Kriteria Seorang Imam;Tinjauan Sunni dan SyiahDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Tim Al-Balagh
Bila penafsiran al-Quran seorang imam tidak terjaga dari
kesalahan, maka ucapannya tidak dapat menjadi hujjah bagi umat dan fashlul
khitab (penengah) pelbagai silang-pendapat dalam penafsiran. Demikian juga,
penjelasan hukum-hukum agama dari pihak seorang imam yang tidak terjaga dari
kesalahan, tidak akan dapat menyempurnakan hujjah atas umat dan mereka tidak
dapat bersandar kepadanya ketika belum meyakini ternafikannya kemungkinan
kesalahan dalam ucapan-ucapan imam dan menjadikannya sebagai penuntun praktek
tugas-tugas agama. Seorang imam yang tidak terjaga dari perbuatan dosa, sangat
mungkin tergelincir dalam menghadapi penyimpangan dan penyelewengan, tidak
melaksanakan kewajiban dengan motif memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi
atau karena faktor-faktor lain. Di samping itu, seorang imam yang dirinya
sendiri tergelincir ke dalam perbuatan dosa, tidak akan dapat menjadi penyeru
umat kepada takwa dan amal saleh dan sangat mungkin sekali kehilangan nilai dan
validitasnya, minimal dalam pandangan sebagian masyarakat. Perbedaan fundamental Syiah dan Sunni dalam esensi dan
kedudukan imamah menjadi penyebab munculnya berbagai macam perbedaan. Di mana
sebagiannya tempak jelas dalam pembahasan imamah, yaitu pada pemaparan
syarat-syarat dan kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang imam.
Berikut ini kita akan lihat kriteria dan teraju yang digunakan kedua mazhab
besar dalam Islam ini dalam memilih dan mengangkat seorang imam. Kriteria-kriteria Imam dalam Perspektif
Ahlusunnah
Ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan syarat-syarat ini tidak
memiliki kesepakatan pandangan dan dalam ucapan-ucapan mereka tampak berbagai
macam perbedaan yang mencolok.[1] Sebagai contoh, Baqalani mengisyaratkan
dengan tiga syarat seseorang dapat memangku jabatan imam: a) Bernasab Quraisy;
b) Berpengetahuan dalam batasan seorang qadhi (hakim) dan c) Berkepandaian
dalam urusan kepemimpinan umat dan militer.[2] Mawardi memberikan tujuh hal berikut sebagai syarat yang
harus dimiliki oleh seorang imam: Keadilan, ilmu dalam batasan ijtihad,
kesehatan indera, kesehatan anggota badan (jasmani), kepengaturan
(kepemimpinan), keberanian dan berketurunan Quraisy.[3] Taftazani juga meyakini hal-hal berikut ini sebagai
persyaratan yang harus dimiliki oleh imam untuk membuktikan kedudukan imamah
dan pengganti Nabi Saw: Mukallaf (menginjak usia taklif), keadilan, merdeka,
laki-laki, ijtihad, keberanian, kepengaturan (kepemimpinan), orator dan
berketurunan Quraisy.[4] Setelah menjelaskan secara global teraju dan kriteria yang
ditetapkan oleh ulama Sunni, di sini kiranya perlu disebutkan beberapa poin
penting: a) Perbedaan-perbedaan pendapat ulama Ahlusunnah dalam
menjelaskan syarat-syarat imam muncul dari anggapan bahwa Nabi Saw tidak
menyinggungnya dengan seluruh esensi dan urgensitasnya, dan tidak memberikan
tuntunan khusus mengenainya kepada umat. Oleh karena itu, dalam hal ini
masing-masing dari ulama Ahlusunnah terpaksa menjelaskannya berdasarkan
pandangan dan pendapatnya sendiri serta melihat sebagian kemaslahatan. Tentu
saja, kelompok ini harus menjawab pertanyaan mendasar bahwa Nabi saw yang
menjelaskan hukum-hukum syariat dan praktis terkecil, bahkan dalam hal-hal yang
makruh dan sunnah kepada umatnya, bagaimana mungkin tidak menerangkan
