Allah dan TuhanDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muhsin Labib
Eksistensi Tuhan adalah salah satu masalah paling
fundamental manusia, karena penerimaan maupun penolakan terhadapnya memberikan
konsekuensi yang fundamental. Alam luas yang diasumsikan sebagai produk sebuah
kekuatan yang maha sempurna dan maha bijaksana dengan tujuan yang sempurna
berbeda dengan alam yang diasumsikan sebagai akibat dari kebetulan atau
insiden. Manusia yang memandang alam sebagai hasil penciptaan Tuhan Maha
Bijaksana adalah manusia yang optimis dan bertujuan. Sedangkan manusia yang
memandang alam sebagai akibat dari serangkaian peristiwa acak atau chaos adalah
manusia yang pesimis, nihilis, absurd dan risau akan kemungkinan-kemungkinan
yang tak dapat diprediksi. Umat manusia sejak awal kehadirannya di atas pentas sejarah
telah memberikan nama yang berbeda-beda, sesuai dengan bahasa yang digunakan
masing-masing, kepada kausa prima alam keberadaan. Orang Persia menyebutnya
Yazdan atau Khoda. Orang Inggris menyebutnya Lord atau God. Kita menyebutnya
Tuhan atau Sang Hyang. Dialah Tuhan Maha Sempurna. Kepercayaan pada “yang
adikodrati”, merupakan bagian integral dari kehiupan manusia, baik terbentuk
dalam sebuah lembaga transendental yang disebut “agama” maupun tidak
diagamakan. Kendati demikian, konsep dan keyakinan tentang Tuhan telah
berkembang dan terpecah dalam beberapa aliran ketuhanan. Tuhan sejak babak pertama peradaban sampai sekarang telah
menjadi objek pengimanan dan penolakan. Manusia, sebelum dibagi dalam kelompok
agama bahkan sebelum dibagi dalam kelompok monteis dan politeis, telah terbagi
dalam dua aliran besar, ateisme dan teisme. Istilah ini berasal dari kata
Yunani atheos (tanpa Tuhan) dari a (tidak) dan theos (Tuhan). Ia adalah aliran
yang menolak adanya Tuhan Pencipta alam semesta. Dalam bahasa Arab disebut
Al-ilhad. Kata yang memberikan signifikansi wujud Pencipta dalam
al-Qur’an sangat banyak. Semuanya dapat dibagi dalam beberapa dimensi dan
konteks: Pertama, kata yang menunjuk Tuhan dipergunakan sebagai nama
umum atau atribut universal. Kedua, kata yang menunjuk Tuhan digunakan dalam dua bentuk
sekaligus, universal dan personal. Ketiga, kata yang menunjuk Tuhan digunakan sebagai nama umum
semata. Keempat, kata yang mengandung arti kesempurnaan dan
kebaikan. (al-asma’ al-hunsa).Kata “Tuhan”, misalnya, yang bila digunakan
sebagai nama umum, maka huruf “t” di depannya dikecilkan, dan bila digunakan
untuk menunjuk nama khusus, maka huruf “t” di depannya dibesarkan (Tuhan).
Demikian pula “God” dalam bahasa Inggris atau “Khoda” dalam bahasa Persia.
