Tarekat Ahlul BaitDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: JALALUDDIN RAKHMAT[*]
Apa sebetulnya tarekat itu? Mengapa pula kita harus membahas
tarekat Ahlul Bait? Sebelumnya, saya akan berbicara tentang tarekat. Tarekat
itu sendiri berhubungan erat dengan tasawuf. Kalau kita bicara tarekat, maka
kemudian kita akan dibawa dan diantar orang menuju tasawuf. Karena itu, kita
akan membicarakan tasawuf lebih dahulu. Dalam bahasa Inggris, tasawuf disebut mistisme (mysticism).
Kata mistisme (mysticism), misteri (mystery), dan mitos (myth) berasal dari
satu kata dalam bahasa Yunani mystheon, yang artinya menutup mulut. Karena itu,
mistisme, misteri, dan mitos adalah sesuatu yang disampaikan sambil tutup mulut.
Akan tetapi, memang, kata tasawuf tidak berasal dari mistisme. Ada banyak teori
tentang asal-usul kata tasawuf. Sebagian mengatakan bahwa tasawuf berasal dari
kata shuf, yang berarti baju bulu atau wol yang dulu dipakai oleh orang-orang
fakir. Ada yang mengatakan kalau tasawuf berasal dari kata shafa, yang artinya
membersiahkan diri, dan sufi adalah orang yang membersihkan dirinya. Ada juga
yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yaitu
theos dan sophos. Theos berarti Tuhan dan sophos bermakna mencintai. Jadi,
tasawuf bisa kita artikan mencintai Tuhan. Memang ada betulnya juga, karena
tasawuf adalah sebuah mazhab yang ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan.
Tasawuf adalah mazhab cinta. Saya mulai pembahasan ini dengan doa munajat penempuh jalan
tarekat. Doa ini berasal dari Imam Zainal ‘Abidin. Saya kutipkan sebagai kecil
darinya. “Dengan asma’ Allah Yang Mahakasih dan mahasayang. Mahasuci
Engkau—Subhanaka. Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak memiliki
jalan. Alangkah terangnya kebenaran bagi orang yang Kau tunjuki jalan. Ilahi,
bimbinglah kami menuju ke banyak jalan menuju-Mu. Lapangkanlah kepada kami
jalan terdekat ke arah-Mu. Dekatkan bagi kami yang jauh. Mudahkan bagi kami
yang berat dan sulit. Gabungkan kami dengan hamba-hamba-Mu yang berlari cepat
mencapai-Mu, yang selalu mengetuk pintu-Mu, yang malam dan siangnya selalu
beribadah kepada-Mu, yang bergetar takut karena keagungan-Mu, yang Kau
bersihkan tempat minumnya, yang Kau sampaikan keinginannya, yang Kau penuhi
permintaan-Nya, yang Kau puaskan—dengan karunia-Mu—kedambaannya, yang Kau
penuhi—dengan kasih-Mu—sanubarinya, yang kau hilangkan dahaganya dengan
kemurnian minuman-Mu.” Pada bagian awal doa ini sebenarnya tersimpul inti dari
tasawuf. Jadi, tasawuf adalah perjalanan menuju Allah Swt. Istilah tasawuf
dikenakan untuk orang yang tengah menempuh jalan tarekat, yang tenagh
melangkahkan kaki menuju perjalanan tak terhingga menuju Allah Swt. Jalan ini
tidak gampang dan sangat tidak mudah, sebagaimana diungkapkan Imam Zainal
‘Abidin, “Alangkah sempitnya jalan bagi orang yang tidak punya jalan.” Kalau
tidak ada dalil, petunjuk atau pembimbing, sempit betul rasanya jalan ini. Akan
tetapi, di antara kafilah ruhani yang berjalan menuju Allah itu, ada sebagian
dari mereka yang sudah mencapai rumah Tuhan, yang sudah mengetuk pintu-Nya,
yang telah disambut Tuhan dengan anugerah-Nya, dan diberinya minum
kecintaan-Nya, dan mereka pun melepaskan dahaga di sana. Itulah kelompok wali
(auliya’) Allah dan kekasih-kekasih-Nya. Saya kutipkan lagi doa Imam Ali Zainal ‘Abidin, yang
menggambarkan situasi kejiwaan orang yang sudah sampai ke rumah Tuhan, sudah
mengetuk pintu-Nya, dan sudah dibukakan. Saya percaya bahwa Anda sekalian sudah
mengalami pencerahan yang cukup tinggi sehingga tidk menafsirkan ucapan saya
dengan pemahaman orang awam. Inilah ungkapan orang yang sudah dekat dengan
Allah Swt. “Perjumpaan dengan-Mu kesejukan hatiku. Pertemuan dengan-Mu
