HUBUNGAN AGAMA DAN POLITIK DALAM PANDANGAN IMAM KHOMEINIDeprecated: Function eregi_replace() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 99 Deprecated: Function split() is deprecated in /home/idalshia/public_html/page.php on line 103 Oleh: Prof.Dr. M. Dawam
Rahardjo
Imam Khomeini, -lahir di kota Khomein Tengah, Iran pada
tahun 1902, dan pernah tinggal dan menjalani pendidikan di Najaf, Iraq selama
14 tahun, tapi menyelesaikan pendidikan tingginya di kota suci Qom di bidang
teologi dan hukum Islam (fiqih)- memperoleh gambaran sejarah sebagai pemimpin
Revolusi Islam Iran yang spektakuler. Dalam istilah yang kita kenal di
Indonesia, ia menyandang gelar “Pemimpin Besar Revolusi” dan sekaligus “Ratu
Adil”. Sebab misi utamanya, sebagaimana yang di tunggu-tunggu itu, adalah
menegakkan keadilan. Ia sendiri termasuk ke dalam ketegori “hakim yang adil”
(just jurist), atau fuqaha yang menurut kata-katanya sendiri adalah “benteng
Islam”. Dalam konteks revolusi yang sedang dalam proses di akhir dasawarsa
’80-an, Imam Khomeini menyerukan agar kaum fuqaha, para ahli hukum Islam,
“memperhatikan keadaan negara sebagaimana kaum saudagar menjaga pasar, tapi
dengan kehati-hatian”. Ia sendiri telah menulis sebuah buku kritik yang sangat
tajam terhadap rezim Dinasti Pahlevi dan kondisi di Iran pada tahun 1940-an,
dalam bukunya “Kasyful Asrar” (“Menyingkap Rahasia”, yaitu keadaan yang tidak
disadari masyarakat umumnya). Shiah sendiri adalah suatu mazhab yang meneruskan
tradisi Mu’tazilah di abad pertengahan yang menyebut dirinya sebagai “ahlul
tauhid wa al adl”, ahli tauhid dan keadilan. Dalam kata-kata itu, tauhid dan
keadilan adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Keadilan bersumber dari
tauhid dan tauhid yang merupakan hubungan manusia dengan Tuhannya (hablun min
al Allah) diwujudkan dalam keadilan dalam hubungan antar sesama manusia (habun
min al naas). Memperhatikan keadaan negara mengisyaratkan agar kaum fuqaha
ikut bertanggung-jawab dalam mengurus masalah negara dan pemerintahan. Dalam
doktrin Islam Shiah, masyarakat itu dipimpin oleh para imam, khususnya Imam
yang 12. Imam yang terakhir telah menghilang, tetapi ia akan kembali sebagai
Imam Mahdi. Tapi selama Sang Imam ghaib itu, kaum ulama, kaum fuqaha harus
tampil mengambil alih kepemimpinan. Dengan demikian, kepemimpinan kontemporer,
yaitu kaum fuqaha, adalah wakil atau khalifah dari para imam yang ghaib. Atas
dasar kepercayaan itu, maka Imam Khomeini menciptakan konsep “Wilayah al-Faqih”
yang menjadi garda (guardian) terhadap hukum Islam. Konsep inilah yang
menimbulkan kharisma terhadap kaum fuqaha yang diwakili oleh Imam Khomeini.
Agaknya Imam Khomeini menyadari kepemimpinan semacam itu, yaitu kepemimpinan
itu bisa hilang setelah ia meninggal. Karena itu, maka kharisma kemimpinan atau
Imamah itu dilembagakannya dalam konsep Wilayah al-Faqih, sehingga keimaman itu
dapat dilanjutkan dari waktu ke waktu. Sementara itu kefuqahaan itu dibibitkan
dan dikembangkan melalui hauzah-fuqaha, yaitu lembaga pendidikan dan penelitian
sebagaimana terdapat dan berkonsentrasi di kota suci Qom Iran atau Najef Iraq,
di mana Imam Khomeini sendiri dididik dan dibesarkan. Menurut Imam Khomeini, fuqaha bukan hanya ahli di bidang
hukum Islam atau hanya merupakan tokoh spriritual. Fuqaha yang paripurna harus
juga ahli d bidang-bidang lain, misalnya filsafat, politik, sosial dan ekonomi.