Karena itu bila ada yang mengartikan la ilaha illallah dengan “tiada tuhan
selain Tuhan” bisa ditolerir. Kelima, kata yang menunjuk “Tuhan” digunakan sebagai nama
personal (alam syakhshi) semata. Dalam bahasa Arab, kata “Allah” sebagai lafdh
al-jalalah (nama kebebasaran) dipergunakan dan ditetapkan sebagai nama personal
(alam syakhshi). Sedangkan al-rahman ditetapkan sebagai predikat khusus. Selain
dari kata Allah (yang merupakan nama khusus) dan kata al-rahman (yang merupakan
sifat khusus), tidak bersifat khusus.[1] Itulah sebabnya mengapa kata “rabb”,
ilah”, “khaliq” digunakan untuk selain Allah, bahkan “ra’uf” dan “rahim”
digunakan untuk Nabi, “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari
kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan
(keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan, lagi penyayang terhadap
orang-orang mukminn” (QS Al-Taubah: 128). Atas dasar itu, kata “Allah”, baik berupa kata baku (jamid)
ataupun kata olahan (musytaq), ditetapkan sebagai sebuah “nama personal”, dan
ia tidak mempunyai arti selain Dzat Adikodrati SWT. Namun, tatkala Dzat Kudus
tersebut tidak dapat diinderakan, maka untuk mengenali arti “Allah”, mereka
menggunakan sebuah simbol yang berkonotasi secara eksklusif pada Allah seperti
“Dzat yang menghimpun sifat-sifat kesempurnaan”, bukan berarti kata “Allah”
ditetapkan untuk mengartikan rangkaian pengertian-pengertian ini. Dengan
demikian, jelaslah bahwa pembahasan seputar materi dan bentuk kata ini tidak
akan dapat membantu kita untuk memahami artinya sebagai sebuah nama personal
(alam syakhshi). Kata personal Allah karena oleh sebagian besar mfassir
dianggap sebagai ism makrifah dengan alif dan lam (kata tertentu), menurut
kaidah kesusateraan, kurang tepat dikaitkan dengan sebutan panggilan “ya”.
Karena itulah, bisa dipastikan kalimat “ya Allah” (wahai Allah) tidak terdapat
dalam al-Qur’an[2] . Kata “Ya” diganti dengan huruf mim
yang di-syaddah-kan dan difathahkan pada bagian akhir kata Allah, maka jadilah
“Allahumma”. Kata panggilan khas ini ditemukan 1 kali dalam surah ali-imran
ayat 26, 1 kali dalam al-maidah ayat 114, 1 kali dalam al-anfal ayat 32, 1 kali
dalam Yunus ayat 10, 1 kali dalam az-zumar ayat 46[3]. Namun kata Allah menurut sebagian ulama bukanlah bentuk
makrifah dari ilah. Kata ini dianggap berasal dari bahasa Ibrani yang
diadaptasi ke dalam bahasa Arab. Kata ini menurut mereka juga yang berarti dzat
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, dalam agama ortodoks Suriah bahkan
sekte-sekte Kristen lainnya, diaykini sebagai kata atau nama personal Tuhan
Bapa[4]. Dalam kitab suci al-Qur’an, kata yang juga memberikan
signifikansi pada Allah adalah “ilah” dan “rabb”. Kata “ilah” juga digunakan
dalam syahadat la ilaha illallah. Kata “ilah” adalah bentuk kata yang mengikuti
wazan “fi’al” yang berarti “maf’ul”. Ilah berari “ma’bud” (yang disembah),
seperti “kitab” yang berarti “maktub” (yang ditulis). Dengan demikian, la ilaha
illallah dapat diartikan “tiada yang layak disembah selain Allah” [5] Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia, misalnya, hampir
memiliki arti yang berdekatan dengan “tuan’ yang berarti “majikan” atau
“pemilik”, seperti tuan rumah yang berarti pemilik rumah[6], atau
kata “Hyang” yang memiliki arti berdekatan dengan “eyang’ yang berarti kakek
atau nenek. Hanya saja, yang perlu diperjelas apakah “tuhan” menunjuk “Sang
pencipta” (al-khaliq) ataukah menunjuk “Yang disembah” (al-ilah, al-ma’bud).
