Pengetahuan Tuhan Ihwal Masa Datang?Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Tim Al-Balagh
Ada sebuah pertanyaan yang mengetuk kuriositas saya untuk
mencari tahu informasi tentang pengetahuan Tuhan. Hal itu bertalian dengan
kejadian di masa lalu dan sekarang dan masa datang. Kalau berbicara tentang
masa lalu, mungkin bukan sesuatu yang “pelik” bagi Tuhan. Namun berkaitan
dengan masa datang apakah juga termasuk dalam kekuasaan ilmu Tuhan? Karena ia
belum menjadi bukti nyata sehingga ia terekam dalam “benak” Tuhan? Sementara
Tuhan tidak memiliki benak. Ilmu yang dimiliki-Nya tidak bersumber dari refleksi
atau reaksi. Oleh karena itu, kita harus menerima bahwa Dia tidak memiliki ilmu
tentang kejadian-kejadian akan terjadi. Sebab, ilmu presentif (‘ilm al-hudhûrî)
tidak berkaitan dengan masalah-masalah yang ma’dum (yang tidak ada), juga
ilmu representif (‘ilm al-hushûlî) tidak ada pada Tuhan (yakni, tidak dapat
dikatakan bahwa Tuhan memiliki ilmu hushûlî)? Terima kasih. Meskipun pertanyaan ini berkaitan dengan kejadian-kejadian
yang akan terjadi di masa datang, akan tetapi ihwal kejadian-kejadian yang telah
berlalu dan sirna juga masih dapat diuraikan di sini. Sebab, kejadian-kejadian
masa lalu kini sudah tidak ada lagi. Wujud Fir’aun, Bani Israil, dan
sahabat-sahabat Musa misalnya telah sirna, dan sejarah mereka juga telah
berlalu. Kita hanya dapat menghadirkan gambaran mereka dalam benak kita
sehingga kita dapat menyusuri sejarah kehidupan mereka. Karena ilmu yang kita
miliki melalui jalan imajinasi. Maksudnya, kita membayangkannya di dalam benak
kita. Akan tetapi, sekaitan dengan Allah Swt, benak dan gambaran-gambarannya
tidak lagi berarti, karena ilmu Tuhan hanyalah ilmu hudhûrî. Dengan demikian,
bagaimana kita dapat mengerti bahwa Tuhan memiliki pengetahuan tentang kejadian
yang telah berlalu? Pertanyaan ini dapat dituntaskan melalui tiga jawaban berikut
ini: a. Tuhan senantiasa menguasai ilmu tentang Dzat-Nya nan
kudus yang senantiasa menjadi sebab atas segala sesuatu. Dan ilmu ini disebut
sebagai ilmu ijmâlî (pengetahuan global) terhadap seluruh kejadian dan makhluk
alam semesta ini; sesudah dan sebelum penciptaannya. Dengan kata lain, apabila kita tahu sebab terjadinya
sesuatu, kita pasti mengetahui hasil dan akibatnya. Karena, setiap sebab
(‘illat) memiliki seluruh kesempurnaan akibat (ma’lûl), atau bahkan lebih
sempurna. Lebih jelasnya, kejadian-kejadian masa lalu belumlah sirna
dan punah secara keseluruhan. Efek-efeknya masih tersisa di balik
kejadian-kejadian masa kini. Demikian juga kejadian-kejadian masa datang tidak
terpisah dengan kejadian-kejadian masa kini, dan bertalian erat dengan kejadian
masa kini. Dengan demikian, “masa lalu”, “masa datang” dan “masa kini” ibarat
satu mata rantai yang berujung kepada sebab (‘illat) dan akibat (ma’lûl)
sehingga apabila kita mengetahui salah satunya, kita akan menemukan runtutan
sebelum dan sesudahnya. Misalnya, apabila aku mengetahui dengan pasti suhu udara
seluruh planet bumi dengan seluruh partikular-partikular dan tipologinya, sebab
dan akibatnya, gerakan planet bumi, masalah gravitasi dan repulsi, niscaya aku
dapat mengetahui secara pasti suhu udara jutaan tahun yang lalu, atau jutaan
tahun yang akan datang, lantaran kita memiliki data tentang masa lalu dan masa
datang. Bukan data global (ijmali), karena data rincinya terefleksi dalam
