Filsafat Islam dan Tujuan Pamungkas Manusia




Deprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99

Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103

Tim Al-Balagh

Setelah studi komparasi antara pelbagai school of thougth ihwal tujuan pamungkas manusia, kini kami mengajak Anda untuk melihat bagaimana Islam memandang tujuan pamungkas manusia. Para filosof Islam menyetujui adanya dua lintasan eksistensial, yakni menurun dan menaik. Dan sepakat bahwa manusia dari Sumber Tertinggi mengalami ‘penurunan’ menuju alam tabiat dan alam materi ini, dan setelah itu dia akan melintasi tahapan-tahapan ‘menaik’ untuk mencapai kesempurnaan dan akhirnya akan kembali lagi kepada-Nya. Ayat mulia yang berfirman, “Inna lillahi wa inna ilahi rajiun” (Sesungguhnya kepada Tuhanlah segala sesutu itu akan kembali) pun disepakati sebagai titik tumpu bagi kedua perjalanan ini. Dengan penjelasan bahwa inna lillahi mengisyarahkan pada lintasan yang bergerak menurun sedangkan inna ilaihi rajiun mengisyarahkan pada lintasan yang bergerak menaik.

Berdasarkan pendapat para filosof, sebab turunnya jiwa dari alam jabarut dan alam malakut kepada alam materi yang merupakan alam rendah ini adalah untuk memperoleh kesempurnaan dan mencari kemuliaan. Dan manusia di alam tabiat harus mendidik dirinya dan menaikkan martabahnya sehingga menggapai tujuan akhir eksistensinya yaitu maqam makrifatullah (makrifat hakiki kepada Tuhan) dan berakhlak dengan akhlak Tuhan.

Para filosof sepakat bahwa manusia mempunyai dua potensi, yakni akal dan tindakan (baca: ilmu dan amal) dimana jika kedua potensi tersebut dikembangkan, maka hal ini akan mengantarkannya pada kesempurnaan wujudnya. Untuk melegitimasi pendapatnya ini, para filosof mengisyarahkan pada teks-teks Islam. Untuk kesempurnaan potensi akal dan ilmu mereka mengisyarahkan pada hadis “Rabbi arina al asya’a kamahiya” (Tuhanku, tunjukkan pada kami segala sesuatu itu sebagaimana adanya)[1] dan untuk kesempurnaan potensi amal dan tindakan mereka menyandarkan pada hadis “Takhallaqu bi akhlaqillah” (Berakhlaklah kalian dengan akhlak Tuhan)[2] dan mereka mengatakan bahwa hadis ini mengisyarahkan pada pembersihan jiwa dari kekurangan-kekurangan jiwa dan mengisinya dengan sifat-sifat Ilahi.

Para filosof Islam sepakat bahwa tahapan kesempurnaan akhir manusia adalah tahapan dimana akal manusia telah mengaktual secara sempurna. Tentunya tahapan ini pun bermakna bahwa manusia telah melewati batasan-batasan kehidupan alaminya dan telah sampai pada posisi kehidupan akal dan ruhaninya, dan setelah manusia sepenuhnya hidup berdasarkan akal dan kecenderungan spiritualnya maka dia akan melangkahkan diri pada tahapan ketiga yakni menjadi manusia yang murni berakal (akalnya mengaktual secara sempurna dan hakikat wujudnya sepenuhnya adalah akal itu sendiri). Tentunya posisi ini tidak bisa dicapai oleh seluruh manusia, karena untuk sampai pada tahapan ini meniscayakan usaha-usaha dan perjuangan yang luar biasa dimana hal ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, yaitu mereka yang berhasil menjauhkan dirinya dari akhlak-akhlak yang rendah dan menyibukkan diri dengan mencari kemuliaan-kemuliaan etika dan dalam kondisi ini senantiasa waspada dan mawas diri supaya tidak terjebak dalam godaan dan tipuan setan serta menjaga supaya akal dan jiwa sucinya tidak tercemari.

Kesempurnaan Manusia dan Definisinya

Jika kita cermati dan analisa teori-teori pada pemikir yang berkaitan dengan kesempurnaan manusia, maka kita akan mendapatkan bahwa masing-masing teori memandang dengan dimensi manusia dimana jika keistimewaan-keistimewaan positif mereka kita klasifikasikan, maka akan menghasilkan definisi sebagai berikut:

Setiap gerak bebas dan konstruktif yang terjadi dalam tujuan mengaktualkan potensi-potensi internal dan perkembangan kepribadian dan kehidupan manusia dinamakan sebagai “kesempurnaan”, sebagai contoh, keadilan merupakan salah satu dari dimensi natural manusia dan merupakan salah satu persoalan yang menyebabkan semakin meningkat dan berkembangnya kehidupan manusia, oleh karena itu, setiap aksi dan tindakan konstruktif yang dilakukan oleh manusia berdasarkan pada free will dan kesadarannya dengan maksud untuk mewujudkan pembaharuan, akan dinamakan dengan “menyempurna”.

Oleh karena itu, dalam makna kesempurnaan dan menyempurna-nya manusia terdapat unsur-unsur berikut:

1.    Ikhtiar, kebebasan, atau free will. Sebuah eksistensi akan mampu melangkahkan kakinya ke arah kesempurnaan ketika ia memiliki kehendak dan kebebasan. Oleh karena itu, hewan-hewan, karena mereka tidak memiliki kehendak dan kebebasan, maka mereka tidak mampu menuju dan mencapai kesempurnaan;

2.    Keniscayaan adanya tujuan. Manusia harus memiliki tujuan dan cita-cita sehingga untuk memperolehnya ia akan melakukan gerak dan dinamika.

3.    Kesadaran. Manusia harus memiliki kesadaran terhadap tujuan dan cita-citanya, dengan alasan yang dimilikinya ini ia akan melakukan berbagai usaha dengan kesadaran, sedangkan tindakan dan gerakan yang dilakukan tanpa kesadaran tidak dinamakan sebagai kesempurnaan.

4.    Keinginan. Manusia harus berkemauan, merasa memiliki kekurangan dan membutuhkan kesempurnaan untuk menutupi kekurangan yang dimilikinya sehingga dengan hal ini ia akan melangkahkan kakinya ke arah kesempurnaan tersebut.

Dari apa yang telah kami paparkan, hal-hal berikut ini menjadi jelas:

Pertama: Kesempurnaan merupakan sebuah persoalan kualitas bukan kuantitas. Tentu saja harus pula diperhatikan bahwa karena setiap manusia berada dalam keluasan alam dan aktivitas-aktivitas materi, maka untuk mencapai kesempurnaan ia tidak mampu jauh dari kuantitas, jadi maksudnya, kesempurnaan itu sendirilah sebenarnya yang merupakan kualitas dan jauh dari kuantitas, dan bukannya jalan untuk menuju ke arahnya.