Ayatullah Rafsanjani umpamanya, adalah juga seorang ahli ekonomi yang piawai.
Demikian pula ulama ahli tafsir besar Tabataba’i yang menulis buku mengenai
sistem ekonomi Islam. Sedangkan Ayatullah Murtadha Mutahhari adalah juga ahili
sejarah, ahli sosiologi dan filsuf sosial yang sangat produktif menulis buku di
berbagai bidang dan sudah banyak diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Sejalan dengan pemikiran itu, maka Imam Khomeini sangat
menentang sekularisme yang memisahkan agama dari negara atau politik. Pandangan
ini tidak semata-mata bersifat normatif, tetapi juga empiris, sebagaimana
diperlihatkan dalam gerakan revolusioner Iran. Dalam penjelasannya sendiri: Doktrin Islam diterapkan dalam kehidupan kemesyarakatan,
patriotisme adminstrasi keadilan dan penentangan terhadap tirani dan
dispotisme. Islam mengingatkan kepada pemeluknya untuk tidak tunduk kepada
kekuasaan asing. Inilah sebabnya, mengapa kaum imperialis merusaha mengacaukan
pikiran rakyat dengan menarik garis pemisah antara antara agama dan
pemerintahan dan politik. Baginya, ulama atau ahli hukum (fuqaha) memiliki dharma
(kewajiban) untuk menegakkan hukum-hukum Tuhan yang intinya adalah sebuah misi
yang dijalankan oleh negara dan pemerintahan yang adil. Dalam menentang rezim
dinasti Syah Iran, berbagai kelompok telah mencobanya, termasuk kelompok
sosialis atau Marxis dan terakhir kelompok nasionalis yang dipimpin oleh
pemimpin legendaris yang berani menentang imperialisme AS, Mosaddeq. Tapi
kesemuanya telah gagal. Setelah itu, maka agama adalah satu-satunya suara
oposisi yang mampu didengarkan. Sejak tahun 1964, Imam Khomeini adalah
satu-satunya tokoh yang mampu menyajikan konsep oposisi dalam ideologi yang
secara sistematik berbeda atau merupakan alternatif baru. Ideologinya itu
didasarkannya pada suatu konsep teologi yang disebut Wilayah al-Faqih yang
menentang kepemimpinan tradisional yaitu sistem dinanti. Imam Khomeini memang menduduki posisi yang dominan sebagai
pemipin kharismatis, meminjam konsep Weber yang berbeda dengan kepemimpinan
tradisional di satu pihak dan kepemimpinan demokratis di lain pihak. Tapi
sebenarnya ia tidak sendirian dalam menyebarkan bibit revolusi. Pada pokoknya
ada dua kelompok pemimpin yang mengakumulasi proses revolusi Islam Iran.
Pertama adalah kelompok ulama atau fukaha dan filsuf. Selain Khomeini,
terkemuka juga ayatullah-ayatullah lain, seperti Morteza Muttahari, Ayatullah
Madari, Ayatullah Ni’matullah Salihi dan Ayatullah Talegani untuk mengambil
sebagian yang terkemuka. Muttahari banyak melakukan pendekatan kesejaharan dan
kemasyarakatan, sedangkan ketiga ayatullah lainnya punya konsep yang berbeda
tentang Wilayah al-Faqih dalam kaitannya dengan demokrasi. Kedua, adalah
kelompok cendekiawan yang tercerahkan yang diwakili oleh Ali Syari’ati, Dr.
Mehdi Bazargan dan Bani Sadr. Ali Syari’ati sendiri menentang konsep dominasi
kaum fuqaha, sebab baginya kaum fuqaha belum tentu bisa memahami ajaran Islam dengan
baik, bahkan di masa lalu telah banyak membuat kesalahan yang menyebabkan
kemunduran Islam. Mereka belum tentu juga lebih unggul akhlaknya, apalagi dalam
masyarakat modern. Ali Syari’ati lebih cenderung pada kepemimpinan apa yang
disebutnya cendekiawan yang tercerahkan (rausan fikr). Tapi rausan fikr ini
bukan hanya berasal dari cendekiawan umum, melainkan juga dapat berasal dari
ulama, sebagai contohnya Ayatullah Muttahari yang seorang filsuf sosial yang
tidak saja menguasai teologi tetapi juga filsafat dan ilmu-ilmu sosial dan
sejarah. Ayatullah Khomeini berpegang pada konsep Kedaulatan Tuhan
dan memandang al-Qur’an sebagai konstitusi Islam, dan karena itu ia berpendapat
bahwa negara tidak memerlukan parlemen sebagai badan legislatif yang menyusun UU.
Baginya rakyat itu sudah punya UU dasar, yaitu al Qur’an yang didukung oleh
Sunnah. Tapi ini bukan berarti parlemen tidak diperlukan. Parlemen diperlukan,
tapi untuk menciptakan peraturan-peraturan pelaksanaan atau UU organik guna
memberikan tugas kepada eksekutif. Namun pemegang kekuasaan eksekutif harus
juga kaum fuqaha. Itulah konsep formal Ayatullah Khomeini. Tapi dalam
pelaksanannya, Imam Khomeini juga mengakomodasi pandangan Ali Syari’ati yang
berbeda itu. Buktinya ia memilih Dr. Mehdi Bazargan sebagai Perdana Menteri
Pemerintahan Sementara yang dibentuknya pada masa transsi. Ia kemudian merestui
Bani Sadr sarjana ekonomi didikan Paris yang berkecenderungan sosialis sebagai
Presiden Iran nyang pertama, walaupun kemudian digulingkannya sendiri. Tokoh
cendekiawan lain yang juga terkemuka lainnya misalnya adalah Sadeq Godzabeg dan
Dr. Ebrahim Yazdi Dalam kenyataannya sekarang, walaupun presidennya adalah
ulama atau ayatullah, namun para wakil dan menteri-menteri dalam kabinet adalah
para cendekiawan Muslim didikan Barat. Karya utama Ayatullah Khomeini adalah Revolusi Islam Iran
itu sendiri. Revolusi yang dipimpinnya itu sendiri cukup spektakuler karena
pertama, berhasil menggulingkan rezim despotik Syah Pahlevi yang pada waktu itu
sangat kuat yang didukung oleh angkatan bersenjata yang nomer lima terkuat di
dunia pada masanya, berkat kekayaan minyak bumi dan program modernisasi. Kedua,
revolusi itu mampu mengusir penjajah AS, sebuah negara adidaya dunia yang
sangat ditakuti oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Tapi lepas dari itu Revolusi Islam Iran memiliki sejumlah
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh Revolisi Amerika, Revolusi Prancis,
Revolusi Rusia ataupun Revolusi Cina di Timur. Ahli ilmu politik internasional
terkemuka Richard Falk yang juga peneliti konfik dan perdamaian (Peace and
Conflict Research) menengarai tiga karakteristik Revolusi Islam Iran tahun 1979
itu yaitu: 1. Relatif tidak mempergunakan
kekerasan, seperti ketika Nabi saw menaklukkan Mekah, dan tidak seperti
revolusi-revolusi lain yang berdarah-darah itu. 2. Tidak meniru model
revolusi-revolusi lain di Barat maupun Timur. 3. Bersifat keagamaan yang
menggabungkan politik dan agama serta agama dan nasionalisme pada abad modern. Revolusi Islam Iran yang dipimpin oleh Imam Khomeini memang
khas bersifat keagamaan yang mengambil inspirasinya dari ajaran Islam yang
menentang tirani. Namun Revolusi Islam Iran itu juga mengandung nilai-nilai
yang universal. Garis-garis besar landasan Pemikiran Imam Khomeini itu, menurut
Jusuf Abdulah Puar yang beraliran Sunni adalah sebagai berikut: 1. Menegakkan kemerdekaan atas dasar ajaran Islam yang
murni. Dengan rumusan itu nampak bahwa Revolusi Islam Iran memiliki
kesejajaran dengan Revolusi Indonesia yang mendasarkan diri pada prinsip
Sosio-Demokrasi dan Sosio-Nalionalisme, sedangkan demokrasi Iran juga bukan
hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi yang mengacu kepada
keadilan sosial. Misi itulah yang sebenarnya diemban oleh Wilayah al Faqih. Dengan konsep Wilayah al Faqih itu Imam Khomeini sering
disebut sebagai kaum fundamentalis. Memang ada benarnya, karena ia ingin
mengaktualisasikan model pemerintahan Nabi Muhammad saw dan kekhalifahan Imam
Ali ra. Tapi sebaliknya, ia ingin mengaktualisasikan konsep Imamah dalam
tradisi Shiah itu dalam konteks modern. Hanya saja ia percaya kepada
kepemimpinan kaum fuqaha dan tidak kepada kaum cendekiawan didikan Barat
(setidak-tidaknya dalam teori). Konsep kenegaraannya sebenarnya adalah
teokrasi, yang berbeda dengan konsep theo-demokrasi yang pernah diusulkan oleh
Mohammad Natsir dan diperjuangkan oleh partai Masyumi dari Indonesia. Tapi gagasannya itu berbeda dengan gagasan kaum
fundamentalis Sunni yang ingin menegakkan kekhalifahan Islam di bumi. Prinsip
kekhalifaan itu mengandung empat prinsip, yaitu: Konsep Wilayah al-Faqih juga mendasarkan diri pada prinsip
kedaulatan Tuhan. Dia-lah yang menciptakan hukum bagi manusia, bukan manusia
menciptakan hukum untuk dirinya sendiri seperti sistem demokrasi Barat. Namun
otoritas dipegang oleh kelompok, jadi merupakan otoritas kolektif, berdeda
dengan konsep khilafah Sunni yang otokratis. Imam Khomeini sebenarnya mengagumi
filsafat Plato dan Aristoteles, yaitu konsep philosopher king. Hanya saja
menurut tafsirannya, philosopher itu adalah para fuqaha secara kolektif.
Sebenarnya ayatullah seperti Tabataba’i, Mutahhari dan Khomeini dapat
dikategorikan sebagai philosopher yang ideal. Sedangkan menurut Ali Syari’ati,
kepemimpinan itu dipegang oleh rausan fikr, cendekiawan yang tercerahkan baik
yang berasal dari pendidikan umum maupun fuqaha. Dewasa ini, walaun kaum fuqaha tetap memegang kedaulatan
tertinggi dalam lembaga Wilayah al-Faqih, namun sistem politiknya dijalankan
melalui demokrasi, dengan indikator utama, adanya pemilihan umum, baik untuk
badan lagislatif maupun presiden. Sistem demokrasi itu ditandai pula oleh
adanya berbagai kelompok dengan aliran-aliran yang berbeda-beda. Pertama aliran
fundamentalis konservatif yang diwakili oleh Ayatullah Khamenei, murid utama
ayatullah Khomeini sendiri. Kedua, aliran fudamentalis moderat dan pragmatis
yang diwakili oleh Ayatullah Rafsanjani yang pernah menjabat sebagai PM Iran.
Ketiga adalah aliran reformis liberal yang dulu diwakili oleh Dr. Mehdi
Bazargan yang pernah menjabat sebagai PM Iran tunjukan Imam Khomeini langsung.
Wakil yang sekarang (2005) adalah Ayatullah Khatami yang berhasil dipilih
menjadi Presiden Republik Islam Iran. Dalam perjalanannya, memang telah terjadi
perubahan-perubahan yang tadinya seolah-olah monolitis, sekarang menjad lebih
pluralis. Bahkan golongan Marxis pun memainkan peranan penting, yang dulu
dikenal sebagai Partai Tudeh (Partai Komunis Iran) dan sekarang kelompok
Mujahidin Khalk yang lama memiliki tradisi oposisi dan gerakan pembebasan Iran.
Di awal revolusi, kaum perempuan masih mengalam diskriminasi, misalnya tidak
boleh menjadi hakim apalagi pimpinan negara. Sekarang (2005), salah seorang
wakil presiden Iran pimpinan Khatami adalah seorang perempuan. Yang menarik dari Republik Islam Iran adalah komitmen negara
dan pemerintah dalam menjalankan syari’at Islam tetapi sekaligus juga berusaha
mencari bentuk demokrasi dalam pemerintahan maupun dalam sistem politik. Dalam
sistem ekonomi, Iran berusaha untuk menerapkan prinsip-prinsip syar’ah dalam
berekonomi. Secagai contoh pemerintah Iran secara total mengkonversi sistem
bank konvensional menjadi sepenuhnya bank Islam atau bank syari’ah. Pemerintah
Iran juga berusaha untuk menjalin hubungan dagang terutama dengan negara-negara
Muslim. Dalam sistem negara dan pemerintahan, Iran melakukan model
“ideologization of religion” untuk membentuk suatu religious ideology. Menurut
Geiger, ideologi adalah ”suatu sistem gagasan tentang realitas sosial, yang
diartikulasikan dengan konsustensi internal dan dielaborasi secara logis atas
dasar asumsi-asumsi awal sehingga membentuk korpus tertulis, bebas dari
pemikiran orang yang dapat dijadikan rujukan dan dapat menjadi dasar
penafsiran, komentar dan indoktrinas. Dalam ini, ideologsasi Islam menurut Ali
Merad berarti“ merumusklan kandungan Islam dalam bentuk norma dan nilai
mengenai tatatan sosal-politik”. Masalahnya adalah siapa yang bisa menulis
konsep ideologi itu. Menurut Khomeini, yang mampu adalah para fuqaha. Tetapi
apakah mereka mampu bekerja sendirian tanpa bantuan kaum cendekiawan modern?
Karena itu maka mau tidak mau konsep Wilayatul Faqih menurut Imam Khomeini itu
harus mengalami revisi. Pandangan Khomeini itu sebenarnya sudah didahului oleh
ulama-ulama sebelumnya, misalnya Mulla Ahmad Naraqu (wafat tahun 1629) dan
Syaikh Muhammad Husain Naimi (wafat tahun 1936) dua tokoh yang memiliki
pandangan yang sama mengenai hak prerogatif kaum fukaha di bidang politik,
kendali keduanya tidak mengembangkan suatu tema sentral teori politik. Bagi
Imam Khomeini, kaum fukaha harus memegang kekuasaan, menggantikan para raja
atau penguasa, kendati masalah-masalah teknis bisa diserahkan pada para
ahlinya, namun pemegang kekuasaan tertinggi di bidang sosia-politik harus tetap
berada di tangan para faqih yang adil. Dalam pandangan Iran sekarang, pemerintahan Islam adalah
pemerintahan rakyat dengan berpegang pada hukum Tuhan, di mana kepala
pemerintahan tertinggi harus dipegang seorang faqih, yang ahli di bidang hukum
Islam yang harus dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam pemerintahan Islam model
Shiah, kaum ulama menduduki posisi, baik sebagai pengawal (guardian atau wali),
penafsir (interpreter) maupun pelaksana (executor) hukum-hukum Tuhan. Oleh
sebab itu maka pemerintahan yang demikian itu merupakan pemerintahan yang benar
dan adil. Pemerntahan Islam harus bertindak sesuai dengan syari’at. Syarat-syarat
tersebut asumsinya hanya bisa dipenuhi oleh para faqih. Kerenanya para faqih
adalah figur yang dianggap paling siap memerintah masyarakat. Nilai kepemimpinan kekuasaan pada hakekat dan intinya sesuai
konsep Wilayatul Faqih menurut Iman Khomeini, walaupun dalam pelaksanaannya
ternyata mengalami modifikasi. Pemilihan umum ikut menentukan siapa yang
akhirnya dipilih menjadi presiden dan anggota legislatif. Pemerintahan Islam
adalah pemerintahan yang konstitusional dengan al Qur’an dan Hadist. Sebagai konstitusinya. Namun demikian, tidak semua ayatullah menyetujui konsep itu.
