Ali bin Abi Thalib di Mata Ibnu TaimiyahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Muchtar Luthfi[1]
Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga
ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby),
masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di
sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu
Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama
Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka
berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu
adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah
sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam
lingkaran Ahlussunnah. ALI BIN ABI THALIB adalah satu sosok sahabat terkemuka
Rasulullah saw. Terlampau banyak keutamaan yang disematkan pada diri Ali, baik
melalui wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah, maupun melalui hadis yang
secara langsung disampaikan oleh Rasul. Keutamaan Ali dapat dilihat dari banyak
sudut pandang. Dilihat dari proses kelahiran[2] hingga kesyahidannya.[3] Dari kedekatannya dengan Rasulullah,
hingga kecerdasannya dalam menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh Rasul
kepadanya. Dari situlah akhirnya ia mendapat banyak kepercayaan dari Rasul
dalam melaksanakan tugas-tugas ritual maupun sosial keagamaan. Dengan menilik berbagai keutamaan Ali[4], maka
sudah menjadi kesepakatan kaum muslimin –baik Ahlussunnah, maupun Syiah- bahwa
Ali bin Abi Thalib adalah salah satu khalifah pasca Rasulullah.[5] Walaupun terdapat perbedaan pendapat
antara Ahlussunah dan Syiah tentang urutan kekhilafahan pasca Rasul, tetapi
yang jelas mereka sepakat bahwa Ali termasuk salah satu jajaran khalifah Rasul. Pada tulisan ringkas ini akan dibahas perihal pendapat Ibnu
Taimiyah tentang keutamaan Ali, yang berlanjut pada pendapatnya tentang kekhalifahan
beliau. Kelemahan Ali di Mata Ibnu Timiyah:
Di sini akan disebutkan beberapa pendapat Ibnu Taimiyah
dalam melihat kekurangan pada pribadi Ali: Disebutkan dalam kitab Minhaj as-Sunnah karya Ibnu Taimiyah,
bahwa Ibnu Taimiyah meremehkan kemampuan Ali bin Abi Thalib dalam permasalahan
fikih (hukum agama). Ia mengatakan: “Ali memiliki banyak fatwa yang
bertentangan dengan teks-teks agama (nash)”. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam rangka
menguatkan pendapatnya tersebut, ia tidak segan-segan untuk mengatasnamakan
beberapa ulama Ahlusunnah yang disangkanya dapat sesuai dengan pernyataannya
itu. Lantas dia mengatakan: “As-Syafi’i dan Muhammad bin Nasr al-Maruzi telah
mengumpulkan dalam satu kitab besar berkaitan dengan hukum yang dipegang oleh
kaum muslimin yang tidak diambil dari ungkapan Ali. Hal itu dikarenakan
ungkapan sahabat-sahabat selainnya (Ali), lebih sesuai dengan al-Kitab
(al-Quran) dan as-Sunnah”[6]. Berkenaan dengan ungkapan Ibnu Taimiyah yang menyatakan
bahwa banyak ungkapan Ali yang bertentangan dengan nash (teks agama), hal itu
sangatlah mengherankan, betapa tidak? Apakah mungkin orang yang disebut-sebut
sebagai ‘syeikh Islam’ seperti Ibnu Taimiyah tidak mengetahui banyaknya hadis
dan ungkapan para salaf saleh yang disebutkan dalam kitab-kitab standar
Ahlusunnah sendiri perihal keutamaan Ali dari berbagai sisinya, termasuk sisi
keilmuannya. Jika benar bahwa ia tidak tahu, maka layakkah gelar syeikh Islam
tadi baginya? Padahal hadis-hadis tentang keutamaan Ali sebegitu banyak
jumlahnya. Jika ia tahu, tetapi tetap bersikeras untuk menentangnya-padahal
keutamaan Ali banyak tercantum dalam kitab-kitab standar Ahlusunnah yang
memiliki sanad hadis yang begitu kuat sehingga tidak lagi dapat diingkarinya-
maka terserah Anda untuk menyikapinya! Lantas, apa kira-kira maksud dibalik
pengingkaran tersebut? Karena kebodohan Ibnu Taimiyah? Ataukah karena kebencian
Ibnu Taimiyah atas Ali? Ataukah karena kedua-duanya? Bukankah Ali termasuk
salah satu Ahlul Bait Nabi,[7] dimana sudah menjadi kesepakatan
antara Sunnah-Syiah bahwa pembenci Ahlul-Bait Nabi dapat dikategorikan Nashibi
atau Nawashib? Lantas manakah bukti bahwa Ibnu Taimiyah adalah pribadi yang
getol menghidupkan kembali ajaran salaf saleh, sedang ungkapannya banyak