kecintaan diriku. Kepada-Mu kedambaanku. Pada cinta-Mu tumpuanku. Pada kasih-Mu
gelora rinduku. Ridha-Mu tujuanku. Melihat-Mu keperluanku. Mendampingi-Mu
keinginanku. Mendekati-Mu puncak permohonanku. Dalam menyeru-Mu damai dan
tenteramku.” Inilah kelompok kekasih Tuhan, para wali Allah. Di dalam
menyeru Tuhan, ketika menyebut nama-Nya, waktu berzikir dan berdoa kepada-Nya,
mereka menikmati dan merasakan kedamaian serta ketenteraman. Mereka laksana
bayi-bayi lapar yang menghentikan tangisannya dalam dekapan bundanya. Lalu,
dengan penuh kebahagiaan, mereka memandang wajah bundanya itu. Mereka adalah
orang-orang yang menderita, yang menemukan kawan yang mau mendengar jeritannya,
yang memahami kesulitannya dan memberikan jalan keluar. Mereka seperti
pengelana di padang pasir, yang berkali-kali dikecoh fatamorgana dan kemudian
berhasil menemukan oase yang memancarkan air bening, bersih, dan sejuk. Nah, doa ini—seperti kita ketahui berasal dari Imam Ali
Zainal ‘Abidin, salah seorang di antara mereka yang sudah singgah di halaman
rumah Tuhan. Beliau digelari As-Sajjad karena banyaknya melakukan sujud.
Dikisahkan bahwa ada banyak tempat di kota Madinah yang tanahnya menjadi keras
karena seringnya Imam Ali Zainal ‘Abidin bersujud di situ. Padahal, ketika
bersujud, tanah itu beliau siram dan basahi dengan linangan air mata. Dulu
banyak orang yang datang ke temapt itu untuk meminta berkah. Setiap malam
bintang-gemintang menyaksikan beliau merintih di rumah Tuhan atau di tempat
shalatnya. Padahal, beliau termasuk keluarga Rasulullah saw. (Ahlul Bait) yang
disucikan sesuci-sucinya. …Innama yuridullah li-yudzhiba ‘ankum al-rijsa ahl
al-bait wa yuthahhirakum tathhiran. Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan
dosa-dosa dari kamu, wahai Ahlul Bait, dan mensucikan kamu sesuci-sucinya. (QS
Al-Ahzab [33]: 33) Berikut ini saya bacakan sebuah doa yang dibaca Imam Ali
Zainal ‘Abidin ketika beliau bersujud disudut Kabah di bawah mizab, yaitu
pancuran air. Nah, di bahwa pancuran iar inilah Imam Ali Zainal ‘Abidin berdoa
sambil bersujud. “Inilah hamba sahaya-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah
si malang-Mu rebah di halaman kebesaran-Mu. Inilah si fakir-Mu rebah di halaman
kebesaran-Mu. Inilah pengemis-Mu di halaman kebesaran-Mu. Tuhanku, demi
kebesaran-Mu, keagungan-Mu, dan kemuliaan-Mu, sekiranya sejak Engkau
menciptakan aku, sejak masa permulaanku aku menyembah-Mu sekekal badai
rububiyah-Mu, dengan setiap lembar rambutku, setiap kejam mataku sepanjang
masa, dengan pujian dna syukur segenap makhluk-Mu, maka aku takkan mampu
mensyukuri nikmat-nikmat-Mu yang paling tersembunyi padaku. Sekiranya aku
menggali tambang besi dunia dengan gigiku, dan menanami buminya dengan
lmbar-lembar alis mataku, dan menangis takut kepada-Mu dengan air mata dan
darah sebanyak samudera langit dan bumi, maka semua itu kecil dibandingkan
dengan banyaknya kewajibanku atas-Mu. Sekiranya, setelah itu, Engkau menyiksaku
dengan azab seluruh makhluk, Engkau besarkan tubuh dan ragaku, Engkau penuhi
Jahanam pada seluruh sudutnya dengan tubuhku sehingga di sana tidak ada lagi
yang disiksa selainku, tidak ada lagi kayu bakar selain diriku, maka semua itu
kecil dibandingkan dengan keadilan-Mu dan besarnya hukuman-Mu yang harus
kuterima mengingat dosa-dosa yang kulakukan.” Doa ini sangat indah dan menyentuh. Kepada Imam Ali Zainal
‘Abidin ini bersambung hampir semua silsilah tarekat. Lewat beliau, silsilah
itu naik kepada ayahnya, dan kepada kakeknya, yaitu Rasulullah saw. Dari
beliau, para penempuh jalan kesucian belajar mengetuk pintu Tuhan. Dari beliau,
mereka belajar doa yang mengungkapkan kerinduan dan kecintaan kepada Tuhan.
