Tujuan Pamungkas Manusia; Perspektif Pelbagai MazhabDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Setiap aliran, isme dan keyakinan, pada langkah pertamanya
senantiasa berusaha untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan berikut,
“Harus menjadi apakah manusia pada akhirnya?” Hal ini dikarenakan pengenalan
kelayakan-kelayakan dan kepantasan-kepantasan manusia merupakan salah satu
persoalan manusia yang urgen dan paling penting, dan pada hakikatnya nilai dari
setiap isme dan aliran bergantung pada bagaimana mereka menjawab persoalan ini.
Cita-cita dan harapan manusia bukanlah sebuah persoalan yang
baru diketengahkan pada salah satu dari dua kurun akhir, melainkan telah
menjadi pusat perhatian dan wacana yang ramai diperbincangkan sejak mula, yaitu
sejak mulai ditemukannya berbagai isme dan agama. Dengan mengesampingkan agama-agama Ilahi yang dalam perjalanan
sejarahnya telah memberikan jawaban terhadap persoalan asasi dan fundamental
ini, pada mayoritas agama-agama dan aliran-aliran di India, dan di Cina –yang
merupakan bangsa-bangsa yang memiliki keyakinan-keyakinan dunia terkuno- telah
memberikan perhatiannya terhadap perkara tersebut. Masing-masing mazhab,
aliran-aliran, pandangan dunia dan agama-agama membincangkan wacana ini dalam
bentuk perspektif sebagai pandangan dunia dan ideologi yang kemudian mendasari
dan mendominasi pemikiran mereka. Poin-poin setara yang mayoritas bisa
ditemukan dalam isme-isme ini adalah realitas berikut bahwa mereka mengajak
manusia kepada kesempurnaan maknawi, ruhani, dan spiritual. Dan di sini kami akan mengisyaratkan beberapa aliran
dan isme yang penting, di antaranya: 1. Hedonisme (Prinsipalitas
Kenikmatan) Karena mereka melihat bahwa manusia senantiasa berada dalam
usahanya untuk mencari kenikmatan, kesenangan, dan kelezatan, dan senantiasa
berusaha untuk menghindarkan diri dari segala bentuk penderitaan dan kesusahan,
maka para pengikut aliran ini berusaha untuk membuktikan bahwa kebahagiaan
akhir manusia bergantung pada sejauh mana mereka memperoleh dan meraih
kenikmatan dan kesenangan, dengan artian bahwa dengan semakin banyaknya
diperoleh kenikmatan dan kelezatan ini, berarti seseorang akan dikatakan
semakin berbahagia dan beruntung. Aristib, seorang tokoh yang sezaman dengan Plato,
menjelaskan bahwa tujuan dari sebuah kehidupan adalah berasaskan pada prinsip
“Mencari segala bentuk kenikmatan” dan “Menghindarkan diri dari segala bentuk
penderitaan”. Menurut prinsip dan asas ini, manusia harus mengambil manfaat
yang semaksimal mungkin dari kenikmatan-kenikmatan sesaat yang ada dalam
kehidupan dunia ini, sebelum hal-hal tersebut hilang, sirna, dan musnah. Banyak yang mengatakan bahwa dia senantiasa menyandarkan
perkataannya kepada salah seorang penyair Yunani bernama Horace yang
mengatakan, “Kita tidak boleh takut dan khawatir terhadap hari esok” atau
“Ketahuilah hari ini sebagai sesuatu yang berharga dan cepat berlalu”. Dalam catatan sejarah Filsafat, Epicure pun termasuk salah
seorang dari pengikut aliran Hedonisme ini. Pendapat dan pandangannya hingga
batasan tertentu adalah logis dan masuk akal, karena ia juga memberikan
perhatiannya pada kenikmatan-kenikmatan spiritual dan ruhani. Epicure mengelompokkan kecenderungan dan
kenikmatan-kenikmatan alami manusia dalam tiga kelompok, yaitu: 1.