permasalahan hayati ini, yaitu syarat-syarat imam yang layak dan saleh! b) Mayoritas ulama Ahlusunnah menegaskan bahwa bila imam
kaum Muslimin melenceng ke jalan kefasikan, kesewenang-wenangan, kezhaliman dan
kesesatan, maka ia tidak akan tercopot dari kedudukannya. Akan tetapi klaim ini
tidak sesuai dengan pandangan mereka dalam menganggap keadilan sebagai salah
satu syarat seorang imam. Karena pensyaratan keadilan berarti bahwa ketika
syarat ini tidak ada (ternafikan), maka kompetensinya untuk kedudukan imamah
akan lenyap dan pribadi seperti ini tidak dapat lagi menduduki jabatan sebagai
imam umat Islam. c) Berdasarkan pada kesaksian sejarah, mayoritas hakim
(penguasa) Islam setelah Ali As tidak menyandang berbagai persyaratan tersebut,
sementara kelompok penguasa ini menurut pandangan Ahlusunnah, termasuk
pengganti Rasulullah Saw dan imam kaum Muslimin. Dengan kata lain, walaupun
kita cukup dengan syarat-syarat imam yang diyakini oleh Ahlusunnah, maka banyak
hakim yang menurut mereka sebagai amirul mukminin dan khalifah Rasulullah Saw,
pada kenyatannya tidak memiliki kompetensi tersebut. Kriteria-kriteria Imam dalam Tinjauan
Syiah
Sampai di sini jelas bahwa Imamiyah meyakini imamah sebagai
sebuah kedudukan sangat tinggi dan maqam sangat agung. Menurut pandangan ulama
Syiah, imamah merupakan kedudukan Ilahi dan imam sebagai penjaga syariat,
penjawab seluruh kebutuhan-kebutuhan religius umat. Oleh karena itu, wajar
sekali bila seorang imam harus memiliki syarat-syarat dan kriteria-kriteria luar
biasa, sehingga mampu menjalankan tugas urgen imamah dengan sebaik mungkin. Syarat-syarat terpenting imam menurut pandangan Syiah
berupa: 1) Ishmah; 2) Ilmu ladunni; 3) Superioritas spiritual atas yang lain
(keutamaan); 4) Pelantikan berdasarkan nash. I- Ishmah Imam Ulama Ahlusunnah sepakat berpandangan bahwa seorang imam
tidak harus maksum.[5] Di pihak lain, seluruh ulama Syiah
bersuara bulat dalam hal bahwa salah satu di antara syarat-syarat
pendeklarasian kedudukan imamah adalah ishmah (infallible) dan imam adalah
seorang yang tersucikan dari kesalahan, dosa dan maksiat. Teolog-teolog Syiah dalam membuktikan keharusan ishmah
seorang imam menggunakan berbagai macam argumen rasional dan tekstual.
Tampaknya, dengan merenungkan argumentasi kewajiban pelantikan imam dari sisi
Allah swt -berdasarkan kebutuhan umat terhadap marja’iyyah (tempat rujukan)
keagamaan pasca Rasulullah saw- yang kita telah paparkan, kiranya cukup untuk membuktikan
keharusan ishmah imam, karena pelaksanaan tugas-tugas secara layak di pundak
imam, tanpa ishmah dari kesalahan dan dosa adalah sebuah hal yang tidak
mungkin. Bila penafsiran al-Quran seorang imam tidak terjaga dari
kesalahan, maka ucapannya tidak dapat menjadi hujjah bagi umat dan fashlul
khitab (penengah) pelbagai silang-pendapat dalam penafsiran. Demikian juga,
penjelasan hukum-hukum agama dari pihak seorang imam yang tidak terjaga dari
kesalahan, tidak akan dapat menyempurnakan hujjah atas umat dan mereka tidak
dapat bersandar kepadanya ketika belum meyakini ternafikannya kemungkinan
kesalahan dalam ucapan-ucapan imam dan menjadikannya sebagai penuntun praktek
tugas-tugas agama. Seorang imam yang tidak terjaga dari perbuatan dosa, sangat
mungkin tergelincir dalam menghadapi penyimpangan dan penyelewengan, tidak
melaksanakan kewajiban dengan motif memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi
atau karena faktor-faktor lain. Di samping itu, seorang imam yang dirinya
sendiri tergelincir ke dalam perbuatan dosa, tidak akan dapat menjadi penyeru
umat kepada takwa dan amal saleh dan sangat mungkin sekali kehilangan nilai dan
validitasnya, minimal dalam pandangan sebagian masyarakat. Singkatnya, menerima tugas mejaga syariat dan membela dunia
Islam serta melanjutkan tugas hidayah umat pasca Nabi Saw, berada di pundak
imam. Pelaksanaannya secara sempurna dan layak adalah sebuah hal yang tidak
mungkin tanpa ishmah. Menurut Allamah Hilli: “Kelompok Imamiyah meyakini keharusan kemaksuman imam-imam
dari seluruh kejelekan dan dosa mulai usia kanak-kanak hingga akhir hayat
sebagaimana nabi-nabi, karena imam-imam adalah para penjaga syariat dan
pelaksananya dan posisi mereka dari sudut pandang ini seperti posisi Nabi saw.”[6] Disamping hal-hal yang telah lalu, teolog-teolog Syiah juga
memaparkan argumen-argumen lain atas keharusan ishmah imam yang di sini kita
paparkan sebuah argumen: Apabila imam tidak maksum, akan terjadi tasalsul (mata-rantai
tak berujung) dan sedangkan tasalsul adalah mustahil. Penjelasannya, alasan
kebutuhan umat kepada imam adalah karena umat tidak maksum dan mungkin
melakukan kesalahan; karena apabila mereka maksum, maka mereka tidak akan
membutuhkan lagi kepada imam. Sementara itu, bila kita anggap bahwa imam
sendiri mungkin melakukan kesalahan, maka konsekwensinya adalah akan
membutuhkan kepada imam yang lain dan bila mata rantai kebutuhan-kebutuhan
kepada imam maksum tidak berhenti, akan terjadi tasalsul dan oleh karena
tasalsul batil (mustahil), maka keberadaan seorang imam maksum yang dengan
keberadaannya kebutuhan umat akan terpenuhi adalah hal yang lazim.[7] Ishmah Imam dalam al-Quran Disamping argumen-argumen rasional, para teolog juga
menggunakan sebagian ayat al-Quran untuk menetapkan keharusan ishmah imam. Di
sini, sebagai contoh, kita akan mengkaji argumentasi dengan dua ayat al-Quran. 1- Imamah; Perjanjian Ilahi: Dalam surat al-Baqarah kita
membaca: “وَ إِذِ ابْتَلى إِبْراهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِماتٍ فَأَتَمَّهُنَّ
قالَ إِنِّي جاعِلُكَ لِلنَّاسِ إِماماً قالَ وَ مِنْ ذُرِّيَّتِي قالَ لا يَنالُ
عَهْدِي الظَّالِمِين” “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan
beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya
Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: “(Dan saya
mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai
orang-orang yang zalim”.[8] Argumentasi dengan ayat ini[9] bergantung pada kejelasan maksud
imamah (اماما) dan orang-orang zhalim (الظالمین). Mungkin dikatakan bahwa maksud dari imamah dalam ayat ini
adalah kenabian dan ayat tersebut menyingkap penganugerahan kedudukan kenabian
kepada Ibrahim As. Akan tetapi ucapan ini tidak sesuai dengan zhahir ayat
tersebut, qarinah-qarinah dan bukti-bukti lain yang ada di dalamnya; karena
pertama, secara tersurat redaksi “…قالَ إِنِّي جاعِلُكَ
لِلنَّاسِ إِماماً” adalah bahwa firman ini bukan wahyu Ilahi pertama kepada
Ibrahim As, akan tetapi beliau sebelumnya juga menjadi khitab (obyek) wahyu dan
telah mencapai kedudukan kenabian. Permohonan imamah untuk keturunan juga
adalah bukti lain atas klaim ini; karena sangat jauh dari kedudukan Ibrahim As
untuk menyodorkan permohonan besar seperti ini langsung setelah wahyu pertama