Dari beliau pula, mereka belajar mensucikan batin agar layak berdampingan
dengan Dzat Yang Mahasuci. Imam Ja’far Ash-Shaddiq—cucu Imam Zainal ‘Abidin yang
melanjutkan tradisnya—menyimpulkan inti tarekat beliau, tarekat keluarga Nabi
saw., “Ad-dinu huwa al-hubb.” Agama itu cinta. Para filosof pun menyimpulakn
keberagaman mereka dengan mengatakan, “Ad-dînu huwal ‘aqlu. La dina liman la
aqla lahu.” Agama itu akal. Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal. Ketika Islam dimaknai dengan berserah diri atau pasrah, maka
para pengikut tarekat menambahkan cinta sebagai syarat mutlak penyerahan diri
dan kepasrahan. Para filosof menyerahkan diri kepada Tuhan setelah akal mereka
menunjukkan mereka kepada-Nya. Para fakih atau ahli hukum Islam pasrah
kepada-Nya setelah mengetahui hukum-hukum-Nya, seperti taatnya warga negara
kepada hukum negerinya. Para sufi merbahkan diri di hadapan-Nya, mau melakuka
apa pun yang diperintahkan oleh-Nya, asalkan mereka tidak diusir dari
sisi-Nya—sebagaimana seorang pecinta yang pasrah di depan kekasihnya. Karena
boleh jadi, seseorang pasrah kepada-Nya karena takut siksa, hukuman, atau
kekuasaan-Nya. Mungkin juga ia menyerahkan diri karena mengharapkan pamrih,
pahala, atau ganjaran. Para sufi menyerahkan diri mereka sepenuhnya kepada
Tuhan karena cinta. Ketika mereka berdoa, mereka memohonkan agar semua balasan
itu diberikan kepada orang lain, sebagaimana diungkapkan dengan indah oleh
L.A.Ara, seorang penyair muslim dari Aceh, dalam puisinya yang berjudul Doa
Orang Buta. Tuhan, beri sinar kepada mereka yang awas matanya. Salahkah dia yang pasrah kepada-Nya karena akalnya? Tidak.
Dia diberi sinar untuk membuka matanya. Salahkah dia yang pasrah karena takut
akan hukuman-Nya, atau karena takut menginginkan pahala-Nya? Tidak. Banyak
jalan menuju Dia. Salah satu di antara jalan itu adalah jalan kesucian yang
ditempuh para sufi, yaitu mereka yang ingin dikirimi percik kasih Tuhan untuk
menyiram hatinya. Jadi, secara singkat, tasawuf adalah sebentuk keberagamaan
yang didasarkan pada cinta. Kalau orang bertanya apa mazhab tasawuf, maka
tasawuf itu akan menjawab, “Madzhabuna madzhab al-hubb”. Mazhab kami adalah
mazhab cinta. Tasawuf: Mazhab Cinta Akan tetapi, Al-Sulami memberikan anekdot-anekdot sufi
tentang cinta. Junaid Al-Baghdadi, salah seorang sufi terkemuka, menjelaskan
cinta dengan cinta. “Aku melihat seorang anak memukuli orang tua. Tetapi orang
tua itu hanya tertawa. Aku bertanya, “Mengapa Anda tertawa?” Orang tua itu
menjawab, “Bagaimana aku tidak tertawa, tangannya ruhku, cambuknya hatiku,
hidupnya hidupku. Bagaimana mungkin aku mengadukan diriku kepada diriku?” Pada waktu yang lain, Abul Al-Husain Al-Nuri bertanya kepada
Junaid tentang cinta yang menjadi dasar tasawuf. Kata Junaid, “Akan aku
kisahkan sebuah cerita. Pada suatu hari aku bersama sekelompok orang berada di
kebun. Kami menunggu seseorang yang akan menemui kami. Orang itu rupanya datang
terlambat. Kami pun naik untuk melihat-lihat. Tiba-tiba kami melihat ada orang
buta berjalan bersama anak yang sangat cantik sekali rupanya. Orang buta itu
berkata, “Engkau perintahkan aku begini dan begini. Semuanya aku lakukan.