Kecenderungan-kecenderungan dan kenikmatan-kenikmatan yang alami dan urgen,
seperti makan dan tidur. 2. Kecenderungan-kecenderungan
dan kenikmatan-kenikmatan yang alami dan non urgen, seperti instink seksual. 3. Kecenderungan-kecenderungan
dan kenikmatan-kenikmatan yang non alami dan non urgen. Berdasarkan pendapat Epicure, jika manusia menghendaki
kebahagiaan, maka ia harus memuaskan kecenderungan-kecenderungannya yang alami
dan urgen itu, dan dia juga harus menyeimbangkan kecenderungan-kecenderungannya
yang alami dan non urgen, akan tetapi, dia harus menghilangkan kecenderungan
jenis ketiganya yaitu kecenderungan-kecenderungannya yang non alami dan non
urgen. Sedangkan mengenai kenikmatan-kenikmatan hakiki, dimana
manusia didorong dan diarahkan ke arah kebahagiaan, Epicure mengatakan, “Ketika
kita mengatakan bahwa kenikmatan merupakan sesuatu yang tinggi, maka maksud
kami berlawanan dengan apa yang diklaimkan oleh sebagian dari orang-orang yang
berpikiran pendek yang senantiasa bersitegang dengan kami dan merusak keyakinan
kami. Kenikmatan bukanlah permainan hawa nafsu dan kenikmatan-kenikmatan
syahwat, melainkan kenikmatan yang kami maksudkan adalah kenikmatan yang kosong
dari kesusahan dan penderitaan jasmani, dan terlepas dari keresahan, ketegangan
dan kekhawatiran ruhani, karena kenikmatan yang seperti ini tidak membutuhkan
pada pesta pora dan kesia-siaan, tidak membutuhkan pada perjamuan yang agung
dan tidak pula membutuhkan kenikmatan-kenikmatan yang dihasilkan dari
persetubuhan serta tidak pula muncul dari daging, ikan dan sajian makanan yang
beraneka ragam, ketahuilah bahwa dengan segala hal-hal tersebut tidak akan bisa
diperoleh kehidupan yang beruntung dan berbahagia, melainkan kebiasaan yang
cerdas, sederhana, dan rasional yang senantiasa mencari sebab-sebab
keterkabulan atau keterpaksaan, dan menolak keyakinan yang menyebabkan
terjadinya ketegangan ruh-lah yang mampu menciptakan kehidupan yang berbahagia.
Jadi, sumber dari seluruh sifat ini dan sekaligus sumber yang terbesar adalah
ikhtiyat, kehati-hatian, dan kekokohan. Cara berpikir yang jauh memandang masa
depan dan kuat harus diketahui sebagai sesuatu yang lebih tinggi dari filsafat,
karena hal tersebut merupakan sumber dari seluruh kemuliaan, dan
kemuliaan-kemuliaan ini memberikan pelajaran kepada kita bahwa tanpa adanya
kekuatan, kekukuhan, kehati-hatian, kemuliaan, dan keadilan, kita tidak akan
pernah berhasil untuk menciptakan kebahagiaan; dan kekuatan, kehati-hatian,
kemuliaan, serta keadilan tidak akan mungkin bisa diperoleh tanpa adanya
kenikmatan.[1] Kelemahan yang terdapat dalam teori ini adalah, jika kita
meletakkan kenikmatan itu sebagai tujuan akhir, maka tidak mungkin bisa
diterima sebagai sebuah rangkaian nilai-nilai insani, dengan artian bahwa jika
kenikmatan kita letakkan sebagai tujuan puncak, maka nilai-nilai seperti kesetiaan
dan pengorbanan tidak akan bisa lagi diterima, karena akar pamungkas dari
seluruh perbuatan manusia dalam hubungannya dengan pencarian kenikmatan akan
kembali lagi pada dirinya sendiri, sementara untuk sampai pada tingkatan
spiritual yang tinggi dan memperoleh nilai-nilai yang berada di luar gambaran
