Agama EpistemologisDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Ditulis Oleh Pedar Basil
Mengapa dewasa ini agama terlihat berjarak jauh dengan
prilaku masyarakat penganutnya? Di negara-negara yang dihuni oleh komunitas
yang ‘taat’ beragama, korupsi merajalela bahkan membudaya, ketidakdisiplinan
menjadi ‘gaya hidup’ dan kriminalitas menjadi ‘menu utama’ bahkan yang sangat
sadis. Setidaknya, ada dua cara memandang agama. Agama dapat
dipandang secara fenomenologis, berupa sejarah kemunculan, tata cara dan
prilaku para penganutnya. Agama juga dapat dipandang secara epistemologis,
berupa tujuan-tujuan prinsip-prinsip yang melandasinya. Jika kita mempelajari agama secara fenomeologis, maka kita
harus mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bertalian dengannya sebagai
sebuah gejala atau fenomena sosial dan sejarah, seperti aliran-aliran dan para
penganutnya. Cara pandang fenomologis bisa mengantarkan kepada
kebimbingan tentang koherensi agama dengan dinamika masyarakat dan prilaku
penganutnya. Tidak hanya itu, ia juga bisa memunculkan sekularisme berupa penolakan
partikular dan deisme sebagai penolakan menyeluruh terhadap agama. Sekularisme dan deisme telah melahirkan sejumlah teori yang
kini dan kelak menjadi paradigma dan pola pikir manusia modern, seperti
liberalisme, pluralisme, eksistensialisme, individualisme, sosialisme,
kapitalisme dan masih banyak lagi. Demokrasi, kesetaraan gender, pluralisme dan
wacana-wacana modern lainnya adalah contoh produk aliran-aliran tersebut. Penolakan terhadap agama memiliki akar historis dalam
masyarakat manusia, teruatama masyarakat Eropa. Trauma terhadap
kesewenang-wenangan para tokoh agama yang memaksakan kehendak dengan kedok
agama, telah menciptakan sebuah gerakan penolakan terhadap agama secara frontal
dan radikal pada abad 18 dan 19 Masehi. Tibanya era pencerahan yang ditandai dengan revolusi
Perancis dan revolusi Industri di Inggris telah menimbulkan kesan traumatik dan
negatif terhadap agama secara keseluruhan. Pada gilirannya, muncullah sejumlah
mazhab pemikiran dan filsafat dan berkembanglah sain dan teknologi secara
pesat. Montesquieu, Voltaire, Rousseau mengajak manusia untuk
meninggalkan agama wahyu. Bukankah Nietzsche mengumukan “kematian Tuhan”
sebagai usaha menyelamatkan manusia, Marx menganggap agama sebagai candu, demi
menghapus eksploitasi kaum kapitalis, Comte menganggap agama sebagai dari masa
mitos dan folklor atau era sesudahnya, metafisika. Salah satu ciri sekularsime adalah ‘desakralisasi’.
Masyarakat dan individu sekular mengabaikan dan tidak meyakini adanya sesuatu
yang sakral, padahal keyakinan akan sesuatu yang sakral merupakan titik kesmaan
semua agama. Istilah ‘sakral’ adalah ungkapan tentang kehormatan dan nilai
spiritual di hadapan segala sesuatu yang hanya mengandung nilai material,
seperti masjid, gereja, kuil dan tempat-tempat peribadatan agama lainnya
dibandingkan dengan hotel dan pertokoan. Reaksi ekstrem yang muncul dari kalangan tertentu dalam
masyarakat agama adalah fundamentalisme dan radikalisme, yang dari beberapa
sisi justru mengacaukan dan menjauhkan masyarakat modern dari agama. Cara kedua adalah memandang agama secara epistemologis. Bila
kita hendak mempelajari sebuah agama secara epistemologis, maka kita harus
mempelajari klaim-klaim yang merupakan prinsip-prinsipnya. Agama fenomenologis
adalah agama yang tampak di permukaan, sedangkan agama epistemologis, boleh
jadi, belum bisa ditemukan dalam permukaan. Perspektif epistemologis akan menuntut kita untuk membentuk
perspektif fenomologis tentang agama. Dengan kata lain, konsep akan memandu
kita untuk mencari bentuk objektifnya, bukan sebaliknya. |