Engkau melarang, semuanya aku tinggalkan. Aku tidak pernah membantahku.
Sekarang, apa lagi yang engkau inginkan?” Anak itu menjawab, “Aku ingin engkau
mati”. Si buta itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan mati”. Lalu ia berbaring dan
menutup wajahnya. Aku pun berkata kepada sahabat-sahabatku, “Lihat, si buta itu
tidak bergerak sama skali. Keadaannya seperti sudah mati. Padahal tidak mungkin
ia mati”. Kami segera menghampirinya. Kami gerak-gerakkan tubuhnya. Ia
betul-betul telah mati. Kisah-kisah Junaid Al-Baghdadi tampaknya sukar kita cerna.
Marilah kita ngatkan Dzunnun Al-Mishri. Ia berkunjung kepada orang sakit dan ia
dapatkan si sakit sedang mengaduh. Dzunnun berkata, “Tidak sejati ia mencintai
jika tidak sabar akan pukulannya.” Si sakit berkata, “Tidak sabar dalam
mencintai jika tidak menikmati pukulannya.” Dari sudut rumah ada suara,
“Tidaklah mncintai Kami secara sejati orang yang masih mengharap kecintaan
selain Kami.” Ketika ditanya bagaimana ia mencintai sahabatnya, ia menjawab,
“Jika aku melihatnya, aku ingin agar aku tidak melihat apa pun selain dia. Jika
aku mendengar suaranya, aku ingin tidak mendengar apa pun selain suaranya.”
Al-Mutanabbi bersyair, “Sekiranya aku bisa mengendalikan mataku, aku tidak akan
membukanya kecuali ketika melihatmu.” Kita akhiri perbincangan tentang cinta dengan penjelasan
singkat dari Al-Syibli (walaupun katanya, cinta itu tidak dapat dijelaskan). Ia
berkata, “Hakikat cinta adalah engkau berikan seluruh dirimu kepada yang engaku
cintai sehingga tidak tersisa milikmu padamu sedikit pun.” Memang, semua sufi sepakat bahwa tasawuf adalah mazhab
cinta. Tetapi cinta adalah maqam tertinggi dalam perjalanan tasawuf. Dan
memang, cinta sangat sulit untuk dijelaskan. Cinta—dengan memakai istilah
filosof agama, Trueblood—bukanlah “a matter of contemplatoin” (sesuatu untuk
direnungkan). Cinta adalah “a matter of enjoyment” (sesuatu untuk dinikmati).
Karena itu, sebaiknya kita melihat tasawuf dalam artinya yang paling sederhana
dan rujukannya dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Tasawuf: Mazhab Ali Kemudian, ia menjelaskan hadits itu: “Untuk menerima apa
yang dibawa Rasulullah saw., Tuhan telah mempersiapkan hati yang paling suci
dan diri yang paling bersih. Maka, tampaklah perbedaan tingkat kesucian dan
kebersihan karena perbedaan faidah dan manfaat. Ada hati yang kedudukannya seperti
tanah yang baik, subur dengan pepohonan dan tanaman. Inilah hati orang yang
memperoleh manfaat dari ilmunya untuk dirinya dan memperoleh petunjuk. Ilmunya
berguna bagi dia, membimbingnya ke jalan yang lurus dengan mengikuti Rasulullah
saw. Ada hati yang kedudukannya seperti tanah penyerap (akhadzat), yaitu
seperti kolam, ia mengumpulkan dan menampung air. Inilah perumpamaan kebersihan
diri para ulama yang zahid dari kalangan sufi dan syuyukh (guru-guru sufi)
serta kesucian hati mereka. Hati mereka berlimpah dengan faedah dan jadilah
mereka akhadzat. Masruq berkata, “Aku pernah bergaul dengan sahabat Nabi saw.
Aku dapatkan mereka itu seperti akhadzat. Hati mereka menjadi penyimpan ilmu
dan diberi kesucian pemahaman.” Untuk memberi contoh hati yang menyimpan, Al-Suhrawardi
membawakan hadits Nabi saw. Ketika turun ayat, “Agar kamu jadikan peristiwa itu
pelajaran dan agar disimpan oleh telinga yang bersifat penyimpan.” (QS 69: 12).
Telinga yang bersifat penyimpanan adalah terjemahan yang kurang tepat untuk
udzunun wa’iyah. Wa’iyyah bermakna mengandung, yang menyimpan, yang memeilihara
dalam ingatan, yang mengingat, yang mengetahui dengan hati, yang menyadari,
yang memperhatikan, yang melihat dengan jelas. Rasulullah saw. pernah berkata kepada Ali bin Abi Thalib,
“Aku bermohon kepada Allah Swt. agar Dia menjadikan telinga penyimpanan itu
adalah telingamu.” Kata Ali, “Sejak itu, aku tidak pernah melupakan apa pun.
Tidaklah mungkin bagiku untuk lupa.” Kata Abu Bakar Al-Wasithi, “Itulah telinga
yang menyimpan rahasia Allah.” (Lihat Abdul Qahir Al-Suhrawardi, ‘Awarif
Al-Ma’araif, Darul Kitab Al-‘Arabi, Beirut, 1983: 12-13). Para sahabat Nabi saw., kata Masruq, mempunyai hati yang
wa’iyyah. Dalama kemampuan menyimpan rahasia Allah, di antara mereka, ‘Ali bin
Abi Thalib adalah puncaknya. Ia digelari Taj Al-‘Arifin atau “mahkota
orang-orang arif”. Ia disebut oleh mahagurunya, yaitu Rasulullah saw. sebagai
“pintu kota ilmu”. Beliau bersabda, “Aku kota ilmu dan Ali pintunya. Siapa yang
menginginkan ilmu, datangilah pintunya. Siapa yang datang tidak melewati pintu,
ia dihitung sebagai pencuri dan ia menjadi tentara iblis.” (Lihat Al-Hakim
dalam Mustadarak, 3: 126; Al-Khatib, Tarikh Baghdad, 2:377; Al-Qanzudi
Al-Hanafi, Yanabi Al-Mawaddah, hlm 183; Ibnu Hajar, Shawa’iq Al-Muhriqah, hlm
37; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wal Nihayah, 7: 358; Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanz
Al-’Ummal, 5: 30, dan sebagainya). Ia menyimpan rahasia Allah Swt. yang
disampaikan kepadanya oleh Rasulullah saw. yang mulia, atau yang ia peroleh
selama perjalannya menuju Allah Swt. Rasulullah saw. dididik Allah Swt. secara langsung. Kepada
beliau berguru Ali bin Abi Thalib. Kepada beliau dan Ali berguru para sahabat
Nabi untuk memperoleh petunjuk dalam mengarungi samudera Ilahi. Abu Bakar ra.
berkata, “Tinggalkan aku. Aku bukan yang paling baik di antara kamu selama ada
Ali di tengah-tengah kamu.” Ucapan ini bukan hanya menunjukkan kerendahan hati
yang berbicara, tetapi juga menunjukkan keutaman orang yang dibicarakannya.
Berkata At-Tirmidzi, yang meriwayatkan hadist ini, “Ia (Abu Bakar) mengatakan
itu karena ia tahu keadaan Ali kw., dan martabatnya dalam khilafah sebenarnya,
yang pokok dan yang pasti, berdasarkan urutan, secara hakikat, meurut akal, dan
atas keterikatan kepada Allah Swt. (takhallufan, wa tahaqquqan, wa ta’aqquqan,
wa ta’alluqan) (Lihat Al-Bahrani, Ghayat Al-Maram, bab 53). Umar berkata, “Tentang Ali, aku pernah mendengar Rasulullah
saw. bersabda dan menyebut tiga hal. Sekiranya satu saja dari yang tiga itu
berkenaan dengan aku, ia lebih berharga dari apa pun yang dinaungi cahaya
matahari. Waktu itu, aku berada bersama Abu ‘Ubadah, Abu Bakar, dan banyak
sahabat lainnya. Tiba-tiba Nabi saw. menepuk bahu ‘Ali seraya berkata, “wahai
Ali. Kamu adalah Mukmin yang pertama beriman, Muslim yang pertama berisalam,
dan kedudukanmu terhadapku sama seperti kedudukan Harun terhadap Musa’.” (Ibnu
Ali Al-Hadid, Syarh Najh Al-Balaghah. Al-Khawarizmi juga meriwayatkan hadits
ini dalam Al-Manaqib). Tidak cukup tempat dalam tulisan ini untuk memuat penilaian
sahabat lain tentang Ali. Cukuplah di sini dikutip ucapan Mu’awiyah, yang
sepanjang hidupnya memusuhi Ali. Sekali waktu, demi menyenangkan hati
Mu’awiyyah, Al-Dhabi menceritakan kedatangannya dari pertemuan dengan Ali, “Aku
datang kepadamu dari manusia yang paling bakhil (maksudnya Ali).” Di luar
dugaan, Mu’awiyyah berkata, “Celakalah kamu. Bagaimana mungkin kamu menyebut
dia manusia yang paling bakhil, padahal sekiranya ia memiliki rumah dari emas
dan rumah dari jerami, ia akan memberikan rumah emasnya sebelum rumah jeraminya.
Dia sendiri yang menyapu Baitul Mal dan melakukan shalat di dalamnya. Dia juga
yang berbicara kepada emas dan perak, ‘Wahai kuning dan putih. Tipulah orang
selainku!’ Dialah yang tidak akan meninggalkan warisan, walaupun seluruh dunia
menjadi miliknya.” Sebenarnya, Mu’awiyah hanya mengulang apa yang pernah
dilaporkan kepadanya oleh Dhahar bin Dhamrah. Ketika Dhahar berada di istana
Mu’awiyah, ia diminta untuk menceritakan sifat-sifat Ali. Anda tahu, pada waktu
itu, Mu’awiyah mengharuskan para khatib Jumat mengutuk Ali di mimbar-mimbar dan
menghukum orang yang tidak mau melakukannya. Siapa saja yang memuji Ali, maka
ia akan dianggap subversif. Bahkan diam saja, tidak mengecam Ali, akan
dipandang menentang penguasa. Misalnya, Hujur bin ‘Adi dan kawan-kawannya,
mereka dihukum mati (sebagian dikubur hidup-hidup) karena tidak mau mengutuk
Ali pada waktu shalat Jumat. Dalam kadaan seperti itu, tentu saja Dharar
keberatan. Jika ia menceritakan yang sebenarnya, ia akan dianggap memuji dan
mengkultuskan Ali. Bagi yang tidak senang bunga mawar, menyebut mawar itu harus
sudah dianggap pujian, padahal harum adalah sifat mawar. “Bebaskan saya,” kata dharar, “Tidak akan aku bebaskan,”
tegas Mu’awiyah. Berkatalah Dharar, “Jika harus tetap aku ucapkan juga—demi
Allah—Ali adalah orang yang cendikia lagi perkasa, berbicara dengan jernih dan
menghukum dengan adil. Ilmu memancar dari segenap pribadinya. Hikmah berbicara
dari seluruh dirinya. Ia menjauhkan diri dari dunia dengan segala perhiasannya.
Ia menyendiri di malam hari bersama kegelapannya. Ia—demi Allah—banyak berurai
air mata dan banyak berpikir. Ia membolak-balik tangannya seraya meneysali
dirinya. Ia senang pakaian yang kasar dan makanan yang keras. Ia, demi Allah,
seperti orang kebayakan. Jika kita minta tolong, ia memenuhinya. Jika kita
undang, ia mendatanginya. Walaupun begitu, demi Allah, walaupun ia dekat dan
akrab dengan kami, kami tidak sanggup berbicara kepadanya karena kewibawannya.
Kami tak mampu mulai berkata karena kemuliannya. Jika ia tersenyum, senyumnya
bagaikan untaian mutiara. Ia memuliakan ahli agam. Ia mencintai orang miskin.
Di hadapannya, yang kuat tidak mau melakukan kebatilan, dan yang lemah tidak
putus asa akan keadilan. Aku bersaksi kepada Allah, aku pernah menyaksikannya
dalam bberapa penggalan malam. Ketika malam sudah menjulurkan tirainya,
gemintang sudah tenggelam, ia berada di mihrab shalatnya. Ia memegang
janggutnya. Ia menggigil seperti orang sakit yang menderita demam. Ia menangis
seperti tangisan orang yang menderita. Seakan-akan masih kudengar ia berkata,
‘Hai dunia, tipulah orang selainku. Di depanku kamu berhias? Di hadapanku kamu
mencumbu? Menjauhlah dariku. Aku sudah mentalakmu tiga kali. Tidak mungkin lagi
rujuk. Usiamu singkat. Hidupmu rendah. Bahayamu besar. Aduh, betapa sedikitnya
bekal, alangkah jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan’.” Dalam keluhan Ali, “Aduh, betapa sedikitnya bekal, alangkah
jauhnya perjalanan, dan betapa sepinya jalan” tercermin makna tasawuf.
Al-Suhrawardi menghimpun banyak definisi tentang tasawuf dan mengakhirinya
dengan mengatakan, “Pendapat para guru sufi tentang definisi tasawuf lebih dari
seribu. Akan terlalu panjang mengutipnya.” Di sini, cukuplah bagi kita
menjelaskan tasawuf tidak dengan definisi, tetapi dengan perilaku dan ucapan
Ali. Lalu mengapa tidak mencontoh Rasulullah saw. saja secara langsung? Mengapa Harus Mencontoh Ali?
Walhasil, Anda tidak dapat mencontoh Rasulullah saw. secara
langsung. Karena itulah, untuk memperoleh petunjuk jalan dalam safar ruhani
kita yang panjang, ikutilah Ali. Ia pasti sudah sudah mengikuti Rasulullah saw.
Kalimat yang benar bukan pertanyaan, “Apakah kita meneladani Nabi saw. atau
Ali?” Yang benar adalah pernyataan, “Kita meneladani Nabi saw. dengan meneladani
Ali.” Jawaban kedua agak sulit dijelaskan. Ketika saya ingin
mengikuti Imam Ali, Anda pasti bertanya mengapa tidak mengikuti Rasulullah saw.
saja? Baiklah, Anda mengikuti Rasulullah saw. Saya pun akan balik bertanya,
“Mengapa tidak mengikuti Allah saja?” Pertanyaan semacam ini pernah diajukan
kepada saya, ketika saya mendirikan Pesantren Muthahhari. Saya ingin mendidik
para santri agar mereka kelak menjadi ulama seperti Muthahhari: pemikir,
aktivis, ahli agama, dan ahli ilmu sekaligus. Kawan saya menegur, mengapa tidak
langsung mencontoh Nabi Muhammad saw. saja? Ketika saudara saya mengikuti Imam
Syafi’i, ia juga bertanya, mengapa tidak mengikuti Nabi saw. saja. Saya menjawab kalau Rasulullah saw. adalah sumber syariat
yang kedua setelah Allah. Pada Allah dan Rasul-Nya berpangkal semua pemahaman
kita tentang agama. Allah dan Rasul-Nya adalah Islam itu sendiri. Islam adalah
air hujan yang turun drai langit. Kita adalh tanah yang menerima tetesan dan
curahan hujan itu. Di antara bidang-bidang tanah itu ada petak demo yang
menjadi percontohan bagi tanah-tanah yang lain. Perilaku Rasulullah saw. adalah
sunnah. Kita mengamalkan pemahaman kita tentang sunnah. Sebagaimana tanah yang
memiliki kemampuan menampung air yang berbeda, seperti itulah penerimaan kita
pada sunnah. Sepanjang sejarah, kaum Mukmin berusaha memahami dan menjalankan
sunnah Nabi saw. Sebagian kecil dari mereka ada yang sudah memahami sunnah
dengan baik, menjadi akhadzat. Mereka mengamalkan sunnah itu dalam
kehidupannya, dan sebagian besar kaum Mukmin mencontoh mereka yang disebut
pertama. Dari madrasah Nabi saw., murid tladan yang pertama adalah Ali bin Abi
Thalib. Kepadanya para sahabat merujuk. “Law la ‘Ali, lahalak ‘Umar, kata Umar
bin Khathab. “Sekiranya tidak ada Ali, celakalah Umar.” Ketika kawan saya tidak paham atau tidak mau paham, saya
hrus menjelaskannya dengan konsep isnad dalam ilmu hadits atau silsilah dalam
tarekat. Perhatikan hadits Nabi saw. berikut, “Perumpamaanku dan
perumpamaan apa yang aku bawa seperti lelaki yang mendatangi kaumnya: ‘Hai
kaumku, aku melihat pasukan musuh dengan mataku sendiri…’.” Al-Suhrawardi
menurunkan hadits ini dalam kitab ‘Awarif Al-Ma’arif. Ia menerima hadits itu
dari Al-Husain bin Muhammad Al-zaini, yang menerimanya dari Karimah binti
Ahmad, dari Abu Al-Haitsam, dari Muhammad bin Yusuf Al-farbari, dari Muhammad
bin Isma’il Al-Bukhari. Al-Bukhari menerimanya dari Abu Akrib, dari Abu Usamah,
dari Abu Barid, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Anshari, dari Rasulullah saw.
Rangkaian nama yang panjang ini disebut sanad. Untuk pertanggungjawaban ilmiah,
Al-Suhrawardi tidak langsung mengatakan ia mendengar hadits dari Nabi saw. Ia
merinci jalur periwayatan hadits itu dari gurunya, dari guru gurunya, dan
seterusnya. “Tidak ada agama tanpa isnad,” kata ahli hadits. “Cukuplah meniru
Nabi saw., tidak perlu meniru Muthahhari,” kata kawan saya. Dalam tarekat, sanad itu disebut silsilah—mata rantai yang
menghubungkan guru kita dan guru-guru sebelumnya sampai kepada Rasulullah saw.
Misalnya silsilah tarekat Qadiriyyah-Naqsyabadiyyah, ada guru-guru yang sampai
kepada Ali Ar-Ridha. Ia menerima dari ayahnya, kakeknya, sampai kepada Ali bin
Abi Thalib, dan akhirnya sampai kepada Rasulullah saw. Dari Ali Ar-Ridha,
tarikat Qadariyah-Naqsyabandiyyah bersambung dengan apa yang dikenal sebagai
silsilah emas (al-silsilah al-dzahabiyyah), yaitu untaian mata rantai keluarga
Nabi saw. yang terkenal dalam kemakrifatannya dan kesalehannya. Inilah
rangkaian imam yang oleh Nabi saw. disebut Safinah Nuh (Perahu Nuh) dan
gemintang umat. “Terekat yang tidak bersambung kepada Rasulullah saw. tidak
boleh diikuti. Ikutilah guru (mursyid), yang memperoleh ilmunya dari rangkaian
guru yang bersambung kepada Ali bin Abi Thalib dan sampai kepada Rasulullah
saw.,” kata pengikut tarekat. Kawan saya masih bertanya, “Mengapa harus
melewati rantai yang panjang? Ikuti saja langsung Rasulullah saw.? Mengapa
harus melewati Ali?” Saya tidak bisa menjelaskan lagi keculai mengatakan
peribahasa Melayu lama: mengeja dari awal, mengaji dari alif. “Tinggalkan semua hal yang berkaitan dengan guru atau
keharusan mengikuti Ali. Yang jelas, tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan
sunnah. Pada zaman Nabi saw. dan para sahabatnya, tidak dikenal kata tasawuf.
Jadi, untuk apa mengikuti tasawuf, siapa pun gurunya, atau siapa pun imamnya.
Tugas kita adalah menjalankan Al-Quran dan sunnah. Titik. Tidak perlu nama-nama
itu,” argumen kawan saya yang lain. Betul, kata tasawuf tidak terdapat dalam Al-Quran dan sunnah
secara spesifik, sebagaimana juga kata ilmu fikih, ilmu tafsir, filsafat,
tauhid, rkun iman, atau rukun Islam. Apakah karena tidak ada kata tauhid dalam
Al-Quran dan sunnah, akidah kita tidak perlu ditegakkan di atas dasar tauhid?
Apakah karena tidak ada kata fikih dalam Al-Quran dan sunnah, kita tidak perlu
memelajarinya? Anda lupa bahwa ilmu tasawuf, seperti juga fikih, tafsir, dan
tauhid muncul dan berkembang dari upaya umat Islam untuk menjalankan Al-Quran
dan sunnah? Kita akan mengakhiri tulisan ini dengan mempersilahkan
pemuka tasawuf, Al-Suhrawardi, berkata, “Ketahuilah bahwa semua keadaan mulia
yang dinisbatkan kepada sufi dalam buku ini adalah keadan orang yang berusaha
mendekatkan diri kepada Allah Swt. sufi adalah nama muqarrab. Di dalam Al-Quran
tidak ada kata sufi. Nama sufi dikenakan kepada setiap muqarrab seperti yang
akan kita jelaskan dalam bab tentang itu. Tidak dikenal istilah sufi untuk
orang yang mendekatkan diri kepada Allah di berbagai negeri Islam, baik di
Timur maupun di Barat. Betapa banyaknya kaum muqarrabin di Maghribi, Turkistan,
atau di negeri seberang sungai. Mereka tidak disebut sufi karena tidak memakai
pakaian sufi… semua guru sufi yang nama-namanya disebut dalam kitab-kitab
tasawuf adalah orang yang sedang menempuh jalan kaum muqarrabin dan ilmu mereka
berkenaan dengan keadaan (ahwal) muqarrabin.” Sumber: Ahmadsamantho Institute [*] Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia |