Jangan Distorsi Definisi KenabianDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Tim Al-Balagh
Pewancara: Dr Legenhausen[1],
jika Anda
sepakat, kita akan memulai pembahasan pada sumber epistemologi Pluralisme
secara global terlebih dahulu. Mungkin saja terjadi kerancauan pemahaman antara
bahasa pemikiran Islami dengan teori Pluralisme yang berkembang di Barat dalam
masalah mafhum (komprehensi, pengertian). Dari satu sisi, pemikiran islami
dengan penegasan khusus tentang akidah hak dan memberikan perhatian terhadapnya
secara urgen serta menekankan kebenaran atasnya, ia telah memperlihatkan
pendekatannya dalam menolak relativisme X dalam pemahaman sahih (benar) dan
tidak sahih (salah). Dan di sisi lain, adanya posisi serius yang diambil
al-Qur’an dan riwayat dalam memperbincangkan masalah batas demarkasi antara hak
dan batil, mukmin dan kafir, surga dan neraka, yang mendapat hidayah dan
tersesat, serta kebahagiaan dan penderitaan. Tambahan pula, al-Qur’an dan
riwayat memandang hal yang serius keadaan manusia dinisbahkan kepada
kehidupannya di dunia dan di akhirat, memberikan perhatian besar terhadap
urgensi manusia mengenal hakikat-hakitat kosmos, membenarkan akidahnya,
memperbaiki akhlak dan motif jiwanya serta menjaga segala prilakunya. Di
samping itu memprogramkan bagi manusia berupa hal yang wajib dan haram dalam
perkara-perkara individual dan sosial (baik itu dalam masalah hukum individual
dan sosial, ekonomi, politik, tarbiyah, dan lainnya). Semua ini merupakan
pertanda kerisauan terhadap hakikat, yang mana tidak mungkin ketemu dengan
konsep pluralisme agama. Pada prinsipnya, pluralisme agama, hatta dengan konsep John
Hick tidak dapat diterima oleh seorang muslim, sebab sangat banyak dari
konsep-konsep agama tidak dapat disinkronkan dengannya, seperti konsep
kenabian, konsep kebahagiaan, hidayah, kesesatan dan penderitaan, konsep taklif
dan syariat, mafhum akhlak, akidah dan landasan keimanan serta kekufuran, semua
ini bertolak belakang dengannya dan dinafikannya. Oleh karena itu, ajaran dan
doktrin Islami, secara pasti bertentangan dengan teori pluralis yang lahir dan
dipengaruhi oleh teori dan pandangan liberal barat. Akan tetapi pemikiran
Islami, dalam tataran amal dan prilaku kemasyarakatan serta pendidikan
kemanusiaan, jelas merupakan ahli toleran. Mukmin, memandang dirinya hak dan benar serta memandang
orang-orang yang berseberangan dengan Islam sebagai batil, kendati demikian
dari sisi lain Islam bertanggung jawab bermasyarakat dan bersosial dengan
lainnya secara toleran dan menjaga nilai dan kadar orang-orang yang diajak
bicara. Dalam masalah ini, sangat banyak sekali pesan dan nasehat dalam agama
kita bahwa kita mesti menjaga potensi-potensi masyarakat dan derajat pemahaman
orang-orang, dan dengan semua orang –apakah itu mukmin atau kafir- mengajak
mereka kepada kebenaran dan hak dengan bahasa insani dan dengan adab dan kasih,
serta memerintahkan kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Orang-orang
kafir mempunyai hak-hak, orang-orang lemah iman dan hatta kaum munafik
mempunyai hak-hak yang mesti dijaga. Akan tetapi semua itu memiliki batas-batas
tertentu yang tidak boleh lebih dari semestinya. Secara prinsip, riwayat-riwayat kita mengatakan bahwa tabiat
para nabi adalah bersahabat dan toleran. Dan berulang-ulang dinukil dari sirah
Nabi mulia Saw dan Ahlul Bait As bahwa orang-orang jahil dan orang-orang yang
digerakkan terkadang melakukan penghinaan terhadap diri mereka dan terkadang
terhadap ajaran suci Islam di hadapan mereka, akan tetapi mereka menghadapinya
dengan tenang dan menghampiri mereka dengan lembut serta memberi petunjuk kepada
mereka jalan yang dibutuhkannya. Di waktu lain seolah-olah diterima suatu bentuk pluralist
dan pemikiran Islami mengakomodasinya. Dalam hal mutasyâbihât perlu suatu
tinjauan khusus, sebab semuanya tidaklah masuk dalam bagian daruriyyât dan
muhkamât agama. Benar-benar terdapat poin-poin perbedaan yang tidak akan
terpecahkan kecuali dengan kehadiran maksum As. Dalam al-Qur’an, penyelesaian
sebagian perbedaan, hatta dikembalikan pada hari kiamat, di mana Tuhan akan
menghukumi tentang apa yang menjadi perselisihan dan perbedaan di antara kita.
Akan tetapi dengan semua itu (toleransi dan akomodasi Islam terhadap perbedaan)
dalam hal dua poin ini, yakni dalam tahap tarbiyah dan hal mutasyâbihât,
menurut kami, pengertian pluralisme yang berkembang dan menyebar di Barat ini
tetap tidak dapat dinisbahkan kepada Islam. Apakah menurut pandangan tuan,
pluralisme dengan pengertian epistemologisnya yang ada di Barat, dan di bawah
pengaruh pandangan dan teori empirisistis, apakah dengan parameter Islami dan
bahkan akal rasional dapat diterima? Ketika kita mengingkari pengetahuan
terhadap hakikat, apa makna dan pengertian daripada hak dan batil? Dan
bagaimana ditentukan misdak-misdaknya? Tolong komparasikan antara landasan
epistemologi pluralisme yang berkembang dalam pemikiran ini dengan toleransi
dan hak “berbeda pandangan”, dalam batas kita sebagai orang muslim dapat
menerimanya secara maksimal.! Doktor Legenhausen: Sebagaimana Anda ketahui bahwa
pluralisme di Barat digunakan dalam makna yang beragam. Dalam filsafat akhlak,
istilah ini mengandung suatu bentuk relativisme nilai dan penafian kaidah tetap
serta universal bagi akhlak. Atau membahas, apakah nilai-nilai dapat dirujukkan
satu sama lain dan saling berkumpul atau terkadang saling bertentangan satu
sama lain dan tidak dapat dirujukkan. Di sisi lain terdapat pluralisme politik yang merupakan
kelaziman dari pemikiran liberal. Akan tetapi terjadi perbedaan tentang apakah
liberalisme menawarkan suatu bentuk kehidupan khusus ataukah hanya membuka
jalan bagi segala macam kecenderungan-kecenderungan dan memberi hak kehidupan
kepada setiap orang sesuai keinginan hatinya?! Sebagaimana kita ketahui, kaum
liberal menyatakan bahwa liberalisme, ia sendiri mempunyai perkara “harus” dan
“tidak boleh” dan ia adalah sebuah ideologi, karena itu ia tidak dapat
dipertemukan dengan kehidupan syar’i. Dan adapun pluralisme agama yang pada dasawarsa akhir ini
dengan perantara usaha John Hick semakin masyhur dalam dunia Kristen, adalah
suatu bentuk wacana dalam teologi Kristen dan jika kita tidak mengetahui
perbedaan dan perselisihan dalam firkah-firkah Kristen, kita tidak dapat
memahaminya secara benar. Saya pikir, problem-problem yang terkadang muncul dalam
proses pemindahan wacana-wacana yang berlaku dalam pembahasan agama –filsafat
Barat- yang masuk ke negeri-negeri Islami dan hal yang serupa juga kita hadapi
di Iran, adalah subyek masalah yang ada dalam Kristen dan terkadang firkah
Eropa, ingin kita masukkan secara paksa dalam atmosfir pemikiran Islami,
padahal dalam kebudayaan Islami problema seperti itu tidak ada dan tidak
mempunyai pengertian. Mencampur adukkan parameter Islam dan Kristen, merupakan
sumber suatu kesalahan dan menimbulkan chaos pemahaman. Pluralisme agama dalam
dunia Kristen, akhir-akhir ini gencar diwacanakan oleh John Hick. Dia adalah
seorang pendeta dari firkah Presbyterians di Inggris dan sekarang hidup pensiun
di Amerika. Dia bertahun-tahun mengajar di Amerika. Sebelumnya di Inggris Timur
(Birmingham) sangat aktif bekerja sama dengan orang-orang Islam, Hindu, dan Yahudi. John Hick melihat bahwa sangat banyak orang-orang yang bukan
Kristen, yang berada di bawah pengaruh agama-agama lain, merupakan orang-orang
bersih dan ramah. Oleh karena itu, apa dalil yang bisa menjelaskan
keyakinan Gereja tentang pembaptisan, pengaruh Gereja dalam keselamatan ukhrawi
orang-orang, serta tentang surga dan neraka?! Jadi, kita jangan katakan
Al-Masih adalah Tuhan dan hanya dengan perantaranya dapat masuk ke surga. Sekarang mari kita bandingkan apa yang Islam katakan? Saya
menyarankan pada teman-teman, tentang kerumitan masalah keselamatan, surga,
neraka, dan pluralisme agama, merujuk kepada kitab “keadilan Ilahi” allamah
syahid Muthahari. Beliau, secara khusus di pasal akhir kitab tersebut,
mempunyai pembahasan yang dalam tentang subyek ini. Tentang pengertian dari
pluralisme yang berhubungan dengan keadilan Tuhan dan masalah akhirat, mesti
saya katakan bahwa kita orang-orang muslim adalah orang-orang yang pluralis.
Sebab kita menerima, hatta orang-orang non-muslim, dalam syarat-syarat khusus
dan dengan berbagai dalil dapat masuk surga. Dan dengan lutf Tuhan dia
diselamatkan, tentunya ini berlaku apabila dia secara benar-benar mencari
hakikat, namun tetap jalan salah yang ditemukannya. Orang seperti ini,
kendatipun mempunyai agama tidak benar, akan tetapi Tuhan dapat memaafkan dia
dan menjadi ahli surga, dan kita tidak tahu lebih dari ini. Sesuai pengajaran
dan doktrin Islam, kita secara umum tidak boleh mengatakan bahwa si fulan A,
karena mengerjakan perbuatan buruk maka dia pasti ahli neraka dan Tuhan pasti
tidak akan memaafkannya, atau si fulan B pasti ahli surga. Kecuali tentunya
beberapa kasus yang terdapat dalam Kitab dan hadits-hadits (seperti Abu Lahab,
dia bukanlah ahli surga), selain beberapa kasus ini, kita tidak bisa mengutarakan
pandangan secara pasti. Oleh karena itu, dengan makna ini maka Islam sejak awal
tidak mempunyai kritikan sebagaimana yang dimiliki oleh Kristen. Tidak
diragukan, Islam dengan makna ini adalah pluralis. Yang pasti, ketika Islam
datang di jazirah Arab, di sana telah terdapat agama-agama yang beragam dan
dalam pemerintahan Islami Madinah mereka dengan mudah hidup saling berdampingan
di bawah payung Islam. Pewancara: Sebelum John Hick, apakah pembahasan ini sudah
ada dalam agama Kristen? Doktor Legenhausen: Di abad pertengahan, kaum Katolik
berkeyakinan bahwa hanya orang yang dibaptis Gereja yang akan masuk surga.
Hatta Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As juga bukan ahli surga, meskipun mereka
ini dihormati oleh Gereja. Tetapi mereka berada di suatu tempat antara surga
dan neraka yang bernama Limpo, di mana di sana tidak ada penderitaan dan juga
tidak ada kelezatan. Nabi Musa As dan semua nabi-nabi lainnya yang tidak
terbaptis, tetapi tidak melakukan dosa-dosa besar, akan tinggal sementara di
sana dan pada hari kiamat, Nabi Isa As akan membawa mereka ke surga. Baru kemudian mereka katakan bahwa untuk pembaptisan,
seseorang tidak mesti disiramkan air di atas kepalanya. Bahkan terkadang dengan
cara-cara lain juga sudah mencukupi. Kemudian salah seorang dari teolog Katolik
dalam abad 20 bernama Karl Ranr mengutarakan bahwa kita harus memandang
segolongan dari masyarkat yang beragama bukan Kristen sebagai seorang Kristen.
Jika seorang muslim, hidup secara baik dan sangat bersih dan tidak melakukan
perbuatan yang menyalahi ajaran Al-Masih, kita dan Tuhan, memandang dia juga
sebagai seorang Masihi (Kristiani). Akan tetapi John Hick memandang ini sebagai hanya langkah
awal yang tidak cukup bagi pluralisme. Sebab masih menjadikan agama Kristen
sebagai parameter. Maka itu bukan suatu pluralisme nyata. Mungkin saja
seseorang dari jalan agamanya sendiri dekat dengan Tuhan. Karena itu kita mesti
mengambil langkah selanjutnya menuju ke arah pluralisme. Oleh karena itu, masalahnya tadi siapa yang ahli surga dan
siapa yang ahli neraka? Tentunya jawaban yang beragam telah diberikan terhadap
pertanyaan ini dalam dunia Kristen, yang memiliki esensi teologis dan
epistemologis beraneka ragam. Pewancara: Apakah pluralisme John Hick tidak bersumber dari
epistemologi khusus?! Jika dikatakan, hakikat ada dalam agama tertentu dan pada
saat yang sama agama-agama yang lainnya juga tidak terhalang dari keselamatan,
hingga di sini kedua masalah mungkin saja saling sesuai. Akan tetapi dalam
menjelaskan, mengapa yang lainnya tidak mesti terhalang dari surga? Mulailah
terjadi perbedaan. Satunya mungkin saja mengatakan, ini juga ahli selamat,
sebab tanpa sepengetahuannya sebagian jalan yang ia lewati adalah jalan yang
Islam katakan. Ini pada dasarnya tidak berujung pada relativisme pemikiran dan
skeptisisme pengetahuan dalam bab hakikat. Akan tetapi John Hick pada prinsipnya telah menorehkan tinta
merah di atas jalan khusus sebagai jalan benar. Yakni dia mengatakan bahwa
semua jalan-jalan adalah benar, kita tidak mempunyai jalan salah dan tidak ada
sesuatu yang disebut kesesatan. Semua agama-agama berada dalam hidayah. Doktor Legenhausen: Benar, tetapi di sini sebagian
mengkritik. Sebab perkataan dia membuka sangat banyak jalan dan mebuatnya tanpa
aturan. Tetapi dia sendiri mengatakan bahwa saya tidak mengafirmasikan dan
menegaskan setiap agama. Misalnya, saya tidak menerima penyembah setan sebagai
satu jalan menuju keselamatan. Pewancara: Jadi apa parameter kita untuk mengatakan yang
mana agama benar dan yang mana agama batil?! Doktor Legenhausen: Dia mengutarakan dua tolok ukur: Pertama
akhlak dan yang lainnya pengalaman. Pertama kita lihat, apakah dalam
pengalaman, orang-orang lain juga menguatkannya? Misalnya, dalam masyarakat
Hindu terdapat pengalaman yang sama di antara mereka. Pewancara: Apakah kebenaran dapat dibuktikan dengan
pengalaman? Doktor Legenhausen: Dia mengatakan bahwa mereka merasakan
dalam kalbunya sesuatu ini adalah benar. Mereka menyaksikannya secara nyata
benar dan ini adalah suatu pengalaman keagamaan. Pewancara: Ini tidak lain adalah keimanan. Akan tetapi
kemungkinan penyembah setan juga melihat benar keimanannya dalam kalbunya. Dia
juga jika mengatakan bahwa pengalaman batin saya, adalah ini, apa jawaban tuan
Hick?! Doktor Legenhausen: Itu adalah benar. Dia tidak mempunyai
jawaban jelas bagi pertanyaan ini. Dan ketika sampai pada poin ini, alih-alih
menjelaskan pengalaman, dia beranjak kepada parameter kedua, yakni tolok ukur
akhlak. Pewancara: Sekarang mari kita memasuki parameter akhlak.
Pertanyaan saya adalah, bagaimana teori dan pandangan neo-Kanti memaknai
keterpisahan akhlak dari iman? Sebagaimana pembahasan pengalaman terdapat
kepincangan di dalamnya, akhlak dengan parameter dan tolok ukur mereka juga
terdapat kepincangan. Suatu kali kita kaum muslimin “Adliyyah” (lawan dari Asy’ariyyah,
maksudnya Muktazilah dan Imamiyyah) membahas tentang parameter akhlaki, kita
berkeyakinan terhadap kebaikan dan keburukan dzati serta kebaikan dan keburukan
akli. Tentunya kebaikan dan keburukan dzati serta kebaikan dan keburukan akli
secara akurat tidaklah sama. Kita yang mengatakan, sebagian parameter mendasar
bagi penentuan kebaikan dan keburukan dapat dipersepsi akal, dan dengan amal
akhlak -secara hakikat dan dalam nafsul amr- kita sedang bergerak menuju
kesempurnaan. Ya, di sini terkadang kita dapat membahas parameter akhlak untuk
meneliti suatu agama (itu juga sampai batas tertentu). Akan tetapi orang-orang
seperti John Hick, dengan falsafah yang mereka miliki dalam akhlak dan
makrifat, apakah mereka meyakini tentang parameter rasional niscaya dan
kemungkinan pembelaan akhlak serta (konsepsi kebaikan dan keburukan) terlepas
dari agama dan sebelum agama? Yakni parameter kebaikan dan keburukan dengan
misdak-misdak jelas? Terkadang akhlak sendiri, jika seseorang secara nyata
tidak meyakini landasan rasionalitas dan fitrinya dan juga tidak percaya
terhadap wahyu Ilahi maka ia merupakan suatu sistem akhlak yang tidak dapat
dipertahankan dan bahkan diragukan serta disangsikan. Kaum muslimin memiliki
parameter garis demarkasi antara mukasyafah rahmani dan mukasyafah setani,
sebab mempunyai landasan rasionalitas bagi akhlak dan percaya terhadap wahyu
Ilahi. Yakni terdapat dua parameter; pertama, apakah mukasyafah-mukasyafah anda
dan pengalaman individual anda tidak bertentangan dengan mukasyafah-mukasyafah
para nabi As. Khususnya wahyu khatam al-anbiya Saw. Yakni al-Qur’an al-Karim
adalah parameter pengujian. Oleh karena itu, tidak satupun pengalaman keagamaan
yang bertentangan dengan syariat dapat diterima. Parameter kedua adalah
mukasyafah tidak bertentangan dengan akal. Akan tetapi, apakah dalam ketuhanan
Protestan tuan John Hick, kita memiliki ukuran-ukuran jelas moralitas yang
dengannya iman dapat diuji? Doktor Legenhausen: Yang pasti Hick berbicara tentang
parameter syuhudi (penyaksian). Misalnya kita dapat mengatakan bahwa penyembah
setan adalah buruk, sebab syuhud kita mengatakan bahwa natijah penyembahan
setan, tidak ada kecuali keburukan. Pewancara: Syuhud penyembah setan sendiri sesuai dengan
klaim mereka, apa yang mereka katakan? Siapa yang menjadi tolok ukur syuhudi?
Apakah syuhud tuan John Hick yang menjadi tolok ukur?! Sementara pada dasarnya
syuhud tidak mempunyai landasan epistemologis jelas dalam sistem makrifat
liberal-Protestan. Doktor Legnhauzan: Ini juga adalah pertanyaan bagus. Sebab
sesuatu yang dia anggap benar di mana yang lainnya menganggap benar kebalikan
darinya. Misalnya dia mengatakan bahwa agama Yahudi mesti memperbaiki dirinya,
dia tidak boleh mengatakan Tuhan telah memilih kami, sebab secara akhlak
pernyataan ini adalah tidak benar. Islam juga harus memperbaiki dirinya. Tidak
boleh memotong tangan pencuri, sebab syuhud menyatakan bahwa amal ini adalah
bertentangan dengan moralitas. Tetapi saya seorang muslim tidak mempunyai klaim
syuhud dia ini. Kebalikan dari itu, keyakinan saya bahwa ini adalah
perintah Tuhan dan sangat sesuai dengan akhlak, tidak bertentangan dengannya.
Jadi kita lihat bahwa tuan John Hick, menamakan tolok ukur dan parameter
kebudayaan liberalnya sendiri sebagai tolok ukur dan parameter syuhud atau
akhlak dan dengannya dia melakukan pengujian syuhud kepada lainnya. John Hick
mempunyai niat yang baik, tetapi sesuatu yang tidak disadarinya yang ada dalam
pikirannya dan yang dia ambil dari kebudayaan liberal, dia namakan sebagai
syuhud. Pewancara: Pernyataan “harus dan tidak boleh” yang ditujukan
kepada agama-agama lain, apakah bentuk pernyataan ini adalah pernyataan
pluralistik?! Seseorang yang secara dalam berkeyakinan terhadap pluralisme,
tidak akan menentukan taklif, perintah dan larangan kepada agama-agama lain,
hatta dia tidak boleh sama sekali melakukan penolakan dan penerimaan suatu
maktab dan agama. Akan tetapi secara kaidah dia mestinya berkata, semua anda
dari suatu sudut pandang meninjau hakikat dan anda semua mempunyai niat baik,
maka itu anda semua benar memahaminya. Karena itu, dia tidak boleh berkata,
Yahudi harus melakukan itu dan orang-orang muslim harus mengenyampingkan
hukum-hukum syar’inya seperti hukum potong tangan bagi pencuri. Apa tolok ukur
dan parameter harus dan tidak boleh ini? Jika dia berkata saya mempunyai
parameternya, pada dasarnya makna dari harus dan tidak boleh ini adalah tuan
John Hick sendiri tidak meyakini pluralisme murni dan pluralisme mempunyai
garis-garis merah (yang menjadi batasan-batasannya). Akan tetapi garis-garis
merah tersebut, dia yang mau menentukannya. Misalnya, dia menyandarkan kepada
syuhud dan akhlak, tetapi dia tidak mengajukan satu definisipun yang menjadi
poin kesepakatan semua agama-agama. Definisi yang diajukan John Hick tentang
syuhud dan akhlak, menurut ungkapan anda, berada di bawah pengaruh
pandangan-pandangan liberalisme dan penafsiran khusus terhadap mafhum
pengalaman keagamaan. Semua parameter ini adalah parameter psikologi pribadi
John Hick sendiri dan pembahasan-pembahasan yang terungkap dari Schleiermacher
serta orang-orang berikutnya. Jadi perbedaan tidak pada tataran bahwa yang
satunya mengajak kepada pluralisme murni dan yang lainnya menentangnya. Akan
tetapi subyek permasalahan adalah keduanya berkeyakinan tentang adanya
garis-garis merah dan perbedaan mereka berkisar seputar garis-garis merah itu
di mana. Saya dalam posisi konsepsi melihat ada enam sampai tujuh macam
kemungkinan dakwah pluralistis, yakni dari berbagai sudut pandang bisa
memunculkan pluralisme, tetapi yang terpenting dua atau tiga poin darinya.
Pertama adalah seseorang yang mengatakan bahwa pada dasarnya tidak ada yang
disebut kebahagiaan dan penderitaan (ukhrawi), keselamatan dan kehancuran, hak
dan batil, serta hidayah dan kesesatan. Semua itu hanyalah istilah-istilah yang
dibuat oleh firkah-firkah dan agama-agama yang bermacam-macam untuk menciptakan
motif dan kecenderungan pada pengikut-pengikut mereka. Karena pada akhirnya,
semua manusia memiliki kecintaan dzat dan memperlihatkan perasaan empati
terhadap masalah keselamatan dan kehancuran. Agama-agama juga memanfaatkan
perasaan ini. Pluralisme ini secara pasti tidak dapat diterima dalam Islam.
Kita juga memiliki dalil-dalil akli dan nakli yang bertentangan dengan
pendekatan ini. Saya juga pikir bahwa John Hick pasti tidak berkeyakinan
seperti ini. Doktor Legenhausen: Tidak, tidak. Pewancara: Sekarang saya setahap beranjak lebih maju. Jadi
pada dasarnya, kebahagiaan dan penderitaan adalah mafhum-mafhum (komprehensi,
pengertian) yang jelas dan dapat dipahami. Juga mempunyai misdak-misdak luar,
tetapi misalnya kita katakan misdak-misdaknya tidak diketahui dan tidak dapat
dihukumi. Apakah John Hick berkeyakinan bahwa tidak dapat dihukumi, tidak dapat
dibahas, tidak dapat kita saling meyakinkan satu sama lain bahwa kebahagiaan
dan penderitaan itu dalam apa saja sebagai misdak? Doktor Legenhausen: Di sini John Hick mempunyai pembahasan
tentang Tuhan. Dia mengatakan apa saja dalam agama-agama yang bermacam-macam
dikatakan tentang Tuhan, adalah sesuatu yang akal dan bahasa manusia tidak
dapat mengutarakan dan menjelaskan tentang hakikatnya. Dia selalu menegaskan
tentang poin ini. Pandangan ini khususnya dalam agama Kristen mempunyai
keurgenan tinggi, dimana Tuhan adalah suatu identitas tunggal. Sebagian
agama-agama tidak memandang Tuhan sebagai suatu identitas tunggal, tetapi
memandangnya sebagai suatu realitas mutlak atau hakikat keberadaan. John Hick mengatakan bahwa hakikat adalah satu, tetapi yang
sampai ke akal manusia adalah beragam. Dan menurut pandangan saya, dia
melakukan suatu kesalahan besar tentang Islam. Demikian pula ketika dia
menyebutkan contoh Maulana Jalaluddin Rumi, dia tidak mengerti dengan baik
maksud dari Maulana. Yang dalam Matsnawi dikatakan: Cahaya adalah satu,
kendatipun pelita-pelita adalah beragam. Cahaya tidaklah berbilang. Pewancara: Hick juga menyandarkan kepada gajah dan kamar
gelap. Doktor Legenhausen: Ya, dia juga sangat menggunakan ini,
tetapi menurut saya, dia tidak mengerti dengan baik Maulawi. Al-Qur’an
mengatakan bahwa dalam Taurat ada cahaya, dalam Injil ada cahaya, tetapi dengan
dalil ini kita tidak dapat mengambil konklusi bahwa ini semua adalah sesuatu
yang dibuat akal manusia dan hakikat secara mutlak tidak dapat dikonsepsi, dan
semua agama-agama memahami hakikat dalam ukuran yang sama, atau kita katakan
tidak satupun dari mereka memahaminya secara benar!! Tetapi Hick ingin mencapai
konklusi ini. Poin yang lain yang muncul dalam ingatan saya dari kitab “Fiih
maa fiih” Maulawi. Maulawi dalam kitab ini mempunyai dialog dengan seorang
Kristiani yang sangat menarik. Kristiani mendatangi Maulawi dan berkata
kepadanya, beberapa orang sufi datang kepada kami dan minum khamar dengan kami.
Mereka mengatakan, kami menerima keyakinan kamu bahwa hadhrat Isa As adalah
Tuhan. Akan tetapi, kami tidak menyatakannya secara terang-terangan, sebab
dalam masyarakat kami, menyatakan ungkapan ini adalah berbahaya. Maulawi dalam
menjawab perkataan Kristiani sangatlah marah dan berkata, orang-orang sufi
tersebut berbohong kepada kamu. Mereka adalah mabok setani. Bagaimana hadhrat
Isa As, seorang manusia yang terpaksa lari dari tangan orang-orang Yahudi
supaya mereka tidak membunuhnya, (bagaimana) bisa anda katakan bahwa dia adalah
Tuhan? Akal anda di mana? Kristiani berkata, tanah adalah tanah, ruh adalah
ruh. Maulawi berkata, anda mengatakan bahwa badan hadhrat Isa As, bukanlah
Tuhan, tetapi ruhnya adalah Tuhan. Di satu sisi anda juga mengatakan bahwa
mereka membunuhnya. Baik, ruhnya kemana pergi? Kristiani tersebut tidak
menjawab dan berkata kepada Mulla Rumi, ini adalah keyakinan kami dan tradisi
agama Kristen. Kami menerima akidah ini sebab agama bapak-bapak kami. Maulawi
tidak melepaskannya begitu saja. Berkata, seseorang yang tadinya bapaknya
adalah tukang sepatu. Anak ini mempelajari adab-adab keraton dan mengambil
jabatan penting dalam keraton. Dan dia tidak berkata saya ingin menjadi tukang
sepatu seperti bapak saya, tetapi berkata, hatta anjing ketika telah mempelajari
cara berburu, tidak akan menuju ke (tong) sampah seperti bapaknya. Anda, kenapa
menyandarkan kepada bapak-bapak anda dan berkata saya adalah kristiani sebab
bapak saya tadinya adalah kristiani, padahal telah datang sebuah agama yang
sangat lebih baik dari Kristen dan minus aib Kristen. Ini adalah sangat menarik dan menunjukkan bahwa Maulawi
sendiri sama sekali tidak menerima pluralisme konsep John Hick dan bertentangan
dengannya. Yakni dia meyakini Islam adalah hak dan yang lainnya adalah batil. Pewancara: Ya, Maulawi dalam Matsnawi juga sangat menekankan
berulang-ulang penentangannya atas misdak-misdak kesesatan dan mengutarakan
secara gamblang bahwa sebagian benar dan yang lainnya salah. Pemisahan antara
(manusia) suci dan kotor, pembagiannya kepada (orang) baik dan buruk, merupakan
bagian dari penegasan-penegasan orang-orang arif kita. Kendatipun ini juga
tidak bertentangan dengan toleransi amali dan tarbiyah. Akan tetapi perhitungan
toleransinya pluralisme adalah terpisah. Bagi toleransi tidak perlu ada
keraguan. Sebagian berpikiran, tidak ada jalan bagi toleransi kecuali kita
meragukan (kebenaran) diri kita semuanya dan tidak ada seorangpun yang beriman
(mukmin) kepada sesuatu dan dia tidak memandang secara pasti dirinya berada
pada hak (karena itu dia tidak memandang orang-orang yang mengkhilafi akidahnya
adalah batil). Padahal dengan ungkapan ini maka hakikat telah tertimpa luka
yang sangat besar, yaitu tidak dapat dibedakannya lagi antara hakikat dan bukan
hakikat. Segala sesuatu adalah sama. Doktor Legnhauzan: Jika John Hick berada di sini dia akan
berkata, saya tidak mempunyai keraguan dalam agama Kristen. Saya tahu bahwa
agama saya adalah benar. Tetapi ini juga saya tahu bahwa agama-agama lainnya
juga adalah benar. Pewancara: Saya akan bertanya, yakni apanya semua
agama-agama yang dia katakan benar?! Apakah proposisi-proposisi setiap agama
sesuai dengan realitas?! Ketika itu, di sini harus dipecahkan masalah “saling
kontradiksi”. Bagaimana dua proposisi yang saling bertentangan, keduanya adalah
benar? Yakni tauhid dan syirik, keduanya adalah benar?! Penyembah setan dan
penyembah Tuhan, keduanya mereka katakan benar?! Dokter Legenhausen: Anda mengutarakan suatu poin yang sangat
menarik. Kebetulan dalam suatu dialog, dimana terjadi antara Husain Nasr dan
John Hick di sebuah penerbitan, pembahasan ini diungkapkan di situ. Perbedaan
telah terjadi dalam poin tersebut. John Hick ingin menghilangkan kontradiksi
ini dan untuk pekerjaan ini, dia mesti membetulkan akidah dan keyakinan
Kristen. Akan tetapi sisi lain pembahasan, dia membela toleran pluralistik
“kontradiksi” ini. Pewancara: Toleran adalah sesuatu dan kebenaran adalah
sesuatu yang lain. Toleran bermasyarakat tidak ada problem. Ini adalah
toleransi dan di dalam Islam juga dianjurkan, tetapi bagaimana dengan toleran
nazhari (teoritis)? Apakah toleran (terhadap) “kontradiksi” bermakna menerima
“kontradiksi”? Dokter Legenhausen: Ya, pluralisme ini menganjurkan toleran,
lebih tinggi dari toleran amali. Mereka katakan “hakikat” sama sekali tidak dapat
dijelaskan, karena itu ketika kita ingin mendeskripsikannya maka akan
melahirkan “kontradiksi”, sebab tidak satupun dari penafsiran yang sesuai
dengan realitas, sementara realitas ini sendiri tidak dapat dijelaskan. Ketika
kita melihat kepada dua pandangan, realitas untuk anda dan untuk saya tidaklah
satu dan terjadi kontradiksi antara apa yang anda saksikan dan apa yang saya
saksikan. Ini adalah ringkasan dari matlab. Pewancara: Maknanya ini adalah minimal salah satu dari kita
salah menyaksikan. Jika saya di sini mengatakan bahwa di sana terdapat dua
pohon dan anda mengatakan terdapat tiga pohon, ini adalah kontradiksi. Dan pada
saat yang sama salah satu dari kita adalah benar pernyataannya. Mungkin juga
kita tidak akan pernah mengetahui siapa yang benar pernyataannya, tetapi pada
kenyataannya salah satunya adalah salah. Akan tetapi dikarenakan kita tidak
mengetahui siapa yang melakukan kesalahan? Masing-masing dari kita satu sama
lain saling menahan dan toleran. Ini adalah toleransi amali yang dapat ditanggung
dan pluralisme kemasyarakatan seperti ini, memiliki dasar Islami. Adapun pluralisme agama dalam “kontradiksi” ini, tidak hanya
melihat ketiadaan masalah pada tingkatan amal, bahkan juga memandang ketiadaan
masalah pada tataran teoritis. Anda berkata dua pohon, sementara saya
mengatakan tiga pohon dan kedua-duanya kita juga adalah benar. Problem rasional
“kontradiksi” ini, bagaimana mereka pecahkan? Doktor Legenhausen: John Hick mengulang jawaban Kant bahwa
sebagian komprehensi-komprehensi, seperti bilangan, ditemukan dalam wadah
pikiran kita. Yakni “kontradiksi ada dalam pikiran kita, tetapi ketika kita
sampai (alam) atas, tidak terdapat kontradiksi. Pewancara: Akan tetapi Kant membahas jendela-jendela
rasionalitas dan kategori-kategori demikian dalam bab metafisika. Dalam bab
persepsi inderawi seperti contoh pohon yang saya utarakan, dia mempunyai
pembahasan lain. Di sini harus diterima bahwa salah satunya adalah salah. Dan
adapun dalam pembahasan metafisika dan seperti Jonn Hick katakan, apakah anda
tidak berpikir bahwa pemisahan nomen dan phenomen yang dilakukan Kant, telah
menutup jalan makrifat dan dengan ini telah membuat luka besar terhadap
makrifat serta telah membuka jalan bagi kaum skeptis berdalih dalam
kategori-kategori metafisika? Apakah dapat dihukumi bahwa terdapat suatu
hakikat dan hakikat itu adalah satu, akan tetapi pandangan dan penafsiran kita
yang saling berbeda?! Dengan ini, makrifat sama sekali tidak mungkin. Karena
pluralisme berlandaskan atas ini, kita berpandangan terhadap ketidakmungkinan
makrifat dan pada kenyataannya jalan pengetahuan adalah tertutup. Ketika
tertutup, maka apa yang (bisa kita katakan) tentang hakikat, ketunggalan, dan
kejamakan?! Doktor Legenhausen: Ya. Ini juga adalah suatu perkataan yang
dalam dan menarik yang anda utarakan. Pluralisme ini akan berujung kepada suatu
bentuk sofisme. Kebetulan dalam dialog Nasr dan John Hick, perbedaan ini juga
terungkapkan. Nasr mengatakan, apa yang Tuhan katakan tentang diri-Nya, mesti
dikecualikan. Perkataan ini, adalah perkataan Tuhan. Yakni Tuhan, sesungguhnya
tidak dapat dijelaskan bagi manusia, tetapi terdapat satu pengecualian, dan
pengecualian itu adalah gambaran diri Tuhan dari diri-Nya sendiri, yakni wahyu. Pewancara: Dengan dasar pemikiran yang anda katakan ini, bagaimana
dapat dibedakan wahyu dengan mukasyafah biasa? Landasan pluralisme John Hick
yang berasaskan epistemologi Kant adalah bahwasanya jalan wusul dan makrifat
kepada hakikat tertutup. Jadi hatta klaim ini yang kita katakan, semua berada
dalam kebenaran, ini juga adalah suatu bentuk toleran. Tidak bisa dikatakan
semuanya adalah benar. Dari mana kita tahu bahwa semuanya adalah benar? Lebih
benar dan jelasnya dalam bab ini adalah kita katakan, kita tidak mengetahui
hak, jadi kita semua dalam ketiadaan makrifat terhadap hak adalah sama. Oleh
karena itu, semuanya dalam satu kapasitas, maka kita berpandangan semuanya
resmi, bukan bahwa semuanya adalah benar. Doktor Legenhausen: John Hick tidak menerima kalau semuanya
adalah sama. Dia tidak mempercayai kalau kita mempunyai makrifat sempurna
tentang Tuhan atau sama sekali kita tidak mempunyai makrifat terhadap-Nya. Dia
mengatakan, kita mempunyai, tetapi kita tidak memiliki makrifat murni
terhadap-Nya. Pewancara: Kita juga berkeyakinan seperti ini tentang Tuhan.
Yakni makrifat terhadap “Kunh rububi” adalah sesuatu yang mustahil. Hatta Nabi
mulia Saw bersabda: Tidak aku memakrifati-Mu sebenar-benar makrifat (terhadap)
Mu. Tetapi pembahasan kita berada pada tataran minimal makrifat yang pasti.
Apakah benar-benar dia menerima satu batas minimal yang mungkin, tetap, dan
dapat dihukumi? Jika dia terima maka minimal dia di situ tidak boleh
berkeyakinan pluralisme, akan tetapi mesti mengambil eksklusivisme dan minimal
inklusivisme. Kita mengatakan tentang makrifat secara keseluruhan. Doktor Legenhausen: Dia mengatakan, makrifat mungkin itulah
yang memanifestasikan kita kepada bentuk-bentuk (pandangan) yang beragam. Pewancara: Keberagaman adalah sesuatu dan saling
bertentangan adalah sesuatu yang lain. Doktor Legenhausen: Dia mengatakan, ini adalah suatu
makrifat di mana misalnya saya adalah seorang Kristiani dan saya tahu apa itu
Tuhan serta tahu kalau Kristen itu adalah benar. Pewancara: Baik. Seorang penyembah setan juga dapat
mengatakan seperti ini, tetapi John Hick memandang penyembah setan adalah dalam
kesesatan. Doktor Legenhausen: Ya, tetapi dia mengklaim bahwa parameter
akhlak mempunyai hukuman (penilaian) untuk ini. Pewancara: Kita tadinya telah membahas parameter akhlak.
Alangkah bagusnya seandainya kita berdialog dengan John Hick. Yang kita lihat
tentang dia, (apakah) dia tidak berpandangan terhadap akhlak dalam meta
keimanan agama?! Akan tetapi di situ minimal, dimana orang yang berpandangan
tentang makrifat, apa yang dia lakukan di situ terhadap problem pemisahan nomen
dari phenomen? Doktor Legenhausen: Anda mesti tanyakan ini dari Hick. Saya
pikir sebenarnya (ini) adalah musykil dan ini juga merupakan salah satu dari
kritikan penting saya sendiri kepadanya. Sebab sebagaimana kita ketahui dalam
sejarah filsafat, reaksi-reaksi keras sesudah kant, kebetulan terjadi terhadap
poin pemisahan nomen dan phenomen, di mana dia telah mengguncang secara keras
filsafat, akhlak, dan agama. Ini benar-benar menghancurkan agama-agama, sebab
agama-agama bergantung kepada sesuatu itu yang dinamakan nomen. Pada saat yang
sama, metafisika Kant, hakikat finafsih itu di mana dan kita di mana?! Para
pengusung Kanti dan di antaranya Hick, untuk pertanyaan anda ini tidak
mempunyai jawaban. Pewancara: Dengan kata lain, identitas dan esensialitas
agama berada pada haqqaniyyah dan kebenarannya, dan itu minimal bergantung
kepada dihilangkannya pecahan luka Kanti antara nomen dan phenomen, dan jika
tidak demikian, apa yang dapat diklaim oleh agama?! Kita butuh apa lagi kepada
agama? Saya pikir John Hick mempunyai maksud berkhidmat kepada agama, tetapi
dengan penjelasan-penjelasannya ini, dia malah menghantam akar agama. Dia
pikir, supaya dia berkhidmat kepada semua pengikut agama dan untuk menghormati
seluruh mereka, secara praktis mesti dihantam akar haqqaniyyah (truth). Yakni,
dia melakukan suatu tindakan di mana dalam lingkaran ini semua agama-agama
mengambil tempat, tetapi dia lupa bahwa tindakannya tersebut malah tidak
menyisakan tempat suci bagi haqqaniyyah dan malah menghancurkan lingkaran itu
sendiri. Dia menghilangkan garis demarkasi dan menghapus gambaran permasalahan
kebenaran dan kebatilan atau petunjuk dan kesesatan. Ketika seseorang menghilangkan
garis demarkasi, yakni dia mengatakan, makna petunjuk (hidayah) dan kesesatan
yang anda pahami sampai sekarang itu pada dasarnya tidak ada dan hidayah
maknanya bukan ini bahwa kita yakin terhadap hakikat-hakikat khusus, karena itu
sebenarnya kita tidak perlu berbicara tentang akidah hak, kita mempunyai akidah
yang setara dan beragam dan akidah, adalah akidah, apakah ini sebenarnya tidak
mempersoalkan falsafah akidah-akidah agama?! Dan karena akar akhlak dan
hukum-hukum agama juga berada dalam akidah dan keyakinan, karena itu ketika
haqqaniyyah dan kebenaran akidah diingkari atau terdiamkan begitu saja, maka
tidak ada lagi yang tersisa dalam agama. Apakah menurut anda ini adalah bukan
suatu bentuk penjauhan masalah ketimbang pemecahannya?! Doktor Legenhausen: Ya, poin yang mungkin lebih banyak
menyentuh (pikiran) saya adalah: bagi John Hick, tidak ada kemungkinan lagi
terjadi dialog di antara agama-agama. Yakni dia hanya bisa berkata, kita semua
berada dalam kebenaran. Kita semua sampai pada satu realitas yang tidak dapat
dijelaskan. Namun, bagaimana kalam (teologi) agama-agama lain dapat diisykal,
tidak ada jawaban dalam pandangan John Hick. Dia berpandangan bahwa menjadi
seorang Kristen atau Yahudi atau Hindu sama dengan menjadi seorang Iran,
Amerika, atu Cina. Akan tetapi apakah kenyataannya benar seperti demikian?!
Mengapa saya yang seorang Amerika, menjadi seorang muslim? Apakah ayah dan ibu
saya tadinya orang Islam? Keduanya bukanlah orang Islam. Saya membandingkan
teologi Islam dengan teologi Kristen dan sesudah melakukan penelitian, saya
memilih (salah satu dari keduanya), tetapi dalam pluralisme Hick, tidak ada
dalil untuk memilih. Saya tadinya mencari hakikat dan saya mengkritik agama
Kristen. Pembahasan bukan berkisar bergantung dibelahan dunia mana. Saya pikir
dalam falsafah John Hick, tidak ada tempat bagi pencarian di antara agama-agama
semacam ini. Segala sesuatu menurut John Hick mempunyai sebab, (tapi) tidak
dalil. Pewancara: Ini adalah poin yang sangat urgen. Penggantian
akidah yakni apa? Pengertian memilih, di sini menemukan problema. Mengapa
melebihkan suatu agama atas agama lain?! Doktor Legenhausen: Dia hanya merujukkan kepada jawaban
moralitas yang saya juga tidak memandang itu sebagai cukup. Sebab dia bergantung kepada kebudayaannya sendiri dan dalam
satu atmosfir barat (dan hatta bukan Kristen), dia mengkonstruksi parameter
(sendiri). Hick sendiri juga tidak mempunyai alasan jelas dan argumentative
terhadap esensi dan identitas moralitas ini. Pewancara: Akhlak dan moralitas ini yang tuan John Hick
utarakan sebagai parameter penghukuman terhadap agama-agama, bagaimana anda
mengkritik parameter ini?! Apakah ia dapat dijadikan (sebagai hal) yang
serius?! Doktor Legenhausen: Beberapa tahun yang lalu ketika saya
melihat kitab John Hick, kitab itu sangat menarik bagi saya. Pada akhirnya saya
menemukan seorang pendeta Kristen yang ingin membuka ruang bagi agama-agama
lain selain Kristen. Dan menurut saya pandangan dia lebih dekat kepada
pandangan Islam. Sebab gambaran dia tentang Al-Masih lebih dekat kepada sesuatu
yang dikatakan oleh Islam tentang hadhrat Al-Masih. Suatu bentuk penafian
ketuhanan terhadap hadhrat Al-Masih. Saya senang dengan pandangan ini. Tetapi
ketika saya menelusuri parameter-parameternya, misalnya, bagaimana kita dapat
membedakan penyembah setan dan pandangan-pandangan batil lainnya dari tauhid
dan bagaimana agama-agama batil bisa dikritik, saya melihat dia tidak mempunyai
satupun parameter jelas. Yang jelas dia dengan pernyataan pluralismenya,
sepertinya dia sendiri yang memberi angka kepada agama-agama, yang mana (agama)
lebih baik dan yang mana lebih buruk? Tetapi pemberian angka-angka ini tidak
memiliki parameter yang jelas. Ukurannya kebudayaan Barat tuan John Hick
sendiri dan urf masyarakat Barat. Pewancara: Jadi pada dasarnya, ukuran derajat dan tingkatan
agama-agama adalah tuan John Hick sendiri dan pluralisme dia juga adalah suatu
bentuk penggolongan tingkatan agama-agama, tetapi berdasarkan ukuran dia
sendiri, dimana sebagiannya adalah Kristen, sebagian Barat, dan sebagian
liberalisme. Doktor Legenhausen: Kebetulan saya juga berpikir terhadap
dalil ini, bahwa pandangan dia sangatlah liberalistik, dengan makna bahwa para
pengusung liberal mengajak kepada toleran dan pluralisme, tetapi ketika kita
meninjaunya, pada kenyataannya banyak hal-hal dalam ajakan ini tidak ada
tempatnya dan bahkan mereka dalam berhadapan sangat banyak dari
hakikat-hakikat, mengambil posisi sangat terbatas dan tertutup. John Hick juga
dari satu sisi ingin mengatakan bahwa saya menerima semua agama-agama, tetapi
dari sisi lain mengatakan misalnya, tidak boleh tangan pencuri dipotong dan
agama islam harus memperbaiki dirinya, menurut apa? Menurut kebudayaan Inggris
dalam abad 20? Menurut saya, ini tidaklah benar. Ini, hatta juga bukan pluralisme.
Suatu bentuk dikte Libralis dan diktator ideologik yang dia sendiri
menentangnya. (Bersambung). - Sumber: Al-Balagh Al-Mubin - Wawancara ini diterjemahkan oleh Tim Al-Balagh dari Jurnal
Kitab-Naqd Iran. |