turun kepadanya.[10] Kedua, permohonan tersebut menghikayatkan bahwa nabi Ibrahim
as ketika itu memiliki putera-putera (Ismail dan Ishaq) dan dari sisi lain
menurut penjelasan al-Quran,[11] Ibrahim dalam usia lanjut, sementara
itu bertahun-tahun masa kenabiannya telah berlalu, baru dikaruniai
putera-putera. Oleh karena itu, dengan memperhatikan bukti-bukti yang telah
disebutkan di atas, maksud dari imamah dalam ayat ini bukan kenabian, akan tetapi
maksudnya adalah penjagaan syariat Ilahi dan pelaksanaan undang-undang dan
hukum-hukum syariat di tengah-tengah masyarakat dan singkatnya, kepemimpinan
Ilahi umat ke arah tujuan-tujuan dan target-target syariat dan hal ini
sebagaimana arti yang dimaksudkan oleh kaum Muslimin dalam hal pengganti Nabi
Saw. Adapun mengenai arti “ظلم” (“zhulm”: kezhaliman) dalam ayat yang
menjadi pembahasan, apa yang dapat dikatakan? Kita ketahui “zhulm” dalam bahasa
Arab memiliki artian yang sangat luas; zhulm lawan dari ‘adl (keadilan) dan
dengan makna “peletakan sesuatu bukan pada tempatnya yang layak”. Dari sini,
segala bentuk dosa dan kemaksiatan termasuk semacam zhulm dan karena kata “الظالمین” dalam ayat,
berbentuk jamak dan ber”alif lam”, maka memberikan makna umum. Konklusinya, hal
tersebut akan bermakna bahwa segala bentuk kezhaliman dan segala macam dosa dan
kemaksiatan mencegah seseorang untuk mencapai tingkatan imam; sebuah tingkatan
yang dalam ayat al-Quran diekspresikan dengan perjanjian Allah (عهدی). Oleh karena
itu, seseorang yang pada masa taklif, walaupun melakukan sebuah dosa, tidak
akan dapat memiliki kelayakan kedudukan imamah dan konklusi ini tidak membawa
konsekwensi lain kucuali keharusan ishmah imam.[12] Dengan demikian, dari ayat yang menjadi pembahasan dapat
disimpulkan bahwa salah satu syarat imamah adalah ishmah dan pribadi nonmaksum
tidak akan mencapai tingkatan ini. Dalam sebagian riwayat juga arti ini menjadi
sorotan, sebagai contoh, dalam sebuah hadis dari Nabi saw dinukil bahwa Allah
swt dalam memberikan jawaban kepada nabi Ibrahim As, berfirman: “من سجد لصنم من دوني لا أجعله إماما أبدا، ولا يصح أن يكون إماما” “Barangsiapa bersujud kepada berhala selain-Ku maka Aku
tidak akan pernah menjadikannya sebagai imam dan tidak akan sah keberadaannya
sebagai imam”[13] 2- Ayat Ketaatan kepada Ulil Amr: Ayat lain yang dapat dijadikan
sandaran untuk menetapkan urgensitas (kewajiban) ishmah imam adalah ayat 59
surat an-Nisa’: “يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَ أَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَ أُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ” “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul(Nya) dan ulil amr di antara kalian”. Allah Swt dalam ayat ini menginstruksikan kepada kaum
mukminin untuk mentaati Nabi Saw dan ulil amr (pemilik urusan) dan ketaatan ini
bersifat absolut (mutlak) dan tidak disyaratkan dengan satu syarat pun. Dengan
kata lain, al-Quran menginginkan kaum mukminin untuk mentaati ulil amr secara
mutlak tanpa harus mengecualikan apapun.[14] Dari sisi lain, sangat tidak mungkin
Allah swt menyeru manusia untuk mengikuti dosa dan kemaksiatan atau kesalahan
dan penyelewengan. Dengan memperhatikan premis-premis ini, jelas bahwa ayat
yang menjadi kajian mengindikasikan ishmah ulil amr; karena bila mereka tidak
maksum dan kemungkinan dosa atau kesalahan terdapat dalam diri mereka, maka
perintah untuk mengikuti mereka secara mutlak tidak dapat dibenarkan,