Kedua: Pengenalan kesempurnaan bergantung pada perspektif-perspektif ideologi dan perspektif dunia setiap individu. Misalnya seorang pemikir semisal Kant menganggap kesempurnaan sebagai pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dilakukan tanpa mengharapkan pahala, sedangkan Plato menganggap kesempurnaan sebagai pelaksanaan norma-norma dan perintah-perintah akhlak, sementara para penganut Humanisme meletakkan kesempurnaan pada tindakan-tindakan dalam dimensi kemanusiaan, dan banyak teori-teori lainnya, yang jika majemuk teori-teori ini (dengan mengesampingkan sebagian dari teori yang sama sekali tidak logis dan tidak bisa diterima oleh akal) kita perhatikan dengan lebih cermat, kita akan melihat bahwa masing-masing mereka memfokuskan pandangannya pada satu dimensi kesempurnaan manusia, dimana jika hal ini kita simpulkan secara bersamaan, maka dari seluruh teori-teori merka ini kita akan mampu menyimpulkan sebuah definisi tentang kesempurnaan hakiki. Dari sinilah sehingga kami mengatakan bahwa pengenalan kesempurnaan bergantung pada perspektif dunia yang dimiliki oleh masing-masing individu, dan setiap pemikir akan mengemukakan pendapatnya sesuai dengan pandangannya yang khas terhadap hal tersebut, dan sekaligus dari hal ini bisa diperoleh sebuah kesimpulan universal dari pengenalan kesempurnaan hakiki.

Ketiga: Dengan memperhatikan definisi kesempurnaan, kami juga sampai pada penyimpulan poin berikut bahwa kesempurnaan memiliki tahapan dan tingkatan, dimana posisi tahapan-tahapan tersebut jika dibandingkan dengan tahapan-tahapan sebelumnya memiliki posisi yang lebih tinggi dan jika diperbandingkan dengan tingkatan selanjutnya, ia memiliki posisi yang lebih rendah, dan manusia, dengan semakin banyak melakukan usaha, maka tingkatan yang akan ia peroleh pun akan semakin tinggi.

Keempat: Harus dibedakan antara kata ‘komplit’ atau ‘lengkap’ dengan ’sempurna’, karena pada sebuah eksistensi gabungan yang tersusun dari anggota-anggota, kita akan mengatakan komplit atau lengkap ketika seluruh anggota-anggotanya telah terkumpul semua. Misalnya jika seluruh peralatan-peralatan dan bahan-bahan yang diperlukan oleh sebuah bangunan telah tersusun seluruhnya dan telah siap untuk dipergunakan, maka kita akan mengatakan bahwa bangunan tersebut telah komplit. Kata komplit dipergunakan berhadapan dengan kata kurang dan cacat. Sedangkan sempurna digunakan pada sebuah eksistensi yang memiliki tujuan dan sasaran akhir sehingga ia akan melakukan usaha untuk mencapainya, oleh karena itu dalam kesempurnaan –sebagaimana yang telah kami katakan sebelumnya- terkandung makna tingkatan yang tinggi dan bersifat konstruktif. Sebuah kekonsturuktifan yang harus dilakukan oleh manusia yang sadar dan bebas, sementara komplit tidaklah demikian.

Potensi-potensi dan Karakteristik-karakteristik Manusia

Dalam pembahasan sebelumnya kami telah mengetengahkan sebagian dari teori-teori tentang tujuan kehidupan yang dikemukakan oleh berbagai aliran dan para pemikir, dari sana kita menemukan bahwa masing-masing  pemikir menyandarkan pada dimensi dari berbagai dimensi yang dimiliki oleh manusia. Sekarang di sini kami akan menganalisa tentang berbagai sifat dan karakteristik  yang dimiliki oleh manusia.

Para pakar psikologi dalam menganalisa tabiat manusia mengemukakan tentang berbagai dimensi berikut:

a. Kenikmatan dan penderitaan

Manusia akan merasakan kenikmatan pada segala sesuatu yang sesuai dengan tabiatnya dan akan merasakan penderitaan atas segala sesuatu yang berlawanan dengan tabiatnya.

b. Kecenderungan-kecenderungan

Yang maksudnya adalah potensi-potensi  yang mendorong manusia kepada pencarian sebuah kondisi dan menghindarkan diri dari kondisi lainnya.

Kecenderungan merupakan awal dan sumber kenikmatan dan penderitaan, dan juga merupakan pendahuluan gerak dan perbuatan-perbuatan manusia.

Para ahli psikologi mengklasifikasikan kecenderungan ini ke dalam tiga kelompok:

1.    Kecenderungan-kecenderungan pribadi atau penyembahan terhadap diri sendiri dimana tujuan yang hendak diperolehnya adalah diri yang bersangkutan, seperti kecintaan zat, dan persoalan-persoalan seksual;

2.    Kecenderungan-kecenderungan sosial atau semacam persahabatan dimana tujuan dari hal-hal ini terletak pada orang lain, seperti cinta, persahabatan, kasih saying keluarga dan sebagainya;

3.    Kecenderungan-kecenderungan yang tinggi dan lain sebagainya, yang tujuannya adalah hakikat-hakikat yang terdapat di atas pribadi seseorang, dimana untuk membahas persoalan ini membutuhkan analisa yang lebih detail.

Oleh para psikolog, kecenderungan-kecenderungan tinggi ini dikelompokkan pada empat jenis dan sebagain lagi lebih banyak dari itu, dimana di antaranya adalah:

1.    Pencari hakikat, cinta terhadap hakikat atau rasa keingintahuan: hal-hal ini merupakan dimensi internal yang akan mengantar manusia untuk mencari ilmu serta mencari pembawa fenomena-fenomena ilmu dan pengetahuan. Berdasarkan kebutuhan ini, manusia mempunyai kecenderungan untuk mengenal alam dan persoalan-persoalan alam. Tentunya keingintahuan ini kadangkala untuk mendapatkan manfaat, seperti keingintahuan-keingintahuan anak-anak, kadangkala pula keingintahuan seorang manusia berkaitan dengan keinginannya untuk menemukan hakikat;

2.    Cinta terhadap keindahan, yang hal ini akan menciptakan ketrampilan, sastra dan akan menyebabkan termanifestasikannya selera manusia: berdasarkan kebutuhan ini, manusia secara substansi adalah pencari keindahan dan akan menikmati keindahan-keindahan alam penciptaan. Tentunya harus pula diperhatikan bahwa penampakan keindahan yang diperlihatkan pada berbagai masyarakat dan di antara kaum dan kelompok tidaklah sama. Bisa jadi sesuatu yang pada sebuah komunitas atau untuk seorang individu adalah indah dan bagus akan tetapi sesuatu tersebut buruk dan tercela pada pandangan komunitas atau individu lainnya, dan persoalan ini tidak bisa pula menjadi dalil untuk menafikan kecenderungan terhadap keindahan –sebagaimana yang diklaimkan oleh beberapa kelompok- melainkan, persoalan ini menunjukkan bahwa terdapat begitu maka dalam hal banyak faktorseperti genetic, latar belakang pendidikan, kondisi lingkungan dan kemestian-kemestian masyarakat sosial yang akan menyebabkan terjadinya perubahan pada penampakan keindahan dan jika tidak demikian maka sebenarnya dalam masalah prinsip bahwa manusia menganggap sesuatu adalah indah dan menginginkannya, dia menganggap sesuatu lainnya adalah buruk sehingga dia menghindarinya, tidaklah ada keraguan di dalamnya;

3.    Sense dan perasaaan untuk melakukan kebaikan, cinta terhadap kebaikan atau kelemahlembutan etika: yang hal ini akan memunculkan etika manusia. Berdasarkan kebutuhan jenis ini manusia akan menganggap hal-hal tertentu sebagai hal-hal yang baik dan terpuji sehingga ia akan berusaha untuk mendapatkannya, sementara pada sesuatu yang lainnya ia akan menganggapnya sebagai hak-hal yang buruk dan tercela, sehingga karenanya ia akan menjauhi dan menghindarinya. Meskipun realitas-realitas baik dan buruk berada di bawah pengaruh factor-faktor perbubahan akan tetapi kita tidak bisa ragu dalam persoalan asasi berikut bahwa mansia adalah pencari kebaikan. Di antara dari sifat-sifat akhlak adalah seperti keberanian, keadilan, kelembutan, rendah hati, dan sederhana;

4.    Perasaan untuk mencari Tuhan atau cinta terhadap Tuhan atau perasaan kemazhaban dalam diri manusia sebenarnya terdapat kecenderungan kepada Tuhan dan kecenderungan ini adalah asli dan berada pada tempatnya.

Manusia juga memiliki potensi-potensi yang lainnya seperti pencari kebenaran, bertujuan, kecenderungan untuk mencipta, pencari kesempurnaan dan sebagainya dimana hal-hal tersebut memegang nilai penting dalam pengenalan tabiat manusia.

c. Syahwat

Dimensi ketiga yang terdapat pada tabiat manusia yang hal ini menjadi ajang perhatian para psikolog adalah syahwat. Dalam mendefinisikan syahwat ini mereka mengatakan bahwa syahwat merupakan sebuah kecenderungan atau keinginan dimana keseriusannya melewati batas kewajaran dan meletakkan seluruh kecenderungan-kecenderungan lainnya di bawah kekuasaannya, dan keseriusannya ini berada dalam batas sedemikian hingga seluruh perhatian seorang individu di arahkan pada tema yang bersangkutan.

Berdasarkan pengklasifikasian tiga kelompok kecenderungn di atas, para psikolog juga mengelompokkan syahwat pada tiga kelompok, yaitu kelompok individu, sosial, dan tinggi. Sebagai contoh, kecintaan zat yang merupakan salah satu dari kecenderungan individu, jika hal tersebut melewati batas kewajaran dan dia menginginkan semua orang dan segala sesuatu untuk diri pribadinya, dan untuk memperoleh manfaat pribadi dia akan melanggar hak-hal asasi selainnya, maka kita akan mengatakan bahwa orang ini mengidap penyakit menuhankan diri sendiri. Atau kecintaan terhadap keluarga dan kecintaan terhadap Negara merupakan kecenderungan-kecenderungan sosial seorang individu, dimana jika kecenderungan ini melewati batas sedemikian hingga orang tersebut menjadi fanatic dan tidak memandang adanya hak-hak selainnya, maka kita akan mengatakan bahwa orang ini telah dihinggapi nafsu untuk menuhankan sesuatu.

Dengan penjelasan bahwa keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungan manusia memiliki ketidakterbatasan dengan artian bahwa kecenderungan-kecenderungan ini tidak pernah terpuaskan, seberapapun seorang manusia memuaskan keinginan-keinginan dan kecenderungan-kecenderungannya, tetap saja dia akan merasakan kehausan untuk mencapai tahapan yang lebih tinggi, dan hal ini merupakan salah satu dari karakteristik yang hanya dimiliki oleh manusia dan tidak ada satupun eksistensi di alam ini yang memiliki kecenderungan-kecenderungan dan keinginan-keinginan yang tak terbatas.

Jika kita memperhatikan pada masing-masing eksistensi, maka kita akan menemukan bahwa mereka akan berhenti bergerak pada batasan tertentu dan pada batasan tersebut dia telah mencapai kesempurnaan eksistensinya sehingga tidak akan melangkah pada tingkatan selanjutnya, misalnya sebuah biji apel, ketika ia telah sampai pada titik kesempurnaannya yaitu menjadi buah apel maka pada titik tersebut dia akan berhenti dan tidak akan mampu melanjutkan perjalanannya ke tingkatan yang lebih tinggi. Akan tetapi, manusia berlawanan dengan seluruh eksistensi lainnya, ia merupakan eksistensi yang mempunyai ketakterbatasan dalam pencariannya, dan ia akan melakukan perjalananya ke arah yang tak terbatas dan kecenderungan-kecenderungan untuk memperoleh kesempurnaan pun akan berlanjut hingga tak terbatas.

Sekarang harus dianalisa manakah salah satu dari kebutuhan-kebutuhan manusia yang mampu mengantarkannya pada ketakterbatasan wujudnya? Dan manakah salah satu dari kebutuhan-kebutuhan tersebut yang mempunyai kelayakan untuk mengantarkan seorang individu kea rah tak terbatas? Lebih dari itu, kebutuhan tersebut pun harus memiliki kelanjutan sedemikian hingga ia memiliki kodrat untuk mendorong manusia kea rah tak terbatas dan dari sisi lainnya tidak mengganggu seluruh dimensi-dimensi lainnya yang dimiliki oleh manusia.

Di antara seluruh potensi-potensi manusia, hanya penyembahan dan kecenderungan terhadap Tuhan-lah yang memiliki karakteristik dan keistimewaan seperti ini dan jika manusia melakukan perjalanannya kea rah-Nya maka ia akan sampai pada kesempurnaan wujudnya dan di sampung itu, seluruh dimensi-dimensi wujudnya pun akan tumbuh dan berkembang. Ya, hanya dengan meletakkan Tuhan sebagai tujuan-lah seluruh potensi-potensi internal manusia akan mengaktual, sedemikian rupa sehingga seluruh potensi-potensi tersebut akan saling menyempurnakan dan seluruhnya akan bergeraj pada satu lintasan perjalanan untuk mencapai tujuan tersebut.

Hanya Tuhan-lah yang mampu meletakkan tujuan amal dan perbuatan manusia untuk mengaktualkan potensi-potensi tinggi dan mulia yang dimilikinya. Sedangkan mereka yang ingin mencapai kesempurnaan tanpa meletakkan Tuhan sebagai tujuan sesungguhnya mereka berada dalam esalahan, kenapa, karena tanpa tujuan yang demikian ini meskipun dia akan menemukan potensi-potensi yang tinggi di dalam dirinya, akan tetapi potensi-potensi ini tidak diletakkan dalam posisi yang benar.

Apakah potensi-potensi ilmu manusia yang saat ini telah sedemikian maju dan berkembang bisa dipergunakan dalam tujuan yang benar? Apakah potensi-potensi yang tinggi dan mulia yang dimiliki oleh manusia telah diletakkan dan dipergunakan secara benar? Pada prinsipnya jika potensi-potensi manusia telah keluar dari zat manusia dan mencapai pengaktualannya tanpa sebuah tujuan, maka dia tidak akan berada dalam lintasan lain selain dalam lintasa alamunya sendiri dan dalam lintasan nafsu ammarah. Oleh karena itu, persolan yang terdapat pada manusia bukan hanya terbatas pada maju dan berkembangnya potensi-potensi yang dimilikinya, melainkan lebih penting dari itu, tujuan dan sasaran pertumbuhan tersebut, yaitu pada posisi dan untuk tujuan apakah potensi-potensi tersebut mengalami kemajuan.

Tahapan-tahapan Manusia ke Arah Kesempurnaan

Tujuan dari penciptaan manusia adalah kesempurnaan, dan manusia yang layak untuk disebut sebagai manusia sempurna adalah mereka yang telah melangkahkan kakinya dalam lintasan perjalanan kesempurnaan ini. Akan tetapi bagaimanakah dan dengan cara seperti apakah kita bisa beranjak menuju kesempurnaan? Apakah yang harus dilakukan oleh manusia dan lintasan manakah yang harus dia lewati supaya bisa menggapai filsafat penciptaan?

Masing-masing agama dan aliran memandang persoalan ini dari perspektif yang berbeda dan mereka memberikan jawaban atas persoalan ini sesuai perspektif dunia yang mereka miliki.  Hal yang menurut perspektif akal dan pemikiran mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas bisa di analisa dengan memperhatikan persoalan-persoalan di bawah ini -yang merupakan metode-metode dan tahapan-tahapan untuk mencapai puncak kesempurnaan:

1.    Meletakkan diri di atas diri sendiri;

2.    Kedirian;

3.    Melewati diri alami dan sampai pada diri ideal;

4.    Memilih secara positif dan penuh kesadaran;

5.    Niat dan motivasi internal;

6.    Kesadaran atas diri sendiri dan hati.

Alasan kami meletakkan topik-topik di atas sebagai metode-metode untuk meraih kesempurnaan adalah karena selain akan mengantarkan perangkat-perangkat wujud manusia kepada actualitas, hal tersebut juga penting bagi individu dan sosial. Dan secara global, metode-metode tersebut memberikan perhatiannya pada seluruh dimensi kehidupan manusia, dengan ibarat lain bahwa hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada manusia untuk mencicipi cita rasa kehidupan, makna dan mafhum hakiki. Pada hakikatnya, selama manusia belum melewati lintasan ini dan belum mencapai tingkatan bergabung, maka dia tidak akan mampu memahami persoalan tersebut dengan baik. Pemahaman yang penting ini bisa diperoleh dari orang-orang yang telah melintasi lintasan kesempurnaan dimana dia sendirilah yang telah melintasinya dan telah sampai pada sebuah tingkatan dan memiliki kondisi spiritual, yang hal tersebut bisa dikenali oleh selainnya.

Persoalan di atas dari satu sisi pendapat lain bisa pula diletakkan sebagai suatu hal yang penting, dan hal tersebut adalah karena mereka memiliki jalan menuju ke arah tak terbatas dan batasan yang tertentu tidak bisa diletakkan untuk mereka, hal ini menyebabkan ruh manusia yang mencari ketakterbatasan bisa terpuaskan dan terpenuhi, karena kesempurnaan yang hakiki adalah kesempurnaan yang semakin manusia berjalan menuju ke arahnya, tetap saja terdapat tingkatan yang lebih tinggi untuk menggapainya. Dari sinilah sehingga pada begitu banyak persoalan-persoalan yang ditetapkan oleh manusia sebagai cita-cita yang diinginkan, selalu terdapat kekurangan dan kelemahan.

Dari pembahasan ini dapat diambil satu kesimpulan asasi yaitu bahwa sumber penciptaan karena ia merupakan sesuatu yang tak terbatas dan jauh dari kekurangan dan kelemahan, maka ia bisa merupakan kesempurnaan yang paling tinggi. Selain itu, kecenderungan kepada Tuhan akan memegang peran yang paling penting dalam mengontrol tabiat diri dan untuk mengarah pada diri yang dicita-citakan, dimana kami akan membahas persoalan ini pada tempatnya tersendiri.

1. Meletakkan diri di atas diri sendiri

Manusia, senantiasa lalai dengan kediriannya. Dengan ibarat lebih detail bisa dikatakan bahkan ia juga lalai dari keberadaannya. Manusia berpikir tidak pada hal-hal yang ada dan tidak pula pada hal-hal yang bisa ada. Manusia hanya sadar dengan apa yang dimiliki, tidak pada apa yang bisa dimiliki.

Menghindar dari kedirian merupakan suatu hal yang menyakitkan, akan tetapi yang lebih menyakitkan dari hal itu adalah lalai dari keberadaan diri. Andai saja manusia mampu berpikir sejenak dalam kehidupannya tentang keberadaannya dan sejenak berada dalam tafakkur dan meletakkan dirinya di atas diri sendiri. Akan tetapi dengan syarat, pertanyaan ini harus berasal dari dirinya, bukan dari orang lain.

Lalu, kapan pertanyaan ini harus dimulai?

“Ketika manusia berada dalam keheranan dan kekaguman”. Keheranan dan kekaguman berkaitan dengan keberadaan yang hal ini akan mendorongnya untuk sampai pada pada posisi kekaguman yang berkaitan dengan dirinya. Seteah posisi keheranan-lah kemudian diri harus diletakkan di atas diri sendiri bukannya kita memandang diri sendiri sebagaimana memandang sebuah sesuatu yang terletak di hadapan kita.

Dengan ibarat lain, kita harus memaparkan diri atas diri kita, dengan peletakan -keberadaan diri- yang seperti inilah manusia akan mengetahui tentang apa saja yang dia miliki, dan dengan kediriannyalah dia akan sampai pada sesuatu yang bisa dia miliki.

Di sini akan muncul sebuah pertanyaan dan pertanyaan tersebut adalah apa hubungan antara sesuatu yang dimiliki oleh manusia dengan keberadaan? Apakah terdapat jarak antara keduanya ataukah tidak?

Jembatan antara keduanya ini hanyalah kemauan, dan hanya dengan bantuan kemauan-lah manusia akan mampu sampai pada yang bisa dimiliki dengan apa yang dimilikinya.

Pertanyaan lainnya adalah apakah terdapat jarak  antara “menjadi” dengan apa yang akan dimiliki oleh manusia? Apakah antara keduanya ini pun terdapat hubungan? Apakah di sini pun jembatan antara keduanya saling bersambung?

Menjadi adalah sebuah kondisi dan dengan kondisi inilah seseorang bisa melangkahkan kaki ke maqam dan posisi perolehan yaitu bisa mencapai apa yang bisa dimiliki.

2. Kedirian

Yang dibicarakan di sini adalah bahwa manusia harus berada dalam perjalanan kesempurnaan dirinya dan menjadikan keberadaannya bersandar pada dirinya sendiri bukan kepada yang lain. Manusia bisa melangkahkan kakinya ke tingkatan kesempurnaan dan mendekatkan dirinya ke arah filsafat penciptaan; jangan menyerahkan diri dalam genggaman faktor-faktor spontan dan tak spontan yang terdapat di dalam lingkungan, arus-arus pemikiran dan arus sosial, tetapkanlah posisi diri sendiri dalam kancah keberadaan dan berusahalah untuk memilih jalan dengan menggunakan kekuatan diri sendiri, bukannya memilih jalan kehidupan dari orang lain, janganlah pula berjalan ke arah orang lain melangkah dan mengatakan apa yang pertama kali dikatakan oleh guru, rasakanlah diri berasal dari diri sendiri dimana dengan hal ini diri akan mampu berjalan ke arah kesempurnaan tanpa harus taklid dan mengikuti kedirian orang lain.

Jika kami katakana bahwa kedirian dan keberadaan diri harus disandarkan pada diri sendiri bukanlah dengan makna bahwa manusia dalam rangkaian wujudnya mampu menciptakan dirinya menjadi wujud yang non materi, terpisah dari selainnya dan menyenandungkan lagu kehidupan yang berbeda dengan harmoni keberadaan. Melainkan yang dimaksud di sini adalah bahwa kita harus berusaha untuk kembali kepada diri kita pribadi. Kita harus berupaya supaya catatan kehidupan kita kosong dari foto dan tanda tangan selain kita sehingga ketika kita membuka kembali buku catatan harian, maka di dalamnya, kita hanya akan menemukan kenangan-kenangan diri kita sendiri bukan kenangan selain diri kita. Hanya pada saat inilah manusia merasakan bahwa ia tengah berada dalam perjalanan ke arah kesempurnaan dan dalam perjalananini lah kepribadian manusia akan sampai pada kemandirian wujudnya sendiri. Pada hakikatnya dengan kedirianlah manusia akan memperoleh nilai wujudnya.

Hanya dengan kembali kepada diri sendirilah kemungkinan wujud manusia akan mengaktual.Hanya dengan keberadaam yang bersandar pada diri sendirilah manusia mampu melangkah ke diri yang ideal lalu memilih jalan dan menetapkan posisi dirinya di kancah keberadaan.

Kalimat terakhir adalah:

Marilah kita menjadi diri kita sendiri, berpikir terhadap diri kita sendiri, kembali kepada diri kita sendiri sehingga dalam perjalanan kehidupan kita menjadi bagian dari kafilah kesempurnaan.

3. Melewati diri alami dan sampai pada diri ideal

a. Apakah diri alami itu?

Kecenderungan kepada keabadian dan mencintai zat (cinta diri sendiri) merupakan kebutuhan fitrah manusia yang paling asasi dimana hal ini telah tersembunyi dan diamanatkan di dalam diri manusia sejak awal kelahirannya supaya manusia mempertahankan keabadiannya. Kecenderungan kepada keabadian telah menguasai seluruh dimensi-dimensi wujud manusia di bawah dominasinya sehingga bisa dikatakan bahkan pada paling kecilnya unsur kehidupan yaitu bahwa kecenderungan ini tersembunyi pula pada sel-sel sedemikian hingga jika sebagian dari anggota tubuh atau beberapa dari sel-sel kehidupan berhadapan dengan bahaya, maka kecenderungan akan keabadian ini akan membentengi dirinya dan mempertahankan keberadaan dirinya.

Secara global, jika kecenderungan semacam ini tidak terdapat di dalam diri manusia, maka tidak bisa diragukan lagi generasi manusia telah musnah dari dahulu, karena hanya kecintaan pada zat inilah yang bisa menyebabkan keabadian spesies dan yang mampu mempertahankan keberadaan sebuah eksistensi. Oleh karena itu, jika kecenderungan terhadap keabadian yang juga disebut sebagai kecenderungan untuk mencintai diri sendiri kita anggap sebagai salah satu dari nikmat-nikmat dan karunia-karunia penciptaan, maka apa yang kita katakan bukanlah merupakan sebuah perkataan yang kosong.

Peran kecenderungan ini dalam diri manusia sampai pada batasan hingga harus dikatakan bahwa ia merupakan awal, sumber dan akar dari begitu banyak kecenderungan-kecenderungan lainnya yang dimiliki oleh manusia, karena kebanyakan dari kecenderungan manusia hanya bisa dijelaskan dengan menggunakan kecenderungan ego sentris (mencintai diri sendiri), misalnya para pencari keuntungan, pencari kemasyhuran dan pencari kekuasaan seluruhnya bermula dari kecenderungan ini.

Jika kecenderungan ini keluar dari keadaan normalnya, dimana dalam keadaannya sendiri ia merupakan sebuah hal yang bermanfaat, maka tidak saja hal ini akan membahayakan bagi yang bersangkutan, bahkan akan menjadi sebuah persoalan yang berbahaya pula bagi masyarakat sekitarnya. Maksudnya adalah, ketika kecenderungan ini berada dalam posisinya sehingga telah menyebabkan manusia memandang seluruh persoalan dan seluruh realitas hanya dari perspektif diri pribadinya, maka yang akan terjadi adalah munculnya sifat terburuk dalam diri manusia yaitu menuhankan diri sendiri. Kami mengenal sekelompok dari manusia yang menginginkan segala sesuatu dan seluruh pihak di bawah keinginan dan untuk kepentingan dirinya, yaitu hanya memperhatikan keuntungan pribadinya dan tidak sedikitpun memiliki alasan untuk memperhatikan keuntungan orang lain meskipun mereka juga tidak ingin merugikan orang lain. Kelompok manusia yang seperti ini meskipun misalnya mereka memiliki kebergantungan dan kecintaan pada selainnya, maka pada dasarnya hal ini mereka lakukan hanya karena keuntungan dan ketiadaan kerugian bagi diri mereka sendiri, meskipun secara lahirian mereka menampakkan kecintaan dan menjadi pemerhati sesamanya. Orang-orang seperti ini secara egois akan mengantarkan dirinya sendiri kepada tingkatan yang akan membahayakan dan merugikan selainnya.

Terdapat pula kelompok lainnya dari manusia yang telah sampai pada posisi keegoisan mutlak, karena tidak saja mereka hanya memperhatikan pribadinya, bahkan untuk mempertahankan hal tersebut ia tidak mau memandang keuntungan selainnya dan bisa jadi dia bahkan akan melanggar dan menginjak-injak hak-hak sesama dan menyebabkan kerugian bagi selainnya.

Para pengidap penyakit-penyakit akhlak semacam egois, peburuk sangka, sombong, iri, dengki, tingggi hati, dan merasa lebih baik dari selainnya, pencari keuntungan, pencari kekuasaan, dan sebagainya, seluruhnya adalah bagian dari orang-orang yang terpenjara dengan diri tabiatnya sendiri.

Menuhankan diri sendiri yang tak lain adalah penjara tertutup bagi diri tabiat merupakan sifat yang paling tercela dan paling rendah bagi manusia dan jika kita mengatakan bahwwa hal tersebut merupakan sumber dari segala kerusakan dan kejahatan, maka pernyataan ini tidak jauh dari hakikat.

b. Apa diri ideal itu?

Berhadapan dengan kecenderungan menuhankan diri sendiri terdapat pula kecenderungan lainnya yang terdapat di dalam diri manusia dimana kecenderungan ini akan mengarahkan manusia kea rah yang lain dan menghindarkannya dari diri tabiat. Keberadaan kecenderungan inilah yang telah memisahkan manusia dari kerendahan dan sifat-sifat hewani dan mengantarkannya ke arah kesempurnaan ruhani dan spiritual. Di hadapan sifat menuhankan diri yangmembuat manusia hanya memperhatikan dirinya sendiri dan m emaksa seorang individu untuk hanya memperhatikan keuntungan dan keoentingan pribadinya, kecenderungan mencintai sesama akan mengajak manusia untuk menghormati kepentingan, manfaat dan hak-hak selainnya dan bahkan ia akan mengajak manusia untuk menutup matanya dari hak-hak pribadinya demi kepentingan selainnya.

Pada saat ini, kebaikan akan memiliki nilai yang riil dan hakiki dimana manusia dengan mengesampingkan dari kelompok ataupun komunitas akan memiliki kecenderungan untuk mencintai dan menjadi pemerhati sesamanya, karena terdapat orang-orang yang memikirkan kepentingan dan kemaslahatan sosia yaitu kecenderungan mereka untuk mencintai sesama mereka tujukan kepada kelompok-kelompok dan suku-suku tertentu dari masyarakat.

Benar dikatakan bahwa secara lahiriah kebaikan seperti ini terpisah dari mementingkan diri sendiri, akan tetapi apabila topik ini kita analisa dengan lebih cermat, mka kita akan sampai pada kesimpulan bahwa dalam kebanyakan persoalan, fundamen dan pondasi dari kebaikan jenis ini adalah mementingkan diri sendiri dan diri alami, karena seseorang yang kecintaannya hanya tertuju pada salah satu dari kelompok masyarakat dia  melakukan kebaikan ini dengan alasan supaya kelompo dan suku tersebut memberikan keuntungan padanya dan jika tidak demikian tidak ada kemestian bahwa kecintaannya tersebut hanya diarahkan pada sekelompok tertentu dari manusia.

Pada prinsipnya diri alami (tabiat) akan tertampakkan dalam berbagai kelemahan bahkan mungkin saja dia akan tertampakkan di bawah naungan kebaikan dan pemerhati sesama. Dari sisnilah sehingga dikatakan bahwa mengenal diri sendiri merupakan sebuah persoalan yang rumit dan menguras tenaga. Jika seorang manusia bisa mengarahkan kecenderungan kecintaan terhadap semsama ini dengan mengesampingkan klasifikasi-klasifikasi dan kelompok yang ada dan memperhatikan kepentingan orang lain dan bahkan meskipun membahayak kepentinfan dirinya, maka manusia seperti ini telah melangkahkan kakinya ke arah diri yang ideal, dan akhir dari gerak diri yang ideal tak lain adalah Tuhan.

c. Awal, lintasan, dan tujuan diri ideal

Untuk menganalisa tentang hubungan seperti apakah yang terdapat antara diri alami dengan diri ideal, maka kita harus melakukan pembahasan terhadap ketiga topik di atas.

Awal dari gerak dalam diri yang ideal: setiap kali manusia mampu mengesampingkan diri alaminya yaitu mengesampingkan kepentingan pribadinya dan merasakan bahwa dalam hubungannya dengan selainnya ia memperhatikan kepentingan dan hak-hak selainnya, maka pada saat ia berjauhan dengan diri alaminya ia bisa memulai gerak dirinya ke arah diri yang ideal.

Lintasan gerak dalam diri ideal: dikarenakan dalam lingkup psikologi dan kehendak, manusia tidak mampu menggapai bagian-bagian yang bersifa kuantitas, maka kesimpulannya perjalanan dan lintasan materi pun tidak tersedia untuk hal tersebut. 

Dalam persoalan-persoalan materi ketika kita menghendaki untuk sampai pada suatu tujuan maka kita harus melintasi sebuah perjalanan dimana perjalanan ini minimal terletak dalam lingkup ruang dan waktu yaitu jarak suatu tempat harus dilalui dalam sepanjang waktu tertentu supaya bisa sampai pada tujuan yang dimaksud. Akan tetapi, hal ini tidak dibenarkan dalam aksi dan reaksi non materi sehubungan dengan topik semacam ini, karena ruang dan waktu berada dalam lingkup dan batasan yang kabur. Oleh karena itu, lintasan gerak dalam diri ideal adalah melintasi diri alami. Dengan ibarat lain, dalam setiap tingkatan dari tingkatan-tingkatan kesempurnaan yang telah dilalui oleh manusia, maka tingkatan ini mempunyai kedudukan yang lebih sempurna jika dibandingkan dengan tingkatan sebelumnya dimana batas jarak psikologi antara kedua tingkatan ini merupakan lintasan diri yang ideal.

Tujuan gerak dalam diri ideal: bergabung dengan kesempurnaan merupakan tujuan dan akhir gerak dalam diri ideal. Seorang manusia yang mampu memperhatikan kepentingan dan hak-hak orang lain di atas kesadaran dengan mengesampingkan kaitannya akan keuntungan atau kerugian melakukannya, maka dia akan mampu mengantarkan dirinya ke arah tujuan gerak diri ideal. Tidak perlu diragukan lagi bahwa tujuan ini tidaklah permanen, bahkan memiliki berbagai derajat dan tingkatan dimana hal ini bergantung pada kemampuan manusia dalam mellintasi diri tabiatnya dan dalam memandang cara-cara lain untuk sampai pada kesempurnaan, seperti tindakannya dalam memilih secara positif dan sadar, memiliki motivasi dan niat yang positif, dan lain sepertinya.

Ringkasnya, hasil dari terlewatinya diri alami atau diri tabiat adalah sampainya pada diri ideal. Sebagaimana halnya yang telah dinukilkan dalam salah satu hadis yang menceritakan bahwa suatu hari Nabi Musa As memohon kepada Tuhan, “Wahai Tuhanku, bagaimana caranya sehingga aku bisa sampai kepada-Mu? Allah swt berfirman, “Begitu engkau memilih-Ku sebagai tujuan, maka sebenarnya engkau telah sampai kepada-Ku”.

4. Memilih secara positif dan penuh kesadaran

Telah kami katakan bahwa di dalam diri manusia terdapat hubbu zat (kecintaan terhadap zatnya sendiri) dan keegoisan yang tersembunyi, dimana jika hal ini muncul dalam bentuk menuhankan diri dan mementingkan diri sendiri maka hal ini akan membentuk manusia yang tak hanya memandang pada kepentingannya sendiri bahkan bisa jadi dia pun akan menginjak-injak dan tidak menghargai hak-hak selainnya, dan manusia yang seperti ini adalah manusia yang telah sampai pada tingkatan kehewanan. Demikian juga di dalam diri manusia terdapat kecintaan kepada sesama dan kecenderungan untuk berbuat kebaikan dimana hal ini akan mendorong seseorang untuk memperhatikan kepentingan orang lain dan mengesampingkan kepentingannya.

Dua kecenderungan yang kontradiksi ini tersembunyi di dalam tabiat manusia, dengan artian bahwa manusia selain memiliki kecenderungan-kecenderungan yang ego sentris, dia juga memiliki kecenderungan-kecenderungan untuk mencintai sesama, dan hal ini merupakan tanda-tanda dari keagungan penciptaan. Pada hakikatnya, manusia berada dalam dua kutub yang berlawanan, kutub positif dan negatif. Dia bisa melangkahkan kakinya ke tingkatan yang paling tinggi dan juga bisa terjerumus ke tingkatan terendah yang bahkan lebih rendah dari tingkatan hewan.

Tidak ada satupun makhluk -baik hewan maupun malaikat- yang mampu mengubah kepribadian manusia dari apa yang telah ada, akan tetapi manusia dengan kehendak dan pilihannya sendiri-lah yang akan mampu menciptakan dirinya bahkan lebih tinggi dari tingkatan malaikat atau lebih rendah dari hewan sekalipun. Memiliki kehendak dan pilihan merupakan kelebihan yang dimiliki oleh manusia atas hewan. Dengan pilihan dan tindakannya, manusia akan memberikan nilai pada keberadaan dirinya. Banyak dari aliran-aliran dengan perspektif dan pandangan mereka yang beragam menganggap bahwa nilai dari seorang manusia bergantung pada amalan, tindakan dan pilihannya. Aliran Pragmatisme meletakkan prinsip pada tindakan manusia dan keuntungan yang diperoleh manusia karena tindakannya tersebut. Bahkan teori inipun mengetengahkan bahwa kecenderungan kepada Tuhan dalam praktisinya akan memberikan keuntunngan kepada manusia. Sementara itu aliran Eksistensialisme pun menempatkan nilai manusia yang bergantung pada pilihannya dan mereka menganggap manusia sebagai sebuah eksistensi yang selain tidak diciptakan sebelumnya, tidak juga menjadi obyek bagi yang lain, melainkan merupakan sebuah eksistensi yang menciptakan kediriannya dengan pilihan dan kewenangannya.

Untuk mengenal sebuah tindakan sebagai tindakan yang positif ataukah tidak bergantung pada sejaug mana tindakan dan amalan tersebut memberikan pengaruh dalam kesempurnaan individu dan pertumbuhan masyarakat. Betapa banyak tindakan-tindakan yang tidak saja tidak bermanfaat bagi individu, bahkan bagi masyarakatpun tidak memberikan manfaat apapun. Di sinilah sehingga kita tidak bisa menghukumi setiap pilihan hanya sebagai sebuah amal dan tindakan. Melainkan harus diperhatikan pula tentang nilai positif dan negatifnya, karena kemerosotan, kemalangan-kemalangan pun berasal dari pilihan yang kemudian dilakukan dalam bentuk tindakan.

Seseorang yang mampu menapakkan kakinya ke tingkatan kesempurnaan dengan amal dan perbuatannya hanyalah yang melakukan pilihannya secara benar dan sadar. Sebuah amal dan perbuatan, semakin dibarengi dengan kesadaran maka amal dan perbuatan tersebut akan memiliki nilai dan citra yang semakin tinggi pula. Bisa jadi, seorang anak atau seorang yang tidak waras pun melakukan suatu perbuatan, akan tetapi karena perbuatan tesebut dilakukan tidak dengan kesadaran maka ia menjadi tidak berharga dan tidak mempunyai nilai. Demikian pula tindakan dan perbuatan yang terwujud karena keterpaksaan. Kewenangan dan kesadaran merupakan dua pondasi yang diperlukan dalam penilaian setiap tindakan, demikian juga pancaran pengaruh dari tindakan positif di dalam masyarakat akan terasa lebih banyak ketika dilakukan berdasarkan pengenalan, pengetahuan dan kesadaran yang lebih banyak.

5. Niat dan motivasi internal

Setiap tindakan dan pilihan yang dilakukan oleh manusia memiliki dua dimensi. Dari satu sisi berkaitan dengan sumber pengaruh eksternal suatu tindakan dan mengenai apakah di luar dari jiwa manusia yaitu di dalam masyarakat merupakan suatu hal yang bermanfaat ataukah sebaliknya, dan pada sisi lainnya berkaitan dengan motivasi jiwa yang memunculkan fenomena tindakan dan pilihan manusia.

Di sinilah sehingga ‘kebaikan perbuatan’ (yakni perbuatan itu sendiri adalah baik) dan ‘kebaikan pelaku’ (niat dan motivasi pelaku adalah baik) diketengahkan. Suatu tindakan dan perbuatan mungkin saja dari pandangan aktivitas luar dupandang sebagai sebuah perbuatan yang bernilai baik, akan tetapi, dari sisi motivasi internal yang menyebabkan kemunculan tindakan tersebut mungkin saja ia kosong dari nilai kebaikan, yaitu tidak memiliki ‘kebaikan pelaku’ (yakni niat pelaku dalam melakukan perbutan itulah yang tidak baik).

Seorang donatur yang membangun sebuah rumah sakit atau sekolah, perbuatannya ini dari perspektif eksternal merupakan sebuah perbuatan yang bernilai dan terpuji karena ia melakukan pengkhidmatan dan pengabdian untuk masyarakatnya, akan tetapi harus dilihat apakah dalam pilihan-pilihan yang dilakukan oleh manusia hanya mencukupkan diri pada ‘kebaikan perbuatan’ saja yaitu setiap tindakan dan perbuatan yang memiliki pengaruh eksternal bermanfaat senantiasa berharga? Sekelompok dari para ilmuwan dan berbagai aliran berkeyakinan bahwa jika seorang individu melakukan sebuah tindakan dan perbuatan yang berharga berarti dia telah mengajak dirinya menuju ke arah kesempurnaan, akan tetapi pendapat ini tidaklah benar, alasannya adalah, dikarenakan kesempurnaan merupakan sebuah persoalan internal yang bersifat esensial, maka seorang individu akan mampu mengarahkan dirinya kepada kesempurnaan ketika dia memiliki motivasi-motivasi internal yang benar dan bermanfaat.

Bisa jadi seorang yang berbiat kebaikan semacam donatur tadi telah melakukan sebuah perbuatan yang baik, akan tetapu perbuatan tersebut tidam menghasilkan kesempurnaan zatinya, karena pada dasarnya orang ini melakukan kebaikan sosialnya hanya untuk riya dan pamer. Akan tetapi, bisa jadi seseorang hanya melakukan sebuah kebaikan sosial yang sangat sepele, namun niat dan motivasi internalnya betul-betul karena Tuhan, yang hasilnya adalah membantu orang lain dan mengabdi kepada sesama. Tidak bisa diragunkan lagi bahwa dari aspek pengaruh yang dimiliki oleh perbuatan ini dalam mengkonstuksi orang tersebut sama sekali tidak bisa diperbandingkan dengan sebuah perbuatan kebudayaan atau kesehatan luar biasa dimana pelakunya melakukan hal tersebut karena motivasi riya, pamer atau gengsi, karena orang yang riya dengan perbuatannya tidak saja tidak melakukan pengabdian kepada dirinya, bahkan dia malah melukai dirinya, sementara sosok kedua, dengan satu perbuatan kecilnya, karena niat dan motivasinya benar, maka perbuatan kecil ini bisa mengantarkan dirinya pada tingkatan ruhani dan spiritual yang tinggi.

Di sinilah sehingga harus dikatakan bahwa aliran-aliran semacam eksistensialisme yang memandang perbuatan dan pilihan manusia dari aspek pengaruh eksternalnya, betul-betul berada dalam kesalahan.

Kami juga akan menambahkan poin berikut bahwa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah bahwa ‘kebaikan pelaku’ setiap perbuatan terpisah dari ‘kebaikan perbuatan’, melainkan yang dimaksud adalah bahwa setiap perbuatan akan memiliki pengaruh yang riil ketika ia memiliki niat dan motivasi internal yang sehat dan benar sehingga hal tersebut bermanfaat untuk yang bersangkutan dan juga bermanfaat untuk masyarakat. Bisa jadi sebuah perbuatan yang secara lahiriah memiliki pengaruh eksternal yang bermanfaat, akan tetapi dikarenakan pamer dan gengsi, perbuatan ini tidak memiliki ‘kebaikan perbuatan’. Dengan dasar inilah sehingga kami mengatakan bahwa perbuatan harus dilakukan hanya dan hanya karena Tuhan, karena hanya dengan berhubungan dengan Tuhan-lah sebuah perbuatan akan bernilai dan memiliki keaslian. Perbuatan, apabila tidak dilakukan dengan niat Tuhan, maka perbuatan tersebut tidak akan memegang peran lain kecuali pembesaran dan pembengkakan diri tabiat dan nafsu ammarah. Hanya dengan iman kepada Tuhan-lah perbuatan seorang manusia akan jauh dari motivasi-motivasi riya, gengsi dan pamer dan mengantarkannya ke arah kesempurnaan.  

6. Kesadaran atas diri sendiri

Lalai dari diri merupakan salah satu dari unsur-unsur yang menghalangi kehidupan ideal. Manusia, dalam sepanjang sejarah senantiasa merupakan eksistensi yang lalai dari dirinya sendiri, dan hal seperti ini terutama akan ditemukan ketika komunitas manusia semakin berada dalam tataran yang rumit dan manusia semakin banyak berbar dengan masyarakat dan semakin tidak memiliki kesempatan untuk menyendiri. Tentu saja kadangkala kita berada di tengah-tengah sebuah komunitas akan tetapi kita merasa sendiri dan kadangkala pula kita tengah menyendiri akan tetapi seakan berada di tengah-tengah komunitas. Pernyataan ini dengan artian bahwa yang harus kita perhatikan adalah kesendirian dalam arti kualitas bukannya kesendirian darlam arti kuantitas dan jumlah.

Marilah kita sejenak menyendiri, namun bukan dalam kesendirian seseorang yang berada dalam kesendirian hati dan ketiadaan kesadaran hati. Mari kita sejenak tenggelam dalam diri kita dan bercakap dengan diri kita; sebuah percakapan yang kita lakukan dengan hati kita yang sadar. Percakapan tentang diri kita yang ada, tentang apa yang telah kita lakukan, apa yang kita miliki dan apa yang akan kita lakukan, supaya kita bisa menyingkirkan hambatan-hambatan yang menghadang diri kita dari kehidupan ideal dan menghalangi kita dari tujuan penciptaan diri. Mereka yang telah sampai pada tingkatan kesempurnaan hakiki dan telah mengaktualkan segala sarana keberadaan pemujaannya, telah melakukan semuanya ini. Para pesuluk jalan kesempurnaan ini berlindung pada kegelapan malan untuk melakukan muhasabah dan perhitungan terhadap amal dan perbuatannya, dan dalam kegelapan dimana sepi menguasai seluruh tempat, kota berada dalam ketenangannya dan melupakan segala hiruk pikuk yang dimikinya mereka berkhalwat dan bercakap serta memohon kepada Tuhannya dan membolak-balik buku laporan kehidupannya sendiri sehingga lembaran-lembaran hitamnya akan mereka cuci dengan air taubah.

Problematika kehidupan saat ini telah membuat manusia telah melakukan lebih banyak kesiasaan. Oleh karena itu, manusia pada era kita lebih membutuhkan diri yang sadar melebihi manusia-manusia terdahulu. Dengan memperhatikan topik inilah sehingga kami mengatakan diri yang sadar dan memperhitungkan segala perbuatannya merupakan faktor yang paling fundamental untuk meraih kesempurnaan, karena hanya dengan memperhatikan dan menganalisa amal dan perbuatan yang telah dilakukan-lah manusia bisa menampilkan diri dan menyingkirkan segala hambatan yang menghalanginya untuk meraih kesempurnaan.

Kami telah mengetengahkan pembahasan yang berkaitan dengan diri yang sadar dan hati yang sadar. Tujuan kami menggunakan kedua kalimat di atas, bukanlah dalam arti literal, melainkan karena merujuk pada diri internal dan keinginan internal. Hanya dengan memperhatikan diri internal dan hati yang sadarlah seorang individu akan bisa menghilangkan karat-karat yang ada di dalam ruhnya dan mengantarkannya ke tingkatan yang tinggi dan mulia. Dengan alasan inilah sehingga peran hati dan diri internal dalam meraih tingkatan yang tinggi dan  kesempurnaan tidak bisa dianggap sepele. Bukankah kesempurnaan hakiki adalah kesempurnaan yang memiliki akar di dalam diri internal? [Sumber:www.wisdoms4all.com]