Kedudukan Akal dalam Perspektif AgamaDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Mohammad Adlany
Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana
hubungan ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil
membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa
dijabarkan dalam bentuk yang lain. Akal yang karena dipandang sebagai sebuah alat makrifat dan
pengetahuan serta sekaligus berhubungan secara langsung dengan dimensi-dimensi
teoritis dan ilmiah, maka sangat urgen untuk dibahas dan dipaparkan. Akal,
meskipun memiliki begitu banyak istilah-istilah khusus, secara umum dapat
dibagi dalam dua realitas: A. Akal teoritis Akal ini, menurut sebuah istilah, hanya terkhusus untuk
menganalisa dan mengkaji persoalan-persoalan yang bersifat teoritis, serta
wilayah penilaian dan keputusan akal ini senantiasa berada pada aspek-aspek
"ada" (keberadaan) atau "tiada" (ketiadaan). Dalam wilayah
akal ini terdapat tiga tingkatan dan tahapan yang membentuk sebuah pemikiran
teoritis pada seseorang, yaitu tahapan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah.
Hasil-hasil yang diperoleh dari akal ini adalah suatu kebenaran yang berkaitan
dengan perkara-perkara eksistensial atau masalah-masalah kewujudan. Hal-hal
yang dibahas di dalamnya misalnya, pembuktian tentang wujud Tuhan, penegasan
keberadaan Nabi, urgensi eksistensi alam akhirat, dan yang semacamnya. B. Akal praktis Akal ini, menurut istilahnya, hanya menganalisa
persoalan-persoalan praktis, dan wilayah penilaian serta keputusannya berada
pada dimensi-dimensi "keharusan" (kemestian dan kewajiban) dan
"larangan" (ketidakbolehan). Hasil-hasil yang dicapai dari akal ini
adalah suatu kebenaran yang bersifat relatif atau hal-hal yang tidak terkait
langsung dengan masalah-masalah eksistensial. Ranah dan domain pembahasannya misalnya
berkaitan dengan hak-hak manusia seperti hak kebebasan, hak kepemilikan, hak
tinggal, dan hak-hak lainnya. Potensi-potensi yang berada di bawah akal praktis
ini antara lain adalah syahwat dan emosi, dan melalui kedua potensi inilah akan
terbentuk berbagai tahapan-tahapan berbeda dari kehendak, iradah, dan
keinginan. Mungkin saja akal manusia akan berhenti dan terbatas pada
tahapan-tahapan tertentu di atas, seperti dalam akal teoritis misalnya,
terdapat kemungkinan bahwa pemikiran teoritis seseorang akan terbatas hanya
pada tahapan imajinasi atau berhenti pada tahapan indera lahiriahnya saja. Dan
bisa jadi pula, seseorang untuk membangun niat dan motivasi perilaku dirinya
akan memanfatkan akal yang telah terwarnai oleh syahwat dan emosi. Pada tiap-tiap
bentuk ini, meskipun adalah benar menyebutnya sebagai suatu bentuk tafakkur,
berkontemplasi, dan berpikir, akan tetapi, pada hakikatnya akal baru bisa
dikatakan mencapai suatu tahapan akal yang sempurna dan hakiki ketika akal
teoritis tersebut telah mencapai pengetahuan yang universal dengan petunjuk,
panduan, dan arahan imajinasi, khayal, dan indera lahiriah, atau akal praktis
tersebut telah mampu melepaskan diri dari cengkeraman syahwat dan pengaruh
emosi secara total dalam mengkontruksi dan mengatur motivasi-motivasi dan
niat-niatnya. Di sinilah sehingga para pemilik akal atau pemikir mampu
menentukan langkah-langkah mendasar dan fundamental untuk mencapai tahapan akal
murni dan meraih akal sempurna dengan cara menggunakannya secara maksimal pada
aspek-aspek positif dalam kehidupan di alam ini dan melakukan proses
penyelamatan dirinya dari segala bentuk penyimpangan, kesalahan, dan
kekeliruan. Perlu dikatakan bahwa pengetahuan dan makrifat teoritis
adalah berbeda dengan akal teoritis, demikian juga, pengetahuan praktis adalah
berbeda dengan akal praktis. Yang benar adalah bahwa akal teoritis bertanggung
jawab atas segala pemikiran, baik hal tersebut bersifat pengetahuan teoritis
ataupun pengetahuan praktis, sedangkan akal praktis bertanggungjawab atas segala
bentuk motivasi, baik motivasi tersebut berhubungan erat dengan aspek-aspek
keimanan dan hakikat-hakikat kebenaran ataupun berkaitan dengan pelaksanaan dan
pengamalan hak-hak manusia yang bersifat relatif. Korelasi Agama dan Akal Antara agama dan akal terdapat hubungan dua arah dimana
hubungan ini berada dalam bentuk yang sedemikian eratnya sehingga mustahil
membayangkan adanya pemisahan di antara keduanya. Makna hubungannya bisa
dijabarkan dalam bentuk yang lain. Agama dari satu sisi telah menjelaskan urgensi akal dalam
dua dimensi teoritis dan praktis, misalnya dalam salah satu ayat-Nya Allah Swt
berfirman, "Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula
bumi. Perintah Allah senantiasa turun di antara keduanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya ilmu Allah
benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. ath-Thalaq: 12) Berdasarkan ayat ini, tujuan penciptaan seluruh langit
adalah keberilmuan seluruh manusia, dan karena akal teoritis memegang
tanggungjawab dalam pemikiran dan tafakkur, maka menjadi jelaslah bahwa
hasil-hasil pemikiran yang berangkat dari penciptaan keseluruhan langit dan
alam, sangat bergantung pada akal teoritis ini, dan manusia ketika meraih
tujuan hakiki penciptaan alam, maka niscaya dia telah berhasil memanfaatkan dan
menggunakan secara maksimal potensi akalnya dan juga dengan perantaraan akal
teoritis inilah manusia akan mampu menyingkap berbagai hakikat-hakikat alam dan
menambah luas pengetahuan-pengetahuan teoritisnya. Demikian juga, dalam salah satu ayat-Nya, Allah Swt
menjelaskan tentang urgensi akal praktis sebagai berikut, "Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku." (QS.
adh-Dhariyat). Allah Swt dalam ayat ini menganggap bahwa tujuan penciptaan jin
dan manusia adalah ibadah dan penghambaan. Dari satu sisi, ibadah dan
penghambaan berada dalam cakupan motivasi-motivasi yang benar dan hal ini tidak
akan terwujud tanpa memanfaatkan akal praktis, dengan artian bahwa jika manusia
tidak mampu menciptakan motivasi-motivasi yang benar dan bernilai dalam dirinya
dan ia tidak mampu menentukan tujuan mulia untuk segala perbuatannya sendiri di
alam materi, maka makna yang benar dan tepat dari aspek penghambaan dan
ubudiyahnya ini tidak akan pernah dia temukan. Dari sini, bisa dikatakan bahwa kesadaran tentang
kebertujuan penciptaan alam dan makhluk tersebut juga merupakan hasil dari akal
praktis. Dan tanpa adanya akal praktis ini, manusia tidak akan memiliki
kemampuan untuk menciptakan motivasi-motivasi yang tepat, ibadah-ibadah yang
lurus, dan penghambaan yang benar, dengan demikian tanpa adanya akal praktis,
manusia akan terhalang dalam pencapaian tujuan hakiki penciptaannya. Tentunya tidak tepat jika kita berkesimpulan bahwa apabila
akal teoritis dan akal praktis adalah tujuan penciptaan itu sendiri, karena hal
ini akan memunculkan adanya pertentangan dan kontradiksi, dengan demikian
penyimpulan ini tidaklah benar karena tiap-tiap dari dua jenis akal ini dalam
batasannya masing-masing memiliki peran yang riil dan hakiki, dan dua realitas
yang sama-sama hakiki tidak akan pernah saling bertolak belakang dan saling
menafikan satu sama lain. Dari sisi lainnya, agama di samping menyebutkan tentang
nilai penting akal, juga mengajarkan tentang arah dan alur berpikir yang benar
serta metodologi yang benar dalam memilih motivasi-motivasi, berarti dengan
demikian, agama tidak akan meninggalkan dan melepaskan akal secara sendirian,
melainkan dia akan membimbing akal untuk memperoleh hakikat-hakikat dan
pengetahuan-pengetetahuan dengan menjelaskan berbagai metode dan cara-cara yang
benar. Setelah memperhatikan sebuah sisi dari suatu pemikiran,
memberikan perhatian pada arah lainnya pun merupakan suatu hal yang sangat
penting dan berharga. Pada sisi ini, nilai-nilai akal dan pemikiran tersebut
telah dikenali melalui argumen-argumen yang kokoh dari sudut pandang agama.
