Menalar Keharusan Adanya Nabi dan WahyuDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Tim Al-Balagh
Pembahasan kita kali ini adalah di samping mengurai
keniscayaan pengutusan nabi juga menalar pesan-pesan langit yang dibawa oleh
para duta Ilahi ini. Pada kesempatan yang lalu, bagian pertama dari sistematika
pembahasan “Kenabian” ini, kita telah, kurang-lebihnya, mengetahui secara
global ihwal adanya piranti lunak selain indra, akal dan intuisi, yaitu
keharusan pengutusan nabi setelah penetapan keberadaan Tuhan, penciptaan
manusia yang dibekali oleh Tuhan, karena tuntutan rahmat-Nya, dengan duta
langit yang berperan melenggangkan jalan manusia menapaki kesempurnaan
insaniah. Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu
merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif
melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin
kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat
manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka
akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan? Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal
hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain
indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang
sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah nabi dan
wahyu Ilahi. Mengapa Nabi Perlu Diutus? Masalah ini merupakan masalah yang paling penting dalam
prinsip Kenabian. Masalah mengapa nabi perlu di utus kepada manusia ini
dapat dibuktikan oleh argumentasi berikut ini yang tersusun dari tiga premis. Pertama, bahwa tujuan penciptaan manusia ialah mencapai
kesempurnaannya, dengan cara mengamalkan perbuatan-perbuatan pilihannya
(ikhtiari) demi mencapai puncak kesempurnaan tersebut yang tidak mungkin dapat
dicapai kecuali dengan usaha, kehendak, dan pilihannya. Dengan ungkapan lain,
manusia itu diciptakan oleh Allah Swt. agar –dengan amal ibadah dan ketaatannya
kepada Allah– berhak memperoleh rahmat Ilahi yang hanya dikhususkan bagi
orang-orang yang sempurna. Dan hanya kehendak Ilahi yang bijaksanalah
yang berkaitan secara langsung (bil-asalah) dengan kesempurnaan dan
kebahagiaan manusia. Akan tetapi, karena kesempurnaan ini tidak akan dapat
dicapai kecuali dengan cara pengamalan dan ibadah yang sifatnya ikhtiari
(pilihan), maka kehidupan umat manusia ini terpecah menjadi dua jalan,
yaitu jalan kanan (yamin) dan jalan kiri (yasir). Tujuan adanya dua jalan ini
ialah supaya manusia bisa memilih jalan yang dikehendakinya. Jelas bahwa jalan
kiri itu menuju kesengsaraan dan bencana. Di sini, kehendak Allah pun berkaitan
dengan jalan kiri tersebut, namun secara tidak langsung (bittaba’).
Premis ini telah dijelaskan pada pembahasan Hikmah dan Keadilan Ilahi. Kedua, usaha sengaja manusia itu, di samping membutuhkan
kemampuan dan tersedianya faktor-faktor eksternal serta adanya
kecondongan dan motivasi internal untuk melakukan suatu perbuatan, ia juga
membutuhkan pengetahuan yang benar tentang perbuatan baik dan buruk, tentang
jalan-jalan yang benar dan jalan-jalan yang salah. Seseorang bisa memilih
kesempurnaannya dengan penuh kesadaran dan kebebasan bilamana ia
mengetahui tujuan dan jalannya serta segala kendala yang akan menghambatnya. Dengan demikian, Kebijaksanan (hikmah) Ilahi menuntut
tersedianya sarana bagi manusia agar mereka dapat memperoleh pengetahuan
tentang hal-hal di atas. Karena jika tidak demikian, Allah tidak ubahnya dengan
orang yang mengundang teman untuk bertamu ke rumahnya, akan tetapi dia tidak
mau memberikan alamat rumah, tidak pula memberitahu jalan yang semestinya
ditempuh. Jelas bahwa perbuatan semacam ini tidak sesuai dan bertentangan
dengan sifat kemahabijaksanaan Allah, juga tidak sesuai dengan tujuan-Nya
(dalam mencipta). Premis kedua ini begitu jelas sehinga tidak memerlukan
penjelasan lebih banyak lagi. Ketiga, pengetahuan manusia biasa -yang pada umumnya
diperoleh melalui kerjasama indra dan akal- meskipun mempunyai peran begitu
efektif dalam memenuhi sebagian kebutuhan hidupnya, namun itu tidak cukup untuk
mengenal jalan kesempurnaan dan kebahagiannya yang hakiki dalam semua bidang,
baik yang bersifat individu maupun kelompok, bendawi maupun maknawi,
duniawi maupun ukhrawi. Oleh karena itu, jika tidak ada jalan lain untuk
menutupi berbagai kekurangan dan kekosongan tersebut, tujuan Allah dari
penciptaan manusia ini menjadi sia-sia. Berdasarkan tiga premis di atas ini, dapat disimpulkan bahwa
Hikmah Ilahiyah itu melazimkan adanya sebuah perangkat, selain indra dan akal,
bagi umat manusia untuk dapat mengenal jalan kesempurnaan di berbagai bidang,
sehingga mereka dapat menggunakan jalan tersebut, baik secara langsung maupun
melalui individu atau kelompok. Perangkat ini adalah wahyu yang Allah berikan
kepada para nabi agar mereka dapat memanfaatkan wahyu tersebut secara langsung,
sedangkan selain mereka dapat menggunakan dan memanfaatkan wahyu tersebut
dengan perantara para nabi tersebut, hingga mereka dapat mempelajari segala apa
yang mereka perlukan dari wahyu tersebut demi mencapai puncak kesempurnaan dan
kebahagiaan yang abadi. Di antara premis-premis tersebut, barangkali masih terdapat
keraguan terutama terhadap premis terakhir. Oleh karena itu, kami memandang
perlu untuk menjelaskannya lebih luas lagi hingga kita bisa menyadari kadar
pengetahuan manusia dalam menentukan jalan kesempurnaannya dan ketergantungan
manusia kepada wahyu. Kadar Pengetahuan Manusia
Untuk mengetahui jalan kehidupan yang benar pada semua
aspeknya, seseorang harus mengetahui asal usul keberadaannya dan akhir
perjalanan hidupnya, hubungannya yang bisa dijalin dengan makhluk
sejenisnya dan dengan semua makhluk, serta pengaruh berbagai hubungan terhadap
kebahagiaan dan kesengsaraannya. Di samping itu, dia pun harus mengetahui kadar
manfaat dan bahaya, tingkat berbagai maslahat dan mudharat, serta menimbang
semua itu agar ia dapat menentukan tugas milyaran manusia yang mempunyai bentuk
fisik dan jiwa yang berbeda-beda. Mereka semua hidup di dalam kondisi alam dan
sosial yang berbeda-beda. Akan tetapi, mengetahui semua persoalan ini bukan hanya
sulit bagi individu atau kelompok, bahkan ribuan ahli dan kelompok spesialis
dari berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan manusia pun
menemui kesulitan dalam menyingkap tolok ukur dan formula rumit ini.
Mereka juga sulit untuk merumuskannya dalam bentuk undang-undang yang cermat,
tepat dan tegas agar semua maslahat -baik yang bersifat individu maupun
kelompok, materi maupun maknawi, duniawi ataupun ukhrawi- dapat terpenuhi bagi
semua umat manusia. Tatkala terjadi benturan dan pertentangan antara berbagai
maslahat dan mafsadah, dan hal ini justru seringkali terjadi, dia
dapat menentukan mana yang memang lebih bermaslahat, sehingga pada tahapan
praktis ia dapat mendahulukannya di atas yang lain. Kalau kita perhatikan dengan seksama berbagai perubahan
sistem hukum sepanjang sejarah umat manusia, nyatanya sampai hari ini –meskipun
berbagai pembahasan dan segala tenaga telah dikerahkan oleh para ahli hukum
selama ribuah tahun– belum kita dapati adanya satu sistem hukum yang benar,
sempurna dan komprehensif. Kita perhatikan pula bahwa para perancang
undang-undang dan lembaga-lembaga hukum di berbagai belahan dunia senantiasa
mengakui kekurangan produk hukum yang mereka buat. Maka itu, mereka selalu
berusaha untuk merevisi atau menyempurnakannya, dengan cara menghapus
pasalnya, atau menambahkannya, atau memberikan catatan di sisinya. Hendaknya kita pun tidak lalai bahwa mereka banyak
memanfaatkan syariat samawi dan sistem hukum agama dalam menyusun undang-undang
tersebut. Juga kita ketahui bahwa kesungguhan para pembuat undang-undang
itu lebih banyak dicurahkan untuk kepentingan yang sifatnya duniawi dan
sosial. Mereka tidak memperhatikan masalah-masalah ukhrawi dan sejauh mana
hubungan maslahat ukhrawi tersebut dengan masalah-masalah duniawi. Apabila mereka juga menganggap penting sisi ukhrawi di dalam
masalah ini, mereka tidak akan mampu menemukan kesimpulan yang meyakinkan.