Kata “tuhan” dalam bahasa Indonesia memiliki arti yang lebih dekat dengan
al-rab dalam bahasa Arab yang berarti “Maha Pengatur”. Seandainya “tuhan” atau
“ilah” berarti “Pencipta” (al-khaliq), maka syahadat la ilaha illallah berarti
“tiada pencipta selain Allah”. Tentu syahadat dengan arti seperti ini tidak
mengecualikan para kaum Quraisy penyembah berhala dan kaum musyrikin lainnya,
yang sejak semula meyakini Allah sebagai pencipta. (QS. Luqman: 25). Dalam Al-Qur’an kata Allah disebutkan sebanyak 930 kali,[7] Kata ilah (tanpa dhamir) dalam
al-Qur’an disebutkan sebanyak 80 kali.[8] Arti ilah dalam rangkaian syahadah (kalimah al-tahlil) bisa
berarti al-ma’bud atau yang disembah, dan bisa pula berarti al-ma’bud bil haq[9].
Apabila arti pertama dipilih, maka setiap sesuatu yang dalam kenyataan disembah
selain Allah dapat dianggap sebagai ilah. Apabila arti kedua yang dipilih, maka
berarti ilah hanya bisa disandang oleh Allah, sebab al-ma’budiyah (ke-tersembah-an)
merupakan derivasi dari al-rububiyah. Kata rabb dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 84 kali. 1
dalam al-fatihah, 1 dalam al-baqarah, 1 dalam al-ma’idah, 4 dalam al-an’am, 6
dalam al-a’raf, 1 dalam al-thaubah, 2 dalam Yunus, 1 dalam al-ra’du, 1 dalam
al-isra’, 1 dalam al-kahfi, 1 dalam Maryam, 1 dalam Thaha, 2 dalam al-anbiya’,
3 dalam al-mukminun, 15 dalam al-syu’ara’, 4 dalam al-naml, 1 dalam al-qashas,
1 dalam al-sajdah, 1 dalam saba’, 1 dalam Yasin, 6 dalam al-shafat, 1 dalam
shat, 1 dalam al-zumar, 3 dalam ghafir, 1 dalam fusshilat, 3 dalam al-zukhruf,
2 dalam al-dukhan, 3 dalam al-jastiah, 1 dalam al-dzari’at, 1 dalam al-najm, 2
dalam al-rahman, 1 dalam al-waqi’ah, 1 dalaal-hasyr, 1 dalam al-haqah, 1 dalam
al-mi’raj, 1 dalam al-muzzammil, 1 dalam al-naba’, 1 dalam al-takwir, 1 dalam
al-muthaffifin, 1 dalam Quraisy, 1 dalam al-falaq, 1dalam al-nas[10]. Selain berupa kata personal Allah, Ilah dan rabb, Tuhan juga
merupakan entitas penghimpun semua nama-nama terbaik (al-asma al-husna). Kata
al-asma al-husna disebutkan 4 kali dalam al-Qur’an, 1 dalam surah al-a’raf ayat
180, 1 dalam al-isra’ ayat 110, 1 dalam Thaha ayat 8, dan 1 dalam al-hasyr ayat
24[11].
Dengan demikian, nama dan sifat yang memberikan signifikansi kebaikan dan
kesempurnaan maksimum adalah milik Allah. Karenanya, nama dan sifat manusia
berasal dari Allah sebagai Pemilik absolut nama-nama terbaik. Dalam sebuah
hadis, Nabi memerintahkan kita untuk berakhlak dengan akhlak Allah. Dalam
al-Qur’an terdapat sejumlah ayat yang menekankan tentang posesi atau
kepemilikan Tuhan atas semua nama terbaik. (QS. Al-hadid: 4, QS. al-a’raf: 180,
Thaha: 8, QS. al-isra’: 110, QS. al-hasyr,: 24). الله لااله الاهو , له الاسماء الحسنى Menurut sebagian mufassir mutakhir, tidak ada dalil qath’iy
(definitif) tentang ketentuan jumlah al-asma al-husna, meskipun yang populer
dalam riwayat disebutkan berjumlah 99[12].
