Menengok Sejarah Perjalanan Haji Tempo DahuluMenunaikan ibadah haji
wajib hukumnya, bahkan menjadi salah satu rukun Islam bagi madzhab Ahlussunnah
dan sebagai kewajiban furu’uddin dalam madzhab Syi’ah. Berbeda dengan
kewajiban-kewajiban syari’at lainnya, menunaikan ibadah haji boleh dikatakan
merupakan kewajiban terberat dalam Islam. Orang yang melaksanakan
ibadah haji ke tanah suci mengahdapi resiko yang tidak kecil, mulai dari
kesengsaraan di perjalanan (khusus jemaah haji Indonesia kesengsaraan itu sudah
terasa jauh hari sebelum keberangkatan), hingga ancaman kematian akibat
berdesak-desakan dan terinjak-injak oleh sesama jemaah haji saat melakukan
ritual haji seperti pernah dialami beberapa tahun yang lalu akibatnya
semrawutnya pelayanan haji yang diselenggaran sang “Khadimul Haramain”. Bahkan
–lagi-lagi khusus untuk jemaah haji Indonesia- kelaparan. Itu sekarang ketika
semua sarana dan prasarana pelaksanaan jemaah haji sudah sangat modern.
Bagaimana dengan jaman dulu, ratusan tahun lalu, saat pesawat terbang belum
ada, bahkan kendaraan daratpun baru berupa kuda dan onta ? Dapat kita bayangkan
betapa beratnya menunaikan ibadah haji pada jaman itu terutama bagi kaum
muslimin yang bertempat tinggal jauh dari tanah suci seperti di Nusantara ini. Konon, perjalanan menuju
Mekah dari daerah-daerah di Nusantara membutuhkan waktu 2 hingga 6 bulan
lamanya karena perjalanan hanya dapat ditempuh dengan kapal layar. Bayangkan
berapa banyak perbekalan berupa makanan dan pakaian yang harus dipersiapkan
para jemaah haji ! Itu pun belum tentu aman. Kafilah haji selalu harus waspada
akan kemungkinan para bajak laut dan perompak di sepanjang perjalanan, belum
lagi ancaman topan, badai dan penyakit. Tidak jarang ada jemaah haji yang urung
sampai di tanah suci karena kehabisan bekal atau terkena sakit. Kebanyakan dari
mereka tinggal di negara-negara tempat persinggahan kapal. Karena beratnya
menunaikan ibadah haji, mudah dimengerti bila kaum muslimin yang telah berhasil
menjalankan rukun Islam kelima ini kemudian mendapatkan kedudukan tersendiri
dan begitu terhormat dalam masyarakat sekembalinya ke negeri asalnya. Merekapun
kemudian mendapat gelar “Haji”, sebuah gelar yang umum disandang para hujjaj
yang tinggal di negara-negara yang jauh dari Baitullah seperti Indonesia dan Malaysia,
tapi gelar ini tidak populer di negara-negara Arab yang dekat dengan tanah
suci. Sejak kapan kaum
muslimin Indonesia mulai menunaikan ibadah haji ? Yang jelas kesadaran untuk
menunaikan ibadah haji telah tertanam dalam diri setiap muslim Indonesia generasi
pertama semenjak para juru da’wah penyebar agama yang datang ke nusantara
memperkenalkan agama Islam. Prof. Dadan Wildan Anas
(PR 17 Januari 2006) menyebutkan dalam naskah Carita Parahiyangan dikisahkan
bahwa pemeluk agama Islam yang pertama kali di tanah Sunda adalah Bratalegawa
putra kedua Prabu Guru Pangandiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora
penguasa kerajaan Galuh (1357-1371). Ia menjadi raja menggantikan abangnya,
Prabu Maharaja (1350-1357) yang gugur dalam perang Bubat yaitu peperangan
antara Pajajaran dengan Majapahit. Bratalegawa memilih
hidupnya sebagai seorang saudagar, ia sering melakukan pelayaran ke Sumatra,
Cina, India, Srilanka, Iran, sampai ke negeri Arab. Ia menikah dengan seorang
muslimah dari Gujarat bernama Farhana binti Muhammad. Melalui pernikahan ini,
Bratalegawa memeluk Islam. Sebagai orang yang pertama kali menunaikan ibadah
haji di kerajaan Galuh, ia dikenal dengan sebutan Haji Purwa (Atja, 1981:47). Setelah menunaikan
ibadah haji, Haji Purwa beserta istrinya kembali ke kerajaan Galuh di Ciamis
pada tahun 1337 Masehi. Di Galuh ia menemui adiknya, Ratu Banawati, untuk
bersilaturahmi sekaligus mengajaknya masuk Islam. Tetapi upayanya itu tidak
berhasil. Dari Galuh, Haji Purwa pergi ke Cirebon Girang untuk mengajak