bertentangan dengan ungkapan salaf saleh? Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa hadis yang membahas
tentang keilmuan Ali sesuai dengan pengakuan para salaf saleh yang diakui
sebagai panutan oleh Ibnu Taimiyah: Sabda Rasulullah saw: “Telah kunikahkan engkau –wahai
Fathimah- dengan sebaik-baik umatku yang paling tinggi dari sisi keilmuan dan
paling utama dari sisi kebijakan…”.[8] 1. Sabda Rasulullah saw: “Ali adalah gerbang ilmuku dan
penjelas bagi umatku atas segala hal yang karenanya aku diutus setelahku”.[9] 2. Sabda Rasulullah saw: “Hikmah (pengetahuan) terbagi
menjadi sepuluh bagian, maka dianugerahkan kepada Ali sembilan bagian, sedang
segenap manusia satu bagian (saja)”.[10] 3. Berkata ummulmukminin Aisyah: “Ali adalah pribadi yang
paling mengetahui dari semua orang tentang as-Sunnah”.[11] 4. Berkata Umar bin Khattab: “Ya Allah, jangan Engkau
biarkan aku dalam kesulitan tanpa putera Abi Thalib (di sisiku)”.[12] 5. Berkata Ibnu Abbas: “Demi Allah, telah dianugerahkan kepada
Ali sembilan dari sepuluh bagian ilmu. Dan demi Allah, ia (Ali) telah ikut
andil dari satu bagian yang kalian miliki”.[13] Dalam nukilan kitab lain ia berkata:
“Tidaklah ilmuku dan ilmu para sahabat Muhammad saw sebanding dengan ilmu Ali,
sebagaimana setetes air dibanding tujuh samudera”.[14] 6. Berkata Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya al-Quran turun dalam
tujuh huruf. Tiada satupun dari huruf-huruf tadi kecuali didalamnya terdapat
zahir dan batin. Dan sesungguhnya Ali bin Abi Thalib memiliki ilmu tentang
zahir dan batin tersebut”.[15] 7. Berkata ‘Adi bin Hatim: “Demi Allah, jika dilihat dari
sisi pengetahuan terhadap al-Quran dan as-Sunnah, maka dia –yaitu Ali- adalah
pribadi yang paling mengetahui tentang dua hal tadi. Jika dari sisi
keislamannya, maka ia adalah saudara Rasul dan memiliki senioritas dalam
keislaman. Jika dari sisi kezuhudan dan ibadah, maka ia adalah pribadi yang
paling nampak zuhud dan paling baik ibadahnya”.[16] 8. Berkata al-Hasan: “Telah meninggalkan kalian, pribadi
yang kemarin tiada satupun dari pribadi terdahulu dan akan datang yang bisa
mengalahi keilmuannya”.[17] Dan masih banyak lagi hadis-hadis pengakuan Nabi beserta
para sahabatnya yang menyatakan akan keluasan ilmu Ali dalam kitab-kitab
standar Ahlusunnah. Adapun tentang ungkapan Ibnu Taimiyah yang menukil pendapat
orang lain perihal Ali tersebut merupakan kebohongan atas pribadi yang dinukil
tadi. Karena maksud al-Maruzi yang menulis karya besar tadi, ialah dalam rangka
mengumpulkan fatwa-fatwa Abu Hanifah –pendiri mazhab Hanafi- yang bertentangan
dengan pendapat sahabat Ali dan Ibnu Mas’ud. Jadi topik utama pembahasan kitab
tersebut adalah fatwa Abu Hanifah dan ungkapan sahabat, yang dalam hal ini
berkaitan dengan Ali dan Ibnu Mas’ud. Tampak, betapa terburu-burunya Ibnu
Taimiyah dalam membidik Ali dengan menukil pendapat orang lain, tanpa membaca
lebih lanjut dan teliti tujuan penulisan buku tersebut. Ini merupakan salah
satu contoh pengkhianatan Ibnu Taimiyah atas beberapa pemuka Ahlussunah. Dalam kitab yang sama, Ibnu Taimiyah ternyata bukan hanya
meragukan akan kemampuan Ali dari sisi keilmuan, bahkan ia juga mengingkari
banyak hal yang berkaitan dengan keutamaan Ali.[18] Di sini akan disebutkan beberapa
contoh ungkapan Ibnu Taimiyah perihal masalah tersebut: 1. Kebencian terhadap Ali: “Ungkapan yang menyatakan bahwa
membenci Ali merupakan kekufuran, adalah sesuatu yang tidak diketahui
(asalnya)”.[19] 2. Pengingkaran hadis Rasul: “Hadis ana madinatul ilmi (Aku
adalah kota ilmu…) adalah tergolong hadis yang dibikin (maudhu’)”.[20] 3. Kemampuan Ali dalam memutuskan hukum: “Hadis “aqdhakum
Ali” (paling baik dalam pemberian hukum diantara kalian adalah Ali) belum dapat
ditetapkan (kebenarannya)”.[21] 4. Keilmuan Ali: “Pernyataan bahwa Ibnu Abbas adalah murid
Ali, merupakan ungkapan batil”.[22]Sehingga
dari pengingkaran itu ia kembali mengatakan: “Yang lebih terkenal adalah bahwa
Ali telah belajar dari Abu Bakar”.[23] 5. Keadilan Ali: “Sebagian umatnya mengingkari keadilannya.