Karena, maslahat-maslahat yang bersifat materi dan duniawi –pada batas-batas
tertentu– meski bisa dicapai dengan jalan eksperimen dan pengalaman praktis,
namun maslahat-maslahat maknawi dan ukhrawi tidak bisa dipastikan melalui
eksprimen indrawi, dan tidak mungkin dapat diketahui secara detail. Maka itu,
ketika terjadi benturan antara maslahat-maslahat duniawi dan ukhrawi,
mereka tidak dapat mengetahui mana yang lebih penting. Dengan memperhatikan ihwal perundangan-undangan buatan
manusia pada zaman sekarang ini, kita dapat menilai kehandalan ilmu pengetahuan
manusia di sepanjang ribuan atau ratusan ribu tahun. Darinya kita menjumpai
satu kesimpulan yang meyakinkan bahwa manusia pada abad-abad dahulu lebih lemah
dibandingkan dengan manusia pada zaman sekarang ini dalam mengetahui dan
menentukan tatanan dan cara hidup yang benar. Andaikan saja, manusia pada zaman sekarang ini telah mampu
merumuskan sebuah sistem perundang-undangan yang sempurna dan komprehensif
melalui pengalaman selama ribuan tahun, dan sistem ini sanggup menjamin
kebahagiaan yang abadi dan ukhrawi, maka pertanyaan yang masih menghadang umat
manusia ialah; apakah Kebijaksanaan Allah dan tujuan Ilahi penciptaan mereka
akan membiarkan milyaran manusia jaman dahulu tetap dalam kebodohan? Kesimpulannya, bahwa tujuan penciptaan manusia, sejak awal
hingga akhir, akan terwujud secara nyata bila tersedia perangkat selain
indra dan akal untuk mengetahui hakekat kehidupan ini dan tugas-tugas yang
sifatnya individu maupun kelompok. Perangkat itu tidak lain adalah wahyu Ilahi. Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula bahwa sesuai
dengan argumen ini, manusia pertama itu adalah seorang nabi hingga ia dapat
mengenal jalan hidup yang benar melalui wahyu Allah agar dapat merealisasikan
tujuan penciptaan Ilahi dalam dirinya. Setelah itu, umat manusia yang lainnya
dapat menemukan jalan petunjuk melaluinya. Manfaat Diutusnya Nabi
Di samping tugas untuk menunjukkan jalan hidup, menerima
wahyu dan menyampaikannya kepada umat manusia, para Nabi juga mempunyai
tugas-tugas penting lainnya demi kesempurnaan umat manusia, di antaranya: Banyak pengetahuan yang bisa dijangkau oleh akal manusia.
Namun, karena hal itu memerlukan waktu dan pengalaman yang panjang, atau karena
perhatiannya dicurahkan pada urusan-urusan materi dan pemuasan hawa-nafsu, ia
melupakan pengetahuan tersebut. Atau, karena pengajaran yang keliru dan
propaganda yang menyesatkan, pengatahuan ini tersembunyi. Dengan perantara para
nabilah pengetahuan itu diajarkan kepada umat manusia. Mereka selalu
mengingatkan manusia supaya tidak melupakannya, dan mencegah terjadinya
penyimpangan dengan cara pengajaran yang benar dan logis. Maka dari
itulah dapat kita ketahui sebab penamaan para nabi dengan dua istilah;
Al-Mudzakkir dan An-Nadzir, dan penamaan al-Qur’an dengan nama-nama Az-Zikr,
Az-Zikra dan At-Tazkirah. Dalam rangka memaparkan manfaat dan hikmah-hikmah diutusnya
para nabi, Imam Ali as. mengatakan: ”Sesungguhnya para nabi itu diutus supaya mereka dapat
mengembalikan umat manusia kepada ikrar fitrahnya, dan mengingatkan mereka akan
nikmat-nikmat yang telah dilupakannya, serta supaya mereka menyempurnakan hujah
mereka atas manusia melalui tabligh”. Salah satu faktor terpenting dalam pendidikan dan
penyempurnaan manusia ialah adanya qudwah (suri-teladan) dalam berbuat,
sebagaimana yang telah terbukti dalam Psikologi. Para nabi adalah
manusia-manusia sempurna yang mendapatkan didikan dan perhatian Ilahi. Mereka
tampil sebagai sebaik-baiknya teladan manusia. Di samping mengajarkan berbagai
ilmu pengetahuan, mereka pun mempunyai peranan penting di dalam mendidik dan
membersihkan hati umat. Kita telah mengetahui bahwa al-Qur’an telah
menyejajarkan ta’lim (pengajaran) dan tazkiah (pembersihan jiwa). Bahkan
dalam sebagian ayat, kata tazkiyah disebutkan terlebih dahulu dari kata ta`lim. Salah satu berkah keberadaan para nabi di tengah umat
manusia yaitu di saat kondisi memungkinkan, mereka akan memegang kendali
kepemimpinan sosial-politik umat manusia. Jelas bahwa pemimpin yang maksum
adalah satu nikmat Ilahi terbesar bagi umat manusia, dimana mereka akan dapat
mengatasi berbagai macam persoalan sosial, serta menyelamatkan umat manusia
dari berbagai kemelut dan penyelewengan. Dengan begitu, para nabi dapat
menuntun umat manusia menuju kesempurnaan yang sesungguhnya. |