Setiap nama (ism) dalam alam keberadaan adalah sebaik-baik nama (ahsan
al-asma). Semuanya adalah milik Allah SWT. Karena itulah, jumlah nama Allah
tidaklah terbatas[13].. Dengan nama-nama terbaik yang banyak dan mencakup spektrum
dimensi dan nilai kesempurnaan maksimal itulah, hamba-hamba-Nya berpeluang
untuk berkomunikasi dengan Allah. Seorang yang papa dan dirundung kemiskinan
dapat memanggil-Nya dengan nama al-karim, al-raaziq, al-razzaq. Seseorang yang
bergelimang dosa dapat memohon ampunannya dengan memanggil-Nya dengan
al-ghaffar. Seseorang yang ingin mendapatkan petunjuk dapat menyeru-Nya dengan
nama al-haadi dan sebagainya. Yang patut diketahui ialah bahwa kata asma’ juga dapat
diartikan sebagai sifat-sifat, karena ism dalam ilmu sharf mencakup ism
al-fa’il dan al-sifat al-musyabbahah. Menurut Thabathabai, al-asma al-husna
adalah setiap kata yang menunjukkan arti predikatif seperti ilah, al-hayy dan
lainnya. Sedangkan kata Allah, adalah alam syakhshi atau alam-al-dzat, yang
merupakan nama personal bagi Tuhan[14]. Kata ism yang dikaitkan (diidhafahkan) dengan Allah dan
rabb, berjumlah 18, yaitu 4 dalam surah al-an’am, 1 dalam al-ma’idah, 5 dalam
al-haj, 1 dalam al-rahman, 2 di al-waqi’ah, 1, dalam al-hāqah, 1 dalam
al-muzzammil, 1 dalam al-insan, 1 dalam Hud, dan 1 dan al-naml. Jika bismillahirrahmanirrahim
dianggap sebagai pembuka dan bagian dari setiap surah, kecuali surah
al-Bara’ah, maka jumlah keseluruhan ism yang diidhafahkan pada Allah dan Rab
berjumlah 131[15]. Al-ism al-a’dham, menurut opini masyarakat Arab, adalah ism
lafdhi yang merupakan salah satu dari asma Allah, yang bila diseru dalam doa,
maka dikabulkan. Namun, anehya, ia tidak tergolong dalam al-asma al-husna yang
populer, dan tidak pula dianggap sebagai bagian dari lafdhul-jalalah. Menurut
mereka, al-ism al-a’dham terdiri atas huruf-huruf tak dikenal (huruf majhulah)
dengan komposisi yang tak dikenal pula. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa
kata Allah dalam bimalah itulah yang dimaksud dengan al-ism al-a’dham. [16]. Asma’ Allah atau al-asma al-husna kadang kala dikaitkan
dengan sifat-sifat Allah (sifatullah). Menurut Sayyid Quthub, firman Allah itu
mengandung makna bahwa manusia dibenarkan memanggil atau menyeru dan menamakan
Tuhan mereka sekehendak mereka sesuai dengan nama-nama-Nya yang paling baik
(al-asma al-husna). Firman itu juga merupakan sanggahan terhadap kaum Jahiliah
yang mengingkari nama “al-Rahman”, selain nama “Allah”[17].
[l3] Berkenaan dengan alasan turunnya firman itu, tafsir-tafsir klasik
menuturkan adanya Hadits dari Ibn Abbas, bahwa di suatu malam nabi beribadat,
dan dalam bersujud beliau mengucapkan: “Ya Allah, ya Rahman”. Ketika Abu Jahal,
tokoh musyrik Makkah yang sangat memusuhi kaum beriman, mendengar tentang
ucapan Nabi dalam sujud itu, ia berkata: “Dia (Muhammad) melarang kita
menyembah dua Tuhan, dan sekarang ia sendiri menyembah Tuhan yang lain lagi.”