Para kelompok Khawarij pun akhirnya mengkafirkannya. Sedang selain Khawarij,
baik dari keluarganya maupun selain keluarganya mengatakan: ia tidak melakukan
keadilan. Para pengikut Usman mengatakan: ia tergolong orang yang menzalimi
Usman…secara global, tidak tampak keadilan pada diri Ali, padahal ia memiliki
banyak tanggungjawab dalam penyebarannya, sebagaimana yang pernah terlihat pada
(masa) Umar, dan tidak sedikitpun mendekati (apa yang telah dicapai oleh
Umar)”.[24] Dari pengingkaran-pengingkaran tersebut akhirnya Ibnu Taimiyah
menyatakan: “Adapun Ali, banyak pihak dari pendahulu tidak mengikuti dan
membaiatnya. Dan banyak dari sahabat dan tabi’in yang memeranginya”.[25] Bisa dilihat, betapa Ibnu Taimiyah telah memiliki kesinisan
tersendiri atas pribadi Ali sehingga membuat mata hatinya buta dan tidak lagi
melihat hakikat kebenaran, walaupun hal itu bersumber dari syeikh yang menjadi
panutannya, Ahmad bin Hambal. Padahal, imam Ahmad bin Hambal -sebagai pendiri
mazhab Ahlul-Hadis yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dari berbagai
ajaran dan metode mazhabnya- juga beberapa imam ahli hadis lain –seperti Ismail
al-Qodhi, an-Nasa’i, Abu Ali an-Naisaburi- telah mengatakan: “Tiada datang
dengan menggunakan sanad yang terbaik berkaitan dengan pribadi satu sahabat
pun, kecuali yang terbanyak berkaitan dengan pribadi Ali. Ali tetap bersama
kebenaran, dan kebenaran bersamanya sebagaimana ia berada”.[26] Dalam masalah kekhilafahan Ali, Ibnu Taimiyah pun dalam
beberapa hal meragukan, dan bahkan melecehkannya. Di sini dapat disebutkan
contoh dari ungkapan Ibnu Taimiyah tentang kekhalifahan Ali: 1. “Kekhilafahan Ali tidak menjadi rahmat bagi segenap kaum
mukmin, tidak seperti (yang terjadi pada) kekhilafahan Abu Bakar dan Umar”.[27] 2. “Ali berperang (bertujuan) untuk ditaati dan untuk
menguasai atas umat, juga (karena) harta. Lantas, bagaimana mungkin ia (Ali)
menjadikan dasar peperangan tersebut untuk agama? Sedangkan jika ia menghendaki
kemuliaan di dunia dan kerusakan (fasad), niscaya tiada akan menjadi pribadi
yang mendapat kemuliaan di akherat”.[28] 3. “Adapun peperangan Jamal dan Shiffin telah dinyatakan
bahwa, tiada nash dari Rasul.[29]Semua
itu hanya didasari oleh pendapat pribadi. Sedangkan mayoritas sahabat tidak
menyepakati peperangan itu. Peperangan itu, tidak lebih merupakan peperangan
fitnah atas takwil. Peperangan itu tidak masuk kategori jihad yang diwajibkan,
ataupun yang disunahkah. Peperangan yang menyebabkan terbunuhnya banyak pribadi
muslim, para penegak shalat, pembayar zakar dan pelaksana puasa”.[30] Untuk menjawab pernyataan Ibnu Taimiyah tadi, cukuplah
dinukil pernyataan beberapa ulama Ahlusunnah saja, guna mempersingkat
pembahasan. Al-Manawi dalam kitab Faidh al-Qadir dalam menukil ungkapan
al-Jurjani dan al-Qurthubi menyatakan: “Dalam kitab al-Imamah, al-Jurjani
mengatakan: “Telah sepakat (ijma’) ulama ahli fikih (faqih) Hijaz dan Iraq,
baik dari kelompok ahli hadis maupun ahli ra’yi semisal imam Malik, Syafi’i,
Abu Hanifah dan Auza’i dan mayoritas para teolog (mutakallim) dan kaum
muslimin, bahwa Ali dapat dibenarkan dalam peperangannya melawan pasukan
(musuhnya dalam) perang jamal. Dan musuhnya (Ali) dapat dikelompokkan sebagai
para penentang yang zalim”. Kemudian dalam menukil ungkapan al-Qurthubi, dia
mengatakan: “Telah menjadi kejelasan bagi ulama Islam berdasar argumen-argumen