konsekwensinya adalah al-Quran harus membatasi ketaatan kepada mereka dalam
beberapa hal yang tidak terdapat dosa atau kesalahan dari pihak ulil amr. Pensejajaran
ulil amr di samping Rasul saw dan tidak terulangnya kata “أَطِيعُوا” adalah bukti
klaim ini; karena Rasulullah saw maksum dan tidak akan pernah memerintahkan
kepada kesalahan atau kemaksiatan. Maka bila kemungkinan hal-hal tersebut
terdapat pada ulil amr, maka dengan mendatangkan kata keterangan, ketaatan
kepada ulil amr harus dikecualikan dalam hal-hal dosa dan kesalahan dari
cakupan ayat. Dengan demikian, ayat di atas mengindikasikan ishmah ulil
amr dengan jelas dan berdasarkan berbagai riwayat, maksud dari ulil amr adalah
pengganti-pengganti Nabi saw (Ali as dan keturunan beliau).[15] II. Ilmu Ladunni Kriteria kedua imam, menurut Syiah adalah pengetahuan luas dan
ilmu-ilmu khususnya; ilmu-ilmu yang tidak diperoleh dari jalur-jalur biasa
dalam penimbaan ilmu manusia dan dari sinilah, ilmu tersebut dikatakan ilmu
ladunni atau anugerah Ilahi. Urgensitas kepemilikan ilmu-ilmu ladunni imam akan
jelas dengan keterangan yang kami paparkan mengenai kebutuhan umat terhadap
imam, karena pengetahuan komprehensif terhadap seluruh rumus dan rahasia
al-Quran, ilmu lengkap terhadap syariat dan seluruh hukum dan undang-undang
agama (hingga hukum-hukum tema-tema baru dan kontemporer), persiapan sempurna
untuk memberikan jawaban terhadap problem-problem, seluruhnya berkonsekwensi
bahwa imam harus memiliki ilmu-ilmu khusus. Bila ilmu-ilmu imam hanya terpenuhi
dari sumber-sumber biasa pendapatan ilmu, maka tidak akan terdapat sebuah jaminan
pun untuk memberikan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan keagamaan umat yang
luas dan berbagai macam ragam dan hal ini artinya adalah membatalkan tujuan
Tuhan dalam pensyariatan agama. Sumber-sumber Ilmu Imam Ilmu-ilmu imam berasal dari berbagai sumber berikut: a) Al-Quran: Salah satu sumber ilmu-ilmu imam adalah
al-Quran Karim. Meskipun ayat-ayat al-Quran dapat dijangkau oleh seluruh orang,
imam dengan keutamaan dan anugerah Ilahi, memiliki limpahan ilmu kitabullah
(al-Quran) yang mana secara sempurna mengetahui muhkam dan mutasyabih, ‘am dan
khash, mutlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, asbab nuzul ayat-ayat dan
sisi-sisi luas lain kitab samawi ini dan dengan dukungan pengetahuan ini beliau
dapat menyampaikan tafsiran ayat-ayat, rumus-rumus dan rahasia-rahasia al-Quran
kepada umat manusia. b) Warisan dari Nabi Saw: Sumber kedua ilmu-ilmu imam adalah
ilmu-ilmu Nabi Saw yang ditransfer kepada imam (hakekatnya tidak jelas bagi
kita). Dalam hadis disebutkan bahwa Nabi saw mengajarkan 1000 bab ilmu kepada
Ali as yang mana dari setiap bab terbuka 1000 bab lain.[16] Dalam hadis sangat terkenal yang
dinukil dalam referensi-referensi Syiah dan Ahlusunnah, Nabi saw menyatakan
diri beliau sendiri sebagai kota ilmu dan Ali as sebagai pintu gerbangnya.[17] c) Komunikasi dengan Malaikat Ilahi dan Ruhul Qudus: Sumber
ketiga ilmu-ilmu imam adalah ilham-ilham Ilahi yang pindah ke imam melalui
perantara malaikat Ilahi atau ruh suci bernama Ruhul Qudus. Tentu saja,
ilham-ilham ini memiliki perbedaan dengan wahyu yang turun kepada nabi-nabi. Dalam banyak riwayat disinggung sebuah hakekat bahwa imam-imam
adalah muhaddits. Dalam sebuah hadis dari Imam Ja’far Shadiq As dalam
menjelaskan muhaddits berkata: “Sesungguhnya ia (muhaddits) mendengar suara dan tidak
melihat rupa”.[18] Dengan demikian, imam melalui jalur ilham Ilahi dan
pendengaran suara malaikat, mengetahui sebagian hakekat. Tentu saja, komunikasi
Allah swt atau malaikat dengan selain nabi-nabi bukan sebuah hal yang aneh dan
banyak ayat-ayat al-Quran yang menegaskan hal tersebut.[19] III. Superioritas Spiritual atas Yang Lain (Keutamaan) Kriteria khusus ketiga yang eksistensinya dalam diri seorang
imam wajib adalah superioritas imam atas seluruh individu umatnya dalam
sisi-sisi spiritual dan keutamaan-keutamaan akhlak.[20] Imam adalah seorang yang terdepan
dalam seluruh sifat-sifat akhlak dari yang lain dan lebih baik dalam iman dan
amal saleh dari seluruh orang. Imam adalah orang yang paling utama dalam
keilmuan, ketakwaan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan di antara orang-orang
pada masanya. Ringkasan argumentasi rasional teolog-teolog Syiah[21] mengenai kewajiban keberadaan kriteria
ini dalam diri imam adalah sebagai berikut: Bila imam tidak lebih utama dalam
hal-hal spiritual dari setiap individu umat, maka akan sama atau bahkan lebih
rendah dari mereka dan tidak ada kemungkinan lain lagi. Adapun dua kondisi
terakhir tidak benar, karena yang pertama (ketika sama dengan yang lain) akan
berkonsekwensi “tarjih bila murajjih” (menentukan pilihan tanpa alasan keutamaannya),
karena bila dua orang memiliki kesamaan dalam hal-hal spiritual dan
masing-masing tidak memiliki sedikit kelebihan pun atas yang lainnya, maka
imamah dan kepemimpinan salah seorang di antara mereka atas yang lain adalah
penentuan pilihan yang tidak beralasan. Kebatilan kondisi kedua juga sangat
jelas, karena akal sehat menghukumi keburukan hal bahwa Allah Swt lebih
mengedepankan seorang yang lebih rendah atas orang yang memiliki keutamaan dan
menjadikan mafdhul sebagai imam afdhal (yang lebih utama). Oleh karena itu,
kondisi yang paling masuk akal hanya kondisi pertama, yaitu imam memiliki
superioritas dari umatnya sendiri. Dalam sebagian ayat al-Quran juga dapat ditemukan
singgungan-singgungan dalam konfirmasi klaim di atas. Sebagai contoh, dalam
surat Yunus disebutkan: “Maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu
lebih berhak diikuti ataukah orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali
(bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu
mengambil keputusan?”[22] IV. Berdasarkan Nash Syarat keempat dari syarat-syarat imam adalah keberadaan
nash[23] yang menunjukkan keimamahannya. Syarat
ini pada dasarnya, kembali kepada kajian metode masyru’ (sah secara syar’i) dan
valid pelantikan imam. Menurut perspektif Syiah, jalan pelantikan imam hanya
terwujud ketika Nabi Saw (atau seorang yang keimamahannya telah terbukti)
memproklamasikan keimamahannya dengan penjelasan yang gamblang dan tidak
mengandung kesamaran, dan melantiknya sebagai pengganti beliau.[24] Adapun menurut pandangan Ahlusunnah, proklamasi (nash) Nabi
Saw bukan satu-satunya jalan valid pelantikan imam, akan tetapi juga terdapat
cara-cara lain. Metode-metode Pelantikan Imam Menurut Ahlusunnah Ulama Ahlusunnah tidak memiliki persamaan pandangan dalam menjelaskan
metode-metode pelantikan imam. Walaupun demikian, metode pelantikan imam paling
terkenal menurut mereka, disamping nash Nabi saw dan nash imam sebelumnya,
“baiat ahlul hill wal ‘aqd” dan “kudeta militer”.[25]Yang
dimaksud dengan baiat ahlul hill wal ‘aqd adalah bahwa sekelompok pembesar dan
tokoh masyarakat menerima imamah seseorang melalui baiat dan menunjukkan
loyalitas praktis mereka untuk mentaatinya. Tentu saja, tidak terdapat qworum
tertentu dalam jumlah pembaiat, oleh karena itu, bila hanya salah seorang dari
ahlul hill wal ‘aqd berbaiat kepada seseorang maka sudah cukup untuk menetapkan
imamahnya.[26] Demikian juga, sebagian ulama Ahlusunnah berkeyakinan bahwa
bila seseorang menduduki kursi pemerintahan dengan menggunakan kekuatan militer
dan kudeta, maka imamah Umat Islam akan ditetapkan baginya, walaupun orang
tersebut fasiq, zalim atau jahil.[27] Nash: Satu-satunya Metode Pembuktian Imamah menurut Syiah Adapun dalam pandangan Syiah, nash hanya merupakan
satu-satunya metode pembuktian imamah dan metode-metode lain tidak memiliki
validitas. Pandangan ini ialah konsekuensi logis dari pandangan Syiah tentang
imamah, karena imamah bukan sebuah maqam duniawi, seperti maqam raja-raja dan
pemimpin-pemimpin pemerintahan; akan tetapi sebuah pelantikan Ilahi yang
memikul tugas-tugas penting kepemimpinan umat Islam dan penjagaan syariat dan
seseorang layak menempati kedudukan ini bila memiliki berbagai macam kriteria,
seperti ishmah dan ilmu ladunni, dan memiliki superioritas dalam seluruh
keutamaan dan sifat spiritual atas yang lain. Sangat jelas bahwa deteksi final
pribadi kompeten untuk maqam ini tidak dapat terrealisasi kecuali melalui jalur
pelantikan Allah swt dan proklamasi Nabi-Nya saw. Bagaimana dapat diterima
bahwa kedudukan pengganti Nabi saw dengan seluruh keagungan dan keurgenannya,
terwujud dengan baiat hanya dari seorang pembesar kaum (ahlul hill wal ‘aqd)
dan akal sehat bagaimana dapat merasa puas bahwa seorang yang fasik dan
berprilaku buruk yang menduduki kursi pemerintahan dengan melalui perantara
kekerasan, teror dan pembunuhan, diterima sebagai pengganti (khalifah) Nabi saw
dan pemimpin agama dan dunia umat Islam? Dalam sebagian referensi teologi Syiah, telah dibuktikan
berbagai argumentasi atas keterbatasan jalur penetapan imamah pada nash.
Ringkasan salah satu dari argumen-argumen yang berpondasikan permasalahan
ishmah imam ini adalah sebagai berikut: Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam pembuktian
imamah ialah ishmah. Dari sisi lain, ishmah termasuk dalam sifat-sifat yang pendeteksiannya
tidak mungkin dilakukan oleh umat, karena maksum artinya seorang yang memiliki
malakah menjauhi dosa dan menghindari kesalahan dan eksistensi malakah ini
dalam diri seseorang adalah sebuah hal intern yang hanya diketahui oleh Allah
swt. Oleh karena itu, hanya Allah swt yang mengenal individu maksum dan umat
akan mampu mengenalnya hanya dari jalur rekomendasi Allah swt dan Nabi-Nya.
Berdasarkan hal tersebut, metode penetapan imamah seorang imam hanya dengan
keberadaan nash (rekomendasi Nabi saw dari pihak Allah swt).[28] Dari apa yang diterangkan secara singkat dalam pembahasan
ini, jelas bahwa ulama Syiah dan Ahlusunnah memiliki dua gambaran yang sangat
berbeda mengenai esensi imamah dan fungsionalnya di tengah umat Islam dan
berdasarkan hal tersebut, mereka menetapkan berbagai syarat yang tidak sama
untuk imam. Perbedaan-perbedaan fundamental ini menyebabkan ketiadaan kata
sepakat di antara dua kelompok ini dalam pelantikan khalifah dan pengganti Nabi
saw yang kompeten dan hal ini adalah sebuah permasalahan yang akan kita kaji
dalam pembahasan mendatang. [Sumber: |