kakaknya, Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya yang menjadi penguasa kerajaan
Cirebon Girang, untuk memeluk Islam. Namun kakaknya pun menolak. Naskah kuno selain
Carita Parahyangan yang mengisahkan orang-orang jaman dulu yang telah berhasil
menunaikan ibadah haji adalah Carita Purwaka Caruban Nagari dan naskah-naskah
tradisi Cirebon seperti Wawacan Sunan Gunung Jati, Wawacan Walangsungsang, dan
Babad Cirebon. Dalam naskah-naskah tersebut disebutkan adanya tokoh lain yang
pernah menunaikan ibadah haji yaitu Raden Walangsungsang bersama adiknya
Rarasantang. Keduanya adalah putra Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran, dan pernah
berguru agama Islam kepada Syekh Datuk Kahpi selama tiga tahun di Gunung Amparan
Jati Cirebon. Setelah cukup berguru
ilmu agama Islam, atas saran Syekh Datuk Kahpi, Walangsungsang bersama adiknya
Rarasantang berangkat ke Mekah -diduga antara tahun 1446-1447 atau satu abad
setelah Bratalegawa- untuk menunaikan ibadah haji dan menambah ilmu agama
Islam. Dalam perjalanan ibadah haji itu, Rarasantang dinikahi oleh Syarif
Abdullah, Sultan Mesir dari Dinasti Fatimiyah (?), dan berputra dua orang yaitu
Syarif Hidayatullah (1448) dan Syarif Arifin (1450). Sebagai seorang haji,
Walangsungsang kemudian berganti nama menjadi Haji Abdullah Iman, sementara
Rarasantang berganti nama menjadi Hajjah Syarifah Mudaim. Sementara dari
kesultanan Banten, jemaah haji yang dikirim pertama kali adalah utusan Sultan
Ageng Tirtayasa. Ketika itu, Sultan Ageng Tirtayasa berkeinginan memajukan
negerinya baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan
perdagangan dengan bangsa-bangsa lain (Tjandrasasmita, 1995:117). Pada tahun 1671 sebelum
mengirimkan utusan ke Inggris, Sultan Ageng Tirtayasa mengirimkan putranya,
Sultan Abdul Kahar, ke Mekah untuk menemui Sultan Mekah sambil melaksanakan
ibadah haji, lalu melanjutkan perjalanan ke Turki. Karena kunjungannya ke Mekah
dan menunaikan ibadah haji, Abdul Kahar kemudian dikenal dengan sebutan Sultan
Haji. Menurut naskah Sajarah
Banten diceritakan suatu ketika Sultan Banten berniat mengirimkan utusannya
kepada Sultan Mekah. Utusan itu dipimpin oleh Lebe Panji, Tisnajaya, dan
Wangsaraja. Perjalanan haji saat itu harus dilakukan dengan perahu layar, yang
sangat bergantung pada musim. Biasanya para musafir menumpang pada kapal dagang
sehingga terpaksa sering pindah kapal. Perjalanan itu membawa mereka melalui
berbagai pelabuhan di nusantara. Dari tanah Jawa terlebih dahulu harus menuju
Aceh atau serambi Mekah, pelabuhan terakhir di nusantara yang menuju Mekah. di
sana mereka menunggu kapal ke India untuk ke Hadramaut, Yaman, atau langsung ke
Jeddah. Perjalanan ini bisa makan waktu enam bulan atau lebih. Di perjalanan, para
musafir berhadapan dengan bermacam-macam bahaya. Musafir yang sampai ke tanah
Arab pun belum aman. Pada masa awal perjalanan haji, tidak mengherankan apabila
calon jemaah dilepas kepergiannya dengan derai air mata; karena khawatir mereka
tidak akan kembali lagi. Demikian beberapa
catatan tentang kaum muslimin Nusantara jaman dulu yang telah berhasil
menunaikan ibadah haji. Dari kisah-kisah tersebut nampaknya ibadah haji
merupakan ibadah yang hanya terjangkau kaum elit, yaitu kalangan istana atau
keluarga kerajaan. Hal ini menunjukkan –pada jaman itu- perjalanan untuk
melaksanakan ibadah haji memerlukan biaya yang sangat besar. Namun demikian,
tidak tertutup kemungkinan adanya masyarakat kalangan bawah yang juga telah
berhasil menunaikan ibadah haji namun tidak tercatat dalam sejarah. Gelar “Haji”
memang pantas bagi mereka. Sekarang perjalanan haji
seharusnya tidak sesulit jaman dulu. Sudah selayaknya pemerintah mempermudah
perjalanan haji dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya bagi kaum muslimin yang
ingin menunaikannya. Sumber:
Kian Santang |