agama, bahwa Ali adalah imam. Oleh karenanya, setiap pribadi yang keluar dari
(kepemimpinan)-nya, niscaya dihukumi sebagai penentang yang berarti
memeranginya adalah suatu kewajiban hingga mereka kembali kepada kebenaran,
atau tertolong dengan melakukan perdamaian”.[31] Jelas bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah dengan mengatasnamakan
salaf saleh tidaklah memiliki dasar sedikitpun, apalagi jika ia mengatasnamakan
para imam mazhab Ahlusunnah. Lantas, bagaimana mungkin pribadi seperti Ibnu
Taimiyah dapat mewakili pemikiran Ahlusunnah, padahal begitu banyak pandangan
ulama Ahlusunnah sediri yang secara jelas bertentangan dengan pendapat Ibnu
Taimiyah? Lebih-lebih pendapat Ibnu Taimiyah tadi hanya sebatas pengakuan saja,
tanpa memberikan argumen maupun rujukan yang jelas, baik yang berkaitan dengan
hadis (Rasul saw), maupun ungkapan para salaf saleh (dari sahabat, tabi’in dan
tabi’ tabi’in) termasuk nukilan pendapat para imam mazhab empat secara cermat,
apalagi bukti ayat al-Quran. Yang lebih parah lagi, setelah ia meragukan semua keutamaan
Ali bin Abi Thalib, dari seluruh ungkapannya tersebut, akhirnya ia pun
meragukan Ali sebagai khalifah. Hal itu merupakan konsekuensi dari semua
pernyataan yang pernah ia lontarkan sebelumnya. Mengingat, dalam banyak
kesempatan Ibnu Taimiyah selalu meragukan kemampuan Ali dalam memimpin umat.
Oleh karenanya, dalam banyak kesempatan pula ia menyebarkan keragu-keraguan
atas kekhilafan Ali. Tentu saja, metode yang dipakainya dalam masalah inipun
sama sebagaimana yang ia terapkan sebelumnya -seperti yang telah disinggung di
atas, yaitu; dengan cara menukil beberapa pendapat yang sangat tidak mendasar,
dan tidak jujur sembari mengajukan pendapat pribadinya sebagai pendapat
tokoh-tokoh salaf saleh. Berikut ini adalah beberapa contoh dari ungkapan Ibnu
Taimiyah dalam masalah tersebut: 1. “Diriwayatkan dari Syafi’i dan pribadi-pribadi selainnya,
bahwa khalifah ada tiga; Abu Bakar, Umar dan Usman”.[32] 2. “Manusia telah bingung dalam masalah kekhilafan Ali
(karena itu mereka berpecah atas) beberapa pendapat; Sebagian berpendapat bahwa
ia (Ali) bukanlah imam, akan tetapi Muawiyah-lah yang menjadi imam. Sebagian
lagi menyatakan, bahwa pada zaman itu tidak terdapat imam secara umum, bahkan
zaman itu masuk kategori masa (zaman) fitnah”.[33] 3. “Dari mereka terdapat orang-orang yang diam (tidak
mengakui) atas (kekhalifahan) Ali, dan tidak mengakuinya sebagai khalifah
keempat. Hal itu dikarenakan umat tidak memberikan kesepakatan atasnya. Sedang
di Andalus, banyak dari golongan Bani Umayyah yang mengatakan: Tidak ada
khalifah. Sesungguhnya khalifah adalah yang mendapat kesepakatan (konsensus)
umat manusia. Sedang mereka tidak memberi kesepakatan atas Ali. Sebagian lagi
dari mereka menyatakan Muawiyah sebagai khalifah keempat dalam khutbah-khutbah
jum’atnya. Jadi, selain mereka menyebutkan ketiga khalifah itu, mereka juga
menyebut Muawiyah sebagai (khalifah) keempat, dan tidak menyebut Ali”.[34] 4. “Kita mengetahui bahwa sewaktu Ali memimpin, banyak dari
umat manusia yang lebih memilih kepemimpinan Muawiyah, atau kepemimpinan selain
keduanya (Ali dan Muawiyah)…maka mayoritas (umat) tidak sepakat dalam
ketaatan”.[35] Jelas sekali di sini bahwa Ibnu Taimiyah selain ia berusaha
menyebarkan karaguan atas kekhalifah Ali bin Abi Thalib kepada segenap umat, ia
pun menjadi corong dalam menyebarkan kekhalifahan Muawiyah bin Abu Sufyan.