Ada juga penuturan bahwa ayat itu turun kepada Nabi karena kaum Ahl al-Kitab
pernah mengatakan kepada beliau, “Engkau (Muhammad) jarang menyebut nama
al-Rahman, padahal Allah banyak menggunakan nama itu dalam Taurat.[18]“ Maka turunnya ayat itu tidak lain ialah untuk menegaskan
bahwa kedua nama itu sama saja, dan keduanya menunjuk kepada Hakikat, Dzat atau
Wujud yang satu dan sama. Zamakhsyari, al-Baidlawi dan al-Nasafi menegaskan
bahwa kata ganti nama “Dia” dalam kalimat “maka bagi Dia adalah nama-nama yang
terbaik” dalam ayat itu mengacu tidak kepada nama “Allah” atau “al-Rahman”,
melainkan kepada sesuatu yang dinamai, yaitu Dzat (Esensi) Wujud Yang Maha
Mutlak itu. Sebab suatu nama tidaklah diberikan kepada nama yang lain, tetapi
kepada suatu dzat atau esensi. Jadi, Dzat Yang Maha Esa itulah yang bernama
“Allah” dan atau “al-Rahman” serta nama-nama terbaik lainnya, bukannya “Allah”
bernama “al -Rahman” atau “al-Rahim”. Jadi yang bersifat Maha Esa itu bukanlah Nama-Nya, melainkan
Dzat atau Esensi-Nya, sebab Dia mempunyai banyak nama. Karena itu al-Baidlawi
menegaskan bahwa paham Tauhid bukanlah ditujukan kepada nama, melainkan kepada
esensi. Maka Tauhid yang benar ialah “Tawhid al-Dzat” bukan “Tawhid al-Ism”
(Tauhid Esensi, bukan Tauhid Nama)[19]. Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar ini diterangkan
dengan jelas sekali oleh Ja’far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh
keagamaan besar dalam sejarah Islam, baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun
Syi’ah. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama “Allah” dan bagaimana
menyembah-Nya secarabenar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: “Allah”
(kadang-kadang dieja, “Al-Lah”) berasal “ilah” dan “ilah” mengandung makna
“ma’luh’, (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai
(al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah
kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus),
maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah
makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?” Hisyam
mengatakan lagi, “Tambahilah aku (ilmu)”. Ja’far al-Shadiq menyambung, “Bagi
Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada sembilanpuluh sembilan nama. Kalau
seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu
Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi)
yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya
tidaklah sama dengan Dia…[20]” Kalau kita harus menyembah Makna atau Esensi, dan bukan
menyembah Nama seperti yang diperingatkan dengan keras sebagai suatu bentuk
kemusyrikan oleh Ja’far al-Shadiq itu, berarti kita harus menunjukkan
penyembahan kita kepada Dia yang menurut al-Qur’an memang tidakt ergambarkan,
dan tidak sebanding dengan apapun. Berkenaan dengan ini, ‘Ali Ibn Abi Thalib ra.
mewariskan penjelasan yang amat berharga kepada kita Dia mengatakan, “Allah”
artinya “Yang Disembah” (al-Ma’bud), yang mengenai Dia itu makhluk merasa
tercekam (ya’lahu) dan dicekam (yu’lahu) oleh-Nya. Allah adalah Wujud dan
tertutup dari kemampuan penglihatan, dan yang terdinding dari dugaan dan benih
pikiran[21]. Dan Muhammad al-Baqir ra. menerangkan, “Allah” maknanya
“Yang Disembah” yang agar makhluk (aliha, tidak mampu atau bingung) mengetahui
Esensi-Nya (Mahiyyah) dan memahami Kualitas-Nya (Kaifiyyah). Orang Arab
mengatakan “Seseorang tercekam (aliha) jika ia merasa bingung (tahayyara) atas
sesuatu yang tidak dapat dipahaminya, dan orang itu terpukau (walaha) jika ia merasa
takut (fazi’a) kepada sesuatu yang ia takuti atau kuatirkan.[] * Penulis: Alumnus Hauzah Ilmiah Qom, Republik Islam Iran.
Kandidat Doktor Filsafat Islam di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini
aktif sebagai dosen ICAS-Paramadina Jakarta, Menejer Penerbit AL-HUDA, Direktur
Penerbit CITRA, Anggota Dewan Redaksi majalah dwimingguan ADIL. Rujukan: |