orang awam, seseorang harus mengesampingkan dan mengorbankan dirinya sendiri. 2. Aliran Egoisme (Prinsipalitas Diri) Sebagian dari para pengamat mengenai perubahan-perubahan
yang terjadi dalam sejarah menganggap bahwa tujuan perilaku, tindakan, dan
perbuatan manusia adalah untuk memuaskan ego dan kehendak dirinya semaksimal
mungkin. Mereka berkata, karena manusia secara fitrah adalah egois dan
mementingkan dirinya sendiri, dan segala sesuatu yang berada di sekitarnya
dipandang dengan pandangan keegoisannya itu, maka dia harus senantiasa
memperhatikan kemaslahatan dan keuntungannya sendiri serta menjauhkan segala
sesuatu yang akan mengganggu kemaslahatan dan menghalangi
keinginan-keinginannya. Manusia dalam menggapai keinginan-keinginan dan
keuntungan dirinya tidak seharusnya memperhatikan kehendak orang lain, bahkan
jika keinginan-keinginannya ini bertentangan dengan keuntungan selainnya. Niccolo Machiavelli adalah salah satu dari peletak teori
seperti ini dan dia menyarankan prinsip-prinsip di bawah ini kepada para
pemerintah dan penguasa negara, sebagai berikut: 1. Berpikirlah hanya pada
keuntungan dan kesenangan pribadi; 2. Jangan menghormati siapapun
kecuali diri sendiri; 3. Berbuatlah sesuatu yang
buruk, akan tetapi tampakkanlah bahwa tujuan dari perbuatan tersebut adalah
baik; 4. Tamaklah dan berusahalah
semampu mungkin dalam mengumpulkan harta; 5. Pelit dan bakhillah; 6. Tegas dan jangan berbelas
kasih pada siapapun; 7. Manfaatkanlah kesempatan
sekecil apapun untuk melakukan tipu muslihat dan kelicikan; 8. Singkirkan musuh dari sekitar
dan jika perlu jangan berbelas kasih dengan sahabat-sahabatmu; 9. Prioritaskan perilaku yang
keras kepada masyarakat dan jangan berlemah lembut terhadap mereka; 10. Jangan berpikir apapun
kecuali perang. Dikatakan bahwa Thomas Hobbes dan Friedrich Nietzche pun
merupakan orang-orang yang mendukung aliran Egoisme ini, dan Friedrich Nietzche
bukan saja pendukung bahkan ia termasuk perintis dan penggagas dari teori
kekuasaan sentris. Friedrich Nietzche dalam pemikirannya mengetengahkan egoisme
-yang meletakkan prinsip pada kebutuhan-kebutuhan negatif manusia- sebagai keinginan
untuk berkuasa. Menurutnya, hal yang asasi dalam diri manusia dan dunia adalah
kehendak dan keinginan terhadap kekuasaan, dan tujuan kehidupan pun tak ada
yang lain kecuali keinginan untuk berkuasa, sebagaimana hal ini tersirat dalam
salah satu kalimatnya yang berbunyi, “Pada sesuatu yang di dalamnya tidak
terdapat kehendak untuk berkuasa, berarti di dalamnya terdapat degenerasi,
kemunduran, dan kemerosostan”. Sementara secara prinsipil, hal penting yang akan
mengantarkan manusia untuk meraih kekuasaan dan kekuatan adalah kemuliaan dan
hakikat, sedemikian hingga meskipun terdapat penghalang yang menghambat di
depan mata, akan bisa terlewati dan ternafikan. Kehendak untuk berkuasa adalah
kehendak manusia untuk berkembang dan meningkat dalam hal memuaskan
kesempurnaan kekuatan dan potensi internalnya, dan bukan sesuatu yang lain. 3. Aliran Utilitarianisme (Prinsip Kebaikan Masyarakat) Sebagian dari para pemikir berpendapat bahwa tujuan manusia
dalam kehidupannya adalah berbuat sesuatu untuk kebaikan masyarakat dan