Sedang hal itu jelas-jelas bertentangan dengan akidah Ahlusunnah wal Jama’ah. Untuk menjawab pernyataan-pernyataan Ibnu Taimiyah di atas
tadi, mari kita simak beberapa pernyataan pembesar ulama Ahlusunnah tentang
kekhilafahan Ali bin Abi Thalib, dan ungkapan mereka perihal Muawiyah bin Abu
Sufyan, termasuk yang bersumber dari kitab-kitab karya imam Ahmad bin Hambal
yang diakui sebagai panutan Ibnu Taimiyah dalam pola pikir dan metode
(manhaj)-nya. 1. Dinukil dari imam Ahmad bin Hambal: “Barangsiapa yang
tidak mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka jangan kalian
ajak bicara, dan jangan adakan tali pernikahan dengannya”.[36] 2. Dikatakan bahwa imam Ahmad bin Hambal pernah mengatakan:
“Barangsiapa yang tidak menetapkan imamah (kepemimpinan) Ali, maka ia lebih
sesat dari Keledai. Adakah Ali dalam menegakkan hukum, mengumpulkan sedekah dan
membagikannya tanpa didasari hak? Aku berlindung kepada Allah dari ungkapan
semacam ini…akan tetapi ia (Ali) adalah khalifah yang diridhai oleh para
sahabat Rasul. Mereka melaksanakan shalat dibelakangnya. Mereka berperang
bersamanya. Mereka berjihad dan berhaji bersamanya. Mereka menyebutnya sebagai
amirulmukminin. Mereka ridha dan tiada mengingkarinya. Maka kami pun mengikuti
mereka”.[37] 3. Dalam kesempatan lain, sewaktu putera imam Ahmad bin
Hambal menanyakan kepada ayahnya perihal beberapa orang yang mengingkari
kekhalifahan Ali, beliau (imam Ahmad) berkata: “Itu merupakan ungkapan buruk
yang hina”[38]. 4. Dari Abi Qais al-Audi yang berkata: “Aku melihat umat
manusia di mana mereka terdapat tiga tahapan; Para pemilik agama, mereka
mencintai Ali. Sedang para pemilik dunia, mereka mencintai Muawiyah, dan
Khawarij”.[39] Adapun riwayat-riwayat yang berkaitan dengan keutamaan Ali
terlampau banyak untuk disampaikan di sini. Untuk mempersingkat pembahasan,
kita nukil beberapa contoh riwayat yang khusus berkaitan dengan keilmuan dan
kekhilafan Ali dari kitab-kitab standar Ahlusunnah wal Jamaah: 1. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain karya al-Hakim
an-Naisaburi dijelaskan dari Hayyan al-Asadi; aku mendengar Ali berkata: Rasul
bersabda kepadaku: “Sesungguhnya umat akan meninggalkanmu setelahku
(sepeninggalku), sedang engkau hidup di atas ajaranku. Engkau akan terbunuh
karena (membela) sunahku. Barangsiapa yang mencintaimu, maka ia telah
mencintaiku. Dan barangsiapa yang memusuhimu, maka ia telah memusuhiku. Dan ini
akan terwarnai hingga ini (yaitu janggut dari kepalanya)”.[40] 2. Dalam Shahih at-Turmudzi yang diriwayatkan oleh Abi
Sa’id, ia berkata: “Kami (kaum Anshar) tiada mengetahui orang-orang munafik
kecuali melalui kebencian mereka terhadap Ali bin Abi Thalib”.[41] 3. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain yang diriwayatkan dari
Zaid bin Arqam yang menyebutkan; Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang
menginginkan hidup sebagaimana kehidupanku, dan mati sebagaimana kematianku,
dan menempati sorga yang kekal yang telah dijanjikan oleh Tuhanku kepadaku,
maka hendaknya ia menjadikan Ali sebagai wali (pemimpin/kecintaan). Karena ia
tiada akan pernah mengeluarkan kalian dari petunjuk, dan tiada akan menjerumuskan
kalian kepada kesesatan”.[42] 4. Dalam kitab Tarikh al-Baghdadi diriwaytkan dari Ibnu
Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Di malam sewaktu aku mi’raj ke langit, aku
melihat di pintu sorga tertulis: Tiada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasul
Allah, Ali kecintaan Allah, al-Hasan dan al-Husein pilihan Allah, Fathimah
pujian Allah, atas pembenci mereka laknat Allah”.[43] 5. Juga dalam kitab Tarikh al-Baghdadi disebutkan sebuah
hadis tentang penjelmaan Iblis untuk menggoda Rasul beserta para sahabat
sewaktu bertawaf di Ka’bah. Setelah Iblis itu sirna, Rasul bersabda kepada Ali:
“Apa yang aku dan engkau miliki wahai putera Abu Thalib. Demi Allah, tiada
seseorang yang membencimu kecuali ia (Iblis) telah campur tangan dalam
pembentukannya (melalui sperma ayahnya .red).” Lantas Rasul membacakan ayat (64
dari surat al-Isra’): “Wa Syarikhum fil Amwal wal Awlad” (Dan berserikatlah
dengan mereka pada harta dan anak-anak)”.[44] 6. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan,
diriwayatkan dari Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata; Rasul bersabda: “Aku
adalah kota hikmah, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki
hikmah hendaknya melalui pintunya”.[45] Dalam riwayat lain disebutkan: “Aku
adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya. Barangsiapa yang menghendaki ilmu
hendaknya melalui pintunya”.[46] 7. Dalam kitab Mustadrak as-Shahihain disebutkan,
diriwayatkan dari al-Hasan dari Anas bin Malik, ia berkata; Nabi bersabda
kepada Ali: “Engkau (Ali) penjelas (atas permasalahan) yang menjadi
perselisihan di antara umatku setelahku”.[47] 8. Dalam kitab as-Showa’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar
disebutkan, sewaktu Rasul sakit lantas beliau mewasiatkan kepada para
sahabatnya, seraya bersabda: “Aku meninggalkan kepada kalian Kitab Allah
(al-Quran) dan Itrah (keturunan)-ku dari Ahlul Baitku”. Kemudian beliau
mengangkat tangan Ali seraya bersabda: “Inilah Ali bersama al-Quran, dan
al-Quran bersama Ali. Keduanya tiada akan berpisah sehingga pertemuanku di
al-Haudh (akherat) kelak, maka carilah kedua hal tersebut sebagaimana aku telah
meninggalkannya”.[48] Dalam hadis lain disebutkan: “Ali
bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali. Keduanya tiada akan pernah
berpisah hingga pertemuanku di Haudh kelak di akherat”.[49] 9. Dalam kitab Usud al-Ghabah karya Ibnu Atsir disebutkan,
diriwayatkan dari Abi Sa’id al-Khudri, ia berkata; Rasul memerintahkan kami
untuk memerangi kelompok Nakitsin (Jamal), Qosithin (Shiffin) dan Mariqin
(Nahrawan). Lantas kami berkata: “Wahai Rasulullah, engkau memerintahkan kami
memerangi mereka, lantas bersama siapakah kami?”, beliau bersabda: “Bersama Ali
bin Abi Thalib, bersamanya akan terbunuh (pula) Ammar bin Yasir”.[50] Pernyataan Resmi Ahlusunnah Perihal
Kekhalifahan Ali:
Lihat, bagaimana Ibnu Taimiyah tidak menyinggung nama Ali
dalam masalah kekhalifahan? Dan bagaimana ia berdusta atas nama imam Syafi’i
tanpa memberikan dasar argumen yang jelas? Ibnu Taimiyah bukan hanya
mengingkari Ali, tetapi bahkan memberikan kemungkinan kekhalifahan buat
Muawiyah. Padahal tidak ada kelompok Ahlusunnah pun yang meragukan kekhalifahan
Ali. Berikut ini akan kita perhatikan pernyataan resmi beberapa ulama
Ahlussunah perihal pandangan mazhab mereka berkaitan dengan kekhalifahan Ali
bin Abi Thalib: 1. Dari Abbas ad-Dauri, dari Yahya bin Mu’in, ia mengatakan:
“Sebaik-baik umat setelah Rasulullah adalah Abu Bakar dan Umar, kemudian Usman,
lantas Ali. Ini adalah mazhab kami, juga pendapat para imam kami. Sedang Yahya
bin Mu’in berpendapat: Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman”.[51] 2. Dari Harun bin Ishaq, dari Yahya bin Mu’in: “Barangsiapa
yang menyatakan Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali (Radhiyallahu anhum) –dan
mengakui Ali sebagai pemilik keutamaan, maka ia adalah pemegang as-Sunnah
(Shahib as-Sunnah)…lantas kusebutkan baginya oknum-oknum yang hanya menyatakan
Abu Bakar, Umar dan Usman, kemudian ia diam (tanpa menyebut Ali .red), lantas
ia mengutuk (oknum tadi) mereka dengan ungkapan yang keras”.[52] 3. Berkata Abu Umar –Ibnu Abdul Bar- perihal seseorang yang
berpendapat sebagaimana hadis dari Ibnu Umar: “Dahulu, pada zaman Rasul, kita mengatakan:
Abu Bakar, kemudian Umar, lantas Usman, lalu kami diam –tanpa melanjutkannya)”.
Itulah yang diingkari oleh Ibnu Mu’in dan mengutuknya dengan ungkapan kasar.