Penegasan nilaia-nilai ini akan terbukti dengan memperhatikan empat hal berikut
ini: 1. Tolok ukur dan ruang lingkup syariat adalah hukum Tuhan; 2. Satu-satunya sumber hukum Tuhan adalah kehendak Tuhan; 3. Dalil-dalil syar'i hanyalah penyingkap dari kehendak
Tuhan; 4. Dalil-dalil syar'i terbagi dalam dua kelompok yaitu aqli
(rasio dan akal) dan naqli (teks-teks keagamaan), dan yang dimaksud dengan
dalil naqli (tekstual) adalah kitab suci atau sunnah Nabi dan sunnah para Imam
Ahlulbait Nabi. Konklusi yang bisa diambil dari keempat poin di atas adalah
bahwa akal -sebagaimana halnya teks-teks keagamaan seperti kitab suci dan
hadis-hadis (baik yang diriwayatkan secara tunggal maupun mutawatir), ijma'
para ulama, dan yang sejenisnya- juga memiliki keistimewaan dan berperan
sebagai hujjah, dalil, penjelas, dan penyingkap dari kehendak dan hukum Tuhan.
Oleh karena itu, akal murni juga merupakan hujjah Tuhan dan sepadan dengan
teks-teks agama yang otentik. Dengan demikian, akal sama sekali tidak memiliki
perbedaan sedikitpun dengan dalil-dalil syar'i lainnya (baca: teks-teks suci
agama). Demikian juga menjadi jelaslah bahwa akal tidaklah bertolak belakang
dan bertentangan dengan agama serta tidak terpisah dari agama itu sendiri.
Bahkan inti, pesan, dan kandungan ajaran agama itu sendiri adalah dibentuk oleh
nilai-nilai aqli (rasional dan akal) dan naqli (teks-teks agama). Jadi yang
terkadang bertentangan dan bertolak belakang secara lahiriah adalah akal dan
teks-teks suci agama, bukan akal dan agama. Sekarang apabila kita dengan seksama meneliti hubungan akal
dan agama serta ketidakterpisahan zona-zona riil mereka, maka sangat jelaslah
bagi kita akan ketidakbenaran konsep dan gagasan Sekuarisme yang memisahkan
antara zona-zona akal dan agama, dan tidak bisa lagi dikatakan bahwa agama itu
hanya berhubungan dengan Tuhan sebagai penentu hukum-hukum agama (syariat) dan
akal tidak ada kaitannya dengan agama, karena pada dasarnya keduanya telah
mendapatkan penegasan dari Tuhan dengan tanpa adanya sedikitpun pembedaan. Dengan kata lain, sebagaimana halnya teks-teks yang otentik
dan valid merupakan hujjah Tuhan, maka akal murni pun merupakan hujjah Tuhan,
dan kandungan yang berada di dalamnya –dalam bentuk apapun itu– baik
kandungannya yang berupa hukum-hukum fikih dan rukun-rukun keimanan (mulai dari
konsep ketuhanan, keadilan Tuhan, kenabian, Imamah, dan eskatologi) adalah
tidak memiliki perbedaan sama sekali dengan kandungan-kandungan yang bersumber
langsung dari teks-teks suci agama. Oleh karena itu, dalam semua persoalan
keagamaan, hukum-hukum yang terambil dari teks-teks hadis dan al-Quran adalah
tidak berbeda dengan hasil-hasil yang diperoleh dari argumentasi akal. Di sini kami akan mengingatkan beberapa poin: 1. Posisi akal berada dalam posisinya yang berhadapan dengan
teks-teks suci agama (naqli), bukan berhadapan dengan agama itu sendiri. Dan
merupakan sebuah tindakan yang tidak benar apabila kita menghadap-hadapkan akal
dengan syariat (baca:agama), dan yang benar adalah membagi agama itu dalam dua
kelompok, yakni argumen akal (aqli) dan teks-teks suci (naqli); 2. Keabsahan dan validitas akal memiliki syarat, sebagaimana
halnya hujjiyah dan validitas teks-teks suci agama; 3. Akal bukanlah qiyas (baca: qiyas dalam hukum fikih),
karena akal adalah hujjah sedangkan qiyas bukanlah hujjah. |