keuntungan umum. Mereka sepakat bahwa manusia harus senantiasa berusaha supaya
dalam kehidupannya menghasilkan buah yang riil dan hakiki; dan semakin banyak
seseorang mampu memberikan manfaat dan keuntungan kepada masyarakat maka dia
akan memiliki nilai dan citra yang semakin tinggi pula. “Menurut Wang, manusia senantiasa harus memperhatikan agama
dan religi supaya dengan bimbingan agamanya ini dia bisa memilih tujuan-tujuan
praktis yang diperlukan dalam setiap putaran sejarah dimana untuk sampai pada
tujuan-tujuan ini manusia harus berjuang dan berusaha”.[2] Salah satu dari penggagas teori ini adalah Jeremy Bentham,
dimana berkontradiksi dengan teori Epicure –yang sepakat dengan prinsip
egosentris- dia berusaha untuk menggantikan posisi kenikmatan dan kelezatan
individual dengan keuntungan sosial dan kemanfaatan umum. Berdasarkan prinsip kemanfaatan dan kemashlahatan umum yang
merupakan pondasi terpenting dari aliran Utilitarianisme ini, kebahagiaan dan
keberuntungan yang hakiki dan riil adalah terpenuhinya kenikmatan dan
kebahagiaan yang semaksimal mungkin bagi sebanyak mungkin individu. Menurut
Bentham, orang yang berbahagia adalah mereka yang mengumpulkan keutamaan-keutamaan
bagi masyarakat umum untuk masa depannya. Teori Bentham ini kemudian diikuti
oleh John Stuart Mill dimana sebagaimana halnya Bentham dia juga bersikukuh
dengan kebaikan umum dan keuntungan sosial. Akan tetapi, bertentangan dengan
Bentham, Mill lebih banyak memfokuskan diri pada dimensi kualitas
kenikmatan-kenikmatan yang berpengaruh pada kemanfaatan dan kemashlahatan umum
daripada dimensi kuantitasnya –dimana dimensi ini telah menjadi view point
dalam teori Bentham. Teori ini memiliki berberapa kelemahan, di antaranya adalah
tidak adanya tolok ukur dan parameter yang tertentu untuk menentukan perilaku,
tindakan, dan perbuatan manusia! Siapakah yang harus menjadi penjamin bagi
kebahagiaan mayoritas individu? Berdasarkan parameter apakah sehingga bisa
dikatakan dan ditentukan bahwa suatu perintah adalah baik atau buruk? Harus ada
sebuah prinsip bagi manusia yang bisa dipegang dan dijadikan sandaran sebagai
tujuan dan target yang memiliki nilai mutlak sehingga tujuan dan target
tersebut tidak terpaksa harus mengalami perubahan atau pergantian dan tidak
pula menjadi bahan permainan bagi orang-orang tertentu. Ketika kita meletakkan
kebaikan umum dan keuntungan sosial sebagai tujuan kita, maka kita akan
berhadapan dengan problematika berikut bahwa tujuan dan sasaran ini ditentukan
dengan mengikuti selera dan keinginan orang-orang tertentu dan setiap orang
akan menganggap bahwa sesuatu yang berdasar pada keinginan-keinginan
pribadinya-lah yang merupakan hal terbaik bagi keuntungan, kemashlahatan, dan
kebaikan masyarakat. 4. Humanisme (Prinsipalitas
Manusia) Para pendukung aliran Humanisme sepakat bahwa kebahagiaan
manusia hanya bisa terpenuhi dengan memberikan prinsip kepada manusia dan
mendukung nilai-nilai tinggi kemanusiaan. Auguste Comte sebagai salah satu pendukung pertama aliran
ini mengetengahkan bahwa manusia sempurna -yang di dalamnya meliputi seluruh
manusia dalam seluruh zaman- adalah merupakan sebuah eksistensi yang bisa dan