Karena yang menyatakan hal itu berarti telah bertentangan dengan apa yang telah
disepakati oleh Ahlussunah, baik mereka dari pendahulu (as-Salaf), maupun dari
yang datang terakhir (al-Khalaf) dari para ulama fikih dan hadis. Sudah menjadi
kesepakatan (Ahlussunah) bahwa Ali adalah paling mulianya manusia, setelah
Usman. Namun, mereka berselisih pendapat tentang, siapakah yang lebih utama,
Ali atau Usman? Para ulama terdahulu (as-Salaf) juga telah berselisih pendapat
tentang keutamaan Ali atas Abu Bakar. Namun, telah menjadi kesepakatan bagi
semuanya bahwa, sebagaimana yang telah kita sebutkan, semua itu telah menjadi
bukti bahwa hadis Ibnu Umar memiliki kesamaran dan kesalahan, dan tidak bisa
diartikan semacam itu, walaupun dari sisi sanadnya dapat dibenarkan”.[53] Jadi jelaslah bahwa menurut para pemuka Ahlussunah, Ali
adalah sahabat terkemuka yang termasuk jajaran tokoh para sahabat yang menjadi
salah satu khalifah pasca Rasul. Berbeda halnya dengan apa yang diyakini oleh
Ibnu Taimiyah, seorang ulama generasi akhir (khalaf) yang mengaku sebagai
penghidup pendapat ulama terdahulu (salaf), namun banyak pendapatnya justru
berseberangan dengan pendapat salaf saleh. Pernyataan Ulama Ahlusunnah Perihal Pandangan Ibnu Taimiyah
Tentang Ali: Pada bagian kali ini akan kita nukil beberapa pernyataan
ulama Ahlusunnah perihal pernyataan Ibnu Taimiyah yang cenderung melecehkan Ali
bin Abi Thalib: 1. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam menjelaskan tentang pribadi
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ia terlalu berlebihan dalam menghinakan pendapat
rafidhi (Allamah al-Hilli seorang ulama Syiah. red) sehingga terjerumus kedalam
penghinaan terhadap pribadi Ali”.[54] 2. Allamah Zahid al-Kautsari mengatakan: “…dari beberapa
ungkapannya dapat dengan jelas dilihat kesan-kesan kebencian terhadap Ali”.[55] 3. Syeikh Abdullah Ghumari pernah menyatakan: “Para ulama
yang sezaman dengannya menyebutnya (Ibnu Taimiyah) sebagai seorang yang munafik
dikarenakan penyimpangannya atas pribadi Ali”.[56] 4. Syeikh Abdullah al-Habsyi berkata: “Ibnu Taimiyah sering
melecehkan Ali bin Abi Thalib dengan mengatakan: Peperangan yang sering
dilakukannya (Ali) sangat merugikan kaum muslimin”.[57] 5. Hasan bin Farhan al-Maliki menyatakan: “Dalam diri Ibnu
Taimiyah terdapat jiwa ¬nashibi dan permusuhan terhadap Ali”.[58] 6. Hasan bin Ali as-Saqqaf berkata: “Ibnu Taimiyah adalah
seorang yang disebut oleh beberapa kalangan sebagai ‘syeikh Islam’, dan segala
ungkapannya dijadikan argumen oleh kelompok tersebut (Salafy). Padahal, ia
adalah seorang nashibi yang memusuhi Ali dan menyatakan bahwa Fathimah (puteri
Rasulullah. red) adalah seorang munafik”.[59] Dan masih banyak lagi ungkapan ulama Ahlusunnah lain yang
menyesalkan atas prilaku pribadi yang terlanjur terkenal dengan sebutan ‘syeikh
Islam’ itu. Untuk mempersingkat pembahasan, dalam makalah ini kita cukupkan
beberapa ungkapan mereka saja. Namun di sini juga akan dinukil pengakuan salah
seorang ahli hadis dari kalangan wahabi (pengikut Ibnu Taimiyah sendiri .red)
sendiri dalam mengungkapkan kebingungannya atas prilaku imamnya (Ibnu Taimiyah)
yang meragukan beberapa hadis keutamaan Ali bin Abi Thalib. Ahli hadis tersebut
bernama Nashiruddin al-Bani. Tentu semua pengikut Salafy (Wahabi) mengenal
siapa dia. Seusai ia menganalisa hadis al-wilayah[60](kepemimpinan)
yang berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib, lantas ia mengatakan: “Anehnya,
bagaimana mungkin syeikh Islam Ibnu Taimiyah mengingkari hadis ini, sebagaimana
yang telah dia lakukan pada hadis-hadis sebelumnya (tentang Ali), padahal ia
