rifatul Quran hanya bisa sempurna melalui ma'rifat
al-Imam al-Zaman. Oleh karena itu, di dalam kubur, salah satu pertanyaan yang
kita hadapi adalah ‘man Imamuk?’. Akhirul kalam, bagi siapa saja yang ingin merepotkan
dirinya dengan melakukan research dengan the main Q ‘who are the ulil amri?’,
semoga Allah menjernihkan pikirnya, membukakan pintu hatinya dan memudahkannya
dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan qubur dengan benar. Ilahi aamiin. Kita
semua tahu, Islam adalah ‘intention and effort oriented’, hanya mewajibkan dan
menilai niat dan efforts kita. Tentu saja, selama kita berusaha maksimal dengan
niat tulus ikhlas qurbatan ilallah, kalau pada akhirnya tidak berhasil atau
salah dalam menjawab the main Q, insya Allah, masih berada dalam
pengampunan-Nya yang sangat luas itu. Wallahu a'lam
Allahumma shalli ala Muhammadin wa aalihi ath-thayyibin
ath-thahirin, uulil amrilladzina faradlta ‘alaina thaa'atahum Notes: *) Saya jadi ingat slogan Khawarij yang terkenal: laa hukma
illa lillah, tidak ada hukum kecuali milik Allah. Oleh Imam Ali as dikatakan
bahwa ini adalah ucapan yang benar tapi untuk tujuan yang bathil. Hal ini
karena Khawarij menafikan CARA untuk terimplementasinya hukum Allah itu. Cara
yang benar adalah hukum Allah diterapkan melalui Rasul saw dan para ulil amri
sepeninggal beliau saw. Cara ini ditolak oleh Khawarij yang beranggapan bahwa
Hukum Allah bisa diterapkan secara "langsung". Padahal maksud dari
istilah "langsung" itu sebenarnya adalah melalui tangan-tangan
mereka. Jadi sebenarnya yang mau diterapkan Khawarij adalah Hukum Hawa Nafsu mereka
(yaitu al-Quran menurut interpretasi mereka, unauthorised interpreters), bukan
Hukum Allah (al-Quran menurut penjelasan Rasul saw dan para ulil amri yang
di-authorised oleh Allah). **) "...fa in TANAAZA'TUM fi syai-in fa RUDDUUHU
ilallahi warrasuuli in kuntum TU’MINUUNA billahi wal yaumil akhir...".
Tanaaza'tum berarti KALIAN (telah) berselisih, yang mana KALIAN yang dimaksud
adalah umat, sedangkan Ulil amri tidak termasuk di dalam sebutan KALIAN itu,
sebab ulil amri adalah pihak pemutus perkara perselisihan itu. Sederhana saja,
kalau perselisihan itu melibatkan rakyat versus ulil amri, lalu keputusan
dikembalikan kepada al-Quran dan Sunnah, maka pemahaman al-Quran-Sunnah versi
siapa yang akan memutuskan perkara? Jika versi rakyat, maka berarti rakyatlah
yang jadi ulil amri-nya. Tidak lucu kan? Maka, pemahaman al-Quran-Sunnah versi
ulil amri-lah yang harus jadi acuan. ***) Salah seorang ulama ahlussunnah, Fakhruddin
ar-Razi, telah memproposisikan kriteria ulil amri dengan sangat baik. Silakan
tengok karya tafsir beliau Mafatih al-Ghayb (Kunci-kunci Kegaiban). Sayangnya,
ketika men-test-kan proposisi itu untuk menjawab ‘who the ulil amri are’, ada
kejanggalan yang telah beliau lakukan. ****) Hadits yang terkenal, meskipun sebagian muslimin
menafikannya. Secara matan (content), tidak ada masalah dengan hadits ini
karena ada kesesuaian dengan al-Quran (ayat Ulil amri ini dan ayat-ayat lain
yang paralel dan berhubungan dengannya). Para Ulil amri itulah para Imam di
Zaman masing-masing sepeninggal Rasul saw, sehingga tanpa mengenal (ma'rifat)
Sang Imam di zamannya, bagaimana mungkin seorang mukmin (ingat, ayat ini
diawali dengan ‘yaa ayyuhalladzina aamanu’) bisa melaksanakan perintah Allah
untuk taat kepada Ulil amri itu? |