layak untuk disembah. Dia menambahkan bahwa manusia harus dibantu dan didukung
supaya sampai pada tingkat kesempurnaannya, sebuah kesempurnaan yang tidak bisa
diperoleh dengan cara apapun selain dengan berkhidmat kepada sesama. Menyembah
manusia digolongkan sebagai sebuah kewajiban dan tugas yang paling mulia dan
paling suci bagi manusia. Setelah Auguste Comte, Karl Marx, dan Jean-Paul
Sartre merupakan pemikir-pemikir barat yang bangkit untuk mendukung teori
Humanisme ini. Erich Fromm adalah salah satu dari pemikir yang ada pada era
kita yang sepakat terhadap aliran Humanisme ini. Menurut pendapatnya, manusia
hanyalah merupakan sebuah eksistensi yang berpikir terhadap keberadaan dirinya
dan berusaha supaya keberadaan dirinya ini bisa berbaur, dan seluruh aliran dan
mazhab pun berusaha untuk menemukan jawaban untuk eksistensi dan keberadaan
manusia. Menurut pendapat Erich Fromm, manusia harus memilih
kecintaan kepada manusia dan keadilan daripada kecintaan terhadap Tuhan, hal
ini karena manusia tidak akan pernah bisa meraih kebahagiaan dan keberuntungan
selain melalui cara tersebut. Dia menyarankan untuk menghentikan pembicaraan
yang berkaitan dengan Tuhan dan menggantikannya dengan memfokuskan seluruh
kekuatan untuk membuka topeng penyembah berhala dunia modern. Para pendukung Humanisme berpandangan bahwa tidak ada lagi
dunia lain setelah dunia manusia. Apapun yang ada, hanya ada di dalam dunia
yang ada di hadapan kita ini, sedangkan alam metafisika adalah sesuatu yang
tidak mungkin bisa diterima dan tertolak. Manusia merupakan sebuah eksistensi
yang asli dan hakiki, dia memiliki segala sesuatu dalam zat dan substansinya
sendiri dimana hal ini tidak dimiliki oleh eksistensi-eksistensi lainnya yang
terdapat di alam ini. Penanggung jawab segala kemalangan, penderitaan, dan
kesusahan manusia tidak lain adalah manusia itu sendiri dan ia tidak bisa
meletakkan atau melemparkan hal ini ke atas tanggung jawab Tuhan atau maujud
selainnya. Nasib manusia berada di tangan dirinya sendiri dan dia harus
berusaha supaya dia bisa merubah dirinya maupun alam sekitarnya dengan
bersandar pada diri pribadinya. Kesalahan besar yang terdapat pada seluruh pengikut
humanisme adalah sangkaan dan anggapan mereka akan adanya kontradiksi antara
keyakinan terhadap Tuhan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Maksudnya, jika
kita menerima nilai-nilai yang bersumber dari Tuhan, berarti kita tidak akan
mampu lagi sepakat dengan nilai-nilai yang berasal dari manusia dan
prinsip-prinsipnya, kenapa, karena dengan demikian berarti manusia akan
kehilangan seluruh potensi dan kekuatan aktualnya. Namun yang benar adalah dengan
ketiadaan hubungan dengan Tuhan dan penolakan nilai-nilai dari-Nya, manusia
tidak saja merupakan eksistensi yang tidak berharga bahkan ia pun akan
kehilangan seluruh potensi dan dimensi hakikinya. Secara prinsipil, masalah-masalah yang berkaitan dengan manusia
tidaklah hanya terbatas pada persoalan bahwa dengan menyembah dan menjunjung
tinggi manusia maka kebutuhan-kebutuhan material dan spiritualnya akan
terpenuhi, karena manusia mempunyai sebuah kebutuhan dimana kebutuhan ini tidak
akan bisa terpuaskan dengan melakukan sebuah bentuk penyembahan kepada manusia.