Misalnya saja Ayatullah Ni’matullah Salihi Najasafabagi. Baginya sifat yuridis
Wilayah haruslah merupakan kontrak sosial (social contract) antara rakyat dan
faqih yang dipercaya oleh rakyat. Dalam rangka melibatkan kepentingan dan
peranan rakyat dengan lembaga pemegang kekuasaan hukum, ia berusaha mamadukan
konsep-konsep modern seperti “pemerintahan mayoritas”, “kontrak sosial”, dan
“perwakilan” dengan prinsip-prinsip pemerintahan Islam. Tujuan Imam Khomeini dalam konsep Wilayah al-Faqih adalah
menuntut keadilan sosial, pembagian kekayaan yang adil, ekonomi yang produktif
yang berdasar kepada kekuatan nasional dan gaya hidup yang sederhana serta
berdasarkan konsepsi yang akan mengurangi jurang perbedaan antara yang kaya dan
miskin dan antara yang memerintah dan diperintah. Imam Khomeni memang lebih
percaya kepada kaum fuqaha dalam memimpin pemerintahan, tetapi ia juga
menekankan bahwa dalam Republik Islam, pemerintah harus bertanggung-jawab
kepada rakyat, melalui mekanisme pemilihan umum dan adanya dewan perwakilan
rakyat. Pemerintahan Iran yang ada sekarang memang mendasarkan diri
pada konsep Wilayah al Faqih yang ditawarkan oleh Imam Khomeini. Dalam realitas
pemerintahan dan sistem politik Iran kontemporer agaknya terus mencari bentuk
yang dipengaruhi oleh aliran aliran pemikiran, bukan saja mengandung perbedaan
antara kaum ulama dan kaum cendekiawan, tetapi juga perbedaan di kalangan kaum
mullah sendiri. Pandangan Ayatullah Khamanei umpamanya berbeda dengan pandangan
Ayatullah Khatami yang liberal dan progresif, di samping adanya perbedaan
antara Imam Khomeini dengan Dr. Ali Syari’ati di masa lalu. Imam Khomeini memang akan tetap dikenang sebagai Pemimpin
Besar Revolusi, Bapak Republik Islam Iran dan Sang Ratu Adil, namun tidak
seluruh pendapatnya agaknya diikuti sepenuhnya dan secara dogmatis, bahkan oleh
kaum mullah sendiri yang ternyata punya banyak pandangan yang berbeda.
Masyarakat Islam Shia Iran adalah sebuah masyarakat yang pluralistis dengan
beragam aliran keagamaaan dan pemikiran sejak dari yang fundamentalis dan
konservatif hingga yang liberal atau Marxis. Dan ternyata juga, Islam di Iran
bisa menerima pengaruh aliran-aliran modern itu, termasuk aliran Marxis
sebagaimana diperlihatkan oleh Ali Syari’ati, walaupun istilah “Islam-Marxis”
yang sempat terlontar seperti “teologi pembebasan Amerika Latin”, dianggap
sebagai suatu yang absurd oleh Imam Khomeini. [Sumber: www.icas-indonesia.org] |