bagian file yang terkini. Hari ini –persisnya- merupakan refleksi hari kemarin. Dan
besok merupakan refleksi hari ini. Dan pengetahuan tentang seluruh
bagian-bagian hari ini yaitu pengetahuan terhadap masa lalu dan masa datang. Dengan demikian, jika kejadian-kejadian hari ini dengan
segala tipologi dan kekhususannya berada di sisi Tuhan, ini berarti bahwa masa
lalu dan masa datang juga berada di sisi-Nya. Hari ini merupakan cermin masa lalu dan masa datang. Dan
seluruh kejadian hari kemarin dan hari esok dapat kita saksikan pada cermin
hari ini. (Perhatikan baik-baik). b. Cara lain untuk menjawab pertanyaan itu, yaitu kita harus
memperhatikan satu perumpamaan yang nyata. Anggaplah seseorang yang terpenjara
dalam biliknya yang hanya memiliki lubang kecil untuk keluar. Sementara ada
sederetan unta melintas di hadapan lubang kecil ini. Pertama kali ia melihat
kepala dan leher unta tersebut. Lalu punuknya, dan setelah itu kaki-kaki dan
ekornya. Demikian juga unta-unta lainnya yang berada di dalam deretan tersebut.
Dari lubang kecil ini, ia membuat masa lalu dan masa datangnya. Akan tetapi,
bagi seseorang yang berada di luar bilik ini dan berdiri di atas atap terbuka,
ia melihat seluruh sahara. Jelas, permasalahanya menjadi lain. Ia melihat
seluruh deretan unta tersebut berada pada satu tempat yang sedang bergerak. Dari sini akan menjadi jelas bahwa membangun sebuah
pemahaman dari masa lalu, masa kini dan masa datang merupakan hasil dari
keterbatasan pandangan manusia. Masa yang lalu bagi kita adalah masa yang
datang bagi orang-orang terdahulu. Dan apa yang menjadi masa datang bagi kita,
menjadi masa lalu bagi orang-orang yang akan datang. Akan tetapi, Dzat yang hadir di setiap tempat, yang meliputi
secara azali (tak berawal) dan abadi (tak berakhir), masa lalu, masa datang dan
masa kini tidaklah berarti bagi-Nya. Seluruh kejadian yang terjadi sepanjang
masa hadir di pada-Nya, (namun masing-masing berada pada kapasitas khasnya) dan
Dia Mahatahu akan seluruh kejadian dan wujud yang ada di alam semesta ini;
apakah ia berada di masa lalu, masa datang atau masa lalu. Dia menguasainya
secara menyeluruh dan satu. Tentu saja kita akui bahwa permasalahan ini bagi kita yang
berada dalam penjara ruang dan waktu indrawi begitu sulit. Permasalahan ini
memang memerlukan kajian yang teliti. c. Cara lain untuk menjawab pertanyaan ini adalah cara yang
menjadi landasan kebanyakan filosof. Yaitu, bahwa Tuhan adalah Mahamengetahui
Dzat-Nya, dan Dzat-Nya merupakan sebab (‘illat) bagi terwujudnya seluruh
makhluk. Ilmu terhadap sebab (‘illat) adalah sumber ilmu terhadap akibat
(ma’lûl). Dengan ungkapan lain, Tuhan memiliki segala kesempurnaan
seluruh makhluk, bahkan dalam bentuk yang paling sempurna. Tidak secuil pun
cacat ada pada Dzat-Nya yang suci sebagaimana cacat yang dimiliki oleh seluruh
mahkluk. Oleh karena itu, jika Dia Mahatahu akan Dzat-Nya, niscaya Dia
mengetahui seluruh makhluk. Demikian kurang lebih pandangan mayoritas mazhab
Peripatetik. Ihwal pandangan alternatif yang dikembangkan oleh filsafat hikmah
(hikmah muta’aliyah) kami alokasikan pada kesempatan mendatang. Dibandingkan dengan jawaban pertama, jawaban ini
memiliki perbedaan yang amat tipis, sebagaimana akan tampak jelas bila diamati
secara seksama dan akurat. [Sumber: www.wisdoms4all.com] |