Manusia membutuhkan ideologi dan pandangan dunia, atau dengan ibarat lain,
manusia adalah ideolog dan berusaha supaya dirinya dan dunia sekitarnya bisa
berubah, dan dengan semakin luas dan sempurnanya pandangan manusia, maka ia
akan menjadi manusia yang semakin berharga dan bernilai. Sekarang akan muncul pertanyaan semacam ini, siapakah yang
memiliki pandangan yang lebih cermat dan lebih sempurna di anara dua kelompok
manusia ini, manusia penyembah Tuhan ataukah manusia penyembah manusia? Apakah
seseorang yang tidak menganggap bahwa manusia dan dunia ini adalah
fenomena-fenomena yang tak berakal, tak bertujuan, dan tidak menganggap adanya
gerak tak berakhir bagi manusia serta hanya menerima kebijaksanaan-kebijaksanaan
Tuhan, akan lebih mampu menemukan akar ataukah manusia yang menganggap bahwa
alam keberadaan ini hanyalah sebagai sesuatu yang kosong dari makna dan manusia
tidak memiliki gerak yang tak berakhir? Bukankah Humanisme itu meletakkan
diri manusia itu sebagai tujuan, dan penyembahan manusia pada ujung-ujungnya
akan berakhir pada penyembahan terhadap diri sendiri? Humanisme dengan segala makna yang bisa kita ilustrasikan
dan dengan segala tujuan yang bisa kita letakkan, secara pasti keimanan dan
keyakinan kepada Tuhan memiliki keistimewaan dan dan keurgensian yang lebih
tinggi dari aliran ini, dan apapun harapan-harapan yang kita sandarkan padanya
tidak akan lebih baik daripada kepercayaan kepada Tuhan. 5. Aliran Naturalisme (Prinsipalitas Alam) Pendukung aliran ini berasas pada keyakinan bahwa usaha dan
upaya manusia harus berada dalam lingkup kemestian dan kecenderungan alami dari
kehidupan ini. Dengan ibarat lain, jika seorang manusia bertindak sesuai dengan
kemestian alami dan natural yang diperuntukkan bagi manusia, maka ia pasti akan
memperoleh kehidupan yang ideal dan bahagia. Salah satu dari penggagas teori ini adalah Lao Tzu/Laozi
yang menganggap bahwa peradaban, teknologi, dan varian-variannya merupakan
musuh bagi kebahagiaan manusia dan berkeyakinan bahwa manusia harus menyingkir
dari hal-hal seperti itu. Cyniques yang hidup pada masa Yunani kuno mengekspresikan
teori semacam ini, bahwa orang-orang pada zaman Yunani kuno berada dalam
keyakian dimana persoalan-persoalan semacam pemerintahan, kekayaan, perkawinan,
dan kenikmatan-kenikmatan seksual seluruhnya merupakan persoalan-persoalan yang
tidak bermanfaat, dengan demikian untuk memperoleh kehidupan yang berbahagia
dan beruntung tidak ada cara lain kecuali dengan meninggalkan masyarakat dan
kembali memulai sebuah kehidupan yang sederhana. Para pengikut Stoiciens pun
hingga batasan tertentu merupakan pendukung dari teori ini, tentunya dengan
perbedaan pendapat dalam masalah kesempurnaan manusia sebagaimana yang telah
kami singgung sebelumnya. Pada kurun akhir Jean-Jacques Rousseau memperbaharui teori
ini dari dasar. Dia mencoba mengembalikan teori ini kepada alam dan dia
meletakkan penghindaran dari segala hiruk pikuk peradaban sebagai inti bagi
seluruh program pendidikannya. 6. Scientisme (Prinsipalitas Ilmu) Sekelompok dari para ilmuwan menganggap ilmu dan pengetahuan
sebagai tujuan tertinggi dari kehidupan manusia dan mereka menyarankan kepada
manusia untuk meletakkannya sebagai sembahan dan menganggapnya sebagai tujuan