memiliki berbagai sanad yang sahih. Hal ini ia lakukan, tidak lain karena
kebencian yang berlebihan terhadap kelompok Syiah”.[61] Dari sini jelas bahwa akibat kebencian terhadap satu
kelompok secara berlebihan menyebabkan Ibnu Taimiyah terjerumus ke dalam lembah
kemungkaran dan kesesatan, sehingga menyebabkan ia telah menyimpang dari ajaran
para salaf saleh yang selalu diakuinya sebagai pondasi ajarannya. Bukankah
orang yang disebut ‘syeikh Islam’ itu mesti telah membaca hadis yang tercantum
dalam Shahih Muslim –kitab yang diakuinya sebagai paling shahihnya kitab- yang
menyatakan: “Aku bersumpah atas Dzat Yang menumbuhkan biji-bijian dan Pencipta
semesta, Rasul telah berjanji kepadaku (Ali); Tiada yang mencintaiku melainkan
seorang mukmin, dan tiada yang membenciku melainkan orang munafik”.[62] Sedang dalam hadis lain, diriwayatkan
dari ummulmukminin Ummu Salamah: “Seorang munafik tiada akan mencintai Ali, dan
seorang mukmin tiada akan pernah memusuhinya”.[63] Dan dari Abu Said al-Khudri yang
mengatakan: “Kami dari kaum Anshar dapat mengenali para munafik melalui
kebencian mereka terhadap Ali”.[64] Jika sebagian ulama Ahlusunnah telah menyatakan, akibat
kebencian Ibnu Taimiyah terhadap Ali dengan ungkapan-ungkapannya yang cenderung
melecehkan sahabat besar tersebut sehingga ia disebut nashibi, lantas jika
dikaitkan dengan tiga hadis di atas tadi yang menyatakan bahwa kebencian
terhadap Ali adalah bukti kemunafikan, maka apakah layak bagi seorang munafik
yang nashibi digelari ‘Syeikh al-Islam’? ataukah pribadi semacam itu justru
lebih layak jika disebut sebagai ‘Syeikh al-Munafikin’? Jawabnya, tergantung
pada cara kita dalam mengambil benang merah dari konsekuensi antara ungkapan
beberapa ungkapan ulama Ahlusunnah dan beberapa hadis yang telah disebutkan di
atas tadi. Penutup:
Dari sini jelaslah, bahwa para ulama Salaf maupun Khalaf
-dari Ahlussunah wal Jamaah- telah mengakui keutamaan Ali, dan mengakui
kekhalifahannya. Lantas dari manakah manusia semacam Ibnu Taimiyah yang mengaku
sebagai penghidup mazhab salaf saleh namun tidak menyinggung-nyinggung
kekhalifahan Ali, bahkan berusaha menghapus Ali dari jajaran kekhilafahan
Rasul? Masih layakkah manusia seperti Ibnu Taimiyah dinyatakan sebagai pengikut
Ahlusunnah wal Jama’ah, sementara pendapatnya banyak bertentangan dengan
kesepakatan ulama salaf maupun khalaf dari Ahlussunah wal Jamaah? Ataukah dia
hanya mengaku dan membajak nama besar salaf saleh? Tegasnya,
pandangan-pandangan Ibnu Taimiyyah tadi justru lebih layak untuk mewakili
kelompok salaf yang dinyatakan oleh kaum muslimin sebagai salaf thaleh (lawan
dari kata salaf saleh), seperti Yazid bin Muawiyah beserta gerombolannya. Tetapi anehnya, para pengikut Ibnu Taimiyah yang juga
ikut-ikutan mengatasnamakan dirinya “penghidup ajaran Salaf” (Salafy/Wahaby),
masih terus bersikeras untuk diakui sebagai pengikut Ahlussunah, padahal di
sisi lain, mereka masih terus menjunjung tinggi ajaran dan doktrin Ibnu
Taimiyah yang jelas-jelas telah keluar dari kesepakatan (konsensus) ulama
Ahlussunah beserta "ajaran resmi" Ahlussunah wal Jamaah. Mereka
berpikir, jalan pintas yang paling aman dan mudah untuk mendapat pengakuan itu
adalah dengan memusuhi Syiah. Mengangkat isu-isu ikhtilaf Sunnah-Syiah adalah
sarana paling efektif untuk menempatkan kaum Salafy supaya diterima dalam
lingkaran Ahlussunnah. Sehingga mereka pun berusaha sekuat tenaga agar semua
usaha pendekatan, pintu dialog ataupun persatuan antara Sunnah-Syiah harus
ditentang, ditutup dan digagalkan. Karena, jika antara Sunnah-Syiah bersatu,
maka kedok mereka akan tersingkap, dan hal itu akan mengakibatkan nasib mereka
kian tidak menentu.[www.islamalternatif.net] |