akhir kehidupannya. Sigmund Freud sepakat bahwa ilmu harus disembah dan
diletakkan sebagai pengganti posisi Tuhan dan mazhab. Menurut persangkaan Freud jika kita menganggap ilmu sebagai
sesuatu yang ideal dalam kehidupan manusia, maka di bawah pancaran
keberadaannya akan tercipta persahabatan dan persamaan, dan seluruh kesulitan,
keresahan, dan kesusahan manusia akan mendapatkan kemudahan dan ketenangan. Bertrand Russell pun termasuk salah satu dari pendukung
teori ini. Sebagaimana halnya Freud dia pun memiliki keimanan dan keyakinan
yang begitu kuat terhadap ilmu dan dia juga menganggapnya sebagai sesuatu yang
layak untuk disembah dan dijunjung tinggi. Menurut persangkaannya, ilmu mampu
menambah kemampuan-kemampuan kita untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang baik
dan buruk ,dan pada akhirnya keimanan dan keyakinan kepadanya akan mampu
menciptakan hubungan sosial yang benar di antara para individu. Pada prinsipnya akar dari Scientisme ini telah dimulai oleh
Francis Bacon pada awal Renaisance dengan slogannya yang mengetengahkan
kesejajaran ilmu dengan kemampuan dan kekuasaan, dan setelah itu Auguste Comte
yang berkebangsaan Perancis dengan teriakannya bahwa mazhab generasi mendatang
adalah ilmu dan pengetahuan. Di dalam teori ini pun ditemukan beberapa kritikan dan
kelemahan, karena pada hakikatnya ilmu hanyalah murni sebagai alat pengenal dan
hanya mampu menjelaskan hubungan antara fenomena-fenomena dan
persoalan-persoalan yang ada. Ilmu adalah pengetahuan tentang manusia dan alam.
Manfaat dari ilmu adalah ia mampu menambah pengetahuan manusia dan menciptakan
manusia untuk mendominasi alam. Ilmu merupakan alat dan perantara bagi manusia
untuk mengetahui dan menambah kemampuan menguasai sesuatu. Akan tetapi, dengan
adanya hal ini, bukan berarti bahwa manusia hanya membutuhkan pada ilmu saja!
Karena lebih dari itu, manusia juga membutuhkan pada sesuatu yang lain, dan
sesuatu-sesuatu yang lain tersebut adalah sesuatu yang menjadi pelengkap ilmu,
dan ilmu akan mampu mengkonstruksi manusia hanya ketika ia berada dalam
bayangannya. Tidak diragukan lagi bahwa hanya ketika berada di bawah pancaran
iman-lah ilmu akan mampu melakukan gerak dan dinamika; dan iman jualah yang
menunjukkan tujuan serta sasaran dari kehidupan manusia, ia mendorong manusia
kepada semangat dan rasionalitas lalu mengkonstruksinya dari dalam. Iman-lah yang mampu menentukan tujuan pengggunaan dan
pemanfaatan ilmu. Ilmu tanpa iman tak ubahnya musibah dan bala bagi manusia,
sebagaimana hal ini telah terjadi pada masa lalu maupun saat ini. Apakah
seluruh perkembangan ilmu senantiasa dipergunakan untuk manfaat dan keuntungan
manusia? Apakah dengan perkembangan ilmu dan pengetahuan manusia betul-betul
akan mampu membuka pintu gerbang keberuntungan dan kebahagiaan? Jika ilmu merupakan satu-satunya jalan penyelamat dan
merupakan cita-cita tertinggi kehidupan manusia, lalu kenapa hingga kini masih
saja terdapat jutaan manusia yang tersiksa dan musnah dibawah cecaran
peluru-peluru dan molotov-molotov serta bom-bom yang merupakan hasil karya
perkembangan ilmu? Apakah tragedi Hiroshima dan Nagasaki dan tempat-tempat
sepertinya bukan merupakan bukti adanya ilmu yang tidak diiringi dengan